Minggu, 28 Juni 2009

Dua Kunang-Kunang Mencari Umur Panjang

Acara menonton kali ini bisa dibilang cukup repot persiapannya. Ruangan atas yang kami biasa gunakan untuk nonton, dipakai siswa les bahasa Inggris untuk ujian. Sejam sebelum acara nonton, Riswan - pengurus Reading Lights (RL), menelpon saya, “Li, bisa bawa speaker nggak?”
Saya datang ke RL dengan tas besar merah murahan khas TKI yang berisi tiga buah speaker. Usut punya usut, kami diperbolehkan menonton di ruangan kantor RL yang dipenuhi dengan berbagai kertas dan komputer.

Riswan berusaha keras agar proyektor berfungsi dengan baik. “Gilirannya film bagus, keadaannya kayak gini,” ujarnya sambil sibuk memelintir kabel. Akhirnya, usaha Riswan tidak sia-sia. Kami duduk berderet di kursi-kursi plastik dan menonton film anime Jepang ini.

Masa kecil saya diisi dengan banyak anime di hari Minggu pagi, seperti Sailor Moon, Doraemon, dan Chibi Maruko Chan. Tapi jangan sangka kalau film Grave of the Fireflies selucu itu.


Film ini mengisahkan Seita dan Setsuko yang kehilangan rumah dan ditinggal mati ibunya. Mereka menumpang tinggal di rumah tantenya, namun tak bertahan lama. Tante menghina Seita yang tidak ikut berjuang untuk Jepang dan hanya jadi benalu. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak usia SMP dengan tanggungan adiknya yang berusaha empat tahun? Tidak banyak.

Dengan perasaan sakit hati, Seita pergi dari rumah tantenya. Seita yang sok tahu menjadikan sebuah bunker tak terpakai sebagai rumah. Seita percaya ia dapat merawat adiknya dengan baik. Namun kenyataan berkata lain, Seita pada akhirnya harus mencuri untuk membeli makanan.

Sang adik, Setsuko, tak mampu menanggung derita lagi, ia menjadi lemah dan ringkih. Judul Graves of the Fireflies mungkin saja menggambarkan kehidupan Seita dan Setsuko yang tidak memiliki waktu yang banyak layaknya kunang-kunang.


Film ini diakhiri dengan momen yang menguras air mata. Setidaknya sebagian penonton RL movie week sembunyi-sembunyi mengelap air mata di tengah kegelapan ruang nonton. Ruang yang tadinya gelap berubah jadi terang. Diskusi pun dimulai.

Karakter tante Seita bikin sebal. Akan tetapi, perilaku ibu itu sangatlah wajar. Dalam masa perang, dimana makanan akan sulit dicari, seorang ibu akan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga intinya dulu. Seita dan Setsuko adalah pihak yang tersisihkan oleh perjuangan bertahan hidup tantenya.

Justru yang patut dipertanyakan adalah logika Seita. Sudah jelas ibunya memiliki simpanan 7000 yen di bank, tapi ia baru mencairkannya ketika adiknya kekurangan gizi.

Film yang menurut Roger Ebert salah satu film anti perang terbaik ini memiliki keunggulan pada dubbing-nya. Alih suara Setsuko adalah yang terbaik. Suaranya natural, persis seperti anak usia lima tahun. Melalui suara itu pula, emosi penonton terbawa.

Film Grave of the Fireflies adalah film diangkat menjadi versi non-animasi, yaitu dalam bentuk film dan serial. Tetapi menurut Riswan, versi anime-nya tetap yang terbaik. Emosinya dapet banget di film animenya.

Pengunjung kali ini ada sekitar sepuluh orang. Dan mereka memiliki penilaian yang bagus mengenai film ini. Rata-rata 3.5 bintang dari 5 bintang. Pembicaraan kami pun berlanjut ke beberapa hal di luar film ini seperti membahas personel Sailor Moon yang lesbian (gosip dari Maknyes), istilah Moe pada animasi Jepang, film Ketika Cinta Bertasbih (yang menimbulkan kecewaan besar pada saya) sampai film Angels and Demons yang alur ceritanya keren berat.
Kami mengakhiri pertemuan itu, namun kami belum benar-benar pergi dari RL. Kebanyakan dari kami membeli minuman, duduk-duduk, cek Facebook, dan mengobrol ringan. Lalu, Indra menunjukkan cerpennya untuk kami baca. Kami mencoba menikmati waktu.

Acara menonton kali ini memanglah sederhana. Di ruang sedikit berdebu, duduk di kursi plastik, dan ketiadaan AC membuat udara sedikit gerah. Hanya ada ventilasi terbuka yang mengijinkan beberapa nyamuk (bukan kunang-kunang!) mengusik kami. Namun, tidak apa. Karena esensinya ada pada cahaya-cahaya, 25 frame per detik, yang jatuh pada tembok gelap dan memesona kita dengan ceritanya.

Saya jadi terbayang, bagaimana ya rasanya nonton layar tancap? Di desa layar tancap biasanya ada saat perayaan besar seperti kawinan. Film yang diputar adalah film lama atau film India. Kualitas gambarnya buruk karena pita filmnya sudah kotor. Speaker murahan berusaha menarik perhatian penonton dengan suaranya yang cempreng memekakkan telinga. Akan tetapi, tetap saja warga desa doyan menikmatinya (mungkin karena bioskop bagus tidak ada di daerahnya).

Setidaknya, kami diteduhi oleh bangunan yang cukup kokoh. Sehingga bila gerimis datang, kami tidak perlu mengakhiri acara menonton alias gerimis bubar…


Yuliasri Perdani

Sabtu, 27 Juni 2009

Membangun Kota Imajiner

Salah satu serial televisi favorit saya adalah Gilmore Girls. Serial ini mengangkat kehidupan ibu muda dan anak perempuannya, Lorelai dan Rory, yang sama-sama menjadi dewasa di sebuah kota kecil bernama Stars Hollow. Ciri khas kota fiktif ini:

1) Para penduduknya berbicara dengan cepat;
2) Peristiwa unik nyaris selalu terjadi. Mulai dari Lomba Dansa 24 Jam sampai parade cameo musisi indie Amerika pada musim keenam, di mana Yo La Tengo, Sonic Youth, Sparks, dan Sam Phillips semuanya hadir;
3) Ada rapat kota yang dihadiri seluruh penduduk yang bertujuan untuk menyelesaikan problematika yang mereka alami sehari-hari.

Saya mengagumi kelihaian pencetus Gilmore Girls, Amy Sherman-Palladino, dalam membuat penonton percaya akan keberadaan Stars Hollow. Dalam banyak hal, rasanya kota tersebut merupakan cerminan kepribadian Amy sendiri. Saya pun mendapat ide untuk latihan menulis writers’ circle kali ini: menulis kota pribadimu masing-masing.

Menurut buku Daripada Bete Nulis Aja! . . ., setiap orang mempunyai refleksinya sendiri. Dalam hal ini refleksi adalah bagaimana cara seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Bayangkan refleksi ini sebagai sebuah peta tentang siapa dirimu dan di mana kamu pernah berada. Refleksi pribadimu adalah kotamu, lengkap dengan daerah, tempat indah, gua rahasia, bagian menarik, jalan kecil, tepi jalan, dan sudut-sudut yang belum terjelajahi. Mengapa tidak menulis tentang panduan perjalanan mengenai kota ini? Ceritakan siapa dirimu seakan-akan kamu menggambarkan sebuah panorama yang luas dan rumit, yang memiliki rawa-rawa, pegunungan, pantai, padang rumput, area parkir, atau hutan lebat.

Sabtu sore di Toko Buku Reading Lights, saya menceritakan ide tersebut kepada seorang pendatang semi-rutin pertemuan writers’ circle, Aji, dan seorang pendatang baru yang tertarik pada literatur klasik dan peperangan, Dani. Latihannya adalah menulis kota yang bernamakan nama sendiri. Maksudnya ambil nama masing-masing (pertama, terakhir, tengah, atau malah nama panggilan) dan buat seakan-akan itu adalah nama sebuah tempat baru yang ditemukan di bumi ini. Gambarkan kepada pembaca, seperti apa tempat ini. Apakah kota ini merupakan tempat yang ingin kamu tinggali, atau justru kota yang hendak kamu tinggalkan? Berhubung menulis fiksi adalah tema besar minggu ini, selain menuliskan kota yang personal saya juga meminta agar Aji dan Dani membuat sebuah karakter (bukan diri sendiri) yang merupakan penduduk kota tersebut. Ceritakan bagaimana karakter itu bertahan hidup menghadapi apapun situasi kota fiktif itu.

Setelah lima belas menit, kami pun membacakan tulisan masing-masing. Aji mendeskripsikan kota J. I. A. (baca: ji-ai-e) yang sangat mirip dengan daerah di Bandung sekitar markas militer di Jalan Aceh, pertokoan di Jalan Merdeka, dan kantor pemerintahan masih di Jalan Merdeka. Aji mendeskripsikan J. I. A. sebagai kota yang penuh dengan bangunan-bangunan yang menunjukkan fasisme pendirinya. Dari tulisannya, cukup terasa skeptisme Aji dalam memandang persoalan militer, birokrasi, dan perilaku konsumtif anak muda. Jangan-jangan Aji masih terbakar emosi setelah menonton penampilan akustik Efek Rumah Kaca dua minggu yang lalu? Mengingat lirik band ini juga mengandung muatan politis yang mirip-mirip dengan tulisan Aji.

Sementara itu Dani membacakan tulisannya yang didominasi dialog antara seorang panglima militer eksentrik dengan wartawan yang masih hijau. Dalam tulisan ini justru belum ada deskripsi kotanya. Kata Dani, ia terinspirasi novel Hemingway yang berjudul Across the River and into the Trees. Sepertinya ia terlalu asyik membuat dialog sampai-sampai lupa membuat deskripsi kota tempat interaksi kedua karakternya berlangsung.

Saya sendiri mengarang sebuah kota bernama Andika Budiman, diambil dari nama seorang penulis lokal yang meninggal setelah bertahun-tahun hidup dengan AIDS. Kota ini terletak di pesisir pantai dekat Yogyakarta. Kota ini tidak dilalui jalan raya, tetapi rel kereta api. Untuk mencapai Andika Budiman, pengunjung mesti melompat saat kereta yang ditumpanginya melintasi kota karena di sana tidak ada stasiun. Ekonomi kota berdenyut melalui kegiatan menambak garam dan prostitusi. Pada umumnya penduduk tidak melaut, alih-alih mereka menulis. Yang dituakan di Andika Budiman adalah Sumarto, seorang kaya yang menjadi raja dari usaha prostitusi di kota ini. Usaha Sumarto di back-up seorang purnawirawan jenderal yang pernah mencalonkan diri menjadi gubernur, purnawirawan tersebut pernah menjalin affair dengan Andika Budiman. Sumarto tidak lain adalah satu-satunya kerabat Andika Budiman yang masih hidup.

Syahril dan Uli bergabung setelah kami selesai menulis. Dimotori Dani, kami membicarakan militer dan tragedi Yunani. Uli menceritakan bagaimana ia tidak habis pikir dengan nasib malang Laksamana Udara Omar Dani, dari panglima termuda AU menjadi narapidana. “Sayang banget padahal dia ganteng,” ujar Uli. Seram juga membayangkan kalau nasib Omar Dani adalah harga yang mesti dibayarnya atas kecemerlangan karir dan penampilan fisik yang dimilikinya. Sementara itu Dani menceritakan perilaku seksual manusia dari Yunani kuno yang cukup mencengangkan untuk standar saat ini: Alexander the Great yang suka dengan yang sebayanya, Julius Caesar yang lebih suka ‘di bawah’. Topik menyangkut seksualitas ini membuat Syahril menceritakan pengalamannya sehabis mengikuti pelatihan copywriting, di mana ada iklan kondom di televisi yang di atas kertas sopan tetapi hasilnya justru disturbing.

Kembali ke soal menuliskan refleksi dalam bentuk kota. Caryn Mirriam-Goldberg, penulis Daripada Bete Nulis Aja! . . ., mengungkapkan bahwa dengan menggambarkan refleksi diri, kamu menemukan semua jenis daerah baru. Kamu dapat belajar lebih banyak mengenai ke mana kamu pernah bepergian dalam hidupmu, ke mana kamu akan pergi, dan di mana kamu sekarang.

Sudah ke mana, mau ke mana, dan sedang di mana.

Selasa, 09 Juni 2009

Movie Week: Grave of The Fireflies

Sutradara: Isao Takahata
Genre: Drama, Anime
Durasi: 90 menit
Produksi: Studio Ghibli (1988)
Rating Rotten Tomatoes : 8.9/10

Perang lebih menimbulkan kepiluan dibanding kemenangan. Inilah yang terjadi pada seorang remaja laki-laki bernama Seita (14 thn) dan adik perempuannya, Setsuko (4thn), pada Perang Dunia ke-II. Ayah mereka tengah bertugas di Angkatan Laut Jepang, ketika terjadi serangan udara yang menghancurkan rumah dan menewaskan ibu mereka.

Seita yang masih naïf berkelana bersama adiknya untuk bertahan hidup, sambil tetap mengharapkan kepulangan ayahnya. Dengan sekuat tenaga, Seita menyediakan segala kebutuhan Setsuko. Sementara itu, Setsuko selalu memakan sisa permennya untuk menghibur diri dari kelaparan.

Dalam serba kekurangan dan ketidakpedulian orang disekitarnya, mereka terhibur oleh banyak lampu kecil yang beterbangan pada malam hari, para kunang-kunang. Bisakah mereka bertahan dengan bantuan kunang-kunang semata?

Tonton drama yang menguras air mata ini, hanya di RL Writer's Circle Movie Week!

Minggu, 07 Juni 2009

Laporan Pandangan Mata: Write Your Romantic Moment!


Sabtu tanggal 31 Juli kemarin, bertempat di Reading Lights Bookshop and Coffee Corner, writer’s circle mengadakan workshop menulis romansa yang bertajuk ‘Write Your Romantic Moments: Workshop Penulisan Romansa’. Awalnya, workshop ini dimaksudkan sebagai pelatihan menulis dua hari yang mana setiap peserta ditargetkan akan menghasilkan sebuah tulisan. Namun setelah melewati berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan bahwa workshop menulis romansa ini dilaksanakan dalam waktu satu hari.


Donna mencari ide melalui media tarot

Adapun yang diundang sebagai pemateri adalah pasangan suami istri penulis Isman H. Suryaman dan Primadonna Angela (Ismadonna). Apabila Isman merupakan seorang editor/penulis ‘humor serius’ maka Donna ialah penulis cerita remaja yang menyukai aksesoris-aksesoris edgy. Isman pernah menjadi fasilitator di festival literasi bergengsi Ubud Writers and Readers Festival, sementara Donna termasuk penulis yang tidak hanya produktif dalam mengeluarkan bukunya, tetapi juga menerjemahkan serial buku anak-anak yang sudah difilmkan, Lemony Snicket’s A Series of Unfortunate Events. Dengan tenang Ismadonna menyapa panitia yang sempat deg-degan karena sampai jam sepuluh belum ada seorang pun peserta yang datang!



Acara pelatihan menulis ini lalu diundur tiga puluh menit sampai pukul setengah sebelas. Beruntung, ruangan atas Reading Lights yang awalnya kosong berangsur-angsur menjadi terisi oleh peserta. Ada pengunjung reguler writer’s circle: saya, Ina, Nia, Dea, Uli; pengunjung tidak reguler writer’s circle: Devi dan Ferdy (yang disadari Theo mirip Dimas Beck, dan untuk seterusnya dipanggil Becks); serta orang-orang baru: Uci, Ratih, dan Zisa. Pada pagi hari yang cerah itu, Uli membuka acara dengan mengakui bahwa romansa adalah sesuatu yang telah membuatnya gila. Ia pun memperkenalkan peserta kepada Theo, si penyiar Sky FM yang bertindak selaku moderator. Dengan gayanya yang ramah, genit, dan narsistik, Theo lantas mencairkan suasana dari yang kaku menjadi penuh canda. Theo bahkan berhasil mengungkap bagaimana Isman yang merupakan anak ITB bisa bertemu dengan Donna yang lulusan Sastra Inggris UNPAD.


Dimoderatori oleh Theo, si penikmat puisi :)

Setelah melihat slide show kutipan orang-orang terkenal tentang cinta, Ismadonna meminta peserta berbagi tentang sesuatu yang kami anggap romantis. Sesuatu yang bisa berupa kutipan, adegan film, atau pengalaman pribadi dari masa lalu, misalnya. Dengan mata berbinar (:P), masing-masing peserta lantas menceritakan konsepnya tentang romantisme. Semua tersenyum saat mendengar Ratih menyatakan kesukaannya apabila sepasang kekasih memiliki panggilan sayang yang punya arti tersendiri. ‘Bodoh’, misalnya. Seperti di film Radit dan Jani. Kami juga tertawa waktu di luar kepala Theo mengutip Totto Chan halaman 192, “Aku akan tetap meraut pensil-pensilnya,” kata Totto Chan memutuskan. “Karena aku cinta padanya.” Cara Totto Chan menyayangi Tai Chan ini Theo anggap romantis. Dan semua merasa terharu ketika Donna bercerita tentang lagu Josh Groban berjudul The Prayer yang membantunya merelakan kepergian sang nenek.

Kemudian Ismadonna mulai mempresentasikan materi dan latihan yang sudah mereka siapkan. Materi ini mencakup definisi romantis menurut KBBI sampai bagaimana menulis sebuah dialog yang romantis. Presentasi Ismadonna sangat interaktif, suami istri yang justru mengaku tidak romantis ini terus memberikan umpan kepada peserta untuk menyatakan pendapatnya. Mereka kerap memberikan reward kepada peserta dalam bentuk Anak Mas, Coklat Ayam, sampai buku mereka sendiri. Latihan menulis yang diberikan pun bervariasi mulai dari mendaftar sesuatu yang dianggap romantis hingga pada puncaknya membuat sebuah cerita romantis.

Dari interaksi tersebut, kepribadian masing-masing peserta menjadi semakin mengemuka. Semua peserta menjadi tahu bahwa Uci adalah seorang penggemar sepak bola, terutama Liga Inggris. Anfield adalah tempat yang romantis baginya. Menonton pertandingan Liverpool versus MU bersama pasangan merupakan kegiatan yang begitu romantis, dan satu-satunya hal yang bisa merusaknya adalah apabila pasangan Uci merupakan fans MU!


Uci, semerah MU

Lain Uci, lain Zisa. Perempuan muda berkacamata ini menyatakan romantisme yang dirasakannya ketika melihat Batman berdiri sendirian di atas gedung pencakar langit. Belakangan baru ketahuan bahwa perempuan yang menggemari Sandman ini sedang bersiap menerbitkan komik perdananya bersama penerbit major.


Zisa dengan pemuda yang diyakini Dimas Beck

Melalui pengalaman ini saya juga semakin mengetahui ide tentang romantisme menurut teman-teman yang sudah lama saya kenal. Ina mengatakan bahwa dirinya merasakan romantisme pada cara sepasang kekasih ketika berjalan beriringan. Apakah mereka berjalan bergandengan atau saling menggamit. Ina tidak suka apabila seorang kekasih terkesan menyeret pasangannya. Sementara itu Nia mengutip salah satu filsuf yang dijumpai dalam studi psikologinya, Love is greatest thing in the world. Dan seperti biasa, Devi menuangkan idenya akan romantisme dalam tulisan dengan pemilihan kata yang menggugah.

Muncul diskusi hangat ketika Ferdy membacakan ide ceritanya yang berjudul, Roseman. Ceritanya tentang bunga mawar yang berubah menjadi laki-laki dan jatuh cinta pada sesuatu yang pertama kali dilihatnya. Beruntung bagi si Roseman karena yang dilihatnya adalah seorang perempuan! Ismadonna banyak mengajukan pertanyaan mengenai detail cerita Ferdy yang sangat menarik ini. Tentu saja harapannya adalah bahwa cerita ini tidak berhenti pada ide saja tetapi berujung pada sebuah tulisan yang baik untuk dibaca.

Tidak kalah menarik adalah ide cerita Uli tentang kehidupan percintaan seorang atlet renang. Tulisan ini khas Uli yang imajinatif sembari tetap berpijak pada emosi-emosi dasar yang pastinya dirasakan oleh seluruh manusia.

Sempat istirahat setengah jam, lalu melanjutkan workshop lagi. Hampir semuanya tidak sadar ketika jam sudah menujukkan pukul setengah empat. Ismadonna membuka sesi pertanyaan yang langsung disambar Nia yang diam-diam telah menyimpan empat pertanyaan saja. Gadis itu akhirnya hanya mengajukan tiga pertanyaan, satu diantaranya mengenai kesulitannya, yang biasa membuat cerita pendek, untuk membuat sebuah novel. Menyinggung pengalaman bahwa dirinya kesulitan menulis cerita pendek, Donna berpendapat bahwa ini terkait dengan kebiasaan seseorang. Untuk bisa melakukan sesuatu, maka kita harus membiasakannya. Isman menambahkan pengalaman pertama memang akan selalu sulit, tetapi mesti diingat bahwa untuk selanjutnya kita akan terbiasa dengan pengalaman itu.

Ferdy juga mengajukan pertanyaan tentang etika dalam mengirimkan manuskrip ke penerbitan. Ismadonna antara lain menegaskan, sebaiknya tidak mengirim manuskrip ke banyak penerbit sekaligus. Binalah hubungan baik dengan penerbit, usahakan kerja sama antara kedua belah pihak bisa terjalin dalam jangka waktu panjang. Tidak lupa Ismadonna menekankan bahwa relasi antara penulis dan penerbit adalah setara. Penulis tidak perlu memandang penerbit sebagai Tuhan yang harus dipenuhi segala perintahnya dan dijauhi segala larangannya.

Tidak ketinggalan Uli bertanya alasan mengapa Donna dinamai Primadonna Angela? Rupanya orang tuanya adalah penggemar Michaelangelo. Apabila anak pertama mereka laki-laki rencananya akan dinamai Michaelangelo, beruntung Donna adalah anak perempuan. Itu pun ia hampir diberi nama Vittoria Colonna yang tidak lain adalah cintanya Michaelangelo! Akhirnya orang tua Donna cukup puas dengan nama Primadonna Angela yang dirasa cukup keitalia-italiaan.

Sebelum bubar, Isman membagikan secarik kertas kosong yang diharapkan sudah terisi ketika ia bertemu lagi dengan para peserta. Secarik kertas kecil yang membuat saya sangsi pada pengakuan Ismadonna bahwa mereka tidak romantis.

Saya akan menutup jurnal ini dengan penggalan lirik lagu Incubus yang dianggap Isman romantis, Dig. Mohon maaf apabila ada kesalahan.

We all have a weakness. But some of ours are easy to identify. Look me in the eye And ask for forgiveness; We'll make a pact to never speak that word again. Yes you are my friend. We all have something that digs at us, at least we dig each other. So when weakness turns my ego up I know you'll count on the me from yesterday. If I turn into another, dig me up from under what is covering the better part of me. Sing this song, remind me that we'll always have each other, when everything else is gone.

Ciao.

Laporan pandangan mata oleh:
Andika Budiman

Tulis Momen Romantismu!

Oleh Primadonna Angela dan Isman H. Suryaman

Keromantisan—Perlukah?

Bayangkan hidangan favoritmu, panas mengepul di depan mata, tertata sempurna menggoda selera, siap menyapa lidah saat dicerna. Aromanya menyeruak membuatmu merasa, ah, sekali cicip hidupmu takkan terasa sia-sia. Saat gigitan pertama, matamu membelalak dan hatimu kecewa karena ternyata rasanya jauh dari ekspektasimu.

Seperti itu jugalah hidup, dan dalam hal ini novel, tanpa keromantisan.

Tanpa pengalaman romantis sekalipun orang masih bisa menikmati novel, namun akan terasa ada yang kurang. Berbagai adegan romantis akan membuat novelmu terasa lebih hidup dan memikat.

Berdasarkan KBBI edisi keempat, definisi romantis adalah bersifat seperti cerita roman (percintaan), bersifat mesra, mengasyikkan.

Apakah roman atau percintaan harus antara perempuan dan pria dewasa? Tentu saja tidak. Ada banyak sekali jenis cinta di dunia ini yang bisa dibahas dan diulik. Apalagi dengan definisi mengasyikkan dari KBBI, di sini saya mengartikan adegan romantis dalam novel sebagai berbagai peristiwa yang menyentuh perasaan, menginspirasi, dan membuat pembaca merasa terharu—senang sekaligus barangkali, terenyuh.

Dengan keterlibatan emosi, sebuah karya akan terasa lebih indah dan menggugah.
Dengan adanya keromantisan, pembaca akan terbuai dan lebih terpesona dengan tulisanmu.
Jamie Cullum, sebagai contoh, mendeskripsikan pemandangan kota London dalam London Skies, sebagai:
Patient moments you chill to the bone under infinite greys,
Vision hindered mist settling low like a ghostly ballet,
On a cold winters Day.

Will you let me romanticize,
The beauty in our London Skies,
You know the sunlight always shines,
Behind the clouds of London Skies.

Bayangkan jika Jamie Cullum hanya menggunakan deskripsi standar dan stereotipikal; “Langit selalu mendung. Hujan terus. Di London.” Hambar.

Tapi Bagaimana Kalau Saya Tidak Romantis?

Pertama: hati-hati dengan labelisasi diri. Apa benar Anda “tidak romantis”? Mari kita uji.

Apakah Anda:
a. Pernah benar-benar suka dengan suatu lirik lagu yang berbicara tentang keindahan? (Bisa cinta maupun tidak).
b. Pernah berhenti sejenak untuk mengagumi suatu hal (langit, hewan, tumbuhan, atau malah orang)?
c. Pernah jatuh cinta?
d. Pernah melakukan suatu hal dengan penuh semangat?

Kalau Anda menjawab “ya” untuk salah satu dari poin di atas, Anda sudah pernah mengalami momen romantis. Ini berlanjut ke poin berikut...
Kedua, bisa jadi tantangannya adalah pada mengenali momen romantis.

Latihan
1. Tutup mata, bayangkan orang, tempat, atau benda yang memancing keromantisanmu. Kalau kamu (mengaku) tidak romantis, bayangkan saja sesuatu yang membuatmu merasa nyaman dan bahagia. Orang lainkah? Benda tertentu? Atau barangkali, makanan?

2. Tuliskan lirik lagu atau kutipan (narasi maupun dialog) favorit yang menurut Anda romantis.

Mengenali dan Memicu Momen Romantis

Momen romantis bisa dipicu oleh berbagai cara. Misalnya:

1. Lokasi. Ini paling mudah dilakukan. Tinggal memikirkan atau melakukan riset mengenai tempat yang dianggap romantis, kemudian mendeskripsikannya. Paling aman mencari tempat yang kental dengan nuansa alam. Contoh: pemandangan mentari terbit atau tenggelam di pantai Kuta Bali itu romantis. Namun pemandangan mentari terbit atau tenggelam di pantai Kuta Bali yang dikelilingi turis berpakaian seadanya dan sampah yang mencuat di sana-sini, bukanlah hal yang romantis.

Latihan Menulis Lokasi Romantis

Kalau kamu pernah mengunjungi tempat yang kamu anggap romantis, berarti akan lebih mudah bagimu melakukannya. Bagaimana caranya? Visualisasikan saja.
Tinggal pejamkan mata, tanyakan pada dirimu sendiri:
a. Apa kesan paling kuat yang kamu tangkap dari tempat itu?
b. Saat mengucapkan nama tempat itu keras-keras, apa yang pertama kali terbayang olehmu?
c. Bagian apa yang paling membuatmu terkesan? Secara keseluruhan, apa yang menurutmu menarik dari tempat itu?
d. Aroma apakah yang kamu asosiasikan dengan lokasi tersebut?
e. Bayangkan kamu menyentuh salah satu benda di tempat itu. Bagaimana rasanya?
f. Bunyi-bunyian/lagu apa yang kamu asosiasikan dengannya?

Untuk lebih mudahnya, kamu harus bisa mendeskripsikan tempat itu menggunakan panca indramu. Kalau kamu bisa melakukannya, tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan sedemikian rupa agar mereka pun merasa dapat mengalami tempat itu menggunakan kelima indra mereka.

2. Benda atau hadiah. Ini juga relatif mudah dilaksanakan. Gunakan imajinasimu untuk menentukan, berdasarkan sifat dan minat seseorang, hadiah apa yang paling menyentuh hatinya. Sulit membayangkannya? Coba daftar berbagai benda yang kamu inginkan sebagai hadiah, dan bayangkan salah satu orang yang kamu sayangi memberikannya untukmu. Namun, kalau dia memberikannya dengan alasan seperti ini, “Sebenarnya ini kubelikan buat cewek lain, tapi karena dia menolak jadi buatmu saja deh…”

3. Situasi. Ini sedikit rumit dan membutuhkan kreativitas yang lebih dalam. Tempat dan benda tidak pengaruh, namun yang berperan nyata adalah konteks. Pria yang menelepon seseorang dan berkata, “Sepatu,” misalnya, tidak akan terkesan romantis. Namun kalau ada kisah di baliknya, ada kesempatan di masa lalu antara pria dan perempuan saat mendiskusikan sepatu pengantin orang lain, berarti “sepatu” yang diucapkan merujuk pada lamaran pernikahan.

Latihan Memicu Momen Romantis
Bayangkan sebuah momen romantis dan jadikan haiku asal-asalan. Yang penting terdiri dari tiga baris. Baris pertama terdiri dari lima suku kata. Baris kedua; tujuh suku kata. Dan baris ketiga; lima suku kata. Jangan habiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir. Buat sebanyak-banyaknya dalam lima menit!


Contoh:
Seekor katak
lompat ke dalam kali
tanpa alasan.

Bersin mengundang;
lagi tisu terbuang;
pohon ditebang.

Gandengan tangan;
Begitu susahkah ‘tuk
kita lakukan?


Show, Don’t Tell!

Ini adalah idiom kepenulisan yang barangkali sering didengung-dengungkan namun juga acapkali diabaikan. Memang bagi penulis pemula, lebih terasa mudah menuturkan cerita apa adanya. Akan tetapi ini bisa jadi bumerang, karena penceritaan yang monoton akan membuat pembaca jemu.

Alih-alih memberitahu pada pembaca bahwa suatu “langit itu terlihat indah”, tunjukkanlah bagaimana “seakan-akan daratan telah menjadi samudera biru dan langit memantulkannya utuh.” Hindari menjelaskan “ia adalah pria yang romantis”. Tunjukkan melalui tindakannya.

Riset

Ingatlah bahwa kadar keromantisan orang itu berbeda-beda. Ada yang merasa suasana romantis sangat mendukung, banyak juga yang berpikir suasana romantis hanyalah dekorasi yang tidak terlalu penting. Karakterisasi juga penting dalam karyamu, dan berbagai keromantisan harus serasi dengan penokohannya.

Bagaimana menyiasati hal ini? Kuncinya adalah riset.

Berbagai teknik riset sederhana:
1. Mengumpulkan aneka informasi dari internet, kamu bisa mengetahui pendapat berbagai blogger mengenai keromantisan. Kalau niat kamu juga bisa mengadakan survei kecil-kecilan.
2. Cari buku atau film yang menurutmu romantis. Bingung menentukannya? Minta rekomendasi teman. Setelah membaca atau menontonnya, jawab pertanyaan ini: apakah elemen yang membuat sebuah kisah terasa romantis?
3. Tanyakan pada teman atau saudara terdekatmu, momen paling romantis yang pernah mereka alami. Mengapa mereka menganggapnya romantis?
4. Buka-buka album foto lama kemudian ingat-ingat lagi pengalamanmu di masa lalu.
5. Janjian ketemuan dengan teman-teman lama dan diskusikan berbagai kenangan di masa lampau—kemudian tuliskan!
6. Saling curhat mengenai berbagai pengalaman romantis yang kamu alami bersama sahabat.


Mulai dari Mana?

Pilih kalimat dan paragraf pembuka yang “nendang”. Pikat pembaca dari awal. Demikian juga saat menuliskan pengalaman romantismu.

Ingatlah untuk menggambarkan menggunakan kelima indra. Pembaca harus bisa membayangkan, menghirup aroma tertentu, merasakan tekstur, mendengar, dan mencicipi adegannya. Tidak harus keseluruhannya, dua dari tiga pun sudah cukup sebenarnya.
Lebih mudah menuliskan sesuatu yang sudah kamu alami, apalagi kalau peristiwa itu sangat berkesan bagimu. Yang patut diingat adalah untuk menekankan:
1. Bagian apa yang membuatmu terkesan.
2. Hindari untuk bertele-tele dan menceritakan kisah lain yang tidak ada hubungannya.
3. Show, don’t tell.


Pentingnya Konteks

Harus diingat bahwa tanpa konteks, setiap situasi atau benda tidak akan memiliki makna lebih. Bahkan pada dasarnya setiap benda, situasi, dan tempat bisa saja menjadi romantis.
Emosilah yang menentukan sesuatu itu romantis atau tidak. Untuk membuai emosi, kita harus pandai-pandai menyelipkan berbagai konteks yang sesuai. Asosiasikan berbagai benda dengan pengalaman yang menyentuh hati.

Sama seperti koki yang mungkin lebih senang diberi hadiah peranti masak, rempah langka, atau celemek bergaya, tiap karakter—atau dalam hal ini dirimu—pasti memiliki kegemaran atau katakanlah, semacam “tombol leleh” yang akan membuatmu terharu sekaligus terpesona.
Ciptakan konteks yang sesuai untuk membangun keromantisan, biarkan semuanya mengalir, dan momen romantismu pasti bisa tertuangkan dalam bentuk kata dengan indah.


Membangun Konteks dengan Interaksi

1. Tokoh dengan Latar
Dalam Zen and The Art of Motorcycle Maintenance, kita menyelami pikiran tokoh utama saat ia melakukan perjalanan lintas negara bagian Amerika Serikat dengan menggunakan motor besar. Keromantisan, salah satunya, disampaikan dengan cara ia memandang motor dan berbagai tempat yang ia kunjungi. Baginya, mengemudi mobil bagaikan nonton TV; pengemudinya tidak terlibat dengan dunia luar. Sementara itu, mengendarai motor membuat pengemudinya bersentuhan langsung dengan dunia... dan kehidupan.

Latihan
Ingat-ingat suatu tempat umum yang sering Anda lewati. Buatlah sebuah karakter yang baru pulang dari rumah sakit. Seminggu lalu, ia baru saja divonis akan mati dalam waktu tiga bulan karena penyakit. Ternyata tadi, sang dokter memberitahu kalau ada kesalahan rekaman medis. Dia tidak apa-apa. Dalam perjalanan pulang, ia berhenti di tempat yang Anda ingat tersebut. Tulislah apa yang ia alami di situ.

2. Tokoh dengan Tokoh Lain
Christopher Buckley, dalam novel Thank You for Smoking, menciptakan ketegangan asmara antara tokoh Naylor (humas untuk industri rokok) dan Polly (humas untuk industri minuman beralkohol) justru tanpa dialog romantis, melainkan konteks. Naylor dan Polly digambarkan sering bertikai namun saat Naylor membutuhkan bantuan yang bisa membahayakan jiwa, Polly sigap membantu.
Latihan
Seorang pria hendak melamar wanita yang ia cintai. Ia ingin melakukannya di depan umum. Ada satu tantangan: sang wanita kehilangan pendengaran sejak lahir. Tulislah adegan pelamaran yang dilakukan sang pria.

Dialog Romantis

Kekuatan dialog muncul dari karakter. Dengan kata lain, jika penokohan kita sudah kuat, otomatis dialog kita juga akan terasa lebih tajam. Sebaliknya, penokohan yang kurang tegas akan membuat dialog terasa hambar dan tidak berkarakter—siapa pun bisa mengatakan itu.
Dialog Rhett Butler pada Scarlett O’Hara dalam novel Gone with The Wind, "My dear, I don't give a damn," melekat pada benak pembaca karena muncul dari karakter yang kuat.
Kesesuaian tokoh dengan konteks juga penting.

Dialog dalam film Jerry Maguire seperti “You complete me”, dan “You had me at ‘hello’” tidak akan menjadi kalimat yang diingat kalau diucapkan pada konteks yang tidak tepat. Bayangkan Jerry mengatakan “You complete me” pada saat pertama kali melamar Dorothy. Dampaknya jadi lemah karena pada saat itu, penonton tahu bahwa Jerry masih belum yakin akan perasaannya. Alhasil, mereka akan mendapatkan kesan bahwa Jerry tidak tulus. Saat Jerry kehilangan Dorothy dan menyadari bahwa ia benar-benar mencintai wanita itu, kalimat ini jadi pas.


Tulislah dengan Perasaan

Pada akhirnya, emosi kita saat menulis akan berpengaruh pada hasil tulisan. Dalam berakting, aktor yang baik akan benar-benar sedih saat ia memerankan tokoh yang sedih. Penulis juga serupa, walaupun tidak sedrastis itu. Momen romantis akan lebih terasa nyata jika saat kita tuliskan, adegan itu benar-benar terjadi dalam benak kita.

Kita tidak perlu ikut menangis saat karakter kita menangis. Namun, tulisan kita akan lebih kuat jika karakter tersebut benar-benar menangis dalam benak kita. Coba saja tulis kesedihan seorang karakter saat membayangkan tokoh tersebut justru sedang bahagia.

Untuk latar juga begitu. Kita tidak perlu menulis di puncak Gunung Bromo untuk berbicara keindahan pemandangan di puncak gunung. Namun, pengalaman mendakinya bisa kita jadikan bayangan untuk latar yang melibatkan keasrian alam atau keromantisan interaksi tokoh dengan alam.


Tips

Bawalah buku catatan dan alat tulis ke mana-mana. Jika Anda mengalami suatu momen romantis, segera abadikan dalam bentuk tulisan. Kumpulan tulisan ini bisa menjadi referensi Anda saat diperlukan.