Sabtu, 27 Juni 2009

Membangun Kota Imajiner

Salah satu serial televisi favorit saya adalah Gilmore Girls. Serial ini mengangkat kehidupan ibu muda dan anak perempuannya, Lorelai dan Rory, yang sama-sama menjadi dewasa di sebuah kota kecil bernama Stars Hollow. Ciri khas kota fiktif ini:

1) Para penduduknya berbicara dengan cepat;
2) Peristiwa unik nyaris selalu terjadi. Mulai dari Lomba Dansa 24 Jam sampai parade cameo musisi indie Amerika pada musim keenam, di mana Yo La Tengo, Sonic Youth, Sparks, dan Sam Phillips semuanya hadir;
3) Ada rapat kota yang dihadiri seluruh penduduk yang bertujuan untuk menyelesaikan problematika yang mereka alami sehari-hari.

Saya mengagumi kelihaian pencetus Gilmore Girls, Amy Sherman-Palladino, dalam membuat penonton percaya akan keberadaan Stars Hollow. Dalam banyak hal, rasanya kota tersebut merupakan cerminan kepribadian Amy sendiri. Saya pun mendapat ide untuk latihan menulis writers’ circle kali ini: menulis kota pribadimu masing-masing.

Menurut buku Daripada Bete Nulis Aja! . . ., setiap orang mempunyai refleksinya sendiri. Dalam hal ini refleksi adalah bagaimana cara seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Bayangkan refleksi ini sebagai sebuah peta tentang siapa dirimu dan di mana kamu pernah berada. Refleksi pribadimu adalah kotamu, lengkap dengan daerah, tempat indah, gua rahasia, bagian menarik, jalan kecil, tepi jalan, dan sudut-sudut yang belum terjelajahi. Mengapa tidak menulis tentang panduan perjalanan mengenai kota ini? Ceritakan siapa dirimu seakan-akan kamu menggambarkan sebuah panorama yang luas dan rumit, yang memiliki rawa-rawa, pegunungan, pantai, padang rumput, area parkir, atau hutan lebat.

Sabtu sore di Toko Buku Reading Lights, saya menceritakan ide tersebut kepada seorang pendatang semi-rutin pertemuan writers’ circle, Aji, dan seorang pendatang baru yang tertarik pada literatur klasik dan peperangan, Dani. Latihannya adalah menulis kota yang bernamakan nama sendiri. Maksudnya ambil nama masing-masing (pertama, terakhir, tengah, atau malah nama panggilan) dan buat seakan-akan itu adalah nama sebuah tempat baru yang ditemukan di bumi ini. Gambarkan kepada pembaca, seperti apa tempat ini. Apakah kota ini merupakan tempat yang ingin kamu tinggali, atau justru kota yang hendak kamu tinggalkan? Berhubung menulis fiksi adalah tema besar minggu ini, selain menuliskan kota yang personal saya juga meminta agar Aji dan Dani membuat sebuah karakter (bukan diri sendiri) yang merupakan penduduk kota tersebut. Ceritakan bagaimana karakter itu bertahan hidup menghadapi apapun situasi kota fiktif itu.

Setelah lima belas menit, kami pun membacakan tulisan masing-masing. Aji mendeskripsikan kota J. I. A. (baca: ji-ai-e) yang sangat mirip dengan daerah di Bandung sekitar markas militer di Jalan Aceh, pertokoan di Jalan Merdeka, dan kantor pemerintahan masih di Jalan Merdeka. Aji mendeskripsikan J. I. A. sebagai kota yang penuh dengan bangunan-bangunan yang menunjukkan fasisme pendirinya. Dari tulisannya, cukup terasa skeptisme Aji dalam memandang persoalan militer, birokrasi, dan perilaku konsumtif anak muda. Jangan-jangan Aji masih terbakar emosi setelah menonton penampilan akustik Efek Rumah Kaca dua minggu yang lalu? Mengingat lirik band ini juga mengandung muatan politis yang mirip-mirip dengan tulisan Aji.

Sementara itu Dani membacakan tulisannya yang didominasi dialog antara seorang panglima militer eksentrik dengan wartawan yang masih hijau. Dalam tulisan ini justru belum ada deskripsi kotanya. Kata Dani, ia terinspirasi novel Hemingway yang berjudul Across the River and into the Trees. Sepertinya ia terlalu asyik membuat dialog sampai-sampai lupa membuat deskripsi kota tempat interaksi kedua karakternya berlangsung.

Saya sendiri mengarang sebuah kota bernama Andika Budiman, diambil dari nama seorang penulis lokal yang meninggal setelah bertahun-tahun hidup dengan AIDS. Kota ini terletak di pesisir pantai dekat Yogyakarta. Kota ini tidak dilalui jalan raya, tetapi rel kereta api. Untuk mencapai Andika Budiman, pengunjung mesti melompat saat kereta yang ditumpanginya melintasi kota karena di sana tidak ada stasiun. Ekonomi kota berdenyut melalui kegiatan menambak garam dan prostitusi. Pada umumnya penduduk tidak melaut, alih-alih mereka menulis. Yang dituakan di Andika Budiman adalah Sumarto, seorang kaya yang menjadi raja dari usaha prostitusi di kota ini. Usaha Sumarto di back-up seorang purnawirawan jenderal yang pernah mencalonkan diri menjadi gubernur, purnawirawan tersebut pernah menjalin affair dengan Andika Budiman. Sumarto tidak lain adalah satu-satunya kerabat Andika Budiman yang masih hidup.

Syahril dan Uli bergabung setelah kami selesai menulis. Dimotori Dani, kami membicarakan militer dan tragedi Yunani. Uli menceritakan bagaimana ia tidak habis pikir dengan nasib malang Laksamana Udara Omar Dani, dari panglima termuda AU menjadi narapidana. “Sayang banget padahal dia ganteng,” ujar Uli. Seram juga membayangkan kalau nasib Omar Dani adalah harga yang mesti dibayarnya atas kecemerlangan karir dan penampilan fisik yang dimilikinya. Sementara itu Dani menceritakan perilaku seksual manusia dari Yunani kuno yang cukup mencengangkan untuk standar saat ini: Alexander the Great yang suka dengan yang sebayanya, Julius Caesar yang lebih suka ‘di bawah’. Topik menyangkut seksualitas ini membuat Syahril menceritakan pengalamannya sehabis mengikuti pelatihan copywriting, di mana ada iklan kondom di televisi yang di atas kertas sopan tetapi hasilnya justru disturbing.

Kembali ke soal menuliskan refleksi dalam bentuk kota. Caryn Mirriam-Goldberg, penulis Daripada Bete Nulis Aja! . . ., mengungkapkan bahwa dengan menggambarkan refleksi diri, kamu menemukan semua jenis daerah baru. Kamu dapat belajar lebih banyak mengenai ke mana kamu pernah bepergian dalam hidupmu, ke mana kamu akan pergi, dan di mana kamu sekarang.

Sudah ke mana, mau ke mana, dan sedang di mana.

Tidak ada komentar: