Indra, yang mendapat giliran pertama, bercerita tentang ikat pinggang Levi’s-nya. “Ini sabuk warisan,” katanya. Sabuk tersebut diberikan turun temurun kepada adik yang mulai memasuki dunia kerja. Menurut Indra, sabuk itu seperti perlambangan dan harapan.
Saking tuanya, kulit sabuk abu-abu tersebut sudah terkelupas di sana-sini. Untungnya Indra tak punya adik lagi. Jika tidak, wah … tak terbayang kondisi si sabuk saat melingkar di pinggang generasi berikutnya.
Seperti Indra, benda yang diceritakan Andika pun warisan dan sudah cukup berumur. Namanya tas Dody. Awalnya Dody adalah milik seorang teman yang diberikan kepada Andika justru setelah Andika memiliki tas baru. Kira-kira apa yang akan dikatakan Dody jika dia bisa bicara? “Aku sudah harus pensiun!” demikian Andika membayangkan.
Ina bercerita tentang sepatu yang dikenakannya saat itu. “Tadinya sepatu ini untuk hadiah. Tapi ternyata kekecilan, pasnya di gua,” ujar Ina. Jadilah sepatu tersebut milik Ina selamanya. Ina pun merasa nyaman melangkah bersama si sepatu yang kerap dibawanya berkenalan dengan sepatu-sepatu lainnya.
Hampir mirip dengan Ina, Niken menceritakan sweater yang bukan miliknya. “Tapi sweater ini nyaman banget dan gua belum mau berpisah dengan dia,” Niken mengakui. Jika si sweater bisa mendengar, Niken ingin sekali bertanya, “Gimana rasanya bersama-sama dengan saya? Kangen nggak sama pemilik asli kamu?” Niken pun berniat mengajak si sweater bergosip tentang pemilik aslinya. “Gua mau tanya apa pendapat si sweater tentang pemiliknya … Hehehehe …”
Tulisan Dani agak berbeda dengan tulisan-tulisan teman-teman lainnya. “Ini campuran fiksi dan tidak,” kata Dani. Dani bercerita tentang buku yang sedang dia baca dan telpon genggamnya.
Paragraf Dani dibuka dengan jatuhnya si buku dan telpon genggam yang berdering. Selebihnya, Dani menuliskan kisah cinta mengenai seseorang yang meninggalkannya di hari ulang tahun. Mana yang fiksi dan mana yang tidak? Silakan ditanyakan langsung kepada Dani sendiri.
Sundea bercerita tentang Sparks, sarung kamera digitalnya. Ketika Dea memotret ke sana ke mari, Sparks kadang tertinggal menganga dan terlupakan di mana-mana. Akhirnya Dea memasangkan tali rafia di punggung Sparks agar Sparks dapat menggelayut aman di bahu Dea.
Dea pun tersadar betapa seringnya Sparks diabaikan. Mungkin baru hari itulah dia dapat duduk bangga karena menjadi bintang yang diceritakan.
Pertemuan ditutup dengan artikel Goenawan Mohamad yang dibacakan oleh Indra. Ada salah satu kutipan Konfusianis yang menarik dan menurut Dea relevan dengan pertemuan hari itu, “Kita tidak dapat bercermin pada air yang mengalir. Kita hanya dapat bercermin pada air yang diam”.
Setiap hari benda-benda yang kita kenakan mengalir bersama kita.
Hari itu mereka diam. Peserta Reading Lights Writer's Circle pun bercermin kepada mereka.
Perempuan yang memiliki nama asli Ardea Rhema Sikhar dulunya selalu dikuncir buntut kuda, gendut, suka bawa botol air, dan suka nulis-nulis. Setelah lulus dari Universitas Padjadjaran, Dea - nama panggilannya - sudah tidak dikuncir buntut kuda, sudah tidak gendut, (sepertinya) sudah tidak bawa botol air, namun masih suka nulis-nulis. Mau lihat tulisannya, silahkan berkunjung ke http://salamatahari.blogspot.com
5 komentar:
HA! Terry Pratchett Night WATCH! HUHOHOHOHO....
:D
wow teman2, tampaknya menyenangkan sekali acara kumpul kalian, sabtu dua minggu lalu kami sempat ke reading lights, dan nongkrong membaca di sana dari pagi2 sampai sekitar jam3an, we knew that you guys would be there sometimes within the week, but we didn't know that you were there at 4!! eniwei, kalau kami ke bandung lagi, pasti akan mampir ke sana!!! keep it up guys!!
twosocks of the dustysneakers
Kami tunggu kedatangannya :)
cukup menarik juga
jadi ingin membuat kisah yang sama :D
Silahkan :)
Posting Komentar