Selasa, 10 Maret 2009

Interpretasi Lukisan

Tema pertemuan kali ini ditemukan secara spontan ketika Andika melihat salah satu lukisan baru di function room Reading Lights. Kami diinstruksikan untuk membuat tulisan mengenai gambaran mengenai lukisan yang kita lihat. Saya bertanya apakah hanya gambaran perasaan dari lukisan atau membuat cerita berdasarkan lukisan. Andika menjawab terserah.

Dari kiri ke kanan-Saya, Theo, Ina, Neni, Syahril, Rudi, dan Ivan

Seorang peserta bertanya mengapa lukisan yang dipilih menjadi tema minggu ini. Andika menjawab hal ini dikarenakan lukisan sebagai representasi realita yang dirasakan pelukis namun bisa membangkitkan emosi orang yang melihatnya. Saya menyimpulkan bahwa maksud tema kali ini sebagai persepsi orang kedua yang berasal dari persepsi orang pertama.

Kami diberi waktu setengah jam untuk mencari lukisan dan membuat tulisan. Ternyata memilih lukisan itu tidak mudah karena ada beberapa orang dari kami yang kesulitan menemukan lukisan yang menangkap perhatiannya.

Ina mendapat urutan pertama untuk membacakan karya. Dipilihnya sebuah lukisan karya Agus S yang menggambarkan sebuah pohon besar. Ina bercerita bahwa gambar pohon yang begitu rimbun dan rumit itu sebagai analogi cerita mengenai seseorang yang defensif.

Ina

Neni memilih lukisan karya Widayat. Pertama-tama, Neni mendeskripsikan tentang lukisan melalui sudut pandangnya. Misalnya warna merah yang bagi Neni terlihat seperti noda. Sedangkan titik-titik dan pola lukisan disambukan dengan kuasa Tuhan menghubungkan titik-titik dan pola dalam kehidupan manusia.

Neni

Theo memilih lukisan seorang perempuan yang bertelanjang dada. Dengan gaya puisi yang singkat dan padat, ia memberi judul "Perempuan Sejuta Makna". Tulisan Theo, yang biasa menulis metafora, membuat peserta lainnya terkesima.

Theo

Sepertinya Andika langsung jatuh cinta dengan lukisan pertama yang ia lihat ketika masuk ke ruang atas Reading Lights. Ia menjelaskan warna biru dalam lukisan yang multitafsir. Biru adalah analogi air dan cinta yang indah jika bunyinya bergemericik namun bisa juga menggelamkan. Warna biru di lukisan karya Muchtar Apin (1996) ini memang begitu dominan.

Andika

Syahril memilih lukisan dimana tergambar beberapa orang yang sedang bermain musik. Ia mendeskripsikan musik, alunan musik, gesekan setiap alat yang menjalin harmoni irama. Sayang sekali, kata-kata indah Syahril dipotong dengan kasar mengenai cerita pribadinya. Tiba-tiba ia menuliskan, "Eh kok gue jadi mellow gini?". Padahal tanpa menambahkan hal tersebut, tulisan Syahril sudah bagus.

Syahril

Saya memilih lukisan Barli (1983). Wajah sendu sang perempuan dalam lukisan membawa saya ke masa penjajahan Belanda. Perempuan yang saya beri nama Siti Rukmina diceritakan sebagai perempuan yang berasal dari kampung jawa yang dibawa paksa ke Batavia untuk dijadikan pelacur para tentara. Disana tidak hanya menjadi pelacur, Siti Rukmina dipaksa untuk melihat bangsanya disiksa. Cerita ditutup dengan semburat rasa lelah dan pasrah yang saya tangkap dari lukisan.

Saya

Rudi, yang ketika mendengarkan namanya mengingatkan saya kepada tokoh kartun Rudi Tabootie, memilih lukisan karya Yulia Sugiarti. Lukisan ini digambarkan dari sudut pandang pertama yang melihat seorang perempuan tua yang memanggul jamu. Sebenarnya tulisan Rudi hanya sebatas itu, namun kejelian Theo melihat background muka di belakang lukisan perempuan membuat kami larut dalam diskusi panjang mengenai seni. Jika kami tidak membahas lukisan, kami mungkin hanya melihat lukisan ini sekilas saja, tanpa melakukan interpretasi apapun. Tapi gambar-gambar orang dibelakang perempuan membuat kami bertanya-tanya apakah maksud gambar orang itu adalah orang-orang yang tidak peduli dengan perempuan tua yang memanggul jamu - hanya melihatnya saja, atau gambar orang itu adalah hasil bayangan si perempuan tua yang membuatnya hidup seperti ini?

Rudi

Kami terjebak dalam seni hingga kami menyimpulkan bahwa seni adalah pengalaman subjektif manusia. Ini bukan kata para ahli, bukan kata media, bukan kata mode, bukan kata agama, tetapi seni tetaplah pengalaman utuh yang dirasakan manusia itu sendiri. Seni, yang beragam, jadi hilang maknanya. Theo bilang ia percaya pada naturalitas, seperti manusia dilahirkan dengan sidik jari yang berbeda, manusia memiliki area tertentu dalam dirinya yang membuat bergairah, excited, dan jadi bersemangat. Bukan hanya lukisan, patung, atau gambar tetapi hal-hal kecil yang membuat manusia merasa tergerak, itulah seni manusia hidup.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah ya ampun...ada lukisan nyokap gue!

*emang lukisan2 nyokap itu selalu ada wajah2 berkeliaran di luar lukisan. hihihi*

Anonim mengatakan...

eh, boleh minta foto yg ada lukisannya kan? buat diposting di blog

*thx*

Nia Janiar mengatakan...

Bolehh.. :)