Selasa, 20 Januari 2009

Menonton The Bubble

Setelah beberapa kali sengaja tidak hadir di sore hari Sabtu, akhirnya keinginan itu tumbuh lagi setelah Andika menginformasikan bahwa agenda minggu ini adalah menonton film. Asyiiiik …! Ada dua pendatang baru di pertemuan writers' circle kali ini, Patrice dan Meita selain para pendatang lama saya, Andika, Nia, Uli, juga Faisal.

Film yang dipilih oleh Andika adalah The Bubble yang berlatar peperangan antara Israel dan Palestina. Film yang pas dengan momentum saat ini. Meski The Bubble hanya menggunakan setting perang tadi sebagai background, namun esensinya lebih kepada kisah cinta baik yang terjadi antara lawan jenis kelamin maupun sesama jenis kelamin.

The Bubble on the wall

Scene awal bercerita tentang pemeriksaan warga Palestina yang melintasi wilayah perang oleh tentara Israel. Di saat pengecekan, ada seorang wanita hamil yang ketubannya pecah di tengah kerumunan orang. Noam (Ohad Knoller), pemuda Israel yang bertugas sebagai medik, segera membantu wanita Palestina itu melahirkan dan menginstruksikan tentara lain untuk memanggil ambulance. Walaupun demikian, akhirnya si wanita hanya bisa meraung sedih sembari menahan kesakitan karena nyawa bayinya sudah tak bisa lagi diselamatkan. Kerumunan orang Palestina pun ribut menuduh Noam sebagai pembunuh bayi itu, sampai tentara lain menembakkan peluru peringatan, dan suasana seketika hening. Ashraf (Yousef 'Joe' Sweid), seorang pemuda Palestina yang juga ada di tengah kerumunan, lantas bersimpati kepada Noam.

Setelah masa wajib militer Noam selesai, ia dan Ashraf kembali bertemu di Tel Aviv, di apartemen yang ditempatinya bersama Lulu, gadis Israel yang cantik dan Yali, seorang laki-laki yang juga homoseksual juga. Noam dan Ashraf lantas jatuh cinta. Untuk sesaat mereka menikmati hubungan cinta dengan latar suasana Tel Aviv yang hip dan kosmopolitan, namun keadaan tidak pernah terlalu aman bagi Ashraf yang tinggal dan bekerja secara ilegal di Tel Aviv. Ia pun pergi ke Nablus. Dengan samaran sebagai reporter berita dari Perancis, Noam dan lulu lantas menyusul Ashraf. Di Nablus, argumen memanas antara Noam dan Ashraf, tetapi akhirnya mereka berciuman. Ketika Jihad, calon kakak ipar Ashraf yang merupakan anggota militan Hamas, melihat ciuman itu, dia mengancam akan memberi tahu keluarga besar Ashraf soal homoseksualitasnya jika ia menolak menikah dengan saudara perempuan Jihad. Ashraf lantas 'came out' kepada kakak perempuannya setelah resmi menikah dengan Jihad. Ia ikut bersedih saat sang kakak menangis karena kejujurannya akan hubungan sesama jenis itu. Sinopsis harus dihentikan di sini, karena sepertinya saya sudah memberikan cukup banyak spoiler.

Duduk di dalam kegelapan

Menurut Patrice, beberapa adegan bercinta antar sepasang perempuan dan laki-laki sebagaimana antara laki-laki dengan laki-laki terlihat tidak indah. Pada awal film, Andika memang sudah mengingatkan bahwa film ini mengandung banyak konten seksual yang cukup grafis. Patrice berpendapat, bahwa film ini begitu vulgar dan hedonis sehingga tidak sesuai dengan norma-norma Budaya Timur. Dia pun tak mendapatkan soul dari film ini, dan menginginkan agar adegan-adegan grafik tersebut diganti dengan dengan adegan simbolis.

Berbeda dengan Patrice, Nia mengemukakan bahwa ia mendapatkan soul antara dua orang yang sedang jatuh cinta terlepas apakah mereka sesama atau berlawanan jenis. Kemudian dia juga menyatakan keinginannya untuk memiliki soundtrack film ini. Keinginan ini diamini oleh Andika yang juga sangat menyukai lagu-lagu dari film The Bubble.

Meita, gadis berkerudung yang sedang menyusun skripsi ini mengaku kaget, tanpa memberikan penjelasan apapun mengapa film ini begitu mengagetkan.

Uli yang datang di tengah-tengah film berpendapat bahwa motif Ashraf menjadi pembom bunuh diri masih kurang kuat. Ia lalu menyatakan kagum dan heran dengan ide rave party for peace yang diadakan anak-anak muda Israel dan tentang gaun pengantin putih kakak Ashraf yang sempat-sempatnya dipersiapkan meskipun Palestina ada di dalam keadaan perang. Ma,im Uli menyesalkan sikap sang suami yang saat istrinya mati tertembak tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kesedihan atau kekecewaan.

Faisal, yang datang bersama Uli atas ajakan saya, ikut memberikan pendapatnya. Jadi ia merasa bahwa focus of interest dari The Bubble ini tidak jelas. Apakah tentang perang Israel versus Palestina atau tentang kehidupan gay?

Andika tidak terlalu mempermasalahkan keseluruhan film The Bubble ini. Menurutnya adegan seksual antara kedua laki-laki ini tidak terlalu vulgar. Memang adegan tersebut memperlihatkan pantat dan punggung yang berkeringat, tetapi bukankah dua laki-laki tersebut kelihatan bahagia? Lagipula adegan ini diiringi lagu Song to the Siren-nya Tim Buckley. "Kurang elegan gimana?" begitu kira-kira pendapat Andika. "Lagipula pada akhirnya kita semua juga akan melakukan hubungan seksual," lanjutnya.

"Tapi kan hubungannya antara laki-laki dan perempuan," sahut Patrice.

"Emm, sebetulnya ...," gumam Andika. Ia lantas mengatakan para pelaku bom-bunuh-diri di Israel biasanya adalah gay-gay Palestina yang merasa frustrasi dengan tekanan masyarakat arab yang homophobic. Patrice lantas menanggapi dengan berkata, "Ah, orang pembom bunuh diri di Bali juga punya istri."

"Tapi banyak laki-laki yang menikah, akhirnya malah ketahuan kalau dia homoseksual," komentar Nia.

Lalu saya yang sedang memperbanyak menonton film berpendapat bahwa adegan ‘itu’ kurang nyaman saja. Karena saya merasa normal jadi kurang suka dengan adegan antar laki-laki itu. Namun pada prinsipnya, saya menilai film ini hanya ingin bercerita tentang kehidupan lain diluar konteks peperangan meski masih dalam kawasan yang sama. Bahwa ada hal lain yang dirasakan orang-orang selain membunuh dan terbunuh. Tentang hubungan kakak adik, antar teman juga pasangan.

Sebenarnya Eytan Fox, sutradara film ini semula menamakan The Bubble sebagai Romeo and Julio karena kesamaan jalan cerita dengan Romeo and Juliet. Namun, judul tersebut kemudian diganti karena terdengar seperti film porno. The Bubble sendiri merupakan sebutan bagi kehidupan kaum muda di Tel Aviv yang begitu kosmopolitan, tetapi di sisi lain mereka seperti ada dalam sebuah gelembung yang terpisah dari keadaan di luar, di mana Israel berperang dengan Palestina.

Ina Khuzaimah

Ina berpose di depan Seni Rupa ITB

7 komentar:

Nia Janiar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Nia Janiar mengatakan...

Gue hapus comment-nya. Setelah dibaca, kayak orang kena nervous breakdown.

Andika mengatakan...

Patrice, I love you!

Nia Janiar mengatakan...

:))

LIAR!

Neni mengatakan...

ngomongin apaan sih?

Anonim mengatakan...

Klo tau jurnalnya jadi berubah gini mending lu aja yg bikin ya dik!hehehehehe

Eh namanya Patricia gw kmrn di kasih kartu nama, Dika gmn siy??

_ina_

Andika mengatakan...

@Neni: Ah mau tau aja.

@Ina: Iya. Lagian elu salah menceritakan plot filmnya. Jadi deh gua tulis ulang.