Kamis, 29 Januari 2009

'Aku' dan 'Dia' Dalam Tulisan

Sabtu, 13.34

Siang ini saya sedang merencanakan sesuatu untuk menghabiskan Sabtu sore nanti. Ah! Kenapa tidak datang saja ke pertemuan Writers' Circle Reading Lights saja, pikir saya. Selama ini baru saya hadiri dua kali? Saya pun bertekad untuk datang ke sana. Tapi heemmm... malas juga sebenarnya kalau tak ada teman yang belum saya kenal betul.

Maka saya cari nama Ina di dalam inbox telepon selular. Setelah ketemu, saya tekan tombol bergambar telepon berwarna hijau. Tak berapa lama...
"Halo," sapa suara di seberang sana.
"Na! Nanti dateng ga ke Reading Lights?" semburku langsung tanpa basa-basi. Basa-basi tampak terlalu basi buat kami.
"Iya. Nanti BANYAK yang dateng kok," jawabnya.
"Sip. Sampe ketemu jam 4 yaaa!!" kataku langsung menyelesaikan pembicaraan kami. Saya sedang malas berlama-lama menelepon.
"Oke," balasnya.

Ina

Sabtu, 16.45

Saat saya tiba di lantai dua di bagian belakang Reading Lights, sudah ada beberapa orang yang duduk manis menanti kedatangan teman-teman yang lain. Saya kira saya sudah sangat telat, tapi ternyata acara belum dimulai. Sangat berbeda dengan apa yang Ina bilang di telepon, yang datang sore itu tidaklah sebanyak yang saya pikirkan. Hanya tiga orang, Uli, Ina, dan Andika, ditambah saya jadi berempat. Tapi kedatangan saya yang terlambat ternyata mendapat sambutan hangat. "Tuuhhkaaannn!!! Apa gue bilang!! Perasaan gue mengatakan pasti akan ada orang yang datang lagi deh!!" seru Uli yang dengan mata berbinar.

Sesaat setelah saya mengambil posisi duduk di sebelah Uli, acara dimulai dengan Andika yang membacakan karyanya, sebuah ulasan dari novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami. Ulasan tersebut dibawakannya dalam bentuk cerpen. Setelah Andika selesai membacakan tulisannya, kami membahasnya sedikit. Jujur, aku merasa tidak konsen saat pembahasan itu. Mataku selalu melihat ke arah pintu, berharap yang masuk selanjutnya adalah mas-mas yang membawa pesananku. Perutku terasa perih dan tanganku gemetaran karena belum diisi oleh makanan yang layak dari pagi (dalam hal ini sebagai orang Indonesia, makanan itu adalah nasi). Tak banyak yang kami bahas mengenai cerpen-ulasan Andika. Kebanyakan membahas mengenai gaya menulisnya dan bukan isi novel tersebut. Mungkin karena belum ada yang membaca novel itu selain Andika.

Tak lama kemudian, makanan dan minuman pesanan kami mulai berdatangan. Sedikit demi sedikit saya mulai merasa segar, seperti batere yang sudah di recharge.

"Kita mulai saja deh. Hari ini kita akan membahas mengenai sudut pandang," kata Andika, sang fasilitator, saat saya sedang sibuk mengunyah. Beberapa lembar kertas, yang saya yakini adalah pedoman yang sudah dipersiapkannya, sudah dipegangnya. Dia pun mulai menjelaskan tentang bahasan kami waktu itu, yaitu sudut pandang dalam sebuah gaya penulisan. Menyadari bahwa pembahasan ini akan sangat penting dan besar kemungkinan akan sedikit yang melekat di otak saya, saya keluarkan catatan kecil, souvenir dari pernikahan seorang teman tahun 2007 lalu.

Berdasarkan penjelasannya, sudut pandang dalam menulis bisa dibagi menjadi sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Yang itu saya sudah tau. Sudut pandang orang ketiga pun ada yang memandang dari jarak dekat dan dari jarak jauh. Nah yang ini saya baru tahu.

Memandang dari jarak dekat dilakukan dengan menonjolkan karakter-karakter dalam cerita. Penulis bertugas untuk membawa pembacanya mengenali dan mendalami karakter pilihan penulis, yang semua karakter yang diangkat pastilah memiliki peran penting. Apabila karakternya semakin sulit ditebak alias misterius, maka akan semakin menarik. Andika memberikan contoh untuk kasus ini yaitu film Wild Things yang diperankan oleh Kevin Bacon dan Neve Campbell. Ya memang. Jika melihat karakter-karakter dalam film itu, semuanya sangat kuat dan saling mengalahkan.

Sementara sudut pandang orang ketiga dari jauh bisa digunakan apabila banyak karakter yang ingin ditampilkan oleh penulis, sehingga semua karakternya di sejajarkan, baik karakter utama atau bukan. Di sini, semua tokoh punya porsi yang sama. Andika mengambil contoh Pride and Prejudice karya Jane Austen, sementara Uli memberi contoh miniseri Band of Brothers yang langsung di-iya-kan oleh Andika. Dalam kepala saya, saya memikirkan tentang film Little Women, tapi saya tidak mengatakan apa-apa.

Uli

Saatnya sesi latihan menulis. Kami diminta oleh Andika untuk menulis satu cerita yang sama, tetapi dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda, yang sebelumnya telah diberikan penjelasannya. Berarti kami harus membuat tiga cerita sangat pendek yang harus diselesaikan masing-masing dalam waktu 5 menit saja. Tema tulisan yang diberikan relatif mudah, yaitu 'apa yang kami lakukan sesaat setelah bangun tidur tadi pagi'. Masih belum terbiasa bagi saya untuk menulis dalam waktu singkat, yang artinya tanpa terlalu banyak berpikir, just write it down! Hasilnya, alah bisa karena biasa!!

Kami berempat memiliki cerita yang berbeda tentunya. Ina bercerita tentang kejadian di kosannya dimana dia tak berkerudung dan tiba-tiba ada laki-laki yang memasuki kosannya. Uli menggambarkan tentang keadaannya sesaat setelah bangun tidur dimana dia mencoba mengingat apa yang dia lakukan sebelum tidur. Andika menuliskan bagaimana dia terbangun karena alarmnya. Sementara saya berkisah mengenai hal yang paling saya ingat saat terbangun pagi itu, yaitu memberi makan kura-kura peliharaan saya yang sudah seminggu bahkan tidak pernah saya tengok.

Di tengah-tengah sesi latihan menulis, hujan turun dengan deras, menghasilkan suara berisik yang menusuk-nusuk. Karena terlalu berisik, maka kami pindah ke ruangan yang sepi di lantai atas itu (ruangan apa itu saya tak tahu namanya). Di sana kami melanjutkan proses belajar kami dengan jauh lebih tenang.

Setahap-demi setahap kami memperluas sudut pandang dalam menulis cerita yang itu-itu juga. Dari situ saya sudah mulai bisa mendapati perbedaan rasa jika menulis dengan sudut pandang tertentu. Saat saya menempatkan diri sebagai orang pertama, rasanya seperti menulis diary saja. Saya tak bisa terlalu menjelajahi keadaan sekitar karena pastinya fokusnya pada perasaan dan pikiran 'saya' sebagai tokoh utama. Bisa dikatakan kekurangan dari penggunaan sudut pandang orang pertama adalah penulis tidak bisa menggambarkan kejadian lain di tempat yang tak terjamah oleh tokoh utama. Dari awal hingga akhir, cerita terjalin hanya dari pengamatan sang tokoh utama saja sebagai pengantar cerita. Pada gaya penulisan dengan sudut pandang orang pertama, semuanya bersifat subjektif.

Sedangkan saat saya berperan sebagai orang ketiga dalam tulisan saya, saya menempatkan diri sebagai orang lain dari luar lingkaran cerita sehingga bisa melihat dari berbagai sisi. Detil-detil yang berada di sekeliling tokoh utama yang tidak terperhatikan olehnya pun bisa lebih digali lagi sehingga bisa memperkaya cerita. Sayapun lebih bisa bermain-main dengan karakter lain dan bahkan bisa menyejajarkan posisi mereka dengan sang karakter utama.

Kesimpulannya, untuk menentukan akan menggunakan sudut pandang apa dalam tulisan kita, terlebih dulu kenalilah dengan baik karakter sang tokoh utama. Kalau tokoh utama tak terlalu menarik (atau bahkan biasa sama sekali), penggunaan sudut pandang orang pertama akan kurang bijaksana (Andika mengambil Twilight sebagai contoh gagal dan Middlesex sebagai contoh berhasil dalam penggunaan sudut pandang orang pertama sebagai gaya menulis). Sebaliknya, jika penulis memiliki banyak karakter untuk ditampilkan, akan efektif jika menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Pertemuan yang menyenangkan. Saking menyenangkannya hujan tampaknya sengaja mengguyur habis-habisan sehingga menjebak saya untuk tetap eksis di sana hingga tempat itu tutup.

Maknyes 'Tia'

Tia, lebih akrab disapa Maknyes adalah seorang mahasiswi ITB yang juga bekerja sebagai penyiar Sky FM, selain juga aktif di rumah produksi 9 Matahari. Sejenak, kehadirannya mungkin menimbulkan perasaan sebal. Apalagi ia selalu menambahkan kata 'bo' setiap kali mengakhiri sebuah pernyataan. Menurut model senior Ratih Sanggarwati, 'bo' itu kependekan 'cabo' yang artinya wanita tuna susila. Hal tersebut ditebus dengan kejujuran Maknyes dan keceriaannya yang khas penyiar radio pagi. Sehingga kehadirannya di the circle akan selalu dinantikan. HIDUP MAKNYES!

Andika dan Maknyes

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Bo ... gw sudah menunggu bagian dmn lu 'memaksa' si krebi menyatakan kemanisan sang majikan a.k.a lu sendiri :D

Ah ... knp gak upload tulisannya nyes?!

_ina_

maknyes oke!!! mengatakan...

hehehehe... gw bingung bagaimana memasukkannya. lagipula udah kepanjangan juga :D

Nia Janiar mengatakan...

Dik, jangan lupa di posting kalau kita akan streaming online (halah) di radio untuk promosi nulis skenario dan ada di UNPAR yak.

blueismycolour mengatakan...

uik...uik...
sepertinya banyak kegiatan seruuu...
bole ikutan nimbrung ga?
hahaha...
tp msh newbie soal menulis maupun blog.
salam kenal semua... ^^