Minggu, 04 Januari 2009

Membicarakan Makanan di Sore yang Panas

Sore ini sangat panas sekali. Bagi saya tidak mengapa karena saya lebih suka panas ketimbang mendung karena panas tidak membuat malas berpergian. Singkatnya, panas menghantarkan saya ke RL.

Sudah terlihat kehadiran Fadil dan Aji yang sedang mengobrol dari jendela kaca RL. Saya masuk dan duduk diantara mereka sampai datanglah Andika yang hari itu tidak membawa motor, Dea dengan celana Kermit, Mbak Niken, dan Mbak Mirna.

Niken, Fadil, dan David Sedaris

Kami duduk di ruang atas sembari mengeluh betapa panasnya cuaca hari ini. Kami semua aneh karena di hari yang panas, Fadil malah memakai jaket jeans. Memang itu urusan Fadil, tapi saya jadi sadar kalau sekarang masalah cuaca dan suhu menjadi subjektif.

Setelah Andika dan Mbak Mirna membacakan karya, Mbak Mirna memutuskan tema menulis yang tidak dipersiapkan. Tema menulis kali ini adalah mengenai rasa pada makanan. Penggambaran rasa bisa dilakukan dengan analogi. Dengan instruksi singkat dan dadakan, maka jadilah karya-karya dibawah ini:

-Aji

Aji bercerita mengenai cokelat brownies yang hancur di mulut. Tokoh dalam cerita Aji yang suka makan brownies ini pun memiliki seekor kelinci bernama Brownies karena warna bulunya yang cokelat. Bedanya manusia dengan si kelinci yang bernama Brownies adalah manusia bisa menikmati makanan seenak brownies sementara kelinci yang bernama Brownies tidak bisa makan brownies.

Niken, Fadil, Aji, dan David Sedaris

-Fadil

Fadil bercerita tentang bebek goreng. Ia mendeskripsikan gurihnya mentega, bawang, sobekan daging yang liat, yang ia makan ketika pembagian rapot di usia SD. Ia menganalogikan enaknya bebek goreng dengan indahnya gerimis. Kemudian ketika si tokoh duduk di bangku SMA dan pergi makan bebek di tempat yang sama, yang ada hanyalah bebek yang hambar dan tidak enak. Ketidakenakannya ini dianalogikan dengan genangan air yang meciprat karena dilindas ban mobil.

-Mbak Niken

Mbak Niken bercerita tentang tokoh yang lambat makan akibat rahang kecil, capek mengunyah, dan atau keturunan. Ketika si tokoh makan bubur pun, ia masih harus melalui keterlambatan dalam mengunyah makanan. Ia menceritakan bahwa tokoh tidak suka dengan bubur yang teraduk-aduk karena terlihat seperti muntah dengan cairan di sampingnya. Dalam makan bubur, ia memakai teknik sendiri dan begitu sistematis. "Tolong jangan dikaitkan dari cara makan dengan kepribadian," ujarnya.

Masih Niken, Fadil, Aji, dan David Sedaris

-Mbak Mirna

Mbak Mirna bercerita tentang dua orang yang menyukai mi instan. Orang pertama menyukai mi dengan benar-benar adiksi layaknya narkoba, sementara yang kedua menyukai mi instan akibat kondisi keuangan. Adonan yang mengembang, bumbu-bumbu, dan beragam aksesoris tetapi saja tidak mengubah sejatinya mi instan.

Mirna: "Are you a retard?"

-Andika

Andika bercerita tentang lontong kari yang warnanya mencolok tapi rasanya hambar. Tokoh ceritanya lalu sakit perut sehingga harus buang air di tengah-tengah prosesi makanan. Hasil sekresi digambarkan sangat mirip dengan lotong kari yang baru saja dimakan. Intinya, cerita ini tidak usah dibayangkan, bahkan dibahas lebih lanjut. Hehe.

-Dea

Dea bercerita tentang air putih di rumah opung-nya memiliki rasa berbeda dari air putih yang biasanya, yaitu memiliki rasa bau lemari dan kain ulos. Dea menggambarkan bahwa air putih tidak selalu bening dan bebas interpretasi.

-Nia

Saya tulis kesuluruhan cerita saya saja ya:

Sore ini, saya pergi ke Circle K di daerah Jalan Riau. Pada saat itu cuaca sedang panas-panasnya sehingga membuat saya kehausan. Ketika saya masuk, pegawai Circle K memberi salam 'selamat sore' dan saya balas dengan senyuman. Saya bergegas menuju tempat minuman dingin dan mengambil Ovaltine.

Dinginnya minuman Rp.3500,- itu menyegarkan tenggorokan saya. Walaupun tidak semurni susu sapi di Lembang, rasanya nikmat sekali. Apalagi jika ditambah kentang goreng atau ketan bakar. Susu sapi mengingatkan liburan saya dengan keluarga di salah satu restoran di daerah dingin itu. Terkadang - jika sudah selesai makan - kami jalan-jalan melihat kuda dan sapi di halaman belakang. Rasanya aneh melihat binatang yang baru kami minum susunya itu berkeliaran.

Di Reading Lights, saya bertemu dengan teman saya. Ia melihat kotak Ovaltine kemudian berkata, "Tahu enggak kalau susu itu cocoknya sampai umur 10 tahun. Kalau mau sehat, minum susu kedelai."

Ketika ia mengucapkan 'susu kedelai', seluruh organ pencernaan saya menolak akibat ingatan rasa susu kedelai yang tidak enak. Mau dalam kondisi dingin, panas, memiliki rasa cokelat atau stroberi, saya tetap tidak suka dengan susu kedelai. Rasa susu kedelai yang saya beli di supermarket mengingatkan perjalanan saya ke Jakarta ketika tol Cipularang belum ada sehingga kami harus melewati puncak. Waktu itu saya sedang sakit namun saya dipaksa ikut ke Jakarta. Puncak yang saat itu macet, panas, berkelok, membuat saya yang duduk di belakang bersama barang-barang tidak kuasa menahan muntah. Bukan muntah besar yang mengeluarkan isi perut, tetapi muntah kecil yang tertahan di mulut keudian masuk lagi ke kerongkongan akibat reaksi refleks. Mual menjadi dua kali lipat dan kerongkongan terasa panas akibat tekstur kasar si muntahan. Itulah sensasi yang saya rasakan jika minum susu kedelai.

Saya jadi tidak peduli dengan batasan umur terbaik untuk meminum susu, saya tetap memilih susu sapi.

Intinya dari tema kali ini adalah rasa yang dideskripsikan penulis harus menggunggah selera si pendengar. Jadi bisa dipraktekan ketika kita makan, kita bisa menulis rasanya.

Pertemuan pun ditutup ... dengan masih membicarakan makanan tentunya. Seperti biasa, kami main scrabble sambil menunggu malam. Namun sayang saya harus menolak ajakan main scrabble karena saya lagi ingin pulang sore. Mungkin mereka sudah tidak membicarakan mengenai makanan.

Niaw Miaw

Nia dengan rambut barunya

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masalah cuaca dan suhu menjadi subjektif??? :))

Andika