Senin, 24 November 2008

Menulis Berdasarkan Kutipan


Suasana pertemuan the circle pada hari yang lain

Di Reading Lights waktu sudah menunjukkan sekitar jam 15.30 ketika saya datang. Cuaca sore itu asyik nggak ujan sama sekali. Belum tampak tanda-tanda kehidupan dari anak-anak writers’ circle. Wah sepi, naga-naganya bakalan nggak ada nih the circle, pikir saya. Saya coba lihat ke atas, eh nggak ada juga. Padahal, jika belum mulai biasanya sudah ada yang nongkrong-nongkrong di bawah sambil ngobrol, makan, minum, baca, atau main scrabble.


Selidik punya selidik, ternyata Sang Moderator Mas Erick Skinhead dari Swedia berhalangan hadir. Meskipun begitu sudah ada cadangannya, yup you’re goddamn right, Bung Andika Bu Diman (Pak Dimannya mana?). Rupanya dia nongkrong di bawah tangga sambil baca buku soal perempuan Ukraina yang bermigrasi ke Inggris. Saya langsung tanya, “Kok, belum pada dateng, ya? Minggu lalu padahal banyak banget yang dateng.”


“Nggak tau. Minggu ini berlawanan dengan minggu lalu,” jawab Andika. Ia pun memutuskan jika sampai jam 16.30 belum ada lagi yang datang, maka kita pulang saja ke rumah masing-masing atau ngapain kek gitu. Abort the mission-lah pokoknya mah. Wah, kebeneran nih, pikir saya bisa sekalian ngetes kebenaran dari istilah penundaan bukanlah pembatalan.


Tidak lama kemudian, Rukmini pun tiba. Bener juga nih berarti bahwa sesuatu yang tertunda itu bukanlah sesuatu yang dibatalkan. Rukmini juga bilang kalau ada pameran ilustrasi cerpen Kompas di FSRD-ITB. Andika berkomentar setelah pertemuan the circle, kita ke sana saja bertiga.


Pertemuan pun dimulai. Sore itu, Andika membahas tentang menulis berdasarkan sebuah kutipan. Kutipan ini bisa berasal dari manapun entah cerpen, novel, film, dsb. Seperti acara arisan kita pun dipersilakan mengambil gulungan kertas berisi kutipan yang telah disiapkan, yang kata Andika berasal dari buku, cerpen, dan juga film.


Setelah mengambil kutipan, masing-masing diberi waktu untuk membaca, merenungkan dan langsung menuliskan apa yang terbersit di pikiran setelah membaca kutipan tersebut. Lalu, ketika sedang mikir mau nulis apaan, tibalah kawan-kawan kami secara berturur-turut Ina, Uli, dan Wahyu. Jadi, total ada enam orang yang hadir termasuk Bung Moderator.


Menurut ‘Pakar Linguistik dan Bahasa’, Andika, membaca kutipan dapat dijadikan semacam awalan yang mengajak kita untuk lebih banyak membaca. Kegiatan membaca di sini adalah membaca dalam arti luas. Tidak hanya membaca buku, majalah, surat kabar, atau internet, tetapi juga ‘membaca’ peristiwa dan kejadian sehari-hari di sekeliling kita. Singkatnya mah, membaca kehidupan. Dengan begitu membaca bisa jadi sumber inspirasi untuk kita menulis apapun dengan segala bentuknya. Termasuk juga meureun menyadap curhat teman untuk dijadikan cerpen, menguping pembicaraan orang di angkot, warteg, pasar, dsb.


There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears.” Dari kutipan itu Andika membuat sebuah cerita tentang perempuan bernama Andini yang akhirnya menikah dengan seorang pria Arab dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Setelah menikah, lambat-laun Andini sadar bahwa ternyata pria yang dinikahinya kini tak sebaik dibandingkan ketika masa berpacaran dulu. Seiring dengan suksesnya karir Andini, ia pun makin tak mencintai suaminya. Di sisi lain, ia akhirnya menjadi tidak lebih baik dari suaminya tersebut.


Dari tema-tema cerita yang pernah saya dengar dari Bung Andika, kelihatan sekali kalau ia sangat terobsesi dengan kredo Girl Rules, Boy Drools. Orang ini betul-betul terobsesi dengan supremasi perempuan, kesetaraan gender, feminisme, dan yang sejenisnya. This guy seems to be a young, restless, radical, rebellion feminist or something like that. Suatu saat mungkin ada orang yang bersungut-sungut setelah membaca karyanya sambil bersumpah serapah,”Feminist!”


Young, restless, radical, rebellion feminist, chubby, fat, and chunky?


Wahyu kebetulan mendapat kutipan yang sama dengan Andika. Saya kurang bisa menangkap maksudnya karena tulisannya terlalu singkat. Wahyu bilang kalau ia sedang belajar untuk menulis lebih singkat, lebih padat, supaya tidak ngalor-ngidul. Sebuah pembenaran karena terlambat datang ya? He he he.


Rukmini membuat cerita lucu tentang bagaimana bertoleransi dan menghargai perbedaan. Sementara Ina, menulis esei tentang menghargai perbedaan menyatukan potensi demi kemajuan bangsa. Wuih, berat, man!


Uli kebagian kutipan dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” Kurang lebih tulisan Uli bercerita tentang veteran perang berjasa buat bangsa dan negara, tetapi jasa-jasanya itu tidak pernah dihargai.


Terbontot, maksudnya terakhir adalah tulisan saya. Saya mendapat kutipan dari filmnya Jim Carrey yang saya lupa judulnya. “You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.” Saya nggak terlalu yakin apakah cerita yang saya buat nyambung apa nggak ama kutipan itu. Tapi, yang pasti, itulah yang terbersit pertama kali di pikiran saya setelah membaca kutipan tersebut.


Saya juga akhirnya bisa keluar dari ‘sangkar’ saya selama ini yaitu politik dan sepakbola. Saya menulis cerita soal cinta. Nggak ada alasan khusus sih, cuma lagi pengen aja. Keseringan dengerin lagu cinta kali, jadi melankolis deh. Mudah-mudahan sih, nggak ada yang tersinggung. Soalnya, orang yang duduk tepat di sebelah saya sedang putus cinta. “Oh, love can mend your life but, love can break your heart”. Tuh, kutipan lagi ‘kan? Wong judulnya menulis dari kutipan, kok.


OK. That’s all folks. Class is dismissed. Everybody’s out, out, out from here! Kita semua mau nonton pameran ilustrasi Cerpen Kompas. Sampe ketemu minggu depan.


Satyo Aji Karyadi


Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak the circle dan malaikat yang juga tahu.


Aji mencuri-curi lihat apa yang dibaca Farida

____

Keterangan:


1. "There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears." Kutipan ini diambil dari buku harian Sylvia Plath pada usia awal 20-an, sebelum ia mendapat internship di majalah fashion dan menderita depresi. Jauh sebelum ia bunuh diri dengan kompor gas.


2. Kutipan Ina dan Mini adalah: "Jaman SD dulu, teman sekelas Cina semua. Waktu mereka tanya, orang apa. Saya jawab, Cina juga. Mereka tidak percaya. Cina kok hitam. Waktu lihat kalian berdua datang ke sekolah, mereka bilang aku pribumi. Sejak itu, mereka berhenti mengajak bermain. Di SMP, yang nyaris tidak ada murid Cina-nya, bertanya, orang apa? Saya bilang orang Ambon. Mereka juga tidak percaya. Ambon kok sipit. Waktu mereka lihat kalian, saya dipanggil Cina. Dan disingkirkan." Diambil dari buku kumpulan cerpen, Bisik-Bisik, karya Reda Gaudiamo.


3. "You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story." adalah tagline film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, yang skenarionya ditulis Charlie Kaufman.


4. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” bukan diambil dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. Aji cuma bercanda. Kutipan ini diambil dari prosa Surat yang Tidak Pernah Sampai dalam buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.


5. Sebetulnya masih ada sebuah kutipan lagi yang disiapkan. Bunyinya begini, "Yeah. I just don’t know what I’m supposed to be. You know? I tried being a writer, but I hate what I write. And I tried taking pictures. but they’re so mediocre, you know. Every girl goes through photography phase. You know, like horses? You know? Take, uh, dumb pictures of your feet." Tidak ada peserta yang cukup beruntung mendapatkan kutipan dari film Lost in Translation ini.

Senin, 17 November 2008

Euforia! Ha … ha … ha!

Ada beberapa hal penting dalam pertemuan writers’ circle kali ini. Ketika kami baru duduk bersila, Erick memberikan pengumuman bahwa dikarenakan kesibukan, ia bakal jarang datang ke Reading Lights. Sang fasilitator ini mengharapkan ada orang yang menggantikannya.


Buat saya, ini cukup mengecewakan. Erick sudah lama menjadi pembimbing. Selain itu, ia juga suka memamerkan komik-komiknya atau menceritakan perkembangan dunia perkomikan yang memperkaya wawasan. Tapi, ya sudahlah… Semoga saja ia masih bisa menyisihkan waktu untuk bertemu dengan teman-teman doyan nulisnya di Reading Lights.


Erick memeragakan sendiri kaus kreasinya


Pertemuan kali ini cukup seimbang. Ada yang mau pergi dan ada yang baru bergabung. Namanya, Rukmini. Ia bisa dipanggil Mini atau Yuki. Mini adalah mahasiswa UPI jurusan Pendidikan Sekolah Dasar. Perempuan berjilbab ini sebenarnya telah lama menaruh minat pada latihan menulis di RL, tapi baru sempat hadir sekarang. Sama dengan Erick, kebetulan ia suka membaca dan menggambar komik.


Apabila dua minggu kemarin, Erick menyuguhkan tema penulisan rasa sakit dan rasa takut. Untuk kesempatan kali ini, kami mencari perasaan lain untuk ditulis. Perasaan-perasaan kelam menjadi usulan Erick. Mungkin, perasaan komikus ini lagi sendu ya …. Karena ingin mencari sesuatu yang baru, masing-masing peserta menerawang untuk mendapatkan perasaan yang lebih segar.


Usulan dan diskusi ini memakan waktu cukup lama, hingga akhirnya diputuskan euforia jadi tema tulisan kami kali ini. Mengapa euforia? Saya lupa siapa yang mengusulkannya. Yang jelas, euforia mengundang perdebatan yang lebih panjang lagi. Apa arti euforia?


Saya percaya euforia adalah versi lebay/berlebihan dari senang. Sebagian besar peserta setuju dengan definisi ini. Maka, kami pun mulai menulis. Lima belas menit ditambah lima menit, akhirnya kami selesai dengan coret-coretan di kertas.


Erick menjadi pertama yang membacakan karyanya. Kisahnya terinspirasi oleh temannya yang tergila-gila dengan permainan Diner Dash. Bagi yang belum tahu, dalam game ini pemain berperan sebagai Flo, yang bertugas sebagai pelayan di restoran. Permainannya cukup sederhana, yakni mengambil order pelanggan, menghidangkan makanan dan memberi tagihan. Namun, pada kenyataannya Diner Dash cukup sulit untuk ditamatkan. Kalau penasaran, coba saja trial-nya di Yahoo! Game.


Kembali ke kisah Erick. Kali ini ia bercerita tentang seorang yang merasa sangat bahagia dengan apa yang telah ia selesaikan di komputer. Euforia itu ditunjukkan dengan berteriak dan memeluk temannya.


Mungkin karena terinspirasi oleh kisah nyata, cerita Erick benar-benar terasa hidup. Sebagai tambahan info, saat teman Erick tamat Diner Dash itu, ia betul-betul meng-SMS seluruh sahabatnya untuk mengumumkan keberhasilannya.


Mini membacakan cerita yang benar-benar pendek namun manis. Bentuk tulisannya mungkin lebih cocok disebut sajak. Kata-kata yang terkandung cukup manis dan puitis, mengisahkan tentang kebahagiaan seseorang terhadap mentari. Menurut Erick, cerpen milik Mini jujur. Tanpa diduga, Erick kemudian memperlihatkan sketsa Minnie Mouse kepada forum. “Tadi saya gambar kamu,” ucap Erick pada Mini. Wah…wah… ada apa ini?!


Nia, sang lulusan psikologi UPI berkisah tentang euforia seorang anak remaja yang pergi ke Dugem alias Dunia Gemerlap. Dimulai dengan memakai tank top, dan berakhir pada ruang diskotik yang pengap oleh asap rokok.


Kali ini Andika tak seperti biasanya, ia menyajikan tulisan yang cukup pendek. Berkisah tentang perasaan paranoia yang menjelma jadi euforia. Selesai sharing mengenai karya Andika, Erick pamit pergi untuk urusan lain.


Wahyu juga mengikuti trend menulis singkat. Euforia seseorang yang tengah berkaca. Memandang bayangan pupil mata di cermin. Banyak detail bahasa tubuh yang dipakai Wahyu.


Gara-gara tulisan Wahyu, perdebatan mengenai makna Euforia diangkat kembali. Dan Wahyu memberikan definisi yang membuat orang seruangan tertawa terbahak-bahak. Saya tak akan membeberkannya terlalu banyak. Intinya, Wahyu menyebut-nyebut ‘hubungan intim’!


Satu teman lagi di kaus Wahyu


Anas menampilkan cerita yang khas, dengan kalimat-kalimat metaforanya. Pandangan seorang wanita terhadap pria yang akan meninggalkannya. Pria euforia itu bagaikan menara yang menjulang. Sementara, wanita memandang dirinya bagaikan bunga yang menunggu dihinggapi serangga.


Saya sendiri melanjutkan hobi saya untuk mengarang kisah nyeleneh. Jupri, seorang supir yang mendapatkan ‘durian runtuh’. Seorang pekerja seks komersil (PSK) bergaun putih ketat, hadiah dari majikannya. PSK itu digambarkan Jupri sebagai “Eva Arnas tanpa bulu ketiak”.


Ada yang tidak tahu Eva Arnas? Ia adalah artis seksi yang sempat main film bareng Warkop dan Barry Prima. Di zamannya, mencukur bulu ketiak belum menjadi trend.


Ari alias Omes, menyajikan euforia pria yang menyantap Indomie kuah setelah hujan-hujanan naik motor. Sementara Ina disebelahnya, berkisah mengenai kebahagiaan seorang remaja yang cerpennya dimuat. Banyak yang menyayangkan minimnya eksplorasi emosi pada tulisan Ina.


Fadil menceritakan momen, saat seorang pria menyatakan cinta kepada Monik lewat SMS. Kata Ina, perempuan bernama Monik memang kecengan Fadil. Kontan kami segera menggodanya. Saya sih cuma mau berpesan singkat. Kalau nembak, sebaiknya jangan pake sms. Banyak cewek yang menanggapinya dengan dingin.


Kisah cinta dilanjutkan dengan kisah penjudi bola yang menang taruhan. Kisah Aji ini mengingatkan saya pada film Gara-Gara Bola yang belum lama beredar di bioskop.


Selvi membacakan kisah euforia seorang perempuan yang mendapat beasiswa dengan suara yang lirih. Sangking lirihnya, suaranya tersamar oleh bunyi blender di dapur Reading Lights. Selvi juga mendapatkan kritikan tentang minimnya ekspresi.


Writers’ circle ditutup dengan kisah unik. Dea mengamati permukaan soda yang berloncat-loncat girang. Zzzp! Gelitik soda menghilang. Penggambaran Dea terhadap soda berkaitan dengan definisinya mengenai euforia. Awalnya, sangat ekpresif kemudian kembali tenang.


Sampai akhir pertemuan, saya belum mengenal baik mahluk bernama euforia itu. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English karangan AS Hornbry, Euphoria is state of well-being and pleasant exciment; elation. Di kamus Advanced English-Indonesian Dictionary karangan Drs. Peter Salim, M.A., euphoria berasal dari bahasa Yunani, yang artinya perasaan gembira dan bahagia.


Masing-masing kamus punya definisi sendiri mengenai Euforia. Namun, jangan sampai gaya penulisan terkekang karenanya. Dalam pertemuan ini kami (lebih tepatnya Andika) punya cara jitu untuk menuliskan perasaan. Gunakan majas metafora dan personifikasi sehingga emosi terasa nyata.


Selamat menulis (lagi)!


Yuliasri Perdani


Uli yang belum mau jadi kuli tinta

Foto Erick diambil dari blognya

Minggu, 02 November 2008

Sidang Para Hantu

Sabtu kemarin langit Bandung mendung berat. Gambaran duduk malas-malasan sambil baca buku dan menyesap minuman hangat jadi begitu menarik. Saya sampai di Reading Lights jam satu lewat sedikit, beberapa jam lebih cepat dari waktu dimulainya pertemuan mingguan writers’ circle. Hujan turun sangat deras ketika dengan pretensius saya mulai membaca biografi grup band Sonic Youth. Kurang lebih tiga jam selanjutnya pun dilalui dengan penuh rasa syukur: membaca, browsing isi toko, menemukan In the Company of Cheerful Ladies-nya Alexander McCall Smith(!), dan memecahkan rekor minesweeper Niken.

Kurang beberapa menit dari jam empat, saya dikejutkan dengan kedatangan pemuda kurus berkacamata yang mengenakan jas hujan metalik, David! Ini sudah lama sejak terakhir kali saya melihatnya. Rupanya sekarang David bekerja sebagai produser di radio swasta di Jalan Kacapiring. “Andika, makin gemuk saja,” komentarnya ketika melihat saya. “Mungkin jaketnya,” ujar saya beralasan. Namun David bersikukuh, “Nggak, kok. Pipinya makin lebar.” Saya berpura-pura mengabaikan pernyataan terakhir dan menunjukkan sosok Riswan kepada David. Sebentar kemudian, Dea, yang sudah lama absen dalam pertemuan writers' circle, muncul dan menceritakan kesibukan yang belakangan menghampiri setiap Sabtu sore. Gadis itu ternyata kangen kami. Nggak, deng. Dea hanya menyatakan kekangenannya dengan kegiatan writers’s circle secara umum. Kemudian Hawa tiba dengan dinaungi payung. Mahasiswi mikrobiologi itu pun menjadi peserta terakhir yang muncul pada sore hari kemarin.

David (dalam lingkaran putih)

Berhubung smoking area Reading Lights ditempati orang, kami beranjak ke lantai atas. Berhubung ruang menonton dipakai sholat, kami pindah ke ruang sebelahnya. Bantal duduk diambil dan disebarkan di sekeliling meja pendek. Saya lantas menyampaikan berita Erick briefing workshop cerita bergambar di CCF dan Nia wisuda di UPI. Yeah, right. Saya hanya mengatakan Erick berhalangan saja, kok.

Pertemuan dimulai dengan Hawa yang membacakan cerita menarik tentang kekhawatiran Amelia terhadap adiknya Sarah yang bakatnya berubah-ubah setiap jatuh di tempat yang berbeda. Dea suka idenya, David menikmati alur lancarnya, saya suka pilihan katanya. Hawa menceritakan kebingungannya tentang ke mana harus mengirim cerita yang cukup panjang ini, sepuluh halaman. Kami menyarankan untuk mengeditnya jadi lebih ringkas bila Hawa ngotot agar ceritanya bisa dimuat media massa. Namun, bila ia cukup puas dengan cerita yang selesai tidak diedit pun tidak apa-apa. Pada dasarnya ada perasaan senang abstrak yang hadir tiap kali sebuah karya sukses diselesaikan. Saya teringat pertanyaan Hawa sebelum membacakan cerpennya: “Judulnya ikut dibaca, nggak?”. Semua orang menghembuskan napas lega karena akhirnya cerpen gadis berjilbab itu terbukti jauh lebih penting ketimbang pertanyaannya.

Hawa (dalam lingkaran oranye)

Seperti usul Erick, latihan untuk minggu ini adalah menulis tentang rasa takut. Ketakutan bisa bersumber dari apa saja. Bisa karena peristiwa yang traumatis, sesuatu yang tak pernah dirasakan, sampai hal familiar yang diperbesar dengan skala gila-gilaan. Untuk yang terakhir, saya memberi contoh ratu monster tikus pada komik Bone yang cukup menjijikan. Saya membagi latihan ke dalam dua sesi. Pada sesi pertama, peserta diminta untuk mendeskripsikan apa sumber dari ketakutan tersebut. Selain deskripsi, kalau peserta merasa perlu, penjelasan mengapa hal itu bisa begitu menakutkan pun sebaiknya ditulis. Waktu yang diberikan kali ini hanya delapan menit. Sementara di sesi kedua tugas bagi masing-masing peserta berbeda, tergantung dari sumber ketakutan mereka. Apabila sumber ketakutan peserta lebih bersifat kebendaan, maka ia diharapkan menulis cerita tentang ketakutan itu dari sudut pandang orang ketiga. Namun kalau sumber ketakutan peserta adalah serangkaian peristiwa, maka ceritanya ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Waktu yang diberikan untuk sesi ini adalah lima belas menit. Dapat diduga, itu tak cukup dan saya memberi tambahan sepuluh menit sebetulnya, tetapi demi menambah ketegangan saya mengatakan, “Tambahan waktu cuma lima menit!”

Dea membuka sesi pembacaan karya dengan cerita heboh tentang kepalanya yang tiba-tiba meletup jadi empat kali lebih besar. Dalam tulisannya Dea mengisahkan bagaimana si otak kebingungan dengan sinyal-sinyal yang diberikan alat pengindera tubuh. Cerpen ini berakhir tragis ketika si kepala copot dari lehernya dan menggelinding begitu saja. Alhasil Dea menjadi manusia tanpa kepala, di dalam dunia fiksi tentu saja. Dea mengaku cukup lepas ketika menulis cerita ini, sebagaimana kami juga tertawa lepas mendengar ceritanya.

Dea (dalam lingkaran biru)

David, yang seingat saya suka menulis cerita lucu dan eksplosif, ternyata kali ini menulis dengan tema yang agak serius. Pemuda yang belakangan jarang menulis ini bercerita tentang tokoh aku yang takut meninggalkan Tuhannya. Maju-mundur keputusan meninggalkan Tuhan mewarnai alur tulisan David. Komentar Dea tema ketuhanannya tak perlu dipertanyakan lagi, keren. “Apalagi meninggalkan Tuhan,” tambah saya.

Hawa menulis tentang ketakutan tokohnya terhadap kegelapan. Dalam kegelapan apapun bisa tampak seperti sesuatu yang lain. Seperti karakter cerita Hawa, yang menganggap bahwa kain motif polkadot adalah hantu. Bisa jadi setiap orang pernah mengalami rasa takut yang sama pada kegelapan.

Kemudian saya membacakan tulisan tentang ketakutan terhadap gereja. Saya menyalahkan majalah islami berhaluan ultra kanan yang dulu sering dibaca, bercanda. Berlatar di taman balai kota Bandung, Huda takut kepada bangunan Gereja Bethel yang terkesan seram. Akhirnya ia harus menghadapi rasa takutnya ketika bola yang dimainkannya bersama teman-teman tersepak sampai halaman depan gereja itu. Bagaimana kelanjutannya? Mudah-mudahan saya bisa membacakannya pada minggu depan.

Andika (dalam lingkaran merah)

Pertemuan the circle kali ini pun ditutup. David bercerita tentang The Golden Compass-nya yang belum terbaca satu halaman pun. Lalu Hawa mengisahkan Coralyn-nya Neil Gaiman yang menjadi inspirasinya dalam menulis cerita tadi. Saya merasa lebih culun dari biasanya karena menjadi penikmat fiksi fantasi terakhir yang belum terjamah Gaiman. Kecuali paling film Stardust, yang kata penggemar bukunya kurang nendang, dan Princess Mononoke yang adaptasi skenario Bahasa Inggrisnya dilakukan Gaiman. Mendengar cerita Hawa, saya balas merekomendasikannya Pan’s Labyrinth. Dea menimpali dengan cerita bahwa usahanya menonton seluruh film itu selalu digagalkan oleh DVD yang putus di tengah-tengah. Saya langsung memperingatkan bahwa film itu bertabur kekerasan dan Dea membatalkan niat menontonnya itu. Berhubung sedang membahas cerita tentang anak-anak, saya menyebut buku The Boy in the Stripped Pyjamas.

David pamit cepat terkait perjalanan jauh yang masih harus ditempuh ke rumahnya di Cadas Pangeran. Para gadis pulangnya searah, tetapi ternyata Hawa sudah akan dijemput seseorang. Sementara saya menunjukkan Hawa Dunia Adin, buku karya Dea yang sudah diterbitkan, penulisnya mengungkapkan kemarahannya pada operasional penerbit Mizan. Menjelang penghujung tulisan ini, kita semua tentunya berharap masalah Dea versus Mizan akan bermuara pada win-win solution. Maaf atas blabbing-blabbing yang memenuhi sekujur tulisan ini. Salam!

Andika Budiman

Foto David diambil dari album foto Friendster