Di Reading Lights waktu sudah menunjukkan sekitar jam 15.30 ketika saya datang. Cuaca sore itu asyik nggak ujan sama sekali. Belum tampak tanda-tanda kehidupan dari anak-anak writers’ circle. Wah sepi, naga-naganya bakalan nggak ada nih the circle, pikir saya. Saya coba lihat ke atas, eh nggak ada juga. Padahal, jika belum mulai biasanya sudah ada yang nongkrong-nongkrong di bawah sambil ngobrol, makan, minum, baca, atau main scrabble.
Selidik punya selidik, ternyata Sang Moderator Mas Erick Skinhead dari Swedia berhalangan hadir. Meskipun begitu sudah ada cadangannya, yup you’re goddamn right, Bung Andika Bu Diman (Pak Dimannya mana?). Rupanya dia nongkrong di bawah tangga sambil baca buku soal perempuan Ukraina yang bermigrasi ke Inggris.
“Nggak tau. Minggu ini berlawanan dengan minggu lalu,” jawab Andika. Ia pun memutuskan jika sampai jam 16.30 belum ada lagi yang datang, maka kita pulang saja ke rumah masing-masing atau ngapain kek gitu. Abort the mission-lah pokoknya mah. Wah, kebeneran nih, pikir saya bisa sekalian ngetes kebenaran dari istilah penundaan bukanlah pembatalan.
Tidak lama kemudian, Rukmini pun tiba. Bener juga nih berarti bahwa sesuatu yang tertunda itu bukanlah sesuatu yang dibatalkan. Rukmini juga bilang kalau ada pameran ilustrasi cerpen Kompas di FSRD-ITB. Andika berkomentar setelah pertemuan the circle, kita ke sana saja bertiga.
Pertemuan pun dimulai. Sore itu, Andika membahas tentang menulis berdasarkan sebuah kutipan. Kutipan ini bisa berasal dari manapun entah cerpen, novel, film, dsb. Seperti acara arisan kita pun dipersilakan mengambil gulungan kertas berisi kutipan yang telah disiapkan, yang kata Andika berasal dari buku, cerpen, dan juga film.
Setelah mengambil kutipan, masing-masing diberi waktu untuk membaca, merenungkan dan langsung menuliskan apa yang terbersit di pikiran setelah membaca kutipan tersebut. Lalu, ketika sedang mikir mau nulis apaan, tibalah kawan-kawan kami secara berturur-turut Ina, Uli, dan Wahyu. Jadi, total ada enam orang yang hadir termasuk Bung Moderator.
Menurut ‘Pakar Linguistik dan Bahasa’, Andika, membaca kutipan dapat dijadikan semacam awalan yang mengajak kita untuk lebih banyak membaca. Kegiatan membaca di sini adalah membaca dalam arti luas. Tidak hanya membaca buku, majalah, surat kabar, atau internet, tetapi juga ‘membaca’ peristiwa dan kejadian sehari-hari di sekeliling kita. Singkatnya mah, membaca kehidupan. Dengan begitu membaca bisa jadi sumber inspirasi untuk kita menulis apapun dengan segala bentuknya. Termasuk juga meureun menyadap curhat teman untuk dijadikan cerpen, menguping pembicaraan orang di angkot, warteg, pasar, dsb.
“There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears.” Dari kutipan itu Andika membuat sebuah cerita tentang perempuan bernama Andini yang akhirnya menikah dengan seorang pria Arab dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Setelah menikah, lambat-laun Andini sadar bahwa ternyata pria yang dinikahinya kini tak sebaik dibandingkan ketika masa berpacaran dulu. Seiring dengan suksesnya karir Andini, ia pun makin tak mencintai suaminya. Di sisi lain, ia akhirnya menjadi tidak lebih baik dari suaminya tersebut.
Dari tema-tema cerita yang pernah saya dengar dari Bung Andika, kelihatan sekali kalau ia sangat terobsesi dengan kredo Girl Rules, Boy Drools. Orang ini betul-betul terobsesi dengan supremasi perempuan, kesetaraan gender, feminisme, dan yang sejenisnya. This guy seems to be a young, restless, radical, rebellion feminist or something like that. Suatu saat mungkin ada orang yang bersungut-sungut setelah membaca karyanya sambil bersumpah serapah,”Feminist!”
Young, restless, radical, rebellion feminist, chubby, fat, and chunky?
Wahyu kebetulan mendapat kutipan yang sama dengan Andika. Saya kurang bisa menangkap maksudnya karena tulisannya terlalu singkat. Wahyu bilang kalau ia sedang belajar untuk menulis lebih singkat, lebih padat, supaya tidak ngalor-ngidul. Sebuah pembenaran karena terlambat datang ya? He he he.
Rukmini membuat cerita lucu tentang bagaimana bertoleransi dan menghargai perbedaan. Sementara Ina, menulis esei tentang menghargai perbedaan menyatukan potensi demi kemajuan bangsa. Wuih, berat, man!
Uli kebagian kutipan dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” Kurang lebih tulisan Uli bercerita tentang veteran perang berjasa buat bangsa dan negara, tetapi jasa-jasanya itu tidak pernah dihargai.
Terbontot, maksudnya terakhir adalah tulisan saya. Saya mendapat kutipan dari filmnya Jim Carrey yang saya lupa judulnya. “You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.” Saya nggak terlalu yakin apakah cerita yang saya buat nyambung apa nggak ama kutipan itu. Tapi, yang pasti, itulah yang terbersit pertama kali di pikiran saya setelah membaca kutipan tersebut.
Saya juga akhirnya bisa keluar dari ‘sangkar’ saya selama ini yaitu politik dan sepakbola. Saya menulis cerita soal cinta. Nggak ada alasan khusus sih, cuma lagi pengen aja. Keseringan dengerin lagu cinta kali, jadi melankolis deh. Mudah-mudahan sih, nggak ada yang tersinggung. Soalnya, orang yang duduk tepat di sebelah saya sedang putus cinta. “Oh, love can mend your life but, love can break your heart”. Tuh, kutipan lagi ‘kan? Wong judulnya menulis dari kutipan, kok.
OK. That’s all folks. Class is dismissed. Everybody’s out, out, out from here! Kita semua mau nonton pameran ilustrasi Cerpen Kompas. Sampe ketemu minggu depan.
Satyo Aji Karyadi
Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib. Membandingkan Stalin dengan Charlie Chaplin, misalnya). Ketiga, dalam tulisan ini Aji mengutip lagu Message in a Bottle-nya The Police. Apakah laki-laki ini suka The Police? Apakah kesukaannya ini merupakan indikator dari usia Aji yang sebenarnya? Ah, barangkali cuma anak-anak the circle dan malaikat yang juga tahu.
Aji mencuri-curi lihat apa yang dibaca Farida
____
Keterangan:
1. "There is so much hurt in this game of searching for a mate, of testing, trying, And you realize suddenly that you forgot it was a game, and tear away in tears." Kutipan ini diambil dari buku harian Sylvia Plath pada usia awal 20-an, sebelum ia mendapat internship di majalah fashion dan menderita depresi. Jauh sebelum ia bunuh diri dengan kompor gas.
2. Kutipan Ina dan Mini adalah: "Jaman SD dulu, teman sekelas Cina semua. Waktu mereka tanya, orang apa. Saya jawab, Cina juga. Mereka tidak percaya. Cina kok hitam. Waktu lihat kalian berdua datang ke sekolah, mereka bilang aku pribumi. Sejak itu, mereka berhenti mengajak bermain. Di SMP, yang nyaris tidak ada murid Cina-nya, bertanya, orang apa? Saya bilang orang Ambon. Mereka juga tidak percaya. Ambon kok sipit. Waktu mereka lihat kalian, saya dipanggil Cina. Dan disingkirkan." Diambil dari buku kumpulan cerpen, Bisik-Bisik, karya Reda Gaudiamo.
3. "You can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story." adalah tagline film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, yang skenarionya ditulis Charlie Kaufman.
4. “Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh.” bukan diambil dari buku terbarunya Dewi Sri Lestari. Aji cuma bercanda. Kutipan ini diambil dari prosa Surat yang Tidak Pernah Sampai dalam buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
5. Sebetulnya masih ada sebuah kutipan lagi yang disiapkan. Bunyinya begini, "Yeah. I just don’t know what I’m supposed to be. You know? I tried being a writer, but I hate what I write. And I tried taking pictures. but they’re so mediocre, you know. Every girl goes through photography phase. You know, like horses? You know? Take, uh, dumb pictures of your feet." Tidak ada peserta yang cukup beruntung mendapatkan kutipan dari film Lost in Translation ini.