Halo, apa kabar semua? Sudah lama tidak bersua dalam blog ini. Hampir setahun lamanya kami tidak update hasil pertemuan dan tulisan. Tapi kami sekarang punya cerita yang luar biasa untuk dibagikan.
Sekitar bulan Agustus di tahun 2010, kami pernah melakukan sebuah pertemuan khusus untuk membicarakan dan mengeksekusi ide kami untuk membuat sebuah karya komunitas yang sudah ada dari tahun 2004. Karena kami adalah sebuah kumpulan penulis, maka kami memutuskan untuk membuat kumpulan cerita pendek. Sapta, salah satu dari kami, mengusulkan untuk menulis cerita yang terinspirasi dari abjad-abjad dari A hingga Z. Misalnya penulis menuliskan tentang catur ketika mendapatkan huruf L.
Kemasannya sudah terbayang yaitu seperti buku ini akan dibuat seperti kamus yang berisi urutan alfabet. Karena kami jumlahnya banyak dan demi asas keadilan, maka abjad dipilih secara random. Setiap gulungan kertas berisi huruf dimasukkan ke dalam sedotan lalu setiap orang memilih.
Enam tahun berdiri tentu banyak anggota datang dan pergi. Banyak pula yang sudah tidak berdomisili di Bandung. Oleh karena itu, para penulis yang jauh atau tidak bisa hadir saat pemilihan huruf diwakilkan oleh yang hadir. Karena dipilih secara acak, maka penulis harus terima-terima saja saat mendapatkan (terutama) huruf yang jarang digunakan seperti Q, W, X, atau Z. Kemudian proses penulisan berlangsung. Rizal muncul sebagai pilot project-nya.
Project ini sempat terendap dan terbengkalai. Proses pembuatannya pun ada saja kendalanya. Ada yang miskomunikasi sehingga ada yang harus keluar dari proyek, ada yang merasa tidak mampu mengejar jumlah kata kemudian mundur, atau ada yang sulit dihubungi. Setelah rampung pun karya ini masih berdiam diri, seolah-olah mobil yang kehabisan bahan bakar. Syukurlah, Farida memberi angin sangat segar bahwa Grasindo berminat dengan konsep antologi yang kami miliki.
Dengan proses yang relatif singkat, lalu lahirlah ia, anak pertama komunitas kami di bulan September 2013. Dengan nama A to Z by Request, ia dibandrol dengan harga Rp47.000 dan tersedia di toko buku besar seluruh Indonesia.
Kelahiran anak kami ini akan dirayakan pada 16 November 2013 di Gramedia Merdeka, Bandung. Acaranya akan dimulai pada pukul 14.00 hingga pukul 16.00. Kami, para penulis, akan sangat senang jika teman-teman mau meluangkan waktunya untuk datang dan berkenalan dengan buku antologi pertama kami, A to Z by Request, yang lahir dari kecintaan kami pada menulis.
Oh ya, di hari yang sama, kami akan melakukan wawancara di Raka FM 98.8 pukul 11.00. Untuk yang berada di luar kota, sila streaming.
Acara ini sama seperti hal yang kami percayai bahwa Reading Lights Writer's Circle adalah ruang terbuka untuk siapa saja. Reading Lights Writer's Circle adalah memfasilitasi, memberi, dan juga menerima.
Writers Weekly Circle
Jurnal Mingguan Karya Peserta Writers' Circle di Reading Lights Bookshop & Coffee Corner, Bandung.
Rabu, 06 November 2013
Selasa, 13 November 2012
Cinta karena Biasa
Entah
bagaimana menjelaskan hubungan saya dengan writer’s
circle dalam satu kata:
Rumit?
KDRT?
Hampir
enam tahun hubungan terjalin, kata ‘cinta’ tak pernah disebut. ‘Sayang’
menghilang. ‘Senang’ datang dan pergi.
‘Bosan’
berkali-kali ditelan, seperti pada hari itu.
***
Saat jam menunjukkan pukul tiga, Andika
masih asyik di depan komputer, memeriksa keadaan Box Office Amerika akhir pekan
itu. Ia ingin menonton Daniel Day-Lewis memerankan Presiden Lincoln. Ia ingin
mengunduh trailer filmnya, tetapi sejam
lagi writer’s circle. Andika menghela
napas keras. Dari jendela ia melihat gumpalan awan gelap menggantung di
kejauhan – turunnya hujan bukan lagi pertanyaan. Kalau mau nggak datang sebetulnya hari ini, batin Andika. Namun ia
telanjur berjanji pada Farida akan datang hari itu. Sekali lagi Andika menghela
napas, tetapi tak terlalu keras. Tanpa menunda lagi, ia segera mengambil …
sapu.
***
Setiap hendak bepergian, ada prinsip
yang selalu dipegang Andika: rumah ditinggal dalam keadaan rapi. Selimut mesti dilipat.
Lantai paling tidak disapu. Jika ada piring dan peralatan dapur yang kotor maka
harus dicuci. Ketika pulang, ia ingin kerapian dan kebersihan itu ‘memeluknya’.
Sebelum berangkat writer’s circle, ada banyak yang harus dilakukan Andika. Semalam ia
baru menamatkan Great House, sebuah novel tentang orang-orang yang kakinya
terantai masa lalu. Bangun kesiangan, ia lantas terlalu banyak bermalasan
dengan laptop menyala di perut. Membaca berbagai penafsiran
novel, kadang-kadang ia menyetujui pendapat beberapa kritikus. Kadang-kadang
tidak. Andika membaca ulang, mencari poin-poin yang dilewatkannya, lama sekali.
Lalu menentukan dan mengunduh bacaan selanjutnya. Setelah menamatkan novel
dewasa, ia senang membaca novel anak-anak. Tahu-tahu hari sudah sore.
Setelah menyapu, masih ada piring,
cangkir, dan wajan kotor masih menumpuk. Bekasnya sarapan, minum kopi, serta
teh. (Ia ingat harus lebih banyak minum air putih.) Bekas Ibu menumis ikan,
telur, dan tomat. Mencuci piring kelihatannya cepat, tetapi sering membuat
terlena. Tahu-tahu waktu telah terulur panjang. Andika bergegas, Apa yang mesti dimasukkan? STNK, cek! Buku menulis, cek! Tempat pensil, cek! Laptop, cek! Oke, Semua siap?
Siap? Di luar Andika memutuskan memakai sandal karena yakin akan hujan.
Kaus kaki dan sepatu pun dimasukkan dalam tas yang kemudian dibungkus lapisan
tahan air. Saat mengunci pintu, Andika meraba sakunya, lalu kembali ke rumah
untuk mengambil dompet. Ketika keluar, ia teringat bahwa Nia mungkin datang,
lalu mengambil kartu pos dari Marty dan Neni untuk dipamerkan. Kali ini Andika
ingat menyalakan lampu teras, kalau-kalau belum ada yang pulang saat hari
gelap. Setelah pintu terkunci, ia pun memicu motornya.
***
Antrian
sirkus, bioskop, maupun wahana di Dufan mungkin menyenangkan. Di
ujungnya ada sesuatu yang diinginkan dan menunggu membuat sesuatu itu semakin
istimewa. Cukup membuat Andika tertegun
menyadari hanya ada writer’s circle
di ujung antrian panjang kendaraan di Perempatan Pahlawan. Hanya writer’s circle terdengar berlebihan.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan writer’s
circle, selain ia merasa terlalu sering melakukannya. Seperti makanan
kesukaan yang dimakan terlalu sering dalam jangka waktu panjang. Ketika ia
sudah hapal rasa makanan sebelum melahapnya, makanan itu kehilangan keistimewaannya.
Beberapa pertemuan lalu Andika bersukarela menulis jurnal writer’s circle, tetapi sejumlah percobaaan mandek di tengah-tengah
lantaran ia merasa apa yang dilaluinya biasa.
Ia tak kepingin menulis hal serupa terus-menerus.
***
Ketika gerimis pertama mendarat, Andika
telah terlepas dari kemacetan. Motor-motor berseliweran di samping kiri dan
kanan. Mungkin tak seorangpun yang mau kehujanan. Langit gelap, tujuan masih
jauh, Andika menepi dan memakai jas hujan. Gerimis sempat berhenti, tetapi di
Jalan Surapati hujan turun deras dan semakin deras. Angin bertiup kencang,
secara kasat mata membelokkan jatuhnya air. Jarak pandang semakin menurun.
Motor-motor menepi. Mobil-mobil menyalakan lampu darurat. Jalan raya mulai
dilalui juga arus air, sampai ke tengah. Kalau
mau nggak datang, sebetulnya hari ini,
pikir Andika. Namun ia tetap melaju. Cepat sekali ia berubah pikiran. Hujan
angin membuat toko buku Reading Lights terasa
begitu … jauh. Begitupun ingatan akan interaksi dengan Dani, Ririe, serta para
peserta reguler writer’s circle lainnya.
Bersamaan dengan merembesnya air ke dalam jas hujan, muncul juga kata ‘kangen’.
Pelupuk mata Andika mulai terasa hangat. Ketika sulit mencapai writer’s circle, tiba-tiba satu-satunya
keinginannya adalah berada di dalam lingkaran itu.
Mencapai jalan layang Pasupati, Andika
urung naik karena khawatir di atas angin makin keras. Ia lurus dan berbelok ke
Jalan Ir. H. Juanda, lalu menyadari itu keputusan yang salah.
Jalan raya sudah berubah menjadi sungai
deras.
Mobil dan motor mengantri. Namun antrian
tidak bergerak maju untuk waktu cukup
lama. Andika ingin mematikan mesin motor, tetapi takut tidak bisa menyala lagi.
Asap-asap putih menguar dari kendaraan. Permukaan air semakin lama semakin
tinggi dan arusnya makin deras. Di bahu jalan lebih tinggi dan deras. Andika
gigit jari. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Gelombang air besar. Pohon tumbang. Jika sedang ada laki-laki yang
disukainya, Andika yakin akan menyerukan namanya keras-keras supaya mendapat
kekuatan. Namun tidak ada. Andika mematikan motornya, meminta pengendara motor
di sebelahnya mundur sedikit supaya ia bisa lewat. Dan bisa. Kini tinggal
memarkir di pelataran Evieta Klappertart yang permukaannya tak tersentuh air, tetapi
arus di lajur kiri yang deras membuat motornya sulit dikendalikan, seperti
didorong tanpa henti. Andika maju sambil menekan pedal rem … dan berdoa.
Untungnya motor naik ke permukaan aman dengan selamat. Andika mencoba
menyalakan mesin … dan bisa.
***
Andika meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki. Trotoar jalan tertutup gelombang air. Masih ingat cerita pejalan
kaki yang hilang ditelan lubang trotoar? Andika masih.
Ia berjalan, sesekali melompat, di
antara-taman-taman di samping trotoar yang berubah wujud seperti pulau-pulau
kecil. Pelan-pelan hujan berhenti, tetapi di darat air masih deras. Antrian
mobil berujung di SMA 1, sebuah mobil di urutan terdepan berhenti karena mesin
mati. Di jembatan penyeberangan seorang perempuan memotret barisan mobil di
bawahnya. Andika ikut naik. Di satu sisi mobil-mobil mengantri, di sisi lain
air mengalir ke bawah. Tahun 2004-2006, Andika bersekolah di SMA 1, tetapi tak
pernah mengalami banjir seperti ini. Tapi
Bung ini tahun 2012. Ketika esok
harinya googling, ia baru tahu
belakangan banjir separah itu memang kerap terjadi.
Setelah memarkir motor, langkah dan perasaan
Andika semakin ringan. Ia merasa kemungkinannya bertemu writer’s circle justru meninggi. Di depan ITB, hujan tinggal
gerimis. Andika mulai berjalan sambil bersenandung. Ketika bertemu tukang
gorengan, ia membeli dua tahu, dua cireng, dan satu tempe yang dimakannya
duluan. Langkahnya terhenti lagi ketika bertemu tukang batagor.
***
Jelang pukul enam, Andika sampai di toko
buku Reading Lights. Di ruang
belakang, Farida menyentuh jaketnya, “Ini air?! Ini minum yang anget-anget
dulu.” “Wah, wah,” Dani berkomentar, “Coba dilepas dulu. Kentang gorengnya
habisin saja.” “Hahaha, itu kan punya Sapta,” timpal Ririe. “Ini minum, teh
gua. Jumbo, lho.” Andika pun menuruti semua ucapan itu.
***
“Jadi
tema menulisnya apa?” tanya
saya.
“Cinta
karena biasa,” jawab Ririe.
“Oh, ya?”
Sejenak saya diam sambil
mengeluarkan barang-barang dari tas yang basah. Cinta karena biasa, pikir saya. Di
buku menulis yang setengah halamannya basah dirembesi air, saya mulai
menuliskan cerita hubungan saya dengan writer’s circle.
***
Andika Budiman
PS: Saya bersukarela menulis jurnal pada tema Depth of Field yang difasilitatori oleh Indra. Sayangnya jurnal itu
tidak kesampaian dengan alasan writer’s
block. (“Deuu!”) Setelah minggu itu sebetulnya writer’s circle tetap berlangsung meskipun tak tercatat dalam
jurnal, temanya berturut-turut sebagai berikut: mendeteksi satu cerita jujur di
antara dua cerita bohong, menulis berdasarkan sampul buku pilihan, menulis
cara-cara kurang menyenangkan untuk mati, menulis cerita tentang berpisah untuk
kembali, menulis kartu pos untuk peserta di sebelah kita, dan menulis cerita
dari situasi tidak mungkin.
Minggu, 16 September 2012
Ringkasan dan Adegan
Dari buku Writing Fiction karya Janet Burroway, Indra--fasilitator writer's circle hari Sabtu (15/9)--memilih ringkasan (summary) dan adegan (scene) sebagai latihan menulis. Para penulis diminta untuk melakukan flashback yang berhubungan dengan setting tempat dan waktu yang diingat secara spesifik seperti pekerjaan, tradisi keluarga, dan lainnya. Misalnya ringkasan dari cerita adalah main di sawah saat berlibur ke rumah kakek lalu adegannya adalah ketika digigit ular saat berada di sawah.
Penulis pertama yang membacakan karyanya adalah Opie yang buru-buru karena akan menonton video mapping di Gedung Sate. Opie menulis ringkasan mengenai ia dan teman-teman kuliahnya yang merencanakan liburan. Dari berbagai tempat, akhirnya mereka mereka memutuskan pergi ke Ujung Genteng. Kemudian adegan ditarik saat hubungan ia dan salah satu temannya menjadi renggang. Jurang yang diantara mereka berdua terus berlangsung hingga mereka lulus dan bekerja.
Kemudian saya meminta diri untuk membacakan karya saya selanjutnya. Ringkasan yang saya tulis adalah ketika saya berlibur ke Sorong, Irian Jaya. Adegan spesifiknya adalah ketika saya dan teman-teman dikejar burung kasuari.
Ini dia penampakannya |
Indra bercerita tentang pengalaman saat ia berada di Jakarta ketika masih duduk di bangku kelas 3 SD sebagai ringkasan ceritanya. Kemudian adegan yang ia tulis adalah saat ia dikerjai oleh teman-teman perempuannya dimana ia didandani seperti perempuan dan dipaksa rambutnya agar lurus. Wangi bedak, baby oil, dan suara tinggi khas perempuan pun menjadi detil ceritanya. Jakarta, baginya, sama seperti perempuan: tidak pernah sama.
Sementara Belinda, teman baru kami, bercerita tentang tokoh yang menulis puisi yang terinspirasi dari bungkus permen. Tokoh mengingat dimana ada seorang nenek yang memberi permen kepada seorang anak yang kemudian anak itu mengeluh karena permennya pahit. Belinda menjelaskan di akhir tulisan bahwa "tidak semua yang menarik itu enak".
Dilanjut Rizky, ia menulis ringkasan tentang seorang tokoh yang ada di food court yang memilih mojok sendiri dan mendengar musik di iPod. Tokoh adalah tipe orang yang mudah terusik dengan orang-orang yang berisik. Adegannya adalah ketika seorang teman datang dan menyuruh tokoh untuk mencoba bergabung dengan teman-teman lainnya. Akhir cerita Rizky ini menimbulkan perdebatan panjang diantara kami tentang open ending dengan ending yang menggantung. Mungkin bisa jadi PR pertemuan selanjutnya.
Ringkasan mengenai seorang tokoh "aku" yang berada di rumah sakit ditulis oleh Dani. Di sana, si "aku" ditemani oleh Arin, gadis tercantik di kelas. Saat tokoh siuman, ia bingung mendapati dirinya berada di rumah sakit dengan perut yang terasa sakit. Ternyata kejadian sebelumnya adalah teroris menyandera anak-anak sekolah lalu si "aku" melindungi Arin dari bom sehingga organ dalamnya memar dan ginjalnya rusak.
Sebagai penutup, Marty menulis ringkasan saat ia berada di Reading Lights. Saat akan buka puasa, seorang staf Reading Lights mengingatkannya untuk berhati-hati agak kertas penutup kuenya tidak termakan. Karena kesal, tokoh sempat mengeluh dalam hati bahwa ia bukan pemakan kertas. Tahunya benar saya, si tokoh tidak sengaja memakan kertas kue. Kontan ini membuat si tokoh malu sendiri.
Latihan menulis kali ini begitu membantu penulis untuk menuliskan satu adegan/kejadian spesifik dari sebuah cerita yang cukup besar. Agar adegan terasa fokusnya, penulis bisa menuliskan detil setting seperti apakah saat itu hari sedang hujan, bagaimana detil tempatnya, bagaimana setting waktunya (pagi/siang/sore/tahun beraapa), dan lainnya. Selain setting, penulis juga bisa menambahkan dialog agar lebih lancar peceritaannya.
Nia Janiar. Pekerja swasta yang bolak-balik Bandung-Jakarta. Kini lebih banyak menulis non fiksi ketimbang fiksi. Untuk lihat catatan kesehariannya, sila berkunjung ke: http://mynameisnia.blogspot.com/
Selasa, 26 Juni 2012
Emosi Dalam Cerita
Emotion:
an affective state of consciousness in which feelings are experienced.
Emosi adalah tema menulis di RLWC pada tanggal
23 Juni 2012.
Adalah saya yang membawa tema ini setelah
beberapa minggu absen dari kegiatan menulis bersama. Tema ini berawal dari
obrolan saya dengan seorang kawan yang menulis naskah teater; baginya, berbeda
dengan karya fiksi tertulis, tantangan membuat naskah teater adalah membangun
karakter dan mood yang spesifik
dengan keterbatasan waktu dan ruang panggung pementasan.
Saya sadar, penulis cerita fiksi punya lebih
banyak kebebasan untuk mengekspresikan karakter cerita dibandingkan penulis
naskah teater atau penulis skenario film. Hal ini adalah anugerah sekaligus
kutukan. Anugrahnya, penulis cerita fiksi punya lebih banyak cara untuk
menyampaikan ceritanya. Kutukannya, kebebasan bisa membuat penulis terjebak
untuk “mengatakan” ketimbang “menunjukkan”. Padahal, tentu saja, berbeda dengan
karya tulis ilmiah, karya tulis fiksi tidak hanya berisi fakta-fakta yang
“dikatakan”, melainkan juga mood,
emosi, yang harus dirasakan dan dialami, bukan dikatakan.
Tujuan saya memilih emosi sebagai tema kali
ini adalah agar penulis bisa berlatih dan belajar menciptakan mood sesuai dengan penghayatan emosi si
tokoh. Tantangannya dengan tema ini, tentu saja, adalah membawa pembaca untuk
ikut merasakan perasaan sang tokoh cerita; sesuatu yang jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan “mengatakan” apa yang sedang sang tokoh rasakan.
Untuk latihan kali ini, saya menggunakan 6
emosi dasar dari artikel di Wikipedia. Tiga di antaranya bersifat positif: happiness, excitement, dan tender; tiga lainnya bersifat negatif: sadness, anger, dan fear. Melalui kertas undian, masing-masing penulis mendapatkan satu
jenis emosi secara acak dan kemudian menuliskan cerita dengan upaya membawa
pembaca untuk merasakan emosi sang tokoh utama.
Saya yang pertama kali membacakan cerita. Cerita
dibuka dengan “aku” yang sendirian, mabuk-mabukan sejak menerima e-mail
perpisahan dari orang yang dikasihinya. Ia terus-terusan minum untuk melupakan
semua kenangan yang kini menyakitkan, dan ia ingin menjadi tiada. Emosi yang
coba saya bangkitkan adalah sadness,
yang saya bangun melalui penghayatan ruang (ruangan kosong dengan botol-botol
bir yang kosong), kenangan-kenangan manis yang sudah berlalu, serta penggunaan
objek metafora (mendung yang menjelma hujan). Penulis lain bisa dengan mudah
menebak bahwa emosi dasarnya adalah sadness.
Andika berkomentar bahwa kesan sadness
bisa diperkuat lagi jika saya memasukkan benda-benda yang bermuatan kenangan
dan bukan hanya kenangan-kenangan manis yang bersifat general saja. Saya setuju dengan masukan Andika, bahwa objek-objek
yang bermuatan emosi bisa digunakan untuk menggambarkan emosi (bahkan bisa
dibilang ini salah satu cara yang paling kuat).
Berikutnya adalah Indra, yang bercerita
tentang Panca, seorang pemuda penggangguran yang masih tinggal dengan ibunya.
Sepanjang cerita Panca tampak menyembunyikan banyak kebohongan; ia berbohong
sudah shalat, dan ia berbohong tentang kelulusannya, karena pada kenyataannya
ia di-DO. Dalam cerita ini ada adegan di mana sang ibu dan Panca berdebat,
karena sang ibu peduli pada masa depan anaknya sementara Panca sendiri merasa
tidak nyaman dengan keingintahuan ibunya. Sebenarnya, Indra mendapatkan emosi tender, yaitu emosi positif yang tenang
seperti cinta kasih atau ketulusan. Namun Indra sendiri salah memaknai emosi tender (yang ia maknakan sebagai emosi
negatif). Lepas dari tepat tidaknya penggambaran emosi tender dalam cerita ini, saya tertarik dengan cara Indra
menggambarkan guilt, yang sebenarnya
juga termasuk emosi dasar namun tidak digunakan dalam latihan menulis kali ini.
Selain membuka kebohongan-kebohongan Panca secara naratif, Indra juga mampu
menampilkan rasa bersalah (guilt)
Panca melalui dialog dengan ibunya. Saya belajar bahwa emosi/mood
pun bisa dibangun melalui dialog. Beberapa pendengar yang lain juga mengatakan
bahwa mereka bisa merasakan tender
dari kepedulian ibunya, meskipun menurut saya emosi tender ini hanya jadi bagian kecil dari cerita.
Setelah Indra, ada Nia yang berinisiatif bercerita
tentang Raya, yang diam-diam membolos sekolah untuk membeli sebuah buku langka
dari seorang kenalannya, untuk melengkapi koleksi bukunya di rumah. Setelah
adegan menyelinap-menyelinap supaya tidak ketahuan, Raya berhasil meletakkan
buku tersebut di jajaran koleksinya dan “tubuhnya mengembang”. Emosi yang Nia
coba tunjukkan adalah happiness. Di
sini Nia melakukan penggambaran melalui media yang belum digunakan oleh saya
dan Indra, yaitu penghayatan tubuh (“tubuhnya mengembang”). Saya sendiri merasa
yang lebih banyak diangkat dalam cerita ini adalah excitement, melalui adegan-adegan menyelinap dari orangtua demi
mendapatkan buku itu, namun penggunaan penghayatan tubuh itu cukup berhasil
menggambarkan happiness. Andika
menambahkan bahwa untuk memperkuat emosi happiness-nya,
mungkin bagian akhir cerita (ketika koleksi bukunya lengkap dan tubuhnya
mengembang) bisa dijadikan awal. Saya setuju dengan Andika; mungkin cara itu
bisa membuat emosi dominan di cerita ini menjadi happiness.
Setelah berkomentar, Andika membacakan ceritanya.
Tokohnya bernama Doni, yang bertemu kembali dengan teman lamanya di suatu
pementasan. Sepanjang pementasan ia menjadi lebih aware dengan pakaian yang dikenakannya, merasakan kursi menjadi
panas, dan mulai berkeringat di selangkangan. Namun setelah pementasan itu
mereka tidak lagi saling berhubungan, sehingga Doni menjadi harap-harap cemas.
Dika sendiri mencoba menggambarkan excitement,
namun saya merasa maknanya menjadi rancu dengan anxiety, yang lebih dekat dengan fear. Lepas dari perdebatan mengenai excitement atau anxiety,
saya suka dengan cara Andika yang menggambarkan emosi tokoh melalui penghayatan
tubuh, mirip dengan Nia (meskipun banyak yang mempertanyakan perihal keringat
di bagian selangkangan).
Setelah Andika, Sabiqlah yang membawakan
cerita tentang “aku”, seorang siswa SMA yang kecewa karena saat datang ke
sekolah, teman-temannya tidak menyiapkan pesta kejutan untuknya karena sedang
fokus dengan UN. Emosi dasarnya adalah anger,
dan hal ini mudah ditangkap oleh para pendengar yang lain. Hal ini ditunjukkan
dengan dialog batin sang “aku”, yang memberikan alasan-alasan mengapa ia
kecewa. Catatan tambahan dari Indra, ternyata emosi dasar anger pun bisa disampaikan secara lucu. Artinya, emosi dasar masih
bisa tersampaikan dengan baik, seperti apa pun genre ceritanya (dalam hal ini
saya pikir cerita Sabiq bersifat komikal).
Berikutnya, Cesar memulai ceritanya dengan
kepanikan di sana-sini. Seorang wanita bingung harus lari ke mana, akhirnya
memilih diam dan bersembunyi, berharap akan selamat, namun akhirnya ia terkena
“hujan kelamin”. Terma “hujan kelamin” sendiri sudah membuat cerita Cesar
menjadi salah satu cerita yang paling diingat dalam sesi ini. Lepas dari terma
“hujan kelamin” yang fenomenal itu, Cesar cukup bisa membangun emosi fear dengan menunjukkannya melalui
perilaku sang wanita, yang berlari, lalu bersembunyi, dan menjambaki rambutnya
sendiri dalam persembunyiannya. Menurut saya, emosi fear bisa terbangun lebih kuat bila Cesar membuat karakter utama
yang bisa diidentifikasi oleh dari awal cerita dan bukan hanya menciptakan setting tanpa karakter yang spesifik.
Setelah Cesar, Almer bercerita tentang tokoh
aku yang mengumpat karena terus-terusan diumpati kakaknya, karena membawa
makanan yang tidak enak. Seperti cerita Sabiq, tidak sulit juga menangkap emosi
dasar anger dari cerita ini. Almer
menunjukkannya dengan dialog batin berupa umpatan, maupun pemberian motif yang
menjelaskan perasaan “aku”.
Sebagai penutup, Farida membawakan cerita yang
cukup panjang. Tokoh utamanya adalah Tono, yang mulai mengamati ritual aneh
orangtuanya setiap malam. Dari obrolan dengan temannya, Ari, Tono tahu bahwa
akan ada yang datang ke desa, dan akan ada anak yang hilang, seperti kakak Tono
dulu. Malamnya, Tono sulit tidur. Ia melihat pohon rambutan berbayang-bayang,
mendengar suara derak jendela, dan jantungnya menggedor-gedor, sebelum kemudian
ia mendengar suara kakaknya, dan gelap. Dituturkan dengan gaya horror/thriller klasik, mudah sekali bagi
pendengar untuk merasakan fear. Dalam
hal ini Farida menggunakan cara bertingkat untuk membangun mood yang kuat, mulai dari ritual-ritual orangtuanya, foreshadowing (obrolan dengan Ari bahwa
akan ada anak yang hilang), penghayatan objek/metafora (pohon bambu, kuburan,
pohon rambutan yang berbayang-bayang, jendela yang berderit), dan penghayatan
tubuh (jantung yang menggedor-gedor). Sedikit catatan saja dari saya:
penggunaan pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan yang berbayang-bayang bisa
menjadi lebih kuat jika Farida tidak menambahkan keterangan tambahan (pohon
bambu dan kuburan membangkitkan imaji-imaji di kepalanya). Tanpa harus
“dikatakan”, pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan sudah cukup kuat untuk
menimbulkan imaji yang kuat di benak pembaca.
Dari sesi menulis kali ini, saya dan
teman-teman banyak mempelajari hal baru untuk menggambarkan dan membangun emosi
dalam cerita. Di antaranya yang ditampilkan dalam cerita-cerita yang ditulis
dalam sesi ini adalah:
- Penghayatan ruang (mis. Kosong, penuh, lepas, gelap)
- Penghayatan objek/pemanfaatan objek sebagai metafora (mis. Botol bir, awan, hujan, pohon, makam)
- Penghayatan tubuh (mis. Kesadaran penampilan, perasaan mengembang, degup jantung), atau perilaku (mis. berlari, bersembunyi, menjambaki rambutnya sendiri)
- Dialog (antar tokoh atau dialog batin), yang biasanya dipadukan dengan motif (bagaimana tokoh diperlakukan orang lain, alasan mengapa tokoh merasa suatu emosi tertentu)
- Foreshadowing (khususnya untuk fear/anxiety).
Andika dan Indra menambahkan ada beberapa
teknik lain yang bisa dipakai, di antaranya:
- Irama/pace (panjang-pendek kalimat untuk membangun ketegangan), yang saya pikir bisa diperluas menjadi penghayatan waktu (mis. Ingin cepat-cepat besok, waktu berlalu sangat lambat, waktu berlalu sangat cepat, tidak ingin saat ini berakhir).
- Penggunaan huruf vokal dominan. Andika menerangkan bahwa dalam puisi penggunaan vokal “a” lebih identik dengan emosi seperti happiness sementara vokal “i” lebih identik dengan emosi sadness. Penggunaan konsonan tertentu juga bisa membangkitkan emosi tertentu misalnya “r” untuk anger, atau bahwa “a” lebih sesuai dengan emosi aktif (anger, happiness, excitement) sementara “i” lebih sesuai dengan emosi pasif (tender, sadness, fear)... tapi ini hanya hipotesis saya pribadi :D
Dengan pembahasan tentang cara-cara
menggambarkan emosi berakhir pula pertemuan sesi ini. Apakah ada cara
menggambarkan emosi yang terlewat oleh kami? Silakan di-share dengan kami :)
Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan
waktunya untuk blogging, menulis
novel, dan bersepeda gunung. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan
diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi
dirinya. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah
blog mengenai gaya hidup natural, serta sedang
berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.
Selasa, 05 Juni 2012
Luka yang Kusembunyikan
Penyakit yang berbintil-bintil menyerupai jengger ayam ini tidak akan kubilang siapa-siapa selain dokter, Tuhan, serta istriku yang sudah mengetahuinya. Waktu itu ia menjerit kemudian bersumpah serapah jijik melihatnya. Ia juga menuduhku sudah bermain kotor dengan perempuan lain sehingga aku mendapatkan penyakit ini. Tidak, tidak ada yang tahu selain kami berempat.
Tapi rupanya yang memiliki penyakit memalukan seperti ini tidak hanya aku, teman-temanku yang lain memilikinya. Atau jika bukan penyakitnya, tetapi latar belakang penyakit atau kejadiannya cukup memalukan. Aku tahu kisah orang-orang itu dari teman-temanku yang menuliskannya. Misalnya Andika Budiman yang bercerita tentang Tono, bocah berusia 7 tahun, yang memutuskan disunat karena alasan yang sangat infantil--ia ingin mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Walaupun ia harus mengalami sakit terutama saat pergantian perban atau saat kepala penis yang agak basah menempel di celananya.
Atau Farida Susanty yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Anto yang datang ke sekolah dengan keadaan babak belur di wajah dan kaki. Ia bercerita bahwa ia dipukuli geng motor karena ada salah satu perempuan dari sekolah tetangga yang menyukai Anto. Tetapi yang mengetahui sebenar-benarnya cerita Anto hanyalah Rino. Rino tahu bahwa Anto berbohong. Ia mengalami luka-luka karena karena lupa menurunkan kedua kakinya saat motornya berhenti di lampu merah.
Selain itu ada Dani yang bercerita tentang Haris yang memiliki luka di kelapa yang cukup besar sehingga harus di perban. Dengan modus yang hampir sama dengan cerita Farida, Haris berkata bohong pada orang-orang yang menanyakan perihal lukanya. Padahal sebenarnya Haris terkantuk layar monitor saat ngantuk. Aku sempat bertanya perihal dimana rasa malunya (karena kupikir ini tidak lebih memalukan dariku yang memiliki jengger), lalu Dani menjawab bahwa hal seperti itu cukup memalukan untuk anak-anak IT.
Lalu temanku satu lagi, Almer, mencoba bercerita namun ceritanya tidak selesai. Intinya ia akan bercerita tentang seorang ksatria yang mengembara dengan luka menganga. Sementara itu Rizky bercerita tentang kisah yang agak-agak surealis (sehingga aku agak kurang mengerti). Tanda surealis ini terlihat ketika ia bercerita tentang seseorang yang memiliki luka di dahi yang semakin lama semakin membesar dan tidak bisa ditutupi oleh perban. Rupanya Rizky menarik garis yang jauh kepada sebuah pemaknaan seseorang tentang luka yang memalukan: semakin malu terhadap luka, maka seseorang akan merasa semakin besar lukanya.
Ah, lega juga menyadari bahwa aku tidak sendiri. Oh ya, kalau mau tahu ceritaku, bisa dilihat di sini. Oh, akhirnya yang tahu tidak kami berempat lagi.
Tapi rupanya yang memiliki penyakit memalukan seperti ini tidak hanya aku, teman-temanku yang lain memilikinya. Atau jika bukan penyakitnya, tetapi latar belakang penyakit atau kejadiannya cukup memalukan. Aku tahu kisah orang-orang itu dari teman-temanku yang menuliskannya. Misalnya Andika Budiman yang bercerita tentang Tono, bocah berusia 7 tahun, yang memutuskan disunat karena alasan yang sangat infantil--ia ingin mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Walaupun ia harus mengalami sakit terutama saat pergantian perban atau saat kepala penis yang agak basah menempel di celananya.
Atau Farida Susanty yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Anto yang datang ke sekolah dengan keadaan babak belur di wajah dan kaki. Ia bercerita bahwa ia dipukuli geng motor karena ada salah satu perempuan dari sekolah tetangga yang menyukai Anto. Tetapi yang mengetahui sebenar-benarnya cerita Anto hanyalah Rino. Rino tahu bahwa Anto berbohong. Ia mengalami luka-luka karena karena lupa menurunkan kedua kakinya saat motornya berhenti di lampu merah.
Selain itu ada Dani yang bercerita tentang Haris yang memiliki luka di kelapa yang cukup besar sehingga harus di perban. Dengan modus yang hampir sama dengan cerita Farida, Haris berkata bohong pada orang-orang yang menanyakan perihal lukanya. Padahal sebenarnya Haris terkantuk layar monitor saat ngantuk. Aku sempat bertanya perihal dimana rasa malunya (karena kupikir ini tidak lebih memalukan dariku yang memiliki jengger), lalu Dani menjawab bahwa hal seperti itu cukup memalukan untuk anak-anak IT.
Lalu temanku satu lagi, Almer, mencoba bercerita namun ceritanya tidak selesai. Intinya ia akan bercerita tentang seorang ksatria yang mengembara dengan luka menganga. Sementara itu Rizky bercerita tentang kisah yang agak-agak surealis (sehingga aku agak kurang mengerti). Tanda surealis ini terlihat ketika ia bercerita tentang seseorang yang memiliki luka di dahi yang semakin lama semakin membesar dan tidak bisa ditutupi oleh perban. Rupanya Rizky menarik garis yang jauh kepada sebuah pemaknaan seseorang tentang luka yang memalukan: semakin malu terhadap luka, maka seseorang akan merasa semakin besar lukanya.
Ah, lega juga menyadari bahwa aku tidak sendiri. Oh ya, kalau mau tahu ceritaku, bisa dilihat di sini. Oh, akhirnya yang tahu tidak kami berempat lagi.
- Harri
Langganan:
Postingan (Atom)