Minggu, 18 Desember 2011

Sastra Citra Rasa

Jurnal tentang sastra citarasa, lupa tanggal kapan -__-

Sabtu ini di Reading Lights kembali dilaksanakan kegiatan nulis. Yaah, karena belum ditentukan tema sebelumnya, jadi tema untuk sekarang dikocok dari pilihan-pilihan tiap orang yang datang. Tema yang terpilih adalah tema dari Dini. Sastra cita rasa. Sebetulnya Dini menulis tema sastra cita rasa dan blablablabla. Tapi kurang lebih yah intinya dan blablablanya kayaknya cuman pendukung si sastra cita rasa sendiri kali yah. Jadi ngga inget deh dan blablablanya. Haha.

Foto dipinjam dari Reading Lights

Saat menulis, kita kedatangan Wahyu--yang katanya teman lama di RLWC. Ya sebagai penulis jurnal yang kebetulan baru di RLWC, saya baru liat Wahyu. Wahyu datang saat waktu tinggal 20 menit. Awalnya Wahyu menolak untuk mengikutin kegiatan menulis dan hanya ikut mendengarkan hasil karya hari ini saja. Tapi karena didesak teman-temannya, akhirnya Wahyu menulis dengan sekitar sisa waktu 15-20 menit.

Penulis pertama yang membaca ceritanya adalah Wahyu. Wahyu menulis tips makan di meja makan. Eh salah, mungkin Wahyu tidak menulis cerita. Wahyu seperti menulis sebuah manual mengenai cara makan di meja makan. Dan tulisan dia pada saat itu paling outstanding kali yah. Selain menulis sejenis manual cara makan di meja makan, diakhiri dengan joke yang ringan.

Lalu penulis kedua, Nia. Nia menuliskan sebuah cerita mengenai cowok yang sedang diintrogasi ceweknya. Atmosfer yang dibentuk Nia di cerita kali ini sangat mengasyikan buat diikutin. Melalui suasana sebuah cafe, yang kata Nia sendiri, dia membayangkan suasana cafe-nya itu Reading Lights. Sayang saat bagian dialog beberapa saya lost ceritanya.

Lalu penulis ketiga Andika. Dia menuliskan cerita mengenai hubungan 2 cewek yang tinggal 1 sekolah. Andika menulis interaksi-interaksi dan segmen-segmen suasana suasana yang berganti ganti antara cewek 1 dan cewek 2 sangat dinamis. Even lagi-lagi saya agak kusut juga takut ketuker-tuker cewe yang ini apa yang itu. Sayangnya Andika saat membacakan masih belum menyelesaikan ceritanya jadi kurang terlihat sisi makanannya, karena kata dia. Dia sebetulnya akan menuliskan mengenai makanan-makanannya saat akhir cerita.

Setelah Andika, giliran Rizal yang membacakan ceritanya. Rizal menulis cerita mengenai seseorang yang awalnya sangat menyukai sup iga dari ibunya. Tetapi saat kali ini dia diberi sup iga hasil kurban dia merasa sangat mual. Rizal menuliskan bagaimana hubungan emosional tercipta antara sapi dan seseorang itu. Hanya lewat tatapan sang sapi pada dia. Agak geli sih ya waktu ditulis gini. Haha. Tapi waktu dibacain perasaan dapet deh rasa emosinya.

Penulis ke empat itu Sabiq, ato saya. Saya menuliskan mengenai hubungan antara ibu dan anak kelas 5 SD, mengenai ibu yang mulai sadar akan kesalahan dia pada anak itu karena membiarkan penyakit pada anak itu kambuh terus menerus. Hingga dia harus dioperasi dan kehilangan suaranya. Saya menuliskan sebuah suasana dimana sang ibu kembali mengakrabkan diri dengan sang anak. Meski di akhir ibu itu menolak kembali anak tersebut karena sang anak cacat dan meminta di-ke-panti-asuhan-kan. Cerita ini disebut ngga begitu logis karena terlalu kecil dah dapet penyakit yang kayakya untuk dewasa banget dengan penyusunan kata yang tidak begitu kekenak kanakan mengingat menggunakan tokoh aku dan si anak kelas 5 SD.

Lalu penulis ke 5 itu Uli. Uli nulis mengenai sebuah suasana pembicaraan pasangan suami istri yang sudah terpuruk, yang mereka berdua pernah sama sama selingkuh. Uli menuliskan latar bubur merah putih. Karena kata uli bubur merah putih mempunya makna yin dan yang. Uli menulis seperti mempunyai 2 klimaks pada cerita tersebut. Sayangnya saat klimaks pertama pada cerita Uli yang lebih dapet emosinya dibanding klimaks terakhirnya. Idk, mungkin gara-gara cerita mendukung klimaks terkakhir yang memang tidak terlalu lama seperti klimaks pertama menjadikan klimaks terakhir seperti tenggelam pada klimaks pertama.

Setelah uli, ada aji. Aji menuliskan cerita yang memiliki alur pendek tapi Aji menyisipkan joke-joke urban dan sebuah suasana yang merakyat sekali. Aji menulis mengenai 2 orang lagi ngobrolin dan makan mie ayam. Just it, tapi Aji mampu meraciknya jadi sangat menarik

Dan penulis terakhir Dini, yang milih tema. Dini menuliskan cerita dengan tokoh utama seorang wanita, ya Dini menulis cerita yang sentimentil sekali. Dengan emosi melalui suasana suasananya dapet banget. Di mulai dengan awal cerita yaitu nostalgia, saat sang wanita menceritakan mengenai pria yang dulu mereka pernah mengalami rasa suka sama suka tanpa ada keterikatan hubungan. Bagaimana mereka saling admiring satu sama lain tanpa lain. Yah.. itu sweet sekali.. , lalu dilanjutkan dengan sebuah reuni dan bertemu kembali sang pria. Dan diceritakan bagaimana dia masih suka si pria, meski sang wanita masih menyukainya.

Ternyata sang pria tersebut sudah menikah, dengan memperkenalkan istrinya. Lagi-lagi suasana suasana yang dibangun dini mengenai patah hati sang wanita sangat terbentuk lagi. Terlebih Dini menyanyikan sebuah lagu yang mendukung di tengah tengah cerita. Yah, yang mungkin, saya juga bakal nyobain kayak gitu menyisipkan sebuah lagu untuk lebih dapet feel-nya haha.

Sebetulnya beberapa cerita satu sama lain terlihat agak mirip. Seperti:
Sabiq dengan Rizal tentang ibu anak.
Nia dengan Uli tentang konflik hubungan cewek dan cowok.
Aji dengan Andika yang sama sama pertemanan 2 orang.
Yang paling keliatan sih yang 3 itu.

Akhir jurnalnya nggak ada ide, Ni. Sama kamu aja ho oh tambah-tambahin.


PS: Selain tanda baca, admin tidak mengubah isi jurnal demi menjaga keaslian gaya penulisan Sabiq. :D




Muhammad Sabiq Hibatul Baqi adalah peserta termuda (masih SMA) yang menulis data diri di Facebook sebagai: Raw. Sok nyeni. Sok eksperimentalis.  Kedatangannya pertama kali ke RLWC adalah saat menulis teknik puisi akrostik. Ia menulis puisi sederhana tentang bebek dengan sangat aneh (dalam konteks baik) sehingga keberadaannya langsung berbekas di benak writer's circle. Sabiq juga pernah berniat bolos try out karena memilih hang out dengan peserta writer's circle di H-1.

Senin, 12 Desember 2011

Culture Shock!

Beberapa teman saya pernah tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang lama. Dari cerita mereka, terdapat sebuah keterkejutan saat menginjak budaya/kebiasaan baru di negeri orang menginspirasi saya mengeluarkan tema culture shock.

Dalam tema ini, tulisan dikhususkan untuk melihat konflik atau friksi yang dialami tokoh ketika harus berhadapan dengan kebiasaan atau budaya baru yang jauh dari budaya asalnya. Masalah bisa keterbatasan bahasa, selera makanan yang berbeda, dan lainnya.

Kopi Americano-nya Reading Lights beserta lintingan kertas berisi tema nulis hari itu.

Regie bercerita tentang tokoh yang menjadi MC kompleks perumahan. Acara yang dihadiri tokoh adalah sebuah arisan ibu-ibu pejabat juga beberapa selebritis yang diisi dengan primer film Hollywood yang belum ada di bioskop yaitu Breaking Dawn.

Menurut Regie, culture shock yang ia ingin tampilkan adalah terguncangnya tokoh saat menemukan perbedaan stereotype ibu-ibu yang menyukai film remaja. Bagi saya, mungkin 'shock' yang ditulis Regie tersampaikan, tapi culture yang saya harapkan bukan seperti itu.

Rizal bercerita tentang seorang tokoh yang terbangun pagi karena kebiasaanya setelah menetap dua minggu di desa Karangpapang. Ia menemukan lingkungan fisik yang berbeda, kebosanan, kebiasaan-kebiasaan seperti tidak ada orang yang nongkrong di pinggir jalan, warga berangkat kerja pagi untuk berkebun, dan lainnya. Waktu terasa lambat dengan kebosanan menjadi inti yang masalah tokoh sehingga ia rindu pada kota. Tapi justru saat di kota, tokoh merindukan desa yang orang-orangnya begitu menghayati kehidupan.

Di dalam culture shock, terdapat empat fase penyesuaian diri dengan budaya baru. Cerita Rizal ini mencapai keempat fase tersebut. Saya pribadi suka cerita Rizal karena menunjukkan konflik tokoh ketika ia berada di kebudayaan baru. Dan setting cerita Rizal juga dekat dengan keseharian yaitu desa dan kota.

Berbeda dengan yang lain, Andika becerita tentang tokoh yang menjadi hantu namun masih menggentayangi tempat tinggalnya. Tokoh teringat dengan sejarah setiap benda yang masih tertata di rumah.

Mungkin Andika mau menceritakan kebiasaan manusia biasa dengan kebiasaan para hantu, namun diakui oleh peserta bahwa cerita Andika ini di luar tema culture shock. Selain itu, shock yang ditunjukkan tokoh pun tidak terasa karena tokoh sudah masuk ke tahap menerima bahwa ia asing di lingkungannya. Saya pribadi suka dengan diksi-diksi dalam tulisan Andika.

Jurnalis kita, Yuliasri atau akrab dipanggil Uli, bercerita tentang tokoh yang mau meneliti tentang FPI. Dalam mencari subjek penelitian, tokoh berkenalan dengan Bang Somad--seorang FPI bersuku Betawi. Tokoh mengikuti kehidupan Bang Somad selama seminggu dan menemukan hal-hal baru pada Bang Somad sebagai suku Betawi. Misalnya Bang Somad anak tuan tanah yang rela menjual aset untuk acara kawinan, doyan pesta pora sambil mabuk, tetapi jubah putihnya akan dipakai jika organisasi yang diikutinya itu dipanggil.

Uli bercerita tentang tokoh yang memaparkan sebuah kebudayaan yang jauh darinya yaitu sebuah budaya dimana prestis menempati urutan pertama dan apapun direlakan agar prestis tersebut tercapai. Misalnya rela membayar sawer mahal dan diakui banyak orang walaupun diri menjadi miskin.

Sesi menulis di RLWC

Tokoh dengan ribuan kilo jauh dari rumah dituliskan oleh Riri. Tokoh menjadi au pair di negeri seberang yang tentunya menemui beragam budaya baru seperti kebiasaan cium pipi di Eropa. Dan di sana, ada beberapa tugas di luar kesepakatan au pair seperti harus membersihkan rumah. Tokoh mengalami konflik yaitu tokoh harus makan di jam-jam tertentu, dipaksa menyesuaikan diri dengan kebudayaan orang Eropa. Jadinya tokoh sering mengambil roti dan memakannya diam-diam di kamar saat lapar.

Kalau saya bercerita tentang orang Jawa yang terkaget-kaget saat bertemu dengan orang Sunda di sebuah acara lamaran. Orang Jawa yang kalem, santun, berbicara perlahan itu terkejut saat menemui orang Sunda yang mukanya penuh perona, memakai kebaya yang dimodifikasi, dan gerak-gerik yang lebih bebas.

Farida menuliskan cerita yang lebih mudah dimengerti (menurut Regie). Ia bercerita tentang tokoh, seorang WNI, yang berkunjung ke negara orang yang budayanya bebas seperti perilaku seks bebas. Demi menghindari aksi tersebut, tokoh pergi ke tempat lain sampai menemukan sebuah 'welcoming party' yang joget-joget dan minum-minum.

Alienasi yang dipaparkan Farida begitu terasa. Dimana tokoh merasa seperti sirkus di tengah penonton yang disambut berbagai bahasa. Rasa cemas dan takut di lingkungan baru ia dekatkan dengan pengalaman keseharian, "Aku baru mengerti takutnya pembantu baruku ketika diwawancarai mama."

Ada Dani. Seharusnya ia membaca setelah Farida. Tapi ia memilih tidak mau membaca. Patut tak ditiru!

Tulisan culture shock ini tentu akan lebih baik lagi jika sebelumnya dilakukan sebuah riset tentang dua budaya yang mau dibandingkan. Misalnya saya sendiri jadi tidak bisa melakukan dialog dengan kata-kata Jawa karena tidak tahu dan kurangnya pengetahuan tentang budaya Jawa dan Sunda itu sendiri.




Nia Janiar adalah seorang travel writer yang akhir-akhir ini lebih sering menulis karya non fiksi, rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar agar bisa jadi penulis. Kunjungi blognya di: http://mynameisnia.blogspot.com/ 

Jumat, 09 Desember 2011

Konflik: Manusia VS Alam


Tema yang terpilih pada pertemuan Reading Lights Writers' Circle tanggal 12 November 2011 adalah konflik manusia melawan alam. Jenis konflik ini adalah salah satu kategori yang diciptakan oleh Sir Arthur Thomas Quiller-Couch, seorang penulis dan kritikus sastra dari awal abad ke-20. Pembagian jenis konflik menurut Quiller-Couch ini banyak dikritik karena batas-batas antara kategori-kategorinya tidak dapat ditentukan dengan jelas, tetapi alasan yang sama juga memberikan tantangan tersendiri dalam upaya menulis sesuai kategori konflik yang dipilih karena setiap penulis mau tak mau harus menciptakan penafsirannya sendiri tentang kategori tersebut. Perbedaan tafsiran ini tampak jelas di antara karya-karya yang ditulis hari Sabtu ini.

Tulisan yang pertama dibacakan adalah karya Dini, dan merupakan sebuah slice of life tentang persahabatan antara seorang gadis muda dan seorang lelaki dewasa yang menderita ombrophobia (ketakutan terhadap hujan). Uniknya, walaupun tema minggu ini adalah salah satu jenis konflik, cerita ini--sebagaimana layaknya slice of life--mampu bertutur tanpa adanya suatu konflik pusat yang mendorong pergerakan alurnya.

Cerita kedua dari David mengisahkan seorang pemuda yang sedang berusaha kabur dari rumah, tetapi dalam perjalanannya ke Lembang ia kehilangan dompet sehingga pada akhirnya ia terpaksa bergantung kepada kebaikan hati seorang pengemudi truk pengangkut yang bersedia memberinya tumpangan gratis. Sayangnya, tak ada tempat yang tersisa di depan truk, dan si pemuda pun terpaksa berdesak-desakan di bak bersama segerombolan sapi yang sedang berahi.

Berikutnya, Aji membacakan sebuah cerita humor tentang sepasang beruang kutub yang terusir dari rumah mereka akibat pemanasan global, tetapi akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan menempatkan manusia sebagai binatang sirkus sebagai balasan atas segala kesulitan yang mereka derita akibat ulah manusia.

Cerita keempat dari Riri diangkat dari pengalaman pribadi tentang perjalanan mengamati kerusakan alam bawah air akibat penangkapan ikan dengan menggunakan jaring pukat dan bahan peledak. Kerusakan ini disimbolkan dengan kuat oleh sepotong bangkai lumba-lumba yang terdampar di pantai.

Saya sendiri bercerita tentang seorang vampir (pengisap darah) yang tak bisa keluar untuk berbelanja karena hari yang seharusnya medung tiba-tiba berubah menjadi terang.

Terakhir, cerita Nia mengisahkan hujan yang begitu lebat di kota Bandung hingga kota tersebut kembali berubah menjadi danau sebagaimana keadannya puluhan ribu tahun yang lalu. Terlepas dari kemustahilannya (karena tepian yang menahan Danau Bandung Purba sudah bocor), cerita ini cukup menghibur sekaligus menjadi pengingat bahwa bencana banjir tetap merupakan suatu bahaya yang nyata di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung dan Citarum.



Pradana Pandu Mahardika hanya bisa dideskripsikan sebagai begini: "Write something about myself? I wouldn't have to stoop that far if I had a horde of imperial scribes toiling day and night to chronicle my (not-so-) world-shaking exploits."

Jumat, 02 Desember 2011

Agenda: Diskusi Film Little Miss Sunshine


Teman-teman, besok akan ada event spesial di Reading Lights Writer's Circle. Kegiatannya besok tuh kita enggak akan menulis, tetapi kita akan ikut serta dalam "16 Hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2011". Jadi besok kita akan nonton bareng film Little Miss Sunshine dan akan ada diskusi setelahnya.

Hari/tanggal: Sabtu/3 Desember 2011
Waktu: 16.30-selesai
Tempat: Reading Lights, Jalan Siliwangi 16 Bandung

Jadi RLWC adalah salah satu komunitas dari roadshow acaranya-nya Jaringan Mitra Perempuan. Untuk keterangan lebih lanjut, bisa baca poster di bawah ini ya. Bagi yang penasaran tentang kekerasan pada wanita atau isu feminisme, ayo datang dan ditanyakan nanti!



Salam hangat,
RLWC