Senin, 12 Desember 2011

Culture Shock!

Beberapa teman saya pernah tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang lama. Dari cerita mereka, terdapat sebuah keterkejutan saat menginjak budaya/kebiasaan baru di negeri orang menginspirasi saya mengeluarkan tema culture shock.

Dalam tema ini, tulisan dikhususkan untuk melihat konflik atau friksi yang dialami tokoh ketika harus berhadapan dengan kebiasaan atau budaya baru yang jauh dari budaya asalnya. Masalah bisa keterbatasan bahasa, selera makanan yang berbeda, dan lainnya.

Kopi Americano-nya Reading Lights beserta lintingan kertas berisi tema nulis hari itu.

Regie bercerita tentang tokoh yang menjadi MC kompleks perumahan. Acara yang dihadiri tokoh adalah sebuah arisan ibu-ibu pejabat juga beberapa selebritis yang diisi dengan primer film Hollywood yang belum ada di bioskop yaitu Breaking Dawn.

Menurut Regie, culture shock yang ia ingin tampilkan adalah terguncangnya tokoh saat menemukan perbedaan stereotype ibu-ibu yang menyukai film remaja. Bagi saya, mungkin 'shock' yang ditulis Regie tersampaikan, tapi culture yang saya harapkan bukan seperti itu.

Rizal bercerita tentang seorang tokoh yang terbangun pagi karena kebiasaanya setelah menetap dua minggu di desa Karangpapang. Ia menemukan lingkungan fisik yang berbeda, kebosanan, kebiasaan-kebiasaan seperti tidak ada orang yang nongkrong di pinggir jalan, warga berangkat kerja pagi untuk berkebun, dan lainnya. Waktu terasa lambat dengan kebosanan menjadi inti yang masalah tokoh sehingga ia rindu pada kota. Tapi justru saat di kota, tokoh merindukan desa yang orang-orangnya begitu menghayati kehidupan.

Di dalam culture shock, terdapat empat fase penyesuaian diri dengan budaya baru. Cerita Rizal ini mencapai keempat fase tersebut. Saya pribadi suka cerita Rizal karena menunjukkan konflik tokoh ketika ia berada di kebudayaan baru. Dan setting cerita Rizal juga dekat dengan keseharian yaitu desa dan kota.

Berbeda dengan yang lain, Andika becerita tentang tokoh yang menjadi hantu namun masih menggentayangi tempat tinggalnya. Tokoh teringat dengan sejarah setiap benda yang masih tertata di rumah.

Mungkin Andika mau menceritakan kebiasaan manusia biasa dengan kebiasaan para hantu, namun diakui oleh peserta bahwa cerita Andika ini di luar tema culture shock. Selain itu, shock yang ditunjukkan tokoh pun tidak terasa karena tokoh sudah masuk ke tahap menerima bahwa ia asing di lingkungannya. Saya pribadi suka dengan diksi-diksi dalam tulisan Andika.

Jurnalis kita, Yuliasri atau akrab dipanggil Uli, bercerita tentang tokoh yang mau meneliti tentang FPI. Dalam mencari subjek penelitian, tokoh berkenalan dengan Bang Somad--seorang FPI bersuku Betawi. Tokoh mengikuti kehidupan Bang Somad selama seminggu dan menemukan hal-hal baru pada Bang Somad sebagai suku Betawi. Misalnya Bang Somad anak tuan tanah yang rela menjual aset untuk acara kawinan, doyan pesta pora sambil mabuk, tetapi jubah putihnya akan dipakai jika organisasi yang diikutinya itu dipanggil.

Uli bercerita tentang tokoh yang memaparkan sebuah kebudayaan yang jauh darinya yaitu sebuah budaya dimana prestis menempati urutan pertama dan apapun direlakan agar prestis tersebut tercapai. Misalnya rela membayar sawer mahal dan diakui banyak orang walaupun diri menjadi miskin.

Sesi menulis di RLWC

Tokoh dengan ribuan kilo jauh dari rumah dituliskan oleh Riri. Tokoh menjadi au pair di negeri seberang yang tentunya menemui beragam budaya baru seperti kebiasaan cium pipi di Eropa. Dan di sana, ada beberapa tugas di luar kesepakatan au pair seperti harus membersihkan rumah. Tokoh mengalami konflik yaitu tokoh harus makan di jam-jam tertentu, dipaksa menyesuaikan diri dengan kebudayaan orang Eropa. Jadinya tokoh sering mengambil roti dan memakannya diam-diam di kamar saat lapar.

Kalau saya bercerita tentang orang Jawa yang terkaget-kaget saat bertemu dengan orang Sunda di sebuah acara lamaran. Orang Jawa yang kalem, santun, berbicara perlahan itu terkejut saat menemui orang Sunda yang mukanya penuh perona, memakai kebaya yang dimodifikasi, dan gerak-gerik yang lebih bebas.

Farida menuliskan cerita yang lebih mudah dimengerti (menurut Regie). Ia bercerita tentang tokoh, seorang WNI, yang berkunjung ke negara orang yang budayanya bebas seperti perilaku seks bebas. Demi menghindari aksi tersebut, tokoh pergi ke tempat lain sampai menemukan sebuah 'welcoming party' yang joget-joget dan minum-minum.

Alienasi yang dipaparkan Farida begitu terasa. Dimana tokoh merasa seperti sirkus di tengah penonton yang disambut berbagai bahasa. Rasa cemas dan takut di lingkungan baru ia dekatkan dengan pengalaman keseharian, "Aku baru mengerti takutnya pembantu baruku ketika diwawancarai mama."

Ada Dani. Seharusnya ia membaca setelah Farida. Tapi ia memilih tidak mau membaca. Patut tak ditiru!

Tulisan culture shock ini tentu akan lebih baik lagi jika sebelumnya dilakukan sebuah riset tentang dua budaya yang mau dibandingkan. Misalnya saya sendiri jadi tidak bisa melakukan dialog dengan kata-kata Jawa karena tidak tahu dan kurangnya pengetahuan tentang budaya Jawa dan Sunda itu sendiri.




Nia Janiar adalah seorang travel writer yang akhir-akhir ini lebih sering menulis karya non fiksi, rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar agar bisa jadi penulis. Kunjungi blognya di: http://mynameisnia.blogspot.com/ 

Tidak ada komentar: