Jumat, 09 Desember 2011

Konflik: Manusia VS Alam


Tema yang terpilih pada pertemuan Reading Lights Writers' Circle tanggal 12 November 2011 adalah konflik manusia melawan alam. Jenis konflik ini adalah salah satu kategori yang diciptakan oleh Sir Arthur Thomas Quiller-Couch, seorang penulis dan kritikus sastra dari awal abad ke-20. Pembagian jenis konflik menurut Quiller-Couch ini banyak dikritik karena batas-batas antara kategori-kategorinya tidak dapat ditentukan dengan jelas, tetapi alasan yang sama juga memberikan tantangan tersendiri dalam upaya menulis sesuai kategori konflik yang dipilih karena setiap penulis mau tak mau harus menciptakan penafsirannya sendiri tentang kategori tersebut. Perbedaan tafsiran ini tampak jelas di antara karya-karya yang ditulis hari Sabtu ini.

Tulisan yang pertama dibacakan adalah karya Dini, dan merupakan sebuah slice of life tentang persahabatan antara seorang gadis muda dan seorang lelaki dewasa yang menderita ombrophobia (ketakutan terhadap hujan). Uniknya, walaupun tema minggu ini adalah salah satu jenis konflik, cerita ini--sebagaimana layaknya slice of life--mampu bertutur tanpa adanya suatu konflik pusat yang mendorong pergerakan alurnya.

Cerita kedua dari David mengisahkan seorang pemuda yang sedang berusaha kabur dari rumah, tetapi dalam perjalanannya ke Lembang ia kehilangan dompet sehingga pada akhirnya ia terpaksa bergantung kepada kebaikan hati seorang pengemudi truk pengangkut yang bersedia memberinya tumpangan gratis. Sayangnya, tak ada tempat yang tersisa di depan truk, dan si pemuda pun terpaksa berdesak-desakan di bak bersama segerombolan sapi yang sedang berahi.

Berikutnya, Aji membacakan sebuah cerita humor tentang sepasang beruang kutub yang terusir dari rumah mereka akibat pemanasan global, tetapi akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan menempatkan manusia sebagai binatang sirkus sebagai balasan atas segala kesulitan yang mereka derita akibat ulah manusia.

Cerita keempat dari Riri diangkat dari pengalaman pribadi tentang perjalanan mengamati kerusakan alam bawah air akibat penangkapan ikan dengan menggunakan jaring pukat dan bahan peledak. Kerusakan ini disimbolkan dengan kuat oleh sepotong bangkai lumba-lumba yang terdampar di pantai.

Saya sendiri bercerita tentang seorang vampir (pengisap darah) yang tak bisa keluar untuk berbelanja karena hari yang seharusnya medung tiba-tiba berubah menjadi terang.

Terakhir, cerita Nia mengisahkan hujan yang begitu lebat di kota Bandung hingga kota tersebut kembali berubah menjadi danau sebagaimana keadannya puluhan ribu tahun yang lalu. Terlepas dari kemustahilannya (karena tepian yang menahan Danau Bandung Purba sudah bocor), cerita ini cukup menghibur sekaligus menjadi pengingat bahwa bencana banjir tetap merupakan suatu bahaya yang nyata di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung dan Citarum.



Pradana Pandu Mahardika hanya bisa dideskripsikan sebagai begini: "Write something about myself? I wouldn't have to stoop that far if I had a horde of imperial scribes toiling day and night to chronicle my (not-so-) world-shaking exploits."

Tidak ada komentar: