Senin, 25 Juli 2011

Tenggelam dalam Masyarakat Urban

Sesi RLWC 23 Juli 2011 tidak seperti sesi RLWC umumnya akhir-akhir ini. Pertama, jumlah peserta yang hadir kali ini relatif lebih banyak dari biasanya, karena ada Uli yang sudah cukup lama tak datang, dan ada dua orang peserta baru. Kedua, kami tidak mencari-cari tema sekenanya karena Nia sudah menetapkan tema dengan tegas—tema, yang, harus saya akui, bagus sekali. Ketiga, setelah hampir setahun, saya akhirnya kembali bersedia menulis jurnal, hehehe :D

Tema kami minggu ini adalah masyarakat urban; Nia menyatakan bahwa penekanannya adalah relasi tokoh dengan masyarakat urban, bukan dengan perkotaan itu sendiri. Waktunya kali ini juga cukup diperpanjang, yakni 45 menit dan bukan 30 menit seperti biasanya.

Foto oleh Randy Olson

Hasilnya: setiap peserta membahas kehidupan masyarakat urban dari sudut pandang yang kaya dan berbeda-beda.

Saya bertutur tentang masyarakat urban kelas bawah yang terhimpit masalah perekonomian, dan berujung pada kejahatan. Tokohnya adalah Rudi, pemuda desa yang menjual harta warisannya di desa demi iming-iming hidup sejahtera di kota, seperti Yana, tetangganya. Ternyata menjadi buruh di kota tidak seindah yang ia bayangkan, bahkan lebih buruk lagi dari bertani, karena mereka hidup dalam ruang pengap dan harus hutang sana-sini untuk hidup. Pada akhirnya Rudi ditipu oleh Yana dan kehilangan segalanya. Kehidupannya menjadi sangat kontras dengan para pemuda kota dari kalangan yang berbeda, yang tampaknya hidup santai-santai tapi bisa hidup mewah. Cerita ditutup dengan Rudi yang terpaksa memecah kaca jendela mobil untuk bertahan hidup; dan bagaimana aksi terakhirnya itu membawanya kembali pada kedua orangtuanya, dan pada sawah yang dirindukannya, dalam kematian.

Cerita ini diikuti dengan diskusi mengenai nasib buruh pabrik, yang menurut Sapta gajinya tidak terlalu kecil, justru lumayan besar. Harus saya akui, cerita ini memang ditulis berdasarkan kisah yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bisa jadi kurang relevan dengan situasi saat ini. Uli berkomentar bahwa aksi pemecahan kaca jendela mobil juga marak saat ini, karena orang silau dengan benda-benda yang ada di dalamnya.

Berikutnya, Sapta bercerita tentang masyarakat urban yang dilanda kehampaan dan melarikan diri pada pelacuran. Tokohnya adalah Mustofa, seorang kepala rumah tangga yang hidupnya serba berkecukupan. Di rumah, Mustofa menampilkan diri sebagai kepala keluarga yang alim, yang mengajak istrinya shalat berjamaah. Namun, dengan berbohong pada istrinya, Mustofa mendatangi tempat pijat plus plus untuk melepaskan birahinya. Cerita ditutup dengan Mustofa meminta kenalannya untuk memberikan rekomendasi “tempat pijat” lain selain Heri.

Saya dan Uli berkomentar bahwa kami sudah bisa menebak arah ceritanya, dan saya menambahkan bahwa tadinya saya berharap Sapta akan memberikan kejutan atau twist di bagian akhir yang tidak saya duga, seperti yang biasa ia lakukan. Sapta menjawab bahwa pada cerita ini ia memang menggambarkan tokoh masyarakat urban secara gamblang saja (dan baru sekarang saya sadar, ternyata twist-nya adalah nama pelacurnya, yakni Heri, seorang pria). Cerita ini juga diikuti dengan diskusi mengenai maraknya “tempat pijat plus plus” tersembunyi di apartemen-apartemen seperti yang Sapta ceritakan, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan kaum urban.

Uli melukiskan masyarakat urban kelas atas yang berorientasi pada harta dan jauh dari keluarga. Tokohnya adalah Robo, seorang pemuda yang awalnya membenci kaum kapitalis, hingga sulit mendapatkan pekerjaan di mana-mana. Ketika proposal bisnisnya disetujui dan berkembang pesat, gaya hidupnya pun meningkat. Hubungannya dengan putri seorang pengusaha membuatnya semakin serakah, hingga pelan-pelan ia pun menjadi kapitalis dan mengorbankan orang-orang yang mempercayainya, termasuk keluarganya sendiri, demi bisa hidup mewah. Pada akhirnya, ketika Robo berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah, ia dikelilingi para pengusaha dan pejabat, tapi tidak ada keluarga.

Saya suka cerita Uli ini karena berhasil memotret dua aspek masyarakat urban sekaligus, yakni kecenderungan lingkungan urban yang menuntut masyarakat menjadi kapitalis, serta kecenderungan kaum urban yang jauh dari keluarga.

Nia memotret lingkungan urban yang tidak ramah dan penuh ancaman bagi kaum wanita. Tokohnya adalah Rani, seorang mahasiswi yang sedang berkeliling kota kelahirannya, Bandung. Pertama ia bertemu anak-anak yang tampak lugu, namun tanpa malu mengajaknya--sebagaimana yang disebutkan tokoh anak--ngentot. Kedua ia dihadang dan diganggu oleh para pemuda di jembatan. Belakangan, ketika Rani berhasil meloloskan diri dan meminta bantuan polisi, polisi pun meminta bayaran padanya.

Kami berkomentar bahwa cerita Nia ini agak berbeda dari tiga cerita sebelumnya, karena dalam cerita ini tokoh utama hanya menjadi pengamat dan korban. Uli menambahkan cerita Nia ini juga berbeda dari segi waktu dan setting yang terbatas. Nia bercerita bahwa ceritanya kali ini diilhami dari kisah nyata yang ia alami dengan anak-anak di dekat rumahnya. Saya pribadi tertarik dengan kisah anak-anak yang tanpa malu-malu mengajak wanita yang mereka lihat untuk berhubungan seks; nyatanya dalam masyarakat urban, anak-anak pun kerap menjadi korban karena mendengar, melihat, dan belajar hal-hal yang tidak seharusnya mereka ketahui dulu.

Tiwi menggambarkan bagaimana tekanan lingkungan kerja masyarakat urban dapat mengubah watak seseorang. Tiwi bercerita tentang Wulan, gadis yang sudah 3 bulan bekerja di Jakarta. Dalam cerita ini Wulan mulai sering jengkel dengan orang-orang Jakarta, apalagi dengan rekan-rekannya di kantor. Ia sering ditindas oleh pegawai senior yang konon dulu selugu dirinya, hingga akhirnya Wulan berani membentak pegawai senior itu; dan mendapati dirinya mulai berubah menjadi monster, seperti pegawai senior itu. Menjelang perayaan 3 bulan ia bekerja di tempat itu, Wulan pun memutuskan untuk mengayuh sepedanya, meninggalkan pekerjaannya, dan kembali ke Bandung.

Berawal dari pertanyaan Sapta, Tiwi pun menuturkan bahwa cerita ini diilhami pengalaman nyatanya selama bekerja di Jakarta. Uli menambahkan bahwa ia mengalami hal yang sama, bahwa setelah sekian waktu bekerja di Jakarta, ia mendapati dirinya menjadi lebih mudah marah dan mudah menghardik orang lain. Saya menambahkan bahwa cerita Tiwi ini adalah versi lain dari tema yang saya angkat; bedanya, saya mengangkat masyarakat kelas bawah sehingga tekanannya adalah ekonomi dan berujung pada kejahatan, sementara Tiwi mengangkat masyarakat kelas menengah yang tekanannya lebih bersifat psikologis dan berujung pada perubahan watak.

AM melukiskan masyarakat kelas urban yang teralienasi dari pekerjaannya. Ceritanya memuat dialog antara Rudi dan Bayu, di mana Rudi mengeluhkan pekerjaannya yang 5 hari seminggu dan 8 jam sehari, serta minim hubungan antarmanusia, hingga tubuhnya sudah sangat terpola, seperti robot. Bayu pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan akhirnya “menceramahi” Rudi karena meskipun kebutuhan-kebutuhannya sudah terpenuhi, Rudi masih saja mengeluh.

Beberapa dari kami terutama mengomentari gaya ceritanya yang berbentuk dialog. Saya merasa kesulitan mengikuti siapa yang sedang berbicara dan berkesimpulan mungkin cerita seperti itu lebih enak dibaca sendiri daripada dibacakan. Sapta dan Uli berkomentar tentang banyaknya penggunaan kata “ia berkata”, sehingga terasa kurang kaya. AM mengatakan bahwa ia sengaja memilih bentuk dialog karena itu adalah kelemahannya, dan ia ingin mengasah kemampuannya di bidang itu.

Uli juga berkomentar bahwa cerita AM ini mengingatkannya akan sebuah film, dan akan lebih menarik kalau tokoh Rudi dalam cerita itu menunjukkan “tubuh yang terpola” itu secara ekstrim, misalnya hingga ia bisa menghitung berapa sikatan saat sikat gigi. Saya suka idenya Uli.

Omong-omong “menunjukkan”, saya juga berkomentar bahwa cerita AM kurang sesuai dengan selera saya pribadi, karena kurang “menunjukkan” dan lebih banyak “mengatakan”. Preachy, istilah yang saya gunakan. Saya merasa AM menggunakan tokoh Bayu yang “menceramahi” Rudi untuk “menceramahi” pembaca mengenai pemikirannya, sementara saya lebih suka cerita-cerita yang menyampaikan pesan secara halus melalui pengalaman si tokoh dan bukan melalui “ceramah”-nya. AM berkilah bahwa dialog ini hanyalah penulisan ulang pengalamannya berdialog dengan seorang temannya, dan tidak dimaksudkan untuk menguliahi pembaca. Namun memang ini masalah selera pribadi.

Terakhir, Dani menggambarkan masyarakat urban yang saling terasing dan tidak saling mengenal. Tokoh aku yang berjalan dari pintu mal ke pintu mal lain untuk menghindari panas bertemu dengan banyak manusia, banyak wajah, namun semuanya asing. Di kamar kontrakan ia telah ditunggu kekasihnya dan bercinta. Namun setelah itu kekasihnya pergi dari kamarnya, dan ketika tokoh aku mengejarnya, ia tak dapat menemukan kekasihnya itu, karena ada begitu banyak wajah dan semuanya asing.

Saat mulai membacakan, Dani mengatakan bahwa alur ceritanya berantakan. Namun saya pribadi sangat mengapresiasi tema yang ia angkat, yakni keterasingan satu sama lain, karena tema ini belum diangkat oleh penulis yang lain. Uli juga berkomentar bahwa sekarang Dani tidak lagi melulu bercerita tentang perang dan tentara. Seorang dari kami menanggapi Uli bahwa sekarang Dani juga mulai banyak bercerita tentang kisah percintaan dan tidak hanya terjebak dalam tema perang.

Secara keseluruhan, kami memang memotret masyarakat urban dari aspek yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya, kami menyampaikan hal yang sama: adanya waban keterasingan dalam masyakarat urban, dan bagaimana hal tersebut berdampak pada kehidupan si tokoh. Kami memandang lingkungan masyarakat urban secara negatif. Ada yang tertarik menggambarkannya dari sudut pandang yang lebih positif, mungkin?



Rizal Affif adalah seorang konsultan HR meskipun sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan desain. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri disela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang menyusun rencana untuk beralih profesi yang lebih sesuai dengan passion-nya.

Senin, 18 Juli 2011

Jingga, di sembilan Juli.

Jingga, di sembilan Juli.


9 Juli 2011. Kali ini, cara mendapatkan tema adalah dengan arisan. Masing-masing menulis tema dalam gulungan. Akhirnya keluarlah satu tema. Jingga.


Rizal bercerita tentang mawar berwarna jingga. Seperti biasa, setting ceritanya adalah sepasang suami-istri. Kali ini mereka tinggal di rumah baru yang penuh tanaman bunga. Favorit mereka adalah mawar merah. Tapi suatu hari, mawar merah itu berubah jingga semua. Berkali-kali si tokoh utama mendatangi penjual bunga untuk komplain, kok bisa jadi jingga. Istrinya jadi suka mimpi buruk, kepanasan, bahkan tengah malam sering terjaga. Beberapa hari kemudian saat pulang kerja, tokoh utama datang dan melihat seluruh rumahnya sudah jadi jingga semua. Api jingga. Hm, mungkin mawar jingga adalah pertanda.


Giliran Sapta yang bercerita tentang titian pelangi yang memiliki banyak warna. Intinya, ini cerita dari langit tentang tujuh puteri dewa. Mereka turun ke bumi untuk mandi, namun sayang selendang puteri ungu hilang tercuri. Cerita ini kita dengar, karena kakak jingga yang bercerita. Cerita ini dipuji karena Sapta bagus sekali menuliskannya. Rizal menantikan adanya twist di akhir, seperti kakak jingga merelakan selendangnya untuk adiknya.


Selanjutnya Nia. Nia membuat puisi di laptopnya. Tentu saja tentang jingga. Ini dia curhatannya…


Jutaan warna–warna tercerap,

kau ajarkanku mengeja,

sampai aku paling fasih mengucap:

Jingga.

Adalah warna yang kau tunjuk pada pusat semesta yang masuk ke dalam lautan selimut biru,

rok berlipit bunga-bunga,

tiang besi di rumah,

cat kuku,

sepatu karet,

cat-cat yang ada di rumah makan cepat saji,

dan bahkan pantulan cahaya matahari di matamu.

Aku yang menunjuk,

memakai jari telunjuk,

tepat ke arah matamu,

lalu kusebut:

Jingga

Kau tergelak,

matamu berpaling lalu mulai redup,

membiarkan aku sendiri mengucap jingga-jingga yang lain.

Sampai aku lupa pada Jingga.

Semenjak kamu tidak ada,

lalu sibuk dengan wewarna,

dan satu orang dan mengenalkan: ini orens namanya.


Kata Nia, pembahasan puisi itu tidak perlu ada intrepretasi. Lebih enak dinikmati sendiri-sendiri. Seperti lukisan abstak yang bernilai seni. Mantap sekali Ni..


Lalu ada Riko. Riko ini kawan Maknyes yang menjadi kawan kita semua. Ini kedatangan perdananya. Kali ini, ia juga menulis puisi seperti Nia.


Jingga membahana
Dan aku terpesona rupa nan membutakan mata.
Kemudian nanar lalu lupa
pada wajah yang membuatku ada.

Lari...
Entah, kali ini hanya ingin pergi
Mengusir sepi nan seolah setia menghampiri.
Berhenti..tapi tak ingin kembali

Mati saja

Toh, rupa mencuri sebagian mata
Lalu membiarkan hati kehilangan makna kemudian menua.
Dan tersisa luka


Riko enak sekali baca puisinya. Macam Rangga di Ada Apa dengan Cinta.


Ryan sudah siap dengan ceritanya. Ia bercerita tentang Sela. Dengan alur maju mundur ia bercerita tentang Sela yang melihat pelangi dan betapa ingin ia mengenal warna. Dulunya Sela buta, dunianya semua hitam. Lalu ia operasi mata, tapi warna yang dilihat hanya tiga. Putih hitam dan kelabu, itu saja. Sekarang Sela sudah sembuh, ia bisa melihat warna. Hanya saja sekarang arti warna yang indah-indah telah berubah di kepalanya. Merah itu darah, ungu itu lebam terpukul. Yang tetap indah hanya jingga. Selalu hangat seperti matahari sore, katanya. Ada pertanyaan dari Sapta, bagaimana mekanismenya sembuh dari butawarna, pembahasan selanjutnya kita tunda saja ya…


Maknyes tidak tahan untuk dapat giliran membaca. Ia bercerita tentang seorang tokoh dari partai merah yang direpresentasikan dengan tangan metal. Dalam ceritanya, tampak tokoh partai kuning yang melambangkan tangan damai bernama Husni. Si tokoh partai merah berpikir di seberang layar kaca, mengagumi sosok Husni dalam layar kaca yang ganteng menawan, teringat tentang kisah cinta di masa lalu tentang mereka yang bahagia. Katanya, seharusnya merah dan kuning bersatu saja. Toh jingga warna yang romantis adanya. Oh ya, perkenalkan. Tokoh partai merah kita namanya Bambaaaaaang.. Emm, Cyin..


*


Retno Wulandari, panggil saja Neno. Sebelum (akhirnya) menyelesaikan jurnal ini -karena sudah dicolek2 sama Miss Nia- ia baru saja merampungkan buku Ohh Emm Jii-nya Sang Maknyes. Jadi begitulah ceritanya kenapa saya telat bikin jurnalnya, ahahahahaha.. :P

Selasa, 05 Juli 2011

Bergaya Hidup Miskin

Orang bilang hidup adalah pilihan. Keberadaan kita yang sekarang adalah produk atau hasil dari pilihan-pilihan yang kita buat.

Adalah juga pilihan, setelah sekitar lebih dari dua bulan absen, akhirnya saya kembali hadir di pertemuan Reading Lights Writers’ Circle hari itu (Sabtu, 2/7). Di sore yang cerah itu, saya dan Nia melangkah masuk ke Reading Lights CafĂ© dan menemukan Sapta, Rizal, dan Neno yang sudah lebih dulu datang.

Sebelum memulai sesi kali ini, kami berbincang-bincang tentang beberapa hal. Beberapa kali Sapta bertanya akan menulis apa hari ini, tapi tak jua ada yang memberikan tema. Hingga akhirnya di tengah perbincangan (saya lupa tentang apa), tercetuslah sebuah ungkapan `miskin sebagai gaya hidup`. Mendengar ini, Sapta pun menobatkan ungkapan tersebut—miskin sebagai gaya hidup—sebagai tema menulis kali ini, yang langsung kami setujui.

Beberapa menit setelah Neno mengaktifkan timer, Dani datang dan langsung memisahkan diri ke meja lain untuk menulis.

Tiga puluh menit berlalu cepat. Pada sesi pembacaan, saya menawarkan diri untuk membacakan karya lebih dulu. Sebab belakangan merasa kesulitan menulis cerpen utuh (apalagi hanya dalam waktu 30 menit), saya memilih menulis narrative poem.

Puisi ini bercerita tentang gadis miskin bernama Lena yang terpaksa menikah dengan duda kaya anak dua, demi melunasi hutang keluarga. Awalnya duda kaya berpikir ia tidak salah memilih istri kedua sebab Lena pandai mengurus semua hal: anak, rumah, dan isinya. Tapi, di usia 3 bulan pernikahan mereka, duda kaya mulai sadar bahwa ia bukannya tidak salah pilih istri kedua, melainkan pembantu rumah tangga. Meski sudah menjadi istri duda kaya, Lena tidak bisa membebaskan diri dari gaya hidupnya yang miskin.

Rizal menulis tentang pengusaha kaya, Abdullah, yang memanjakan sekaligus mendidik anaknya, Sultan, untuk hidup sebagai orang kaya. Hal ini sengaja ia lakukan demi mematahkan ramalan seorang wanita yang mengatakan bahwa anaknya akan memilih hidup sebagai orang miskin dan keluarganya akan mati dalam keadaan miskin. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; betapa kecewa dan terkejutnya Abdullah, saat Sultan datang memohon ijinnya untuk pergi berpetualang tanpa didukung fasilitas apapun. Untuk menggagalkan niatnya, Sultan pun disekap tapi berhasil kabur.

Tak lama berselang, Sultan ditemukan tewas di pedalaman Papua. Hal ini membuat Abdullah dan istrinya bersedih dan sakit-sakitan. Perlahan tapi pasti, hartanya habis untuk pengobatan yang ternyata tak berhasil menyelamatkan istrinya maupun dirinya sendiri. Saat Abdullah kehilangan semua, ia sudah tidak bisa kehilangan apapun lagi.

Rizal belum menyelesaikan tulisannya, tapi berdasarkan narasi lisan dari Rizal, Abdullah akhirnya meninggal dan kembali berkumpul bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa anaknya mati dalam keadaan bahagia sebab telah menjalani apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Pembacaan berikutnya adalah cerita yang ditulis Sapta. Cerita dibuka dengan penggambaran tokoh bernama Nenek Damiri yang kebingungan menghadapi cucunya yang menangis sebab lapar. Orangtua sang bayi sudah mati, sebagaimana halnya yang terjadi dengan kebanyakan penduduk desa tersebut. Cerita dilanjutkan dengan penggambaran seting yang baik tentang sungai yang kering hingga banyak ikan-ikan yang mati.

Tiba-tiba muncul Raja Tobias yang sedang berpesta pora bersama segenap penghuni kerajaan dalam rangka merayakan kemenangan dalam perang. Mereka berbahagia di atas kesedihan para wanita dan anak-anak yang kehilangan suami atau ayah mereka dalam peperangan tersebut. Lalu muncul wanita muda dengan pakaian terbuka, yang duduk di sebuah taman menunggu pelanggan datang. Adalah Anita namanya, wanita desa yang mengadu nasib ke kota, namun terjerumus ke dalam jurang pelacuran. Ia lupakan semua nasihat orang tua untuk selalu menjaga agamanya. Semua hal butuh proses dan waktu, tapi Anita rupanya tak mau bersusah-susah bekerja untuk mendapatkan uang.

Rupanya, Sapta menulis tiga cerita yang masing-masing menggambarkan miskin air, miskin hati, dan miskin agama.

Sebab Dani menolak membacakan karyanya—yang katanya belum selesai—tibalah kini giliran Nia. Tak seperti biasanya, menurut peserta lain, tulisan Nia kali ini sedikit ngepop. Nia menulis tentang tokoh aku yang jatuh cinta pada Adri. Si aku sering mengintip Facebook Adri untuk mencari tahu adakah dia disebut-sebut di statusnya. Tapi usahanya sia-sia.

Hingga suatu hari, nasib mempertemukan mereka kembali, dan kali ini tokoh Aku berkesempatan untuk bisa dekat dengan Adri. Kupu-kupu dalam perut masih mengepak, tapi tidak seheboh dulu, begitu kata Aku untuk menggambarkan perasaanya. Dari obrolan mereka, Aku tahu bahwa Adri belum ingin punya pacar dengan alasan tak mau repot mengurusnya. Tahulah Aku bahwa Adri memang miskin hatinya.

Dengan selesainya pembacaan cerita dari Nia, maka berakhirlah pertemuan RLWC hari Sabtu kemarin. Masing-masing kami menulis dan menginterpretasikan ungkapan miskin sebagai gaya hidup dengan cara yang berbeda-beda. Bagaimanapun, itu adalah pilihan yang kami buat. Cheers!



Neni Iryani

http://lilalily.blogspot.com/