Senin, 18 Juli 2011

Jingga, di sembilan Juli.

Jingga, di sembilan Juli.


9 Juli 2011. Kali ini, cara mendapatkan tema adalah dengan arisan. Masing-masing menulis tema dalam gulungan. Akhirnya keluarlah satu tema. Jingga.


Rizal bercerita tentang mawar berwarna jingga. Seperti biasa, setting ceritanya adalah sepasang suami-istri. Kali ini mereka tinggal di rumah baru yang penuh tanaman bunga. Favorit mereka adalah mawar merah. Tapi suatu hari, mawar merah itu berubah jingga semua. Berkali-kali si tokoh utama mendatangi penjual bunga untuk komplain, kok bisa jadi jingga. Istrinya jadi suka mimpi buruk, kepanasan, bahkan tengah malam sering terjaga. Beberapa hari kemudian saat pulang kerja, tokoh utama datang dan melihat seluruh rumahnya sudah jadi jingga semua. Api jingga. Hm, mungkin mawar jingga adalah pertanda.


Giliran Sapta yang bercerita tentang titian pelangi yang memiliki banyak warna. Intinya, ini cerita dari langit tentang tujuh puteri dewa. Mereka turun ke bumi untuk mandi, namun sayang selendang puteri ungu hilang tercuri. Cerita ini kita dengar, karena kakak jingga yang bercerita. Cerita ini dipuji karena Sapta bagus sekali menuliskannya. Rizal menantikan adanya twist di akhir, seperti kakak jingga merelakan selendangnya untuk adiknya.


Selanjutnya Nia. Nia membuat puisi di laptopnya. Tentu saja tentang jingga. Ini dia curhatannya…


Jutaan warna–warna tercerap,

kau ajarkanku mengeja,

sampai aku paling fasih mengucap:

Jingga.

Adalah warna yang kau tunjuk pada pusat semesta yang masuk ke dalam lautan selimut biru,

rok berlipit bunga-bunga,

tiang besi di rumah,

cat kuku,

sepatu karet,

cat-cat yang ada di rumah makan cepat saji,

dan bahkan pantulan cahaya matahari di matamu.

Aku yang menunjuk,

memakai jari telunjuk,

tepat ke arah matamu,

lalu kusebut:

Jingga

Kau tergelak,

matamu berpaling lalu mulai redup,

membiarkan aku sendiri mengucap jingga-jingga yang lain.

Sampai aku lupa pada Jingga.

Semenjak kamu tidak ada,

lalu sibuk dengan wewarna,

dan satu orang dan mengenalkan: ini orens namanya.


Kata Nia, pembahasan puisi itu tidak perlu ada intrepretasi. Lebih enak dinikmati sendiri-sendiri. Seperti lukisan abstak yang bernilai seni. Mantap sekali Ni..


Lalu ada Riko. Riko ini kawan Maknyes yang menjadi kawan kita semua. Ini kedatangan perdananya. Kali ini, ia juga menulis puisi seperti Nia.


Jingga membahana
Dan aku terpesona rupa nan membutakan mata.
Kemudian nanar lalu lupa
pada wajah yang membuatku ada.

Lari...
Entah, kali ini hanya ingin pergi
Mengusir sepi nan seolah setia menghampiri.
Berhenti..tapi tak ingin kembali

Mati saja

Toh, rupa mencuri sebagian mata
Lalu membiarkan hati kehilangan makna kemudian menua.
Dan tersisa luka


Riko enak sekali baca puisinya. Macam Rangga di Ada Apa dengan Cinta.


Ryan sudah siap dengan ceritanya. Ia bercerita tentang Sela. Dengan alur maju mundur ia bercerita tentang Sela yang melihat pelangi dan betapa ingin ia mengenal warna. Dulunya Sela buta, dunianya semua hitam. Lalu ia operasi mata, tapi warna yang dilihat hanya tiga. Putih hitam dan kelabu, itu saja. Sekarang Sela sudah sembuh, ia bisa melihat warna. Hanya saja sekarang arti warna yang indah-indah telah berubah di kepalanya. Merah itu darah, ungu itu lebam terpukul. Yang tetap indah hanya jingga. Selalu hangat seperti matahari sore, katanya. Ada pertanyaan dari Sapta, bagaimana mekanismenya sembuh dari butawarna, pembahasan selanjutnya kita tunda saja ya…


Maknyes tidak tahan untuk dapat giliran membaca. Ia bercerita tentang seorang tokoh dari partai merah yang direpresentasikan dengan tangan metal. Dalam ceritanya, tampak tokoh partai kuning yang melambangkan tangan damai bernama Husni. Si tokoh partai merah berpikir di seberang layar kaca, mengagumi sosok Husni dalam layar kaca yang ganteng menawan, teringat tentang kisah cinta di masa lalu tentang mereka yang bahagia. Katanya, seharusnya merah dan kuning bersatu saja. Toh jingga warna yang romantis adanya. Oh ya, perkenalkan. Tokoh partai merah kita namanya Bambaaaaaang.. Emm, Cyin..


*


Retno Wulandari, panggil saja Neno. Sebelum (akhirnya) menyelesaikan jurnal ini -karena sudah dicolek2 sama Miss Nia- ia baru saja merampungkan buku Ohh Emm Jii-nya Sang Maknyes. Jadi begitulah ceritanya kenapa saya telat bikin jurnalnya, ahahahahaha.. :P

2 komentar:

maknyes mengatakan...

Bahhhaahahaha... waduuu telat bikin jurnal gegara Ohh Emm Jii!! :)))) *melipir maluk*

Nia Janiar mengatakan...

Kayaknya kalo buku lu di-review sama salah satu anak RL dan ditulis di blog ini kayaknya seru tuh..