Seberapa mampukah kita sebagai penulis menggambarkan emosi yang dialami tokoh, tanpa memberikan penjelasan yang gamblang? Hal inilah yang menjadi tema dari sesi RLWC pada tanggal 19 Maret 2011. Kebetulan sore itu hujan, dan hanya ada tiga orang yang hadir: Rizal, Dani, dan Nia. Saya pun mengajukan tema “penggambaran emosi” ini berdasarkan dua alasan: pertama, baik Nia maupun Dani tidak punya ide tema, dan kedua, saya merasa kemampuan menggambarkan emosi tokoh, tanpa menyebutkannya secara gamblang, adalah salah satu keahlian wajib yang harus dimiliki oleh penulis. Nia pun menjadi time keeper, yang menetapkan waktunya 45 menit, mengingat biasanya dalam waktu 30 menit selalu ada yang minta waktu tambahan.
Di akhir waktu, Dani masih harus menyelesaikan 2 kalimat. Nia pun mengambil giliran pertama untuk membacakan. Nia bercerita mengenai seorang tokoh bernama Musa Idris yang terkena ruam aneh di punggung tangannya, serta kehilangan selera makannya. Belakangan melalui perbincangan Musa Idris dengan temannya, diketahui bahwa Musa Idris menyimpan rasa bersalah karena tidak sengaja membunuh seorang anak kecil. Menurut saya, cerita Nia ini yang paling berhasil menggambarkan perasaan atau suasana jiwa tokohnya dengan kuat.
Yang membacakan berikutnya adalah saya. Kali ini saya bercerita tentang seorang tokoh bernama Satrio, yang menghayati ruang tinggalnya yang kosong dan hampa sejak istrinya lari dengan pria lain. Belakangan ia membuang semua barang yang membuatnya terkenang atas mantan istrinya itu, dan menikmati lagi matahari sore yang membangkitkan kenangan manis. Sayangnya, pada cerita ini, saya terjebak untuk menjelaskan kisah antara Satrio dan mantan istrinya, sehingga porsi yang menggambarkan emosi jiwa Satrio menjadi kurang mencolok dan kurang kuat.
Dani adalah yang terakhir kali membacakan cerita. Dani bercerita tentang seorang prajurit bernama Florian, dalam sebuah suasana perang. Sepanjang cerita Dani banyak memberikan deskripsi-deskripsi yang jelas dan detail, namun upayanya untuk menggambarkan situasi jiwa Florian yang dilanda kepanikan kurang tertangkap oleh saya maupun Nia.
Sesi RLWC kali ini ditutup lebih cepat daripada biasanya karena tiba-tiba Nia harus pulang. Saya dan Dani pun ikut membubarkan diri.
Rizal Affif adalah seorang konsultan HR yang sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan web design ketimbang dunia industri. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri disela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang merencanakan pembuatan blog mengenai manajemen HR untuk menunjang karirnya.