Selasa, 30 Maret 2010

Sehari Bersama Bintang


Tema pertemuan Reading Lights Writers' Circle (RLWC) tanggal 20 Maret 2010 adalah "Sehari Bersama Bintang." Pada dasarnya kami harus menulis tentang suatu pertemuan atau suatu hari yang dihabiskan bersama dengan seorang tokoh terkenal, baik bintang ataupun pahlawan atau idola pribadi atau tokoh fiksi atau siapapun itu. Dengan lingkup petunjuk yang begitu luas, sudah pasti pilihan tokoh dan jenis tulisan yang diambil para peserta pertemuan kali ini sangatlah beragam.


Peserta yang mendapat giliran pertama untuk membacakan karyanya adalah Sapta, yang baru mengikuti pertemuan RLWC untuk kesekian kalinya. Ceritanya dibawakan dari sudut pandang seorang tokoh bernama Susilawan; tokoh ini memiliki seorang adik bernama Susilawati yang tergila-gila dengan tetangga mereka yang kebetulan seorang artis, walaupun tetangga ini ternyata masih tetap kampungan (sebagaimana ditekankan dengan penggunaan "kandang sapi" sebagai simile untuk kebiasaan kumpul kebo yang dijalankan si tetangga ini). Suatu hari, tetangga ini menemukan rumahnya telah didobrak dengan paksa, dan ia dengan begitu melodramatis memanggil polisi sekalipun ia sama sekali belum memeriksa keadaan rumahnya sendiri lebih jauh. Setelah polisi datang menyelidik, ternyata mereka menemukan Susilawati yang sedang mencoba-coba pakaian dari lemari tetangga. Cerita ini tak urung mengundang gelak tawa dari seluruh peserta yang hadir karena isinya yang begitu absurd.

Setelah itu Rizal membacakan cerita dengan kesan yang begitu berbeda. Dalam cerita ini, tokoh narator yang sedang menjalani terapi hipnosis bertemu dengan filsuf Friedrich Nietzsche dan terbawa ke dalam suatu diskusi tentang keberadaan mereka sebagai Zarathustra dan manusia paripurna, kematian Tuhan, serta munculnya Tuhan-Tuhan yang baru dalam pemahaman manusia modern. Sangat gelap dan eksistensialis, tetapi mengalir dengan baik (tidak seperti kebanyakan cerita eksistensialis yang pernah saya baca!)

Sekali lagi suasana pembacaan dibalik saat Uli membawakan cerita tentang dirinya yang menyatroni Yudhistira (salah satu dari lima bersaudara Pandawa) yang sedang bertapa di tengah hutan. Uli pada awalnya menegur Yudhistira tentang kebiasaan-kebiasaan buruknya--terutama berjudi--tetapi menjelang akhir cerita justru Yudhistira yang berbagi kebijaksanaannya dengan Uli melalui petuah "Biarlah aku membuat semua kesalahan itu agar kalian dapat belajar darinya." Cerita ini indah dan membawa filsafat yang dalam tetapi juga memiliki saat-saat lucu, seperti saat Yudhistira menanyai Uli tentang judi togel yang baru saja dibicarakannya sebagai contoh kerusakan moral yang ditimbulkan perjudian di masa kini.

Regie juga menjadi narator dari ceritanya sendiri; dalam cerita ini ia bertemu seorang wanita asing yang sedang membaca buku di Reading Lights (promosi, promosi!) dan, setelah berkenalan, menjadi begitu akrab sehingga wanita itu mendaulat Regie menjadi pemandunya selama suatu kunjungan sehari penuh berkeliling Bandung. Saat mereka berpisah, wanita itu memberi Regie kartu namanya, tetapi Regie langsung memasukkan kartu nama itu ke dompetnya--dan baru saat Regie membuka dompetnya di rumahlah ia sadar bahwa wanita yang ditemuinya itu ternyata Gong Li!

Berikutnya, cerita Andika menjabarkan kenangan-kenangan masa lalu si narator sebagai anak seorang pemilik kedai teh yang sering dikunjungi Lima Sekawan dari cerita-cerita karya Enid Blyton. Dengan cara ini Andika seolah-olah menempatkan si narator sebagai anak keenam yang memberikan berbagai pandangan baru tentang sifat dan kebiasaan masing-masing anak dalam Lima Sekawan tersebut. Cerita ini mendapatkan tanggapan yang baik terutama dari peserta-peserta lain yang juga menggemari cerita-cerita Lima Sekawan semasa kecil, di antaranya Anggi dan Pam (seorang peserta baru).

Saya sendiri bercerita tentang seorang penjelajah alam yang menemukan seorang pemuda dalam keadaan hampir mati karena kelaparan dan kelelahan. Setelah ditilik lebih lanjut, ternyata pemuda itu adalah Soeprijadi--pemimpin pemberontakan PETA pada masa penjajahan Jepang--yang hilang dari masanya sendiri karena ia terlempar maju lebih dari enam puluh tahun. Cerita selengkapnya dapat dibaca di sini.

Dalam cerita Anggi, ia hampir jatuh saat mencari angin di tepi atap sebuah bangunan tinggi tetapi akhirnya diselamatkan oleh Gary Hobson, tokoh utama serial TV Early Edition; seperti biasa, Gary dibebani tanggung jawab untuk memegang koran esok hari (yang diantarkan oleh seekor kucing) dan menyelamatkan orang-orang yang dimuat dalam berita naas di koran tersebut, termasuk tokoh narator Anggi. Walupun begitu, pada akhir cerita Anggi membalik keadaan dengan kalimat "Saat aku melihat ke dalam mata [Gary], aku tahu ada orang yang harus diselamatkan hari ini, dan orang itu bukanlah aku."

Azisa menceritakan seorang gadis yang diundang ke sebuah pesta bertema "Heroes & Villains" di Gotham City. Gadis ini awalnya merasa minder saat membandingkan kostum sederhananya dengan berbagai macam kostum penjahat dan pahlawan yang dikenakan oleh para undangan kaya di pesta tersebut. Kemudian ia menemukan seorang pria misterius berkostum Batman dan, karena begitu gemarnya dengan Batman, ia mengajak pria itu berbicara tentang perbedaan Batman dari pahlawan-pahlawan lain (walaupun sebenarnya hanya si gadis yang berbicara dan si pria hanya mendengarkan). Akhirnya, saat pria itu memperingatkannya untuk pulang karena ada bahaya yang mengintai di pesta itu, barulah si gadis sadar bahwa pria tadi bukan hanya berkostum Batman--ia benar-benar Batman. Ada dua hal yang membuat cerita ini menarik; pertama, beberapa pendengar (di antaranya saya sendiri) sudah dapat menebak bahwa Batman di pesta adalah Batman yang asli jauh sebelum tokoh si gadis narator mengetahui hal ini, dan kedua cerita ditutup oleh Oracle (salah seorang asisten Batman) yang menggoda Batman dengan perkataan "Wah, ada yang punya penggemar . . . ."

Terakhir, Pam(ela)--teman Sapta yang baru kali ini datang di pertemuan RLWC--bercerita tentang pertemuannya dengan Mitch Albom, seorang penulis inspirasional. Bagian paling menarik dari cerita ini mungkin adalah kesalahpahaman yang muncul di telinga beberapa pendengar sebelum mereka menyadari identitas pengarang ini, karena ia hanya dipanggil "Mitch" sepanjang cerita; Azisa awalnya mengira bahwa "Mitch" adalah tokoh utama yang dulu diperankan David Hasselhoff dalam serial Baywatch, tak kurang karena nama Pam sendiri yang sedikit-banyak membawa asosiasi dengan Pamela Anderson (salah satu pemeran lain dalam Baywatch).


Setelah dipikir-pikir, mungkin juga keragaman yang muncul dalam karya peserta RLWC kali ini ada kaitannya dengan jumlah peserta yang lebih banyak dari biasanya. Semoga RLWC bisa terus seramai ini!



Pradana Pandu Mahardika memiliki prinsip 'Kalau tidak ada acara, saya akan selalu datang ke Reading Lights Writer's Circle'. Laki-laki yang pernah berkata bahwa ia tidak menyukai pergi dengan para anggota suatu group lalu membicarakan hal di luar konteks group (misalnya hal-hal personal) ini memiliki kompulsi membeli buku fiksi dan non fiksi. Sudah bisa ditebak kalau ia memiliki koleksi buku banyak sekali.

Kamis, 25 Maret 2010

Sekilat Flash Fiction!




(Jurnal ini seharusnya mengisi blog writer’s circle pekan lalu. Namun karena satu dan lain hal, tulisan ini baru bisa saya selesaikan minggu ini. Mudah-mudahan masih penting, hehehe.)

Tidak seperti biasanya, saya merasakan suatu dilema menjelang pertemuan writer’s circle dua pekan lalu. Begini, rata-rata pertemuan mingguan kami, para penulis, berdurasi dua jam; kalau mulainya jam empat sore, maka pertemuan akan usai jam enam petang. Berhubung belakangan kami sering mulai pada jam setengah lima, tak heran bila selesainya jam setengah tujuh. Padahal, saat itu saya seharusnya sudah ada di tempat lain. Karena tak mungkin membolos, akhirnya saya menetapkan latihan menulis yang kira-kira akan cepat selesai. Jadilah flash fiction terpilih sebagai tema dua minggu yang lalu.

Jadi makhluk apakah itu flash fiction? Menurut Wikipedia, istilah ini diambil dari sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul, tentu saja, Flash Fiction. Antologi tersebut terbit di Amerika Serikat tahun 1992. Menurut editornya, flash fiction merupakan cerita yang panjangnya cukup apabila dimuat ke dalam dua halaman majalah seukuran saku; kurang lebih 750 kata. Di Indonesia sendiri, bentuk flash fiction yang paling populer adalah cerita 100 kata, yaitu cerita pendek yang selesai dalam 100 kata. Banyak penulis kita yang menulis dalam bentuk ini dan mempublikasikan ceritanya dalam portal cerita fiksi Kemudian.com, atau 100kata.blogspot.com. Bahkan sudah terbit buku 100 kata, yang memuat cerita 100 kata dengan berbagai macam tema.

Aturan main latihan menulis dua minggu lalu adalah dalam waktu dua puluh menit, masing-masing peserta harus membuat tulisan pendek, menanggapi beraneka macam prompt yang saya peroleh dari situs writersdigest.com. Berbeda dari biasanya, tidak ada tambahan waktu dalam sesi menulis kali ini. Sejak awal para peserta harus berpikir bagaimana supaya cerita mereka jadi pendek.

Semua sudah dikalkulasikan, tulisan pendek=pembacaan singkat=diskusi kecil=saya bisa pergi cepat. Namun, bagaimanapun manusia hanya bisa berencana. Pada jam setengah lima, peserta yang sudah di Reading Lights baru lima orang: saya, Dea, Anggi, Aji, dan Nia. Beberapa menit kemudian berdatanganlah Farida, Uli, Sapta, Dani, Tegar, dan akhirnya Regie. Belakangan datang juga teman Uli, Somad dan pacarnya, yang sedang magang di Harian Pikiran Rakyat. Mereka rupanya berniat meliput writer’s circle. Sesingkat-singkatnya tulisan kami, kalau yang datang sebanyak ini ya tidak jadi singkat. Alhasil saya pun mengubur harapan bisa pulang secepatnya.

Prompt yang siap memakan mangsa

Peserta yang pertama kali membacakan tulisan pada sore itu adalah Nia Janiar. Ia mendapatkan tugas menulis pidato pernikahan. Nia lantas berpidato untuk temannya yang bernama Bangsawan Tua. Bangsawan berasal dari Papua, meskipun begitu kulitnya putih dan rambutnya lurus. “Raja hutan mengakhiri rimbanya,” tulis Nia, “kembali ke bumi mencari perlindungan yang abadi. Selamat menikah kawan. Saya yakin kau tidak akan kehilangan petualangan karena petualangan sesungguhnya baru kau mulai sekarang.” Dan peserta lain pun terkesima, rupanya Nia beranggapan bahwa pernikahan adalah sebuah petualangan baru. Tulisan ini bernada optimistis. Anggi berkomentar bahwa tadinya ia menduga kalau Nia akan menulis sesuatu yang nuansanya sinis.

Tulisan Aji dan Sapta sama-sama memakai elemen bunuh diri. Padahal prompt yang mereka masing-masing berbeda. Prompt Aji: After years of unhappiness, you’ve finally had enough and have decided to quit but we’re not talking about your job. Write a letter of resignation to someone other than your employer at school, your family, your favourite sports team, whatever. Just be sure to keep it PG-13. Sementara itu prompt Sapta: At an internet cafĂ©, you’ve accidentally stumbled across an unlikely family member’s MySpace page. What do you find? How do you deal with it? Aji menulis tentang curahan hati seorang tokoh pada orang-orang di sekitarnya dari sudut pandang orang pertama. Akhirnya tokoh ini bunuh diri. Sementara itu Sapta mengisahkan bagaimana dirinya menemukan suicide note kakaknya di halaman MySpace. Kedua cerita mampu membuat bulu kuduk merinding penyimaknya. Apalagi kalau dibacakan Sapta yang bersuara creepy-creepy bagaimana.

Farida lalu membacakan tulisan kocak tentang salah sambung dengan orang-yang-kenal-kita-tapi-kita-tidak-tahu-siapa-dia. Farida mengajak pembaca mengikuti hipotesis si karakternya tentang siapa sesungguhnya orang yang bicara dari telepon. Tulisan ini menuai tawa ketika dengan percaya diri si misterius bertanya kepada karakter utama, “Mau balikan lagi ya? Kok nyuruh jemput-jemput?” Dan telepon pun ditutup.

Sementara Dea kali ini absen membacakan tulisannya, Uli menuliskan cerita tentang Bangku Taman Remang. Prompt Uli seperti ini: You and your spouse welcome a beautiful baby into your lives and, after going round and round on names, you choose one that’s very unusual. Write a scene where you announce the name to your family. Include their reaction and your explanation for choosing such an odd name. Benar sekali, Uli menamai bayinya Bangku Taman Remang dan berusaha menjelaskan alasannya kepada keluarga Jawanya serta para peserta lain.

Suasana kemudian berubah serius ketika Tegar membacakan tulisan. Teman sekampus Nia yang mampu membaca kartu tarot ini menulis cerita tentang marked up yang biasa terjadi dalam dunia perkantoran. Cerita diawali ketika tokoh yang ditulis Tegar tidak sengaja mem-print dokumen bersifat personal, yang tak sengaja menyasar ke printer atasannya. Meskipun tulisannya pendek, Tegar mengaku ada banyak tema yang ini ia kemukakan di dalamnya.

Saya dan Regie mendapat prompt yang sama dengan Uli. Apabila saya menulis tentang seorang istri yang ingin bayinya dinamakan sama dengan nama mantan kekasihnya, Regie menulis tentang anaknya yang akan dinamakan Sparkling Precious. Nama itu didapatnya dari salah satu kuis di Facebook. Menurut kuis itu, seandainya Regie merupakan seorang Bond’s Girl, maka namanya adalah Sparkling Precious!

Berikutnya Maknyes alias Thya yang membacakan tulisan. Prompt yang didapat penyiar radio ini sama dengan prompt Farida. Maknyes lantas menceritakan seorang remaja putri masa kini yang menelepon seorang oom-oom senang. Cerita ini menjadi sangat lucu karena, untuk percakapan si karakter remaja, Maknyes menirukan suara mendesah-desah yang hasilnya cukup seksi juga. Ini membuat peserta lain bertanya-tanya: apakah diam-diam Maknyes juga merupakan operator hotline sex?

Anggi mendapatkan prompt yang sama dengan Aji. Ia pun menuliskan cerita penuh muatan emosi tentang seorang perempuan yang ingin lepas dari pacarnya yang penyiksa. Tulisan Anggi ini menarik karena berbeda dengan tulisan-tulisannya yang seringkali romantis dan berbunga-bunga. Terakhir, Dani menulis tentang seorang tentara (“Again,” kira-kira begitu komentar Regie.) yang berenang di kolam renang dan menemukan jasad anjingnya yang sudah lama hilang. Uli mempertanyakan kelempengan emosi si tokoh ketika menemukan anjing kesayangan yang sudah tidak bernyawa. Dani berargumen, tokohnya memang bersifat seperti itu. Para peserta yang lain pun mengharapkan kemunculan tokoh ini dalam cerita-cerita yang lain. Hanya dengan begitu pembaca bisa melihat apakah karakternya konsisten atau tidak.

Barangkali, hal yang paling terasa ketika menulis dan menyimak pembacaan flash fiction adalah kebebasan dalam berkreasi dan berimajinasi. Maksudnya, flash fiction memang tetap menggunakan elemen-elemen cerita seperti plot, penokohan, konflik, latar, dll. Namun karena formatnya yang pendek, hal-hal tersebut seringkali menjadi tidak tersurat. Sementara penulis menjadi leluasa dalam berkreasi, pembaca dapat melepaskan imajinasinya berkeliaran.

Sampai jumpa dalam latihan menulis yang lain!




Andika Budiman adalah fasilitator Reading Lights Writer's Circle dan penulis lepas untuk Rumah Buku/Kineruku Webzine

Jumat, 12 Maret 2010

Lima Belas

Sore itu pertama kalinya saya datang lagi ke Reading Lights di hari Sabtu, setelah beberapa lama tidak aktif di klub menulisnya. Salah satu alasannya, teman saya, Sapta, menghubungi saya sejak seminggu yang lalu, bilang bahwa dia ingin ikut klub menulis. Jadi, kami berdua ketemu di sana sekitar jam 4.

Tapi, ketika pertama kali menginjakkan kaki lagi di Reading Lights, ternyata anak-anak klub menulis belum semuanya tampak. Yang pertama saya lihat adalah Andika dan (kalau tidak salah) Aji. Saya dan Andika ngobrol sebentar, lalu karena ternyata sesi menulis belum dimulai, saya kembali ke meja saya dengan Sapta. Jadi, sambil melepas kangen dengan kafe ini, saya dan Sapta ngobrol sebentar, ngopi-ngopi dan makan.

Jam setengah lima, baru Andika memberitahukan bahwa klub menulis sudah akan dimulai. Dia juga menambahkan, "Oh iya, sekarang memang jadi setengah lima mulainya, Far," katanya. Dan saya akhirnya baru mengerti kenapa jam 4 tadi bisa sekosong itu. Oh well :)

Kami naik ke atas dan mengambil tempat duduk. Ternyata, selain saya dan Sapta, memang baru ada Andika dan Aji. Tapi, kami tetap memulai sesi menulis. Andika mengumumkan bahwa tema hari itu adalah umur 15 tahun. Tentang memori pada masa itu, perasaan sebagai remaja, pengalaman-pengalaman unik dan aneh saat itu, tapi difokuskan pada satu pengalaman spesifik saja. Andika juga memberikan tips tentang cara mengingat kejadian pada masa itu, di antaranya musik yang digemari pada umur 15 tahun, siapa musisi yang paling sering didengarkan dan dicontek gayanya, cinta pertama, atau juga kehidupan yang berpusat di sekolah alih-alih di rumah dengan orangtua.

Saya pikir, Oh, tidak. Umur berapapaun selain umur 15. Tolong.

Tapi itulah tema hari itu *melirik Andika*.

Andika juga menambahkan, bahwa sebaiknya pengalamannya tidak terlalu dramatis atau sedih. Oke.

Selesai diberikan pengarahan, dimulailah sesi menulis. Untuk beberapa saat, jujur, saya tidak bisa menulis apapun. Saya mencoba mengingat-ingat umur 15 tahun saya, dan saya tidak begitu ingat hal-hal menarik pada saat itu. Saya menulis beberapa hal yang terlintas di pikiran ke kertas, tapi belum juga menulis banyak. Dan saat itulah, anggota lain Reading Lights Writers' Circle, Arizal, datang dengan berjalan agak cepat.

"Am I late?" katanya, sambil mengambil tempat duduk di sebelah saya.

Andika menjelaskan lagi tentang tema hari ini dan tipsnya pada Arizal, dan segera saja jumlah orang yang mengetuk-ngetukkan pulpen mengingat masa umur 15 tahunnya bertambah. Arizal pun mulai menulis.

Dan tidak lama kemudian, di tengah sesi penulisan, Azisa, Dany, dan Regi muncul dan bergabung dengan kami. Regi langsung mencuri perhatian, karena hari itu dia memakai gaun hitam panjang super manis (oke, ini subjektif, tapi, memang begitu kok!) dan wig panjang berwarna hijau. Dia tampak seperti puteri yang entah bagaimana nyasar ke Reading Lights. Regi bercerita, ternyata dia memang baru melakukan cosplay sebagai seorang puteri (see?).


Foto Regi yang dimaksud Farida
(diambil dari Facebook-nya. Dengan tanpa izin, tentunya)


Lalu begitulah. Dany, Azisa, dan Regi sang Puteri bergabung juga untuk menuliskan tentang masa umur 15 tahun mereka. Di tengah sesi penulisannya, Regi turun dari kursinya dan memutuskan untuk duduk di lantai dan menulis di meja pendek sebelah kami. Keputusan yang bagus, karena dengan posenya itu, banyak orang yang lewat ruangan itu terbelalak dan menampilkan ekspresi-ekspresi yang tak ternilai, yang langsung membuat anggota klub menulis riuh tertawa.

Beberapa lama berselang, akhirnya semua orang selesai menuliskan ceritanya. Andikalah yang pertama membacakan ceritanya. Ternyata Andika menggunakan clue "musik kesukaan" untuk memulai ceritanya, dan bagaimana musik itu menghubungkannya dengan orang-orang spesialnya ketika dia berumur 15 tahun. Ceritanya begitu menyenangkan, hingga sampai di ending, dimana dia menutupnya dengan, "Akhirnya, orang yang saya sukai itu dekat dengan seorang gadis berkerudung. Karena itulah, saya tidak suka gadis berkerudung."

Uhuk. Halo, Andika.

Saya tidak akan berkomentar banyak tentang cerita itu atau apapun yang terjadi setelahnya. Yang mendapat bagian kedua untuk membacakan adalah Arizal. Ceritanya angst, tentang pembelahan identitas dan patah hati. Dengan kata-kata yang puitis juga. Pada sesi komentar, Regi setuju bahwa pada umur 15 tahun, seorang remaja memang bisa jadi sangat angst. Saya setuju juga tentang hal itu.

Selanjutnya yang membacakan adalah saya. Saya tidak mengambil tema yang rumit, hanya cerita tentang remaja yang berusaha menarik perhatian kakak kelasnya dengan memakai seragam yang ketat, tapi ternyata gagal dan berhenti memakai seragam seperti itu. Pada sesi komentar, anggota writers’ circle lain menyatakan cerita saya memang tidak terlalu terasa plotnya, tapi terasa remajanya.

Yang selanjutnya membacakan adalah Dany dan Azisa. Selanjutnya terungkap bahwa ternyata cerita mereka berhubungan :) Tapi, Dany menuliskan ceritanya dengan mengubah latar dunia nyata menjadi dunia fantasi, dan Azisa juga bermain dengan metafora dalam memaparkan kisahnya, jadi saya tidak begitu bisa menebak hubungan cerita mereka. Tapi, Arizal berceletuk bahwa dia tampaknya tahu siapa orang di cerita Azisa. Oh well, saya tetap tidak tahu =___=

Sapta membacakan ceritanya setelah mereka. Sapta menyatakan bahwa masa umur 15 tahunnya tidak menarik, karena dia banyak di rumah dan tidak melakukan kegiatan-kegiatan aneh. Dia menceritakan mengenai bagaimana dia mengagumi videoklip di acara musik kesayangannya di TV dan impian masa remajanya tentang itu. Ending-nya ternyata mengandung twist dan lucu, sehingga membuat anggota writers’ circle lain tertawa riuh. Karena masa umur 15 tahun Sapta sudah agak lama, dan setting-nya memang di 90an, semua orang mulai bernostalgia tentang musik pada saat itu, juga hal-hal lainnya.

Dilanjutkan oleh Aji. Awalnya, cerita Aji lebih cenderung seperti esai tentang masa remaja, tapi selanjutnya cerita mulai santai dan Aji memaparkan tentang masa remajanya dimana ia dekat dengan seorang teman yang menyukai musik-musik keras, dan konser musik keras pertama yang pertama Aji datangi. Pada sesi komentar, lagi-lagi anggota writers’ circle bernostalgia tentang konser-konser pertama yang mereka datangi. Terlepas dari itu, beberapa berkomentar bahwa cerita Aji sangat menyenangkan :)

Sesi pembacaan cerita ditutup oleh cerita Regi. Regi bercerita tentang cinta pertamanya dan kejadian saat prom nite. Tentang rasa yang terasa tidak pasti dan penemuan identitas diri karena kejadian yang dialaminya dengan orang yang dia sukai.

Setelah selesai pembacaan hasil tulisan masing-masing, semua orang mulai ngobrol tentang hal-hal random. Azisa menunjukkan komiknya, yang gambarnya luar biasa keren, dan sudah diterbitkan oleh M&C!. Juga mengumumkan tentang sebuah toko komik lokal yang dia kelola bersama teman-temannya. Maju terus komik Indonesia :D

Sisa waktu itu, dilewatkan anggota writers’ circle dengan bercakap-cakap tentang berbagai hal. Lalu Sapta pulang, disusul saya, sedangkan yang lain tetap tinggal di sana.




Farida Susanty sudah mengeluarkan buku "Dan Hujan pun Berhenti" yang membawanya menjadi pemenang Khatulistiwa Awards 2006-2007 sebagai Penulis Muda Terbaik. Untuk bulan Maret ini, ia akan mengeluarkan buku "Karena Kita Tidak Kenal".

Kamis, 04 Maret 2010

Surga Sederhana di sudut Kota

Surga tidak selalu berwujud luar biasa. Terkadang, surga bisa hadir dalam bentuk yang sederhana. Apabila anda hafal jalan menuju Universitas Katolik Parahyangan, cobalah mampir ke salah satu surga sederhana: Reading Lights. Mencapainya tidak perlu sampai mati dulu—cukup naik angkot. Di dalamnya, anda akan menemukan staf toko buku yang ramah. Makanan, kue-kue, teh, dan kopi siap untuk Anda nikmati. Belum lagi buku impor second hand yang bisa Anda dapatkan dengan harga miring. Huff … bagi kami, Reading Lights Writer’s Circle, ini adalah angkot-distance-heaven.

Reading Lights - surga tempat kami berada

Hari itu kami datang tidak terlalu ramai-ramai: Lia, Anggi, Andika, Marty, Aji, Uli, Dani, Hakmer, dan saya sendiri. Beberapa dari kami terlambat karena Bandung sedang macet hari itu. Macetnya Bandung tidak membuat macet ide Andika sang fasilitator. Kami mempergunakan tempat-tempat di kota ini sebagai latar belakang tulisan kami.

Lia—yang harus pergi terlebih dahulu karena ada janji—mendapat giliran pertama membacakan ceritanya. Cerita yang ia bangun dengan atmosfer cukup menyeramkan. Misterius, tepatnya. Bagaimana tidak? Dia memulai cerita dengan mendeskripsikan suatu gedung yang penuh dengan kegelapan. Suatu tempat yang tanpa penghuni. Namun, suasana cerita berubah ketika dia membuat twist—justru dalam kegelapan kita semakin awas akan cahaya. Terutama cahaya planet-planet di langit sana. Ya, gedung yang dimaksud Lia adalah Boscha. Dani sedikit protes karena menurutnya tempat itu cukup terang. Sementara Andika berkata bahwa dia sudah bisa menerka bahwa Lia menceritakan tentang Boscha. Saya sendiri cukup terhibur. Walaupun alangkah lebih baik apabila Lia bisa memasukkan sebuah cerita di dalamnya. Deskripsinya sudah bagus, kenapa tidak dikembangkan menjadi sebuah cerita?

Anggi—yang juga harus pergi menghadiri undangan—mendapatkan giliran kedua. Dia membahas sebuah tempat yang punya sejarah khusus. Sejarah dimana daerah itu dikuasai oleh makhluk-makhluk sensual dan perkasa. Ya, dia mempergunakan lokasi Taman Maluku sebagai latar belakang ceritanya. Deskripsi Anggi bagus, walaupun narasinya tidak setajam Lia. Namun, Anggi melakukan kompensasi dengan memasukkan cerita di dalamnya. Cerita tentang seorang perempuan yang menahan sakit hatinya. Sakit hati karena harus menemani sepasang kekasih. Dia mencintai pria tersebut, tapi dia harus rela menjadi “obat nyamuk” ketika menemani mereka. Anggi sepertinya senang sekali menciptakan perasaan getir pada setiap akhir ceritanya. Apakah ini sudah pakem menulis seorang Anggi?


Berikutnya Dani. Jujur saya mendapatkan ceritanya sangat menghibur. Menurut saya cerita Dani cukup orisinil. Dani memang masih mempergunakan istilah militer seperti jenis senjata di dalam ceritanya. Namun, ciri khas itu dia poles sehingga kita bisa hanyut ke dalam cerita yang terkesan begitu sehari-hari. Ceritanya memang berbau fiksi ilmiah: ada seekor cacing raksasa/ular/naga yang keluar dari perut bumi. Binatang itu memilih muncul di Simpang Dago, meninggalkan lubang besar di jalanan aspal. Dani memakai dialog antara seorang agen dan rekannya untuk menceritakan ulang apa yang terjadi. Gaya bercerita Dani kali ini seperti membawa saya pada salah satu serial TV.


Saya mendapatkan kesempatan setelah Dani. Kali ini karakter Sam kembali saya gunakan sebagai tokoh cerita. Dia menunggu seorang perempuan di salah satu kafe daerah pojok utara kota Bandung. Perempuan itu adalah teman lamanya. Sam sangat sabar menunggu meskipun sudah lebih dari satu jam. Dia berkilah bahwa selama ini dia yang tidak menemui perempuan itu, jadi wajarlah sekarang dia yang harus menunggu. Dia berkilah bahwa perempuan itu harus berdandan apik untuk malam ini. Di akhir cerita, seorangwaitress mengantarkan pesanan yang begitu dinanti Sam: Margarita. Ya, Sam sedang menunggu minuman Margarita yang baginya adalah teman lamanya. Dani mengatakan bahwa tulisan saya ini sedih. Ya, saya tidak menyangkalnya. Inti cerita ini adalah seorang mantan pecandu alkohol yang kembali ke kebiasaan lamanya. Teman lama alias perempuan itu, bagi Sam, bernama Margarita. Andika dan Uli cukup menyukai cerita saya. Andika bahkan meminta saya untuk membuat versi panjangnya. Saya tersenyum, itu adalah pujian yang besar.


Namun, pujian besar itu harus saya berikan kepada Uli. Adik kelas saya di SMA itu bercerita tentang seorang transgender bernama Mona. Uli—astaga—berhasil memainkan perasaan kami semua. Awalnya, dia mengocok perut kami dengan dialek khas Sunda tokoh waria itu. Bahkan, ketika tokohnya sedang menjajakan diri di dekat Taman Lalu Lintas, Uli mampu membawakannya dengan jenaka. Cerita berubah menjadi tegang ketika tokoh waria itu bertemu dengan kekasihnya yang seorang Montir. Kali ini, Uli membuat kami takjub akan Mona yang rela menahan sakit untuk memperbesar payudara demi sang Montir. Uli menutup cerita itu dengan cukup tragis. Mona ditinggal sang kekasih yang sudah memiliki istri. Istri yang kini tengah mengandung. Kekasih itu jelas menyayangi Mona. Sebelum pergi, dia memberikan uang bagi Mona agar kembali ke jalan yang benar. Hati Mona hancur, tentunya. Saya kontan menyarankan Uli untuk mengirim cerita ini ke majalah. Nampaknya Writer’s Circle setuju karena Uli adalah peserta yang mendapatkan tepuk tangan paling meriah.


Andika menceritakan tentang perjalanan di dalam sebuah angkot. Dia membawa kami ke dalam beberapa perjalanan. Diawali ketika tokohnya yang bernama Dita putus asa karena kemacetan lalu lintas. Serta perasaan gugupnya ketika tidak sengaja bertemu dengan guru les Bahasa Inggris. Menurut saya deskripsi Andika bagus, tapi saya merasa dia terlalu menahan diri kali ini. Apa mungkin Andika sedang ingin fokus kepada deskripsi suasana ketimbang membuat cerita dengan konflik batin? Saya tidak tahu.


Begitu pula dengan Aji. Sayang, padahal ceritanya cukup orisinil. Mengenai rasa takut seorang bapak. Bapak itu tengah berkuda di daerah ITB. Tapi dia khawatir akan anaknya: apakah anaknya akan kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung), menjadi penjual minuman (Ikatan Teh Botol) atau pekerja di kebun binatang (Ikatan Tebun Binatang). Maafkan saya kalau singkatannya salah, saya sedikit lupa. Namun, seperti cerita-cerita kontemplatif yang ada, sebetulnya cerita ini masih bisa dieksplorasi.


Marty juga memiliki materinya yang pas. Dengan mempergunakan Jl. Banda yang memang menjadi salah satu tujuan wisata Kota Bandung, dia membuat cuplikan kehidupan seorang fotografer yang hendak pergi ke satu tempat. Dia sedang berada di sebuah gedung terkenal di Jl. Banda itu—gedung yang terkenal menyediakan jasa fotografi. Marty masih bisa mendeskripsikan banyak hal seperti aroma kentang bumbu khas daerah itu, es duren dsb. Mungkin karena dia datang terlambat dan waktunya sedikit. Tapi (lagi-lagi) saya yakin ceritanya masih bisa dikembangkan.


Hakmer memilih untuk tidak menulis hari itu. Dia terlihat datang terlambat. Namun dia tetap mendengarkan dan memberikan beberapa komentar. Cukupan bagi kami semua. Kami tidak memaksa dirinya untuk menulis, walaupun saya jadi bingung mau menulis apa di jurnal ini. Hehehe, padahal akan lama sekali saatnya saya menulis jurnal.


Kami semua menganggap Reading Lights sebagai surga. Kebetulan, jumlah kami yang datang adalah sembilan. Namun, kami bersembilan bukan malaikat surga yang sesekali harus turun ke bumi. Kamilah yang justru harus undur diri dari surga itu. Bagi saya jurnal kali ini agak sentimentil karena saya harus pindah ke Jakarta untuk pekerjaan. Saya masih akan datang walau belum tahu kapan. Maka saya mengucapkan sampai jumpa kepada lukisan-lukisan yang saya kagumi, kue-kue yang pernah saya cicipi, minuman Yin Yang Chocolate yang selalu jadi favorit saya dan Sandwich Diet Breaker yang memuaskan rasa lapar saya. Yang paling berat? Mohon diri kepada anggota yang lain yang membuat saya menjadi orang (plus penulis) yang lebih baik. I love you, guys! See you soon.


Kedoya, 2 Maret 2010


Amahl S. Azwar adalah seorang pemuda lulusan Universitas Parahyangan pernah mendaratkan kaki berkali-kali di Jakarta untuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbit. Pria yang menyukai novel The Devil Wears Prada dan He's Just Not That Into You ini memiliki blog dengan alamat http://www.mcmahel.blogspot.com/