Rabu, 29 Desember 2010

Cinta . . . di akhir suatu masa

Meskipun Natal, rupanya Sabtu lalu Reading Lights buka seperti biasa. Siang itu cuaca cerah. Saya datang, mencoba melanjutkan sebuah tulisan yang belum jelas akan berakhir di mana. Setelah dua jam, teman-teman mulai berdatangan. Dani dan Anggi muncul di Reading Lights dengan berpeluh keringat … apa yang dilakukan keduanya?! Oh, rupanya mereka berjalan kaki dari Taman Bacaan Pitimoss di Jalan Banda. Tak lama kemudian, Maknyes datang dengan potongan rambut barunya. Seperti Anggi, sudah lama juga sejak gadis berkacamata ini menampakkan hidungnya di pertemuan writer’s circle. Dua dara ini sehari-hari sibuk di ibukota. Selanjutnya datang berturut-turut Neni, Rizal, dan Retno. Pertemuan pun dimulai.

Terinspirasi momen berakhirnya tahun 2010, Dani mengajukan sebuah tema yang kami anggap menarik. “Kita menulis tentang berakhirnya suatu era,” ujarnya. Lebih rincinya lagi, berakhirnya suatu masa yang akan membawa perubahan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. “Berakhirnya era internet!” ujar saya sambil membayangkan. “Berakhirnya Facebook!” timpal Maknyes. “Berakhirnya cinta romantis!” tambah Anggi, sekalian curhat. Setelah semua peserta berpikir-pikir mau menulis apa, latihan menulis pun dimulai.

Lima belas menit berlalu. Tulisan saya hampir beres, satu paragraf lagi selesai. Teman-teman yang lain masih asyik menulis. ”Tambah?” tanya Dani. Semua mengangguk. ”Berapa menit?” ”Lima menit,” sahut saya. ”Sepuluh menit saja,” akhirnya Dani memutuskan. Sepuluh menit berlalu, setelah saling tunjuk soal siapa yang membuat jurnal untuk pertemuan kali ini (”Saya utang satu jurnal!” protes Neni ketika ditunjuk. ”Saya utang dua!” seru Rizal tak mau kalah.), sesi pembacaan karya pun dimulai. Saya membaca pertama. Kali ini cerita saya agak menyerempet science fiction, saya sangat menikmati proses menulisnya, ide-ide seperti berlompatan dari kepala. Cerita ini tentang berakhirnya era ’cinta organik’. Setelah cerita selesai, Dani meminta saya untuk mem-posting-nya ke blog.

Maknyes lalu membacakan cerita yang diawali dengan potongan keseharian orang-orang yang berbeda. Ibu-ibu rumah tangga yang menangis sejadi-jadinya, pegawai-pegawai wanita yang menitikkan air mata, sampai ibu-ibu pejabat yang kehilangan satu-satunya teman ketika tidak ada kondangan. Apa gerangan yang berakhir tanggal 22 Desember 2022? Mengapa Anas, yang dua kali tinggal kelas, sekarang berjanji untuk belajar keras? Rupanya Fitri dan Farrel sudah dipastikan hidup bahagia selamanya. Sinetron Cinta Fitri berakhir di season kelima belas. Para peserta writer’s circle pun tertawa geli. Sekali lagi Maknyes menunjukkan kelihaiannya mengambil hal-hal teraneh dalam budaya pop, dan menceritakannya kembali dengan selucu-lucunya.

Sore itu, Dani menulis cerita yang di luar kebiasaannya. Ia menulis tentang kehilangan cinta! Alih-alih menulis tentang ‘pistol’, ‘ledakan’, ‘peluru’, ‘seragam’, atau ‘pasukan’, beginilah tulisan Dani: Hanya ada bantal dan seprai yang dingin tak bernyawa. Dengan sedikit enggan kupaksakan diri membuka mata. Benar saja, ranjang di sebelahku kosong melompong. Dan sudah begitu selama beberapa hari terakhir ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus kurasakan saat ini. Bodoh? Sedih? Marah? Maknyes pun tidak bisa menahan keheranannya. Saat Dani membaca, ia pun menyela, “Bo! Gua udah lama nggak dateng ke writer’s circle tulisan Dani kok jadi kayak begini?!” Pipi Dani pun bersemu memerah. Tulisan Dani berakhir ketika ternyata cintanya itu kembali. Berakhirlah masa-masa kesendirian si tokoh utama. Cinta tokoh cerita Dani, rupanya tidak ditujukan kepada manusia, tetapi kepada seekor kucing. “Antiklimaks, deh,” ujar saya dalam hati.

Selanjutnya Rizal membacakan ceritanya yang gelap. Tentang berakhirnya cinta juga, entah virus apa yang menyerang anak-anak writer’s circle sore itu. “Ini fiksi ya,” ujar Rizal, langsung membuat kami meragukan kebenaran pernyataan itu. Cerita ini diawali monolog panjang tentang pria yang patah hati karena ditinggal mantan kekasihnya menikah. Mendengarkan penuturan Rizal, saya sempat berpikir, “Oh, ternyata si Rizal begini,” sampai cerita berganti haluan seratus delapan puluh derajat, di mana si pria mulai menarik-narik pelatuk pistol penuh berisi timah panas; menembak mati pengantin pria, mantan kekasihnya, sebelum akhirnya dirinya sendiri. Dan semuanya berakhir. Rizal mengaku kaget sendiri dengan kekelaman ceritanya itu.

Sekali lagi, seorang peserta writer’s circle menulis tentang berakhirnya cinta: Neni. Dalam cerita yang kental beraroma curcol, Neni menulis begini: Semua ada waktunya: ada tanggal terbit dan tanggal kadaluwarsa. Ada masa dimana sesuatu yang awalnya hangat akan berubah menjadi dingin bahkan basi. Karenanya, jangan heran atas reaksiku saat mendengar kabar terbaru darimu. Rasaku padamu sudah basi sejak lama. Meskipun cukup lama waktu yang kubutuhkan berikut deretan usaha yang kuupayakan demi melupakanmu; saat rasa ini sampai pada tanggal kadaluwarsa, semua baik-baik saja. Kami tak kuasa menahan geli, karena tulisan Neni ini seperti cerita Rizal dari sudut pandang perempuan. Terlebih ketika Neni mengakhirinya dengan: Aku turut berbahagia saat mendengar kabar pernikahanmu. Lalu cepat lupa. Karena kini, sudah ada dia yang memenuhi hati dan isi kepala!

Anggi menutup sesi pembacaan kali ini dengan cerita tentang sebuah rezim yang sungguh digdaya. Pada masa itu, seorang laki-laki tidak bisa lagi memaksakan kebutuhan seksualnya kepada perempuan melalui force. Apabila laki-laki ingin bercinta dengan istrinya, ia harus membujuk si istri agar mau melakukannya, bisa dengan bunga, coklat, atau kata-kata rayuan. Pada prakteknya, kemauan si istri amat susah diikuti karena ia sampai menentukan waktu-waktu kapan si suami bisa mencumbunya. Telat sedikit, tidak ada jatah untuk bulan ini. Alhasil, si suami pun frustrasi dan bercinta dengan suami frustrasi lainnya. ”Khas Anggi banget, ya! Ada gay-gay-nya,” komentar Rizal. Saya pikir ada benarnya juga. Cerita-cerita Anggi banyak bermuatan seksual, tetapi tidak membahas kenikmatannya. Misalnya, tentang perempuan yang berselingkuh, anak perempuan yang dipegang-pegang ayahnya, dan rezim di mana perempuan memegang kendali dalam hubungan seksual. Hm.

Dani lantas resmi mengakhiri pertemuan writer’s circle. Kami tak beranjak dari tempat duduk masing-masing, saling bercerita, dan membahas tentang macam-macam. Saya tak habis pikir mengapa cinta justru menjadi tema pada sore hari itu.


- Andika Budiman

1 komentar:

Nia Janiar mengatakan...

Wah, akhirnya update juga. Makasih, Dika!

Yang Dani, tampak seperti twist yang gagal. Hmmm ... :-?