Selasa, 02 November 2010

Bahagia Dalam Bencana

30 Oktober 2010. Langit tampak muram—mungkin masih berduka bagi Negeri kita yang berulang kali ditimpa bencana. Saya sedang duduk manis di angkot Cicaheum-Ciroyom ketika, pukul 4 teng, ada SMS masuk dari Sapta. “Rizal Affif, di mana lu?”

Ternyata, di RL, baru Sapta yang datang. Saya yang datang pukul 4 lebih 5 terheran-heran melihat Sapta yang berantakan seperti baru kena bencana. Giliran saya bertanya, “kenapa lu?” Tidak lama setelah saya, Tegar datang. Tapi karena masih sedikit yang datang, ia izin ke depan.

Seperti biasa saya mengobrol banyak dengan Sapta, dan waktu pun berlalu. Setengah 5 sore, dan belum ada yang datang lagi. Pukul 5 kurang 10 menit, Nia muncul dan bertanya dengan heran, “kok belum mulai sih?” Ya orang baru bertiga, itu aja Tegar ngabur hahaha... Nia menjatuhkan diri ke kursi sambil mengeluhkan sesuatu, lalu mengeluh tentang disiplin waktu. Hehe, disiplin waktu tampaknya jadi bencana buat Nia hari itu, dan bencana buat kelancaran kegiatan RLWC tentunya.

Kata Nia, hari itu Tegar ingin memberikan tema. Jadi “diseretlah” Tegar dari ruang depan. Ternyata oh ternyata, bencana berikutnya: kata Tegar, ia belum sepenuhnya siap dengan tema yang ingin ia ajukan. Jadilah, daripada semakin berlarut-larut, saya berinisiatif, dengan mempertimbangkan berita dari Wasior, Jakarta, Mentawai, dan Merapi—saya mengusulkan tema BENCANA.

... yang kemudian ditambahkan oleh Sapta, menjadi “bahagia dalam bencana”, supaya ceritanya tidak melulu kelam.

Waktu penulisan pun disepakati selama 30 menit. Satu menit setelah mulai, Dani datang dan langsung menyusul menulis. Dua puluh menit berikutnya, Lulu menyusul dan hanya jadi pendengar.

Pada sesi ini, kami mencoba sesuatu yang baru: cerita kami dibacakan oleh peserta lain. Hal ini diusulkan oleh Sapta dan Nia, karena kata mereka klub ini klub menulis dan bukan klub drama, jadi harusnya karya penulis bisa dinilai terlepas dari bagaimana ia dibacakan.

Supaya adil siapa membacakan karya siapa, maka dilakukanlah pengundian. Pada pengundian pertama, saya dan Sapta kebagian membacakan karya kami sendiri, sehingga dilakukan pengundian kedua. Kami pun bertukar cerita.

Yang pertama membacakan cerita adalah Nia, yang membacakan cerita saya, yang berjudul “Mbah Maridjan”. Cerita ini merupakan gambaran fiktif mengenai menit-menit terakhir kehidupan Mbah Maridjan, bagaimana beliau mengetahui bencana yang akan melanda desanya namun tidak diizinkan berbuat apa-apa; dan bagaimana para Bahureksa mengangkat jiwanya ke Gunung Merapi, menyelamatkannya dan menjadikannya kekal, sebelum awan panas menerjang rumahnya. Cerita ini diikuti dengan pembahasan dan spekulasi lain mengenai kematian Mbah Maridjan; termasuk perdebatan apakah Mbah Maridjan meninggal di kamar tidur atau di kamar mandi.

Yang kedua adalah Tegar, yang membacakan cerita Sapta, yang berjudul “Adila, Shilla, dan Anak Kecil Berkulit Hitam”. Mengangkat tema banjir di Wasior, Papua Barat, cerita ini mengisahkan 3 orang yang saling terpisah: Adila, yang menyaksikan bencana itu melalui layar kaca, sebelum kemudian Ibunya mematikan TV tersebut dan mengisahkan bencana lain dalam hidupnya; Shilla, reporter bencana di Wasior yang senang bisa mendramatisir keadaan di Wasior demi kepuasan pemirsa, dan bagaimana ia terkena bencananya sendiri; serta Anak Kecil Berkulit Hitam, seorang korban di Wasior, yang hanya bisa melihat mayat Ibu dan adiknya dalam diam, berharap ayahnya akan menyelamatkannya. Pertanyaan pertama saya adalah, di mana bahagianya? Sapta bilang yang bahagia adalah si reporter yang bisa mendramatisir bencana untuk kepopulerannya sendiri :D saya juga tadinya berharap akan ada sesuatu yang mengikat ketiga cerita terpisah itu, tapi saya juga setuju dengan Nia: cerita itu bagus.

Yang ketiga membacakan seharusnya saya. Tapi Dani belum selesai dengan ceritanya. Jadi saya pas.

Berikutnya adalah Sapta, membacakan cerita Tegar. Cerita itu mengisahkan tokoh “aku” yang berdiri di tengah pembatas jalan raya dan merasa terancam oleh bunyi sirine yang menghampirinya dari dua arah. Ternyata kedua sirine itu sama-sama adalah sirine patwal yang mengawal mobil pengantin. Nia yang paling pertama protes, “itu bukan bencana alam!”. Tegar berkilah bahwa temanya memang bencana, bukan bencana alam. Saya sendiri tadinya mengira si tokoh aku terjebak di suatu tempat dan sirine itu adalah pertolongan. Justru dalam cerita ini saya kurang menangkap “bencana” yang dimaksudkan. Menurut saya, seharusnya dua iringan pengantin itu harusnya bertabrakan, biar beneran kelihatan ada bahagia dalam bencana, di mana pengantin-pengantin itu bisa mati bersama pasangan. Kata Sapta, “itu mah elu banget.”

Berikutnya, Dani. Meskipun ia belum menyelesaikan ceritanya, ia pun bersedia membacakan cerita Nia. Kali ini, Nia bertutur tentang seorang gadis yang sedang chatting dengan ibunya ketika tiba-tiba terjadi gempa. Terjebak dalam kamar karena pintu yang macet, ia akhirnya malah menjadi satu-satunya orang yang selamat, sementara teman-teman satu kosannya tertimpa reruntuhan saat mereka menuruni tangga. Saya memuji cerita Nia terutama karena penggambaran suasananya yang cerdas, sesuatu yang belum bisa saya lakukan dan masih harus saya pelajari.

Setelah itu Dani masih melanjutkan menulis cerita. Nia beberapa kali protes agar Dani menyelesaikan tulisannya. Sesi itu pun kami selingi dengan Sapta dan Tegar yang membacakan cerita mereka masing-masing, agar lebih terasa soul-nya. Barulah setelah sekitar setengah jam dari berakhirnya sesi menulis. Dani menyodorkan ceritanya pada saya. Saya menolak sebagai bentuk protes keterlambatannya. Tapi Nia yang sedari tadi protes ternyata berbaik hati mengambil cerita itu dan membacakannya.

Dani bercerita tentang dua orang petugas relawan di daerah bencana, bagaimana mereka sebenarnya jengah dengan pekerjaan itu, tetapi kemudian merasa bahagia setelah berhasil menyelamatkan 12 orang. Bagi mereka, menutup pintu ambulans untuk mengantarkan korban selamat adalah kebahagiaan dalam bencana. Sapta yang pertama mengomentari cerita Dani, ia menyatakan bahwa suasana dala cerita itu kurang terbangun. Saya setuju. Dani berkilah ia terpaksa melakukan itu karena waktunya kurang untuk menulis deskripsi situasinya :p Sapta melanjutkan bahwa cerita itu bisa menjadi bagus kalau dijadikan karya visual. Saya berpendapat Dani sebetulnya bisa menyelipkan deskripsi berupa pemilihan kata dalam narasi, jadi tidak perlu membuat deskripsi khusus yang berpanjang-panjang. Namun saya juga memuji bahwa kali ini Dani keluar dari mainstream ceritanya

Sesi kali ini berakhir pukul 7 malam--alhamdulillah, tanpa bencana, tapi dengan kebahagiaan.


Rizal Affif adalah seorang konsultan HR yang sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan web design ketimbang dunia industri. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang merencanakan pembuatan blog mengenai manajemen HR untuk menunjang karirnya.

3 komentar:

ase mengatakan...

ahh sayang sekali saya tidak bisa hadir teman......di saat merapi meledak, temperatur di kepala saya juga meledak, ketika lahar menuruni bukit dalam waktu beberapa menit, keringat dari tubuh ini mengalir dalam waktu beberapa hari....anyway nice journal...hilangkan fotomu, makin bikin g stress ajah....PECAE eh PEACE !!!

Rizal Affif - The Soul Sanctuary mengatakan...

Hoy Ryanclearmen... itu akibat lo ikut okultisme ato emang lagi penyakitan aja? :D :D :D yaudah, ntar gw genti foto berambut panjang kaya punya lo hahahahahaha :D

Mobil Pengantin mengatakan...

Bagi sebagian orang kadang menganggap bemcana adalah sesuatu yang harus diratapi dan ditangisi tapi untuk sebagian orang juga bencana merupakan kasih sayang Allah kepada hambanya agar mau kembali dan bersujud kepadaNya...