Minggu, 14 November 2010

Pembatasan Yang Tidak Membatasi

Jika biasanya para anggota Reading Lights Writers' Circle (sebagian besar) duduk di kursi saat menulis, maka pertemuan tanggal 6 November 2010 dapat dikatakan agak tidak biasa. Kami menemukan setumpuk bantalan duduk saat kami berpindah ke lantai kedua toko buku Reading Lights untuk menulis sehingga pada akhirnya kami mengatur kembali susunan perabot agar kami semua dapat duduk di lantai (atau paling tidak di bantalan). Ada pendapat yang menyatakan bahwa perubahan situasi seperti ini dapat memacu kreativitas. Entah benar entah tidak, yang jelas semua orang tidak kesulitan menemukan gagasan saat kami mulai menulis.

Kembali ke awal pertemuan, Neni sempat menggoda Sapta dengan permintaan untuk "menentukan batasan" sebelum kami semua masing-masing menuliskan tema untuk dimasukkan dalam undian hari itu. Celetukan ini mengilhami saya untuk menulis "pembatasan" dalam kertas undian saya, dan ternyata kata ini terpilih menjadi tema penulisan. Tanpa pikir panjang, saya mengutarakan hal pertama yang terlintas dalam benak saya, yaitu keterbatasan barang-barang konsumen seperti yang dialami rakyat Uni Soviet saat negara komunis itu masih berdiri karena sumberdaya ekonomi di sana lebih diarahkan untuk mendukung kinerja industri berat. Dari gagasan dasar ini saya mengusulkan bahwa "pembatasan" di sini mungkin dapat diartikan sebagai suatu halangan yang bukan berasal dari keterbatasan sejati, melainkan dipaksakan oleh suatu faktor dari luar.

Terdengar rumit, memang, tetapi--seperti telah saya katakan sebelumnya--tampaknya tidak ada yang kesulitan menemukan gagasan dari titik mula ini, termasuk Andika yang datang saat semua peserta yang lain sudah hampir selesai menulis. Kemunculannya merupakan satu lagi kejadian tak biasa yang mewarnai hari itu karena sebelumnya Andika tak pernah muncul dalam pertemuan RLWC sejak ia mengundurkan diri dari jabatan fasilitator beberapa bulan yang lalu.

Sementara Andika mulai menulis, Neni membuka sesi pembacaan dengan sebuah monolog tentang seorang wanita yang merasa tersanjung bercampur jengah atas banyaknya orang yang telah melihat, mengamati, dan mencoba menggali arti di balik senyumnya selama beberapa ratus tahun. Wanita ini ternyata Mona Lisa yang terabadikan sekaligus terpasung dalam bingkai lukisan sejak mata kuas Leonardo da Vinci menorehkannya di atas kanvas berabad-abad yang lalu.

Berikutnya, Sapta membawakan sebuah cerita tentang seorang wanita berjilbab yang hendak mengubah penampilannya. Tetapi, walaupun ia sudah bersusah-payah mempercantik dirinya dengan sepatu bertumit tinggi, dandanan yang indah (termasuk tatanan rambut yang dipamerkannya tanpa kerudung), dan baju baru dengan potongan yang provokatif, pada akhirnya ia dihadang di pintu depan oleh suaminya yang baru saja pulang dari suatu urusan di luar rumah; lelaki ultra-konservatif itu langsung menampar si wanita dan menghardiknya untuk mengenakan jilbabnya kembali. Pujian datang dari Nia dan Neni karena menurut mereka cerita ini benar-benar dapat menggambarkan jalan pikiran seorang wanita, terutama saat si tokoh utama berandai-andai tentang berbagai cara yang hendak digunakannya untuk memikat lelaki di luar rumah nanti.

Lalu Dini membacakan sebuah cerita dengan nafas fantasi yang sangat kental. Dikisahkan ada suatu keluarga kecil di negeri makhluk jejadian (shape-shifters). Kehidupan sehari-hari keluarga ini terganggu saat naga peliharaan sang raja mengamuk akibat tersedak batu permata yang ditelannya. Adik si tokoh utama--seorang (atau seekor?) anak (makhluk?) kecil yang terobsesi dengan ekor berbagai macam hewan--menghambur keluar untuk mengejar ekor si naga, sehingga si tokoh utama terpaksa menyelamatkannya sememntara sang ayah mengakhiri amukan sang naga dengan cara manjatuhkan sebuah tiang bangunan di atas perut naga tersebut agar batu permata di kerongkongannya kembali terdorong keluar. Berbagai tanggapan yang muncul umumnya setuju bahwa cerita ini berhasil menampilkan interaksi dalam keluarga dengan manis, tetapi bagian pembukanya agak membingungkan karena begitu banyak nama dan tempat baru yang diperkenalkan di dalamnya. Sempat terlontar wacana bahwa cara untuk menghindari masalah ini adalah memapas dan /atau menggabungkan segala macam nama, tempat, dan kejadian yang tidak benar-benar memegang peranan inti dalam cerita sependek ini.

Kisah keempat yang dibawakan oleh Nia mengambil latar kerusuhan etnis di Sampit (2001) antara suku Dayak dan suku Madura. Di tengah kekejaman dan penderitaan dalam peristiwa ini, diceritakan ada seorang lelaki yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan anak-anak kecil yang terlantar dari kedua suku. Lelaki ini menelusuri reruntuhan sebuah kampung untuk mencari satu lagi anak yang dapat diselamatkannya; saat ia memasuki sebuah rumah, tiba-tiba ada satu sosok kecil yang muncul dari persembunyian. Sayang sekali cerita berakhir di sini karena Nia kehabisan waktu. Semua peserta yang lain pun masih merasa penasaran tentang sosok kecil yang tak sempat diceritakan ihwalnya itu.

Rizal, pada giliran kelima, mengisahkan seorang pria yang begitu kesal dengan batasan-batasan waktu yang dikenakan kepadanya hingga ia sengaja memberontak dengan melanggar berbagai macam jadwal dan tenggat waktu dalam hidupnya. Tentu saja hal ini tidak begitu baik bagi kariernya maupun hubungannya dengan orang lain, tetapi baginya semua itu adalah harga yang setimpal bagi kebebasan yang didapatkannya dari kungkungan waktu. Kebiasaannya ini begitu meresap hingga iapun tak pernah langsung mengangkat telepon yang masuk; pada suatu hari, tindakan ini berakibat fatal saat ia baru mengangkat teleponnya setelah panggilan diulang beberapa kali dan ternyata seorang dokter telah berusaha menghubunginya sejak tadi tentang ibunya yang sakit parah. Begitu mendengar berita ini ia langsung bergegas pergi dan berharap bahwa kali ini adalah pertama kalinya ia mampu tak terlambat dalam hidupnya, tetapi dalam perjalanan ia malah tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan Sang Maut menjemputnya dengan kata-kata "Waktumu telah habis."

Dalam cerita keenam yang saya tulis, seorang pengembara mendatangi sebuah desa yang begitu kekurangan kayu bakar hingga satu-satunya api besar yang boleh dinyalakan adalah perapian di kedai yang merangkap sebagai balai desa. Ternyata ada segerombolan makhluk besar yang menyerang penduduk desa setia kali mereka keluar untuk mencari kayu bakar, dan si penjaga kedai menjelaskan kepada si pengembara bahwa kejadian seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Keesokan harinya si pengembara pun menunda perjalanannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang makhluk-makhluk yang mengganggu desa ini. Seperti halnya cerita Nia, cerita ini terpotong di tengah jalan karena keterbatasan waktu--suatu hal yang memicu diskusi tentang panjang yang "tepat" dan "alami" bagi setiap gagasan cerita. Ada pula beberapa komentar yang membahas cara cerita ini memasukkan rincian-rincian kecil tentang kejadian di sekeliling tokoh utama, terutama dalam kaitan (dan perbandingan) dengan cerita dari Dini.

Sebagai penutup, Andika mengisahkan seorang anak lelaki yang merasa kesal karena kakaknya (juga lelaki) yang beranjak remaja tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Ia tak mengerti mengapa kakaknya selalu mengunci kamar dan memutar musik keras-keras atau asyik mengobrol dengan teman-teman yang tak pernah diperkenalkannya kepada adiknya. Pada suatu hari, si adik memberanikan diri untuk mengintip ke dalam kamar baru kakaknya saat ia melihat bahwa tirai jendela luar tak sepenuhnya tertutup, dan betapa kagetnya ia ketika ia sadar bahwa di dalam kamar kakaknya yang telanjang bulat sedang mencium seorang teman lelakinya. Peserta yang lain bergurau bahwa cerita ini diangkat dari pengalaman adik Andika walaupun tokoh si adiklah yang kebetulan mendapat nama "Andika" dalam kesempatan ini.


Selama beberapa tahun terakhir Pradana Pandu Mahardhika telah berusaha untuk menaklukkan dunia, menjadi penulis profesional, dan melakukan penelitian pribadi tentang beberapa sisi sejarah yang tak umum dibicarakan, tetapi sejauh ini ia masih jauh lebih berhasil dalam mempelajari seni panahan daripada dalam upayanya untuk mancapai tujuan-tujuan tersebut.

1 komentar:

Nia Janiar mengatakan...

Gue suka jurnalnya Dani. Detail!