Kamis, 15 Oktober 2009

Surat

“Kapan terakhir kali kalian menerima atau menulis surat?”

Mungkin pertanyaan itu yang jadi dasar pertemuan writer’s circle kali ini. Surat fisik yang ditulis dengan pena diatas kertas seakan sudah menjadi barang yang cukup langka untuk banyak orang, tidak terkecuali anggota writer’s circle. Mayoritas dari kami yang hadir disana terakhir kali berkirim surat di usia SD ataupun SMP.

Setelah bertanya pada masing-masing orang tentang pengalaman mereka dengan surat, Andika bercerita bahwa ia pertama kali kenal dengan surat menyurat dari surat-surat pembantunya kepada sanak saudaranya. Ia juga mengaku bahwa surat terakhir yang pernah ia terima malah tidak pernah ia balas. Walaupun potongan informasi itu sangat menggiurkan, koordinator writer’s circle tersebut hanya tersenyum simpul saat ditanyai lebih lanjut.

Andika kemudian memberikan tiga pilihan jenis surat untuk kami tulis. Surat dari penggemar kepada idola, surat untuk teman kecil yang lama tidak dijumpai, dan terakhir surat dari seorang guru ke muridnya.

Surat pertama yang dibaca adalah surat saya. Surat saya dibacakan oleh Marty. Suratnya berisi tentang seorang guru kelas menulis yang kepada anak didiknya yang baru menerbitkan buku setelah sekian lama mereka tidak bertemu karena sebuah masalah. Di akhir surat, sang guru mengekspresikan juga bahwa hubungan guru dan murid kadang-kadang bisa bertukar. Marty membacakan surat itu dengan penuh penghayatan, dan Thya menggumamkan keinginannya untuk mempunyai kakak yang serupa dengan penulis surat itu.

Saya sendiri kebagian membacakan surat milik Dani. Kali ini Dani beralih ke dunia persilatan, lengkap dengan aparel pedang pusaka pula. Penulis suratnya adalah seorang yang menulis kepada bekas rekan seperjuangannya untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia perbuat, dan meminta rekan seperjuangannya itu untuk mengambil pedang pusaka yang ia sembunyikan sebelum semuanya terlambat. Seperti kata Dea, cerita ini memang ‘sangat Dani’, namun juga terasa menarik karena tokoh sang penulis surat yang malah mempercayai orang yang paling membencinya untuk membereskan masalah tidak terselesaikan di akhir hidupnya.

Surat Thya adalah surat dari penggemar Cinta Laura yang menggambarkan secara tepat kalau idola seseorang menunjukkan orang seperti apakah dia. Dalam suratnya Thya sengaja menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris yang baru dan mutakhir seperti ‘baby sister’ ‘dunia Entertain’ ataupun ‘please replay surat aku yaa ...’. Marty menyimpulkan bahwa pembacaan surat ini tergolong istimewa. Selain karena suratnya sendiri bisa membuat rahang capek tertawa, yang membacakannya tidak lain tidak bukan adalah Dani yang biasa tampil dengan cerita berbumbu militer (yang secara menakjubkan dan agak mencurigakan membacakannya dengan logat yang sangat mengena)

Surat Andika adalah surat seseorang kepada teman SDnya yang kini menjadi artis terkenal. Surat dimulai dengan basa-basi bahwa sang penulis telah menikahi Laras, sang kembang kelas mereka dahulu, yang telah berbuah dua anak (“Kok yang satu namanya Luisa? Padahal kakanya Anto, artisnya aja Budi” celetuk Dea), Kemudian terungkaplah bahwa maksud sang penulis adalah meminta bantuan Budi si artis untuk membantu menentang penggusuran sekolah mereka. Walaupun ditulis tanpa perencanaan, namun surat Andika ini terdengar sangat rapi dan nyata.

Apabila Thya menulis surat kepada Cinta Laura, Hakmer tampil tidak tanggung-tanggung lebih suram dengan menulis surat pada Kurt Cobain. Dialamatkan ke neraka pula. Diawali dengan monolog ‘apa faedahnya menulis surat pada orang yang sudah mati’ dengan penggunaan tanda kurung yang kreatif, surat tersebut diakhiri dengan perkataan Virginia Woolf yang disukai Hakmer, “Some people must die in order for others to value life more”. Sebuah quote yang memang sangat tepat untuk surat tersebut.

Surat milik Indra dialamatkan seorang pemuda kepada gadis yang dulu tinggal di seberang rumahnya. Surat ini menjadi begitu menyentuh karena sang gadis adalah pedoman sang penulis yang mempunyai masalah di keluarganya bahwa orang bisa kok hidup dengan bahagia. Dani kemudian berkomentar bahwa ada kemungkinan si gadis yang menjadi panutan kebahagiaan si penulis surat tersebut malah sendirinya bermasalah (terutama karena sang penulis suka melihatnya duduk di atap sambil tertawa dan merenung), namun yang lainnya kurang yakin dan berargumen bahwa tertawa sendiri di atas atap mungkin memang cara yang asyik untuk menikmati hidup. Dani hanya mengangkat bahu dan berkata kalau tiap orang akan melihat sebuah cerita secara berbeda-beda.

Surat Dea dimulai dengan perenungan terhadap susu coklat bersedotan yang baru saja habis diminumnya. Dari sana ia menujukan surat tersebut kepada dotnya saat ia berumur 2 tahun, bagaimana kesedihannya saat ternyata ia harus berganti dengan dot baru, dan bagaimana dot itu adalah dot kesayangan juga dot terakhirnya. Di akhir surat Dea mengharapkan dotnya kini nyaman berada di tempatnya, dimanapun itu berada. Sebuah surat yang dirasakan oleh semuanya benar-benar manis sekaligus unik.

Lain Dea lain pula Mahel. Apabila Dea mengirimkan surat pada dot kesayangannya, Mahel mengirimkan suratnya kepada dirinya sendiri di usia 15 tahun. Disana ia berusaha meyakinkan dirinya yang lebih muda bahwa walaupun saat itu terasa gelap, namun semuanya nantinya akan baik-baik saja, buktinya ia masih bisa hidup sampai sekarang. Hebatnya, semua itu dituliskan Mahel sambil masih memegang teguh aturan pertama penyihir: Jangan pernah mengubah masa lalu! Ia mengaku surat itu didasari fakta bahwa pada usia tertentu dalam hidupnya, satu-satunya orang yang bisa ia anggap sahabat adalah dirinya sendiri.

Surat Marty menutup pertemuan kami dengan satu lagi episode yang mengocok perut. Suratnya menyatakan keinginan siswa-siswa SMUN 3 Bandung untuk mengundang sebuah grup musik terkenal tahun 80an - lengkap dengan jabatan Marty sebagai panitia acara di akhir suratnya. Usut punya usut ternyata surat itu nyata adanya, hanya sayang tidak pernah terkirim ke grup band yang bersangkutan (Atau untung tidak terkirim? Kamipun masih menimbang-nimbang)

Di ujung pertemuan, Dea sempat mengekspresikan keinginannya akan teman surat-menyurat. Beberapa anggota writer’s circle lain sontak menyanggupi. Lagipula, kalau ingin hemat biaya pos toh bisa diberikan di Reading Lights.

Jadi mungkin setelah ini ada yang mau mengeluarkan pena dan kertas dan mulai menulis surat lagi? Kami anggota writer’s circle senantiasa bersedia surat menyurat :)

Azisa Noor adalah perempuan dengan segudang bakat. Selain menulis, bermain cello dan memainkan musik klasik, ia pun jago menggambar. Bakatnya dalam menulis dan menggambar ini telah ditelurkan dalam sebuah karya komik yang berjudul Satu Atap. Karyanya bisa dilihat di toko buku terdekat.

4 komentar:

vendy mengatakan...

Azisa Noor
......
scarlet-dragonchild??????

nia mengatakan...

Lah, iya, emang kenapa, Ven?

vendy mengatakan...

selama ini sih, gw kagum sama karya2nya di deviantart :D

nia mengatakan...

Iyes. Udah nelurin buku tuh, Ven.