Jumat, 09 Oktober 2009

Menuliskan Kenangan Tentang Kenalan

Usai berpuasa sebulan penuh, dan bermaaf-maafan di hari Idul Fitri, apakah hal berikutnya yang akan dilakukan seorang penulis? Jawabannya sederhana: menulis. Benar saja, para penulis yang datang pada pertemuan Reading Lights Writers' Circle tanggal 3 Oktober 2009--pertemuan pertama setelah Idul Fitri 1430 H--tampaknya sudah begitu "gatal" untuk melampiaskan kecanduan mereka terhadap kegiatan tulis-menulis.

Tema pertemuan kali ini adalah "menuliskan kenangan tentang kenalan." Definisi tema ini sangat luas, mencakup segala macam kenangan dari segala macam kenalan dekat maupun jauh, asalkan kenangan itu cukup menarik untuk dijadikan suatu tulisan. Dan memang nyatanya hasil tulisan yang muncul dari tema ini sangat bervariasi.

Sesi pembacaan dibuka oleh Ina, yang menulis tentang fenomena "familiar stranger". Saat menaiki mobil angkutan kota di Bandung, ia sering melihat seorang pengendara motor yang seolah-olah pernah ia kenal saat masih tinggal di kota kelahirannya. Benar saja, saat Ina memberanikan diri untuk menghentikan si pengendara motor, ternyata mereka berdua memang berasal dari kota yang sama dan saling mengingat wajah masing-masing sekalipun hanya samar-samar.

Mahel menuliskan sekilas cerita nyata tentang seorang wanita karir--seorang pelanggan di gerai Starbucks tempat Mahel pernah bekerja. Dimulai dari keramahan yang mau tak mau harus ditunjukkan Mahel sebagai seorang pelayan, perkenalan antara mereka berdua berlanjut menjadi suatu persahabatan yang cukup kental. Wanita inilah yang akhirnya meyakinkan Mahel untuk memberanikan diri keluar dari pekerjaannya di Starbucks saat ia tidak lagi merasa bahwa ada ruang untuk mengembangkan dirinya dalam pekerjaan itu. Keputusan ini cukup berat karena pengunduran diri Mahel juga berarti bahwa ia tidak lagi dapat sering bertemu dengan sahabatnya itu.

Berikutnya, Andika menceritakan seorang gadis yang dikenalnya di kampus. Gadis itu begitu sering mencoba menarik perhatiannya, dan mungkin bahkan tertarik padanya; saya jadi bertanya-tanya tentang kemungkinan jalan cerita yang lain seandainya orientasi seksual Andika membuatnya lebih tertarik terhadap lawan jenis.

Tulisan Marty pendek tetapi lucu. Singkat kata, dalam versi (agak) fiktif dari kejadian nyata ini, ia dan seorang temannya sama-sama diundang ke suatu acara pernikahan; mereka berdua datang bersama orang tua masing-masing, dan di sana mereka terkejut karena ternyata orang tua mereka saling mengenal sejak dulu.

Regie mengisahkan perkenalannya di jagad maya dengan seorang penulis "fan fiction" (cerita yang memanfaatkan latar dan tokoh dari karya penulis lain yang sudah diterbitkan). Di satu sisi mereka saling melontarkan hinaan tentang cerita masing-masing, tetapi di sisi lain persahabatan mereka begitu eratnya hingga mereka berani membicarakan hal-hal pribadi yang biasanya tidak akan mereka bicarakan dengan kebanyakan teman dan kenalan di dunia "nyata." Hal ini memancing suatu diskusi tentang keterbukaan dalam membicarakan masalah-masalah pribadi dengan orang yang tidak dikenal secara langsung; salah satu isu yang diangkat dalam diskusi ini adalah peran Internet sebagai suatu media yang bersifat "anonymous" (menyembunyikan identitas) sehingga dapat menghilangkan rasa segan yang sering menghalangi keinginan untuk berbagi pikiran dan perasaan saat bertatap muka dengan seorang teman atau sahabat.

Irfan, dalam tulisannya, memberikan suatu pandangan yang sangat langsung tentang peran persahabatan dalam membangun kepercayaan dan kedewasaan diri. Lebih rincinya lagi, ia mengisahkan seorang teman yang mengajarinya untuk berani mengejar mimpi dan angan-angan di luar kungkungan rutinitas sehari-hari yang dekat dan pasti.

Tulisan Hakmer menumpahkan emosi yang dalam tentang seorang gadis yang dikenalnya pada masa-masa SD dan SMP. Kesedihan tentang kenangan yang tak mungkin kembali--karena jalan hidup mereka sudah saling menjauh, dan juga menjadi semakin rumit--sangat kentara dalam setiap baris tulisan yang dibacakannya. Terlebih lagi, ritme yang indah dalam tulisan ini membuatnya layak disebut sebagai prosa liris atau bahkan puisi.

Jujur saja, saya mengalami kesulitan dalam memilih kenangan yang cukup unik dan menarik untuk saya tuliskan dalam waktu singkat yang tersedia, jadi tulisan yang saya buat (dan bacakan) dalam pertemuan ini bukan benar-benar suatu kenangan nyata, melainkan suatu bayangan dengan tokoh-tokoh yang pada dasarnya merupakan versi fiktif dari saya dan salah seorang sahabat saya beserta suatu kejadian yang disusun sebagai semacam skenario "what if" (suatu hal yang mungkin terjadi seandainya keadaan sedikit berbeda). Penggambaran saya tentang ketegangan dalam hubungan antara kedua sahabat ini memancing reaksi beragam; pada dasarnya sebagian besar pendengar tidak sepenuhnya mengerti tentang apa yang terjadi dalam cerita saya, tetapi perasaan "tidak mengerti" ini justru memberikan bayangan yang lebih kaya tentang ketegangan yang terjadi antara kedua sahabat tersebut, seolah-olah ada semacam "bahasa tersembunyi" antara keduanya yang tidak dapat terbaca oleh orang lain.

Setelah itu Azisa menceritakan seorang laki-laki yang ia namai "Si Penyihir" karena kepribadian laki-laki tersebut mengingatkannya akan stereotype penyihir yang aneh dan penyendiri dalam cerita-cerita dan permainan-permainan fantasi. Bagian paling "berwarna" dalam tulisan ini muncul dalam spekulasi tentang alasan si "Penyihir" mengasingkan diri; mungkin saja semua itu sebenarnya suatu lingkaran setan yang terbentuk saat si "Penyihir" penyendiri dan orang-orang kebanyakan saling mengucilkan satu sama lain.

Nia, yang datang terlambat, melanggar wejangan yang ditulisnya sendiri dalam pengumuman di Facebook: "Oh ya teman-teman, tulisannya dibuat di Reading Lights ya.. bukan dibikin di rumah lalu dibawa ke RL." Karena ia tidak sempat mengikuti sesi penulisan, ia malah membacakan karya yang sudah ditulisnya sebelum datang ke RL, tetapi para peserta lain tampaknya bersedia memaafkan pelanggaran ini karena Nia menyajikan suatu cerita yang menarik tentang seorang pengidap HIV yang dulu sering ditemuinya dalam rangka penelitian. Walaupun mereka telah cukup banyak bercakap-cakap, Nia masih belum sempat mengenal si pengidap HIV begitu dalam, dan hal ini menimbulkan rasa penasaran baik bagi Nia sendiri maupun bagi peserta-peserta lain yang mendengarkan tulisannya.

Mungkin, suatu saat di masa depan, pertemuan RLWC ini pun bisa menjadi suatu kenangan tersendiri yang layak dituliskan dan diceritakan.

Pradana Pandu Mahardhika

"Write something about myself? I wouldn't have to stoop that far if I had a horde of imperial scribes toiling day and night to chronicle my (not-so-)world-shaking exploits."

1 komentar:

Nia Janiar mengatakan...

Klasifikasi! eh klarifikasi!

Sebenernya gue bukan berarti gak kenal kenalan gue secara personal. Tapi apa yang gue tulis memang dangkal dan hanya sebagai besarnya aja.

Cuman masalah nulis enggak di RL itu bener. Tapi gue gak nulis di rumah, tapi di kantor. Hehe.

_nia_