Selasa, 20 Oktober 2009

Menulis Melalui Media Gambar

Sebuah ungkapan klise merangkum suasana pertemuan Reading Lights Writer’s Circle minggu lalu: Tidak ada akar, rotan pun jadi. Meskipun awalnya agenda acaranya adalah menonton film Summer Hours, tetapi akhirnya kami melakukan kegiatan yang sama sekali berbeda. Padahal untuk menonton bersama, saya sudah membawa tas berat berisi laptop dan speaker. Namun apa mau dikata, ternyata film yang hendak diputar tidak dapat terproyeksikan sama sekali!

Menyerah dengan Summer Hours, saya turun dari lantai atas dan mendapati Marti dan Hakmer sedang saling berbincang dengan seorang pemuda botak yang tidak saya kenal. Kelihatannya asyik sekali mereka mengobrol, wajah anak-anak itu penuh tawa. Tak lama kemudian, saya pun berkenalan dengan pemuda botak yang ternyata ramah itu. Namanya Ario. Ia berprofesi sebagai seorang komikus dan ilustrator yang kerap, ehm, mencari inspirasi di Reading Lights. Kalau bicara dengan Bahasa Inggris, logat british Ario kental sekali. Mungkin ini daya tarik terbesarnya, hahaha. Ketika peserta writer’s circle yang lain berdatangan, lingkaran pembicaraan kami pun semakin membesar.


Kemudian Ario bercerita tentang komiknya yang sebentar lagi akan diterbitkan, Nadia and The Painkillers. Komik itu mengisahkan kehidupan Nadia, seorang gadis dengan kekuatan super yang membentuk kelompok pembasmi kejahatan, The Painkillers, karena muak berhadapan dengan kondisi sosial yang ada. Ario berkata bahwa karakter penjahat dalam komiknya terinspirasi dari politikus di Indonesia yang kelihatannya baik tetapi sebetulnya tidak. Mendengar cerita tersebut, Dea mendapat ide untuk menulis berdasarkan gambar ilustrasi Ario. Ide ini kontan disetujui Hakmer yang menyatakan kalau hari ini ia sedang semangat-semangatnya untuk menulis. Berhubung Ario tidak berkeberatan, kami pun pindah ke lantai atas dan memulai pertemuan.

Ario lantas membuat sketsa seorang perempuan dengan mata tertutup. Rambut perempuan itu panjang, menjuntai melilit batang pohon dan tiang berornamen. Tangannya mengusap dada. Setiap peserta writer’s circle dibebaskan membuat cerita, interpretasi, esei, atau tulisan apapun berdasarkan gambar ini. Sayang Ario tidak bisa terus-terusan kami monopoli. Setelah setengah jam menulis, kami pun membacakan karya masing-masing.

Niken menjadi orang yang pertama kali membacakan karyanya. Tulisannya mempertanyakan hal-hal yang ada di dalam gambar. Mengapa mata perempuan itu terpejam? Memang beban apa yang ditanggungnya? Niken menuturkan ide tulisannya muncul dari pengalamannya mengajar kesenian untuk anak-anak sekolah dasar. Suatu hari murid-murid Niken mempresentasikan lukisan jari masing-masing. Presentasi ini mengundang pertanyaan-pertanyaan sederhana dari murid yang lain seperti, “Mengapa mataharinya biru?”, yang dijawab pula dengan sederhana, “Karena waktu itu jariku masih ada warna birunya.” Niken terkesan dengan hal ini. Kesederhanaan itu berbeda dengan apa yang didapatinya pada forum-forum ketika seorang seniman ‘betulan’ berusaha menjelaskan tentang karyanya sendiri.

Setelah Niken, Hakmer membacakan tulisannya yang berbentuk monolog untuk seorang sahabatnya. Tulisannya seperti sajak yang bertujuan untuk meyakinkan sahabatnya bahwa gadis yang Hakmer sukai memang pantas untuk disukai. Peserta writer’s circle yang amat kurus itu mengakui kalau dirinya pernah mengalami apa yang ditulisnya itu: suka dengan seseorang, tetapi teman-temannya tidak mengerti mengapa ia suka orang itu. Saya berharap sahabat Hakmer akan mengerti, sehingga tali persahabatan mereka tidak terputus.

Marti menulis cerita tentang percintaan seorang putri yang tidak disetujui oleh orang tuanya juga dengan gaya bermonolog. Sesekali ia menyelipkan potongan dialog raja yang murka. Marti membacakan tulisannya dengan serius sehingga suaranya terdengar mantap. Niken mengomentari perubahan sudut pandang dalam tulisan Marti yang seperti tiba-tiba. Perubahan sudut pandang mungkin terasa membingungkan apabila sebuah karya dibacakan langsung karena bisa jadi terlewatkan oleh pendengarnya, Namun, mungkin akan berbeda apabila karya tersebut dibaca secara langsung oleh pembacanya.


Sementara itu, saya menulis cerita teenlit tentang seorang gadis bernama Gadis yang lari dari pacarnya, Ben, karena satu dan lain hal yang baru diungkap di akhir tulisan. Tiang berornamen yang di dalam gambar Ario mengingatkan saya dengan Fiesta Boom Satoe (Fibosa), bazar SMA 1, tempat saya dulu bersekolah. Walhasil acara itulah yang menjadi latar di dalam cerita yang sumpah-sangat-tidak-penting-ini.


Aji menuliskan cerita tentang seorang perempuan yang begitu sedihnya sehingga kematiannya karena gempa malah menggembirakan karena membebaskannya dari masalah. Dengan dibacakannya cerita Aji, berarti sudah ada empat peserta yang menginterpretasikan gambar Ario sebagai gambar seorang perempuan yang menanggung beban hidup, kesedihan, meskipun masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda dalam mambahas masalah ini.


Apakah semua orang membuat tulisan bernuansa sedih? Ternyata tidak. Dea memberikan sentuhan akhir yang segar dan ceria. Anak writer’s circle yang seringkali juga segar dan ceria itu menuliskan cerita tentang Swasti yang rambutnya menjadi ganas dan menggila setelah berkeramas dengan, literally, lidah buaya! Swasti salah tangkap perkataan penata rambut terkenal Rudal Hadisuwarnal yang menyarankannya berkeramas dengan tanaman lidah buaya. Alih-alih Swasti malah berkelana ke rawa-rawa untuk memburu buaya untuk diambil lidahnya. Aji lantas berkomentar, “Emang buaya beneran punya lidah?” Baru kami sadar kalau buaya sebetulnya tidak berlidah!

Dan begitulah ceritanya. Perubahan agenda dari menonton bersama menjadi menulis berdasarkan ilustrasi ternyata menjadi kejutan yang menyenangkan dari pertemuan writer’s circle pekan lalu. Mudah-mudahan peristiwa-peristiwa tidak terduga akan terus muncul dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Reading Lights Writer’s Circle.



Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.

1 komentar:

Niken mengatakan...

tulisan2nya ada di sini. Mayaaan...numpang tenar...hehehe