Sabtu, 31 Oktober 2009

Menguak Hal-Hal Yang Tidak Dibicarakan

Saya jalan bergegas menuju Reading Lights. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.20 yang artinya saya sudah terlambat 20 menit dari mulainya kegiatan writer's circle yang dijadwalkan pukul empat. Ketika saya akan membuka pintu kaca, sudah terlihat Marti melambaikan tangan sambil hilir mudik. Rupanya ia dan peserta writer's circle lainnya sedang sibuk mencari tempat untuk menulis.

Akhirnya kami mendapat tempat di ruang baca. Letaknya di sebelah belakang dari toko utama. Tempat ini sangat nyaman dan sangat enak untuk menulis, membaca, atau sekedar mengobrol bersama teman. Beberapa peserta writer's circle memesan beberapa minuman dan makanan untuk menemani sesi nulis hari ini.

Beberapa mencari ide, beberapa sadar kamera

Setelah semua sudah duduk di tempatnya, Andika memberi informasi bahwa yang akan peserta tulis hari ini adalah sesuatu yang jarang diomongkan. Bukan berarti tabu, tapi hanya jarang diomongkan, misalnya singlet, belahan bibir di bawah hidung (konon belahan dagu lebih banyak dibicarakan ketimbang belahan bibir), kulit mati, dan lainnya. Banyak yang dari kami yang bergumam, "Ck! Susah banget!"

Kami diberi waktu 5 menit untuk mencari ide. Hampir semua kepala peserta bersandar di kursi dan matanya menerawang ke langit-langit atau sekeliling ruangan baca untuk mencari ide. Sama seperti saya, peserta lain juga membutuhkan waktu itu berpikir apa ya yang kira-kira jarang dibicarakan orang karena telinga ini terlalu banyak mendengar hal-hal yang sering dibicarakan orang. Salah satu peserta, Mahel, kebingungan karena ia merasa semua hal dibicarakan olehnya. Oh, pasti dia sangat ekstrovert.


Akhirnya setelah mendapat ide, para peserta mulai menulis. 15 menit pertama yang diberikan ternyata tidak cukup bagi peserta untuk menuliskan seluruh idenya. Tambahan lima menit sebanyak 2x membuat proses kreatif ini berlangsung hampir setengah jam!

Dani dan Hakmer yang tidak (bisa) membaca

Pembacaan karya dimulai dari Dani. Ia menulis dua cerita. Pertama, Dani bercerita tentang paku payung di sol sepatu yang diketahui keberadaannya ketika sedang mencuci sepatu. Memang tidak tembus hingga kaki karena sol yang tebal, namun bagaimanapun tidak ada orang yang mau terserang tetanus karena paku payung. Kedua, Dani bercerita tentang sebuah kamar yang sangat bau. Rupanya kamar tersebut baru ditiduri oleh seorang pahlawan yang jarang mandi karena terlalu sibuk untuk menyelamatkan dunia.

Lalu apa yang jarang disampaikan? Yang ingin Dani sampaikan adalah pahlawan terlalu sibuk untuk mandi. Well, saya tidak tahu apakah yang namanya pahlawan itu jarang mandi dan orang yang jarang mandi itu bisa disebut pahlawan, tapi silahkan dicari jika penasaran.

Mahel dan Azisa yang sudah datang terlambat tidak menulis pula :)

Seharusnya Hakmer menjadi peserta selanjutnya yang membacakan karya. Karena Hakmer tidak membuat cerita sama sekali, giliran berpindah ke Mahel yang bercerita tentang catur. Bidak kesukaanya adalah kuda. Baginya, bidak ini begitu spesial karena - tidak seperti bidak lain - kuda hanya bisa bergerak L namun ia bisa meloncat. Kalimat yang sangat baik disampaikan oleh Mahel dalam ceritanya adalah 'keterbatasan yang sekian, kelebihan yang sepadan'. Menurut peserta lain, cerita ini sangat positif. Lagipula, jarang sekali orang-orang membicarakan bidak kuda dalam catur dalam sebuah tema. Tulisan Mahel selanjutnya bisa dibaca di sini.

Setelah membacakan karya, Mahel bercerita bahwa ia suka main catur ketika kecil. Dari kecil pun - entah mengapa - ia selalu memilih bidak kuda.

Theo dan He-Man!

He-Man adalah tokoh yang dijagokan Theo dalam pembacaan karya berikutnya. He-Man artinya laki-laki dewasa karena kalau masih kecil namanya 'He-Boy'. He-Man ini disukai banyak lelaki. Ada He-Man yang asli dan ada He-man yang palsu seharga 20-30 dollar. Cara membedakannya adalah harus dirasakan. Bagaimana cara merasakannya? Entahlah, silahkan tanya Theo.

Tulisan satir Theo ini memancing gelak tawa para peserta. Rupanya yang dimaksud tulisan ini adalah hymen (selaput dara) buatan yang kini dijual seharga 20-30 dollar.

Pembahasan pun jadi melebar tentang cara membedakan hymen asli dan palsu. Kata Dani, hymen asli terlihat dari noda darah di seprai karena mencuci noda darah itu susah sekali. Peserta lain, Niken, malah menambahkan, "Sudah dicuci pakai sampo belum?"

Ah, semakin melebar dan tidak jelas. Mana ada cuci darah pakai sampo? Kalau ada, apa kabarnya yang gagal ginjal?

Lanjut!

Marti disorot oleh mata Naga

Marti membacakan sebuah karya tentang sorotan mata ibu yang tulus. Mungkin banyak cerita atau tulisan tentang ibu secara umum, tetapi jarang ada yang menulis secara spesifik tentang sorotan mata seorang ibu.

Theo bertanya tentang mengapa Marti membahas sorotan mata. "Karena mata adalah jendela dunia. Sorot mata lebih banyak berbicara ketimbang mulut yang berbicara," jawab Marti. Ah, Marti, bisa saja ...


Lalu, peserta yang akan launching bukunya tanggal 08 November 2009 ini, Dea, membacakan karya tentang singlet. Tulisan ini berawal dari teman yang protes karena melihat singlet yang balapan dengan baju Dea. Bagi Dea, singlet itu tipis namun tidak rapuh. Dea mengaku sampai sekarang pun ia tetap memakai singlet.

Anggi, peserta yang baru bangun dari sakitnya, membacakan karya tentang apa yang baru dialami ketika ia sakit. Penyakitnya disebabkan oleh kulit telur kutu kucing. Ulangi sekali lagi. Kulit telur kutu kucing. Tidakkah kalimat tersebut cukup kompleks dan merepotkan? Betul kata Anggi, menyebutkannya saja cukup susah. Anggi tertular penyakit ini karena kucing yang suka tiduran di tempat tidurnya.

Awas menular!

Setelah Anggi membacarakan karyanya, giliran saya membacakan karya saya tentang kotoran di kuku kaki. Ibu saya pernah berpendapat bahwa jika ingin tahu seseorang itu bersih/tidak, lihatlah kuku kakinya. Kalau kotor berarti orang itu tidak bersih. Kalau bersih berarti orang itu bersih.


Pendapat ibu mempengaruhi saya untuk memutuskan saya jadi suka/tidak terhadap laki-laki. Nasib laki-laki jadi tergantung dengan kotoran di kuku kaki. Sebenarnya ini bukan salah laki-laki, bukan salah kuku, bukan salah kaki, tapi ini salah kotoran yang sudah dibersihkan namun selalu datang berkali-kali.

Lihatlah kaki Anda, apakah sudah bersih?

Nia dan Niken, duo kaki

Masih tentang kaki, Niken pun menulis tentang kaki. Ia bercerita tentang seorang tokoh bernama Hani yang suka dengan kaki dari betis hingga bentuk dan bulu kaki. Kegemaran sang tokoh dengan kaki dihubungkan dengan mahasiswa FKG terhadap gigi. Hani tidak segan-segan menguliti kapalan di kaki sama seperti mahasiswa FKG yang tidak segan-segan merontokkan karang gigi. Hani yang suka mencabuti bulu kaki sama dengan mahasiswa FKG yang suka mencabuti gigi. Tidakkah ini begitu mirip?

Anggi bercerita bahwa ia pernah menguliti kapan kaki hingga berdarah. Cerita Anggi disambut oleh tanggapan peserta lain tentang cerita hal-hal yang bisa menimbulkan kapalan seperti tangan kapalan karena bermain PS, menyetrika, menulis, dan lainnya.

Andika bercerita tentang celana corduroy. Awalnya ia melihat celana corduroy di pasar tumpah Gasibu seharga 15 ribu. Corduroy berwarna merah tua, biru, atau hijau yang sudah diimajinasikan jika dipadu padankan dengan kaos hitam, membantu Andika memutuskan untuk membeli dua celana corduroy sekaligus.


Ngomong-ngomong tentang corduroy, Andika memberitahukan bahwa corduroy itu berasal dari bahasa Perancis (orde du roi) yang artinya pakaian para raja. Ah, apa hebatnya di zaman sekarang karena sudah bisa dipakai para mahasiswa ;)

Setelah sesi menulis ditutup, saya bergegas untuk menunaikan shalat Magrib. Hari ini hari Sabtu, Reading Lights ramai sekali karena ada acara film di ruangan lain. Semua staff Reading Lights sibuk melayani tamu yang ingin memesan minuman/makanan atau hanya sekedear ngobrol tentang buku-buku yang dimiliki Reading Lights.

Setelah shalat, saya pun pulang. Cahaya bulan terlihat samar. Hari ini Bandung mendung.


Nia Janiar yang akhir-akhir ini lebih sering menulis artikel di Ruang Psikologi, bercita-cita menjadi seorang penulis ketimbang pengajar - sebagaimana profesinya yang digeluti saat ini - walaupun sekarang kegiatan menulisnya baru sebatas mengirim ke berbagai lomba. Belum menerbitkan buku sama sekali (kecuali skripsi).

2 komentar:

M. Lim mengatakan...

Foto Nia manis dan melankoli betul hihih.
*berkomen di luar topik kekekek*

Nia Janiar mengatakan...

Haha ... sengaja, Mbak Mir. Cari poto yang manipulatif ini ... kan mau diliat banyak orang. Haha.