Kamis, 20 Agustus 2009

Jinak-Jinak Merpati, Hendak Ditangkap Ia Pun Terbang

Minggu ini di writer’s circle, temanya adalah peribahasa. Tepatnya, memicu keluarnya tulisan dengan peribahasa. Ide ini mengemuka ketika pada minggu lalu Hakmer mengusulkan menulis berdasarkan kutipan sebagai tema minggu depan. Ide itu memang menarik, tetapi kami pernah melakukannya. Saya lantas teringat pengakuan Indra beberapa waktu yang lalu. Kata laki-laki itu, ia menikmati membaca buku peribahasa terutama karena nuansa Melayu yang kentara sebagai akar dari Bahasa Indonesia. Akhirnya diresmikanlah menulis berdasarkan peribahasa menjadi tema writer’s circle minggu ini.

Berbekal sepuluh peribahasa dari buku Peribahasa Indonesia keluaran CV, saya menuju ke toko buku Reading Lights. Rupanya di sana baru ada seorang peserta semi-mingguan, Aji. Di depan kaca besar yang bersih sekali, saya duduk bersamanya, menggulung potongan-potongan kertas bertuliskan peribahasa untuk latihan menulis nanti. Satu demi satu wajah-wajah pun bermunculan. Ada Dani, yang membawa plastik keresek yang saya kira berisi makanan padahal isinya gergaji. Juga ada Neni, yang kelakuannya semakin aneh saja akibat ketidakpastian kapan keluarnya visa. Uli, Wahyu, dan Hakmer muncul berturutan ketika kami sudah pindah duduk ke atas.

Pertemuan dimulai, saya lantas menanyakan kepada para peserta tentang penggunaan peribahasa dalam kehidupan sehari-hari. Jawaban semua peserta cukup senada. Peribahasa memang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hakmer menyatakan dirinya kurang bisa teridentifikasi dengan penggunaan peribahasa karena peribahasa, “Terlalu Melayu.” Sebagai bagian dari keluarga besar Batak, ia merasa jauh dengan budaya Melayu. Menurut Hakmer, sejak kecil ia terbiasa membaca buku berbahasa Inggris dan baru membaca buku berbahasa Indonesia ketika menginjak bangku perguruan tinggi. Soal kesulitan teridentifikasi dengan budaya Melayu ini kurang lebih disetujui oleh Dani. Peribahasa yang dibacanya biasanya adalah yang berbahasa Jawa.

Latihan menulis dimulai setelah pembicaraan sepintas kami tentang peribahasa selesai. Saya menunjuk kertas yang sudah saya gulung. Di setiap gulungan kertas terdapat sebuah peribahasa beserta maknanya untuk masing-masing peserta. Latihan menulisnya sendiri cukup fleksibel. Peserta bisa menempatkan peribahasa tersebut sebagai pembuka atau penutup tulisannya. Bisa juga membuat tulisan yang sama sekali tidak mencantumkan peribahasanya per se, asalkan dari tulisan tersebut bisa ditelusuri makna dari peribahasa yang didapatkan. Waktu yang diberikan sebanyak 15 menit + 5 menit + pokoknya sampai tulisan selesai.

Rupanya sore itu semua orang berlagak malu-malu kucing. Tidak ada seorang pun yang mau membacakan tulisannya duluan. Ketika saya mengharuskan peserta yang membaca terakhir menulis jurnal ini barulah nyaris semua orang berebut membacakan duluan. Yeee. Wahyu lantas membaca tulisannya yang menggambarkan padang rumput, angin semilir, dan sapi-sapi gemuk yang sedang digembalakan. Kesannya tenang. “Peribahasanya apa?” tanya saya. “Jinak-jinak merpati, hendak ditangkap ia pun terbang. Artinya, seorang gadis yang seperti mudah didekati, padahal tidak,” jawab Wahyu. “Tapi kok nggak nyambung?” Rupanya Wahyu lebih terinspirasi pada lagu Enya yang berirama New Age yang diputar sayup-sayup di Reading Lights!

Kemudian Neni membacakan tulisannya yang terinspirasi dari peribahasa, ‘Di mana kayu bengkok, di situlah musang meniti.’ Artinya: musuh ada di tempat yang kurang penjagaannya. Neni mengaku sama sekali blank mendapatkan peribahasa ini. Tulisannya sangat kental unsur dialognya, di mana salah satu karakter selalu bertanya sementara karakter yang lain berusaha menjawabnya. Yang dibacakan Neni seperti menggambarkan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang pada akhirnya coba dijawabnya sendiri.

Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan Indra yang datang sembari terbatuk-batuk. Aji lantas membacakan tulisannya yang kembali berkutat di urusan-urusan yang serius: politik, hukum, kriminalitas. Peribahasa yang didapat Aji pun sangat pas dengan tulisannya yang agak-agak bernuansa mafia, ‘Menangkap gajah yang liar itu harus dengan gajah pulu.’ Maknanya adalah menangkap penjahat harus dengan penjahat pula.

Saya pun membacakan tulisan saya. Ceritanya tentang Agnes Santoso, seorang mahasiswi yang tergila-gila pada merk Zara dan The Body Shop. Belanja adalah nafas Agnes. Sementara itu, di perguruan tinggi nilainya yang pas-pasan membuat ia berpindah dari satu kampus ke kampus lainnya sampai menikah dan mati. Untuk memperkental nuansa komikal pada cerita ini, saya banyak memakai repetisi. Tulisan saya terinspirasi dari peribahasa, ‘Minyak habis, sambal tak enak,’ yang berarti: telah banyak mengeluarkan uang tetapi hasil tidak memuaskan.

Lalu Hakmer membacakan tulisannya yang terinspirasi peribahasa ‘Belum bertaji, hendak berkokok.’ Belum berilmu sudah mau melagak. Tulisannya itu sangat lucu, karena seperti curhat laki-laki menyebalkan tentang seorang laki-laki lain yang juga menyebalkan. Terasa seperti curhat karena Hakmer menggunakan narasi sudut pandang orang pertama. Menyebalkan karena si narator suka mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Padahal sebetulnya pencampuran ini alami karena ada beberapa kata dalam Bahasa Inggris yang padanan Bahasa Indonesianya tidak ditemukan Hakmer.

Pada kesempatan ini, Uli mengisahkan kehidupan seorang pengusaha yang dulunya adalah atlet. Suatu hari pengusaha itu membeli lukisan seorang seniman yang tanpa diketahuinya adalah rivalnya semasa menjadi atlet sekaligus saingannya dalam memperebutkan cinta perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Tulisan Uli berbeda dengan cerita peserta-peserta lain karena penuh dengan darah. Ia memang tega menyiksa karakter-karakternya. Dani membandingkan tulisan tersebut dengan sebuah film yang pernah ditontonnya, “Awalnya mirip, tapi akhirannya enggak.” Peserta lain memberi komentar bahwa kendatipun ‘berdarah’, tetapi belum terasa tonjokan emosi yang signifikan. Pasalnya narasi yang digunakan Uli kelewat berjarak, sehingga tulisannya seperti video yang diambil dengan kamera yang kelewat statis dari jarak terlalu jauh. Tulisan Uli berdasarkan makna peribahasa ‘bagai harimau beranak muda’, yaitu sangat ganas terhadap istri.

Militerisme mengemuka pada cerita Dani seperti biasa. Pada awal kedatangannya di writer’s circle ia memang sudah menjelaskan bahwa genre kesukaannya memang yang berbau-bau militer. Tulisan yang dibacakan Dani cukup lucu. Berlatarkan sebuah hutan yang menjadi lokasi gerilya, tersebutlah seorang letnan muda yang sering jalan-jalan sendirian tanpa jelas ke mana tujuan. Bisik-bisik pun terjadi antara sesama prajurit. Sementara itu dengan geli sersan mereka menduga-duga ke mana letnan itu pergi sambil memikirkan pertanyaan apa yang akan ia ajukan saat interogasi nanti. Cerita ini dipicu oleh peribahasa, ‘Bagai kucing lepas senja.’ Artinya: anak muda yang suka keluyuran.

Terakhir, Indra membacakan tulisannya yang berdasarkan peribahasa yang sama dengan peribahasa yang didapat Dani. Alkisah, seorang perempuan menjalani hidup yang penuh dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang ibarat pinggul perempuan itu sendiri. Banyak peserta yang suka dengan cerita Indra karena bahasanya yang halus dan metafor-metafor yang digunakannya. Bertolak dari tulisan Indra, Dani berpendapat bahwa belakangan peribahasa memang agak jarang digunakan, tetapi dalam tulisannya penulis-penulis saat ini banyak memakai metafor-metafor yang sifatnya personal. Bukan tidak mungkin bila metafor ini akhirnya menjadi metafor umum yang diakui oleh banyak orang.

Writer’s circle lalu mengobrolkan pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah. Bagaimana seorang guru memerintahkan murid-muridnya untuk menghapal sejumlah peribahasa, majas, dlsb. Kata Dani, pendidikan seperti itu sukses membuat apa yang sebetulnya keren menjadi tidak keren. Lalu muncul pertanyaan, memang bagaimana membuat suatu yang keren tetap menjadi keren? Lantas Indra menyebut film Dead Poet Society yang berakhir tragis. Kemudian, muncul pendapat bahwa idealisme seseorang akan selalu berakibat tidak enak karena memang dalam dunia ini tidak ada tempat bagi idealisme.

Tulisan ini pun saya tutup dengan peribahasa kesukaan Indra, ‘Lebih baik mati bertabur bunga daripada hidup berlumur tahi.’

4 komentar:

M. Lim mengatakan...

Padahal bunga tumbuh subur jika tanamannya berlumur tahi :P

Gue rasa pelajaran Bahasa Indonesia (ataupun pelajaran apa aja) di sekolah bisa jadi menarik dan dipahami, bukan sekedar dihafal, kalau sistemnya seperti workshop TWC ini. Berusaha memahami majas dan lain-lain dengan menggunakannya langsung pada suatu kasus, dalam hal ini dalam sebuah cerita. :)

Nice theme this week, guys! WHOOHOO!!

Nia Janiar mengatakan...

Majas pras prototo, totem proparte.. heu..

andika mengatakan...

Waktu SMP-SMA, gue hampir ga pernah bikin satu karangan panjang dalam bentuk cerita pendek. Biasanya guru2 menyuruh menggunakan majas dalam bentuk kalimat, atau paling banter satu paragraf pendek.

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

Btw, cihuy nih materinya. Sering-sering seperti ini lagi dong, fasilitator :D