Jurnal Mingguan Karya Peserta Writers' Circle di Reading Lights Bookshop & Coffee Corner, Bandung.
Kamis, 24 Desember 2009
Liburan!
Rabu, 09 Desember 2009
Menyelami Foto Dengan Mata, Menulis Dengan Tangan dan Hati
Kamis, 19 November 2009
Movie Week: Tokyo Sonata (2008)
Setelah dua bulan tidak pernah lagi menonton film bersama, akhirnya pada Sabtu pekan lalu (14/11) writer’s circle melakukannya kembali. Kali ini film yang ditonton adalah Tokyo Sonata, sebuah film Jepang produksi tahun 2008. Hadir di toko buku Reading Lights sore itu: saya, Indra, Dea, Lia, Theo, Dani, the newcomer Nindi, Marti, Niken, Ina, Mahel, Maknyes, dan Nia yang datang ketika film sudah hampir berakhir.
Sebetulnya memilih film untuk disimak bersama sebulan sekali di writer’s circle itu susah-susah gampang. Dengan film-film internasional (Halah!) sebagai tema besar kegiatan ini, tidak mudah untuk menyenangkan hati semua peserta writer’s circle dengan selera menontonnya masing-masing. Sementara Marti suka costume drama movies yang romantis, Dani terobsesi dengan film peperangan a la miniseri Band of Brothers, dan Dea kurang suka menonton film berdarah-darah yang memunculkan perasaan tak enak. Lalu - katakanlah - Mahel menyukai film-film drama atau thriller psikologis, yang di atas kertas cocok dengan latar belakang Niken dan Nia yang kuliah di Fakultas Psikologi. Namun, siapa sangka Nia ternyata lebih suka film yang banyak action dan sedikit ngomong? Belum lagi Indra hanya rela menonton film klasik yang kental sisi literaturnya, berbalik seratus delapan puluh derajat dengan selera Maknyes yang agak nge-pop. Kemudian Theo yang diam-diam suka menempatkan diri sebagai karakter film tentu mengharapkan pemeran utama perempuan yang kuat sesuai dengan dirinya, lain dengan Lia yang … duh, jadi adu domba begini.
Intinya Tokyo Sonata menceritakan jatuh bangun seorang pria Jepang dalam menjaga kehormatannya. Di Tokyo pada masa Perang Irak (belum pulih benar dari krisis dan mesti berhadapan dengan kekuatan-kekuataan ekonomi baru), alkisah Ryuhei (Teruyuki Kagawa) kehilangan di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Demi mempertahankan kewibawaannya di mata istri dan anak-anaknya, laki-laki berusia empat puluhan tahun itu berpura-pura masih bekerja. Setiap pagi Ryuhei itu berangkat dari rumah bersetelan jas lengkap dengan dasi. Sementara ketika matahari mulai meninggi, ia berkeliaran di taman dan mengantri pembagian makan siang gratis.
Rumah tangga Ryuhei kemudian bergejolak saat istrinya, Megumi, mulai mengendus status pengangguran suaminya. Megumi pun menghadapi dilema: apakah ia akan melakukan konfrontasi terhadap Ryuhei, atau tetap berpura-pura tidak tahu sampai keadaan membaik, tetapi sampai kapan? Apalagi watak Ryuhei yang keras terhadap keluarga semakin menguji batas kesabaran Megumi.
Ketika menyimak film ini, kebanyakan peserta writer’s circle seperti main tebak-tebakan dengan film ini. Kami berkomentar, berasumsi, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kelanjutan ceritanya?” Kadang-kadang kami bisa menebaknya, kadang-kadang tebakan kami sangat meleset. Tokyo Sonata adalah film yang lucu tetapi tidak konvensional. Penonton bisa tertawa karena melihat antrian yang tetap tertib meskipun yang barisan orang yang mengantri sangat panjang. Orang-orang Jepang memang disiplin dan tahu malu. Ketika seorang guru ketahuan membaca hentai di kereta, padahal tengah menegur muridnya yang kedapatan memegang manga di tengah pelajaran, maka kehormatan guru tersebut hilang di mata murid-muridnya. Bukan karena hentai-nya, tetapi karena kemunafikannya. Adegan-adegan ‘aneh’ tentang bagaimana cara orang Jepang dalam menjaga kehormatan ini mengemuka sepanjang film, sampai-sampai Lia mendesah frustrasi, “OMG! Ini film tentang apa sih? Aneh banget!”
Seusai film sempat ada diskusi singkat tentang seperti apa Tokyo Sonata. “Apakah film ini kelewat menyedihkan?” tanya saya. “Enggak,” kata peserta writer’s circle yang lain. Beberapa peserta yang lain menganggap film ini, “Anti-klimaks,” tukas Theo. “Gue mengharapkan ending yang lebih dramatis,” timpal Mahel. Menanggapi hal tersebut, Niken mengatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia ketika mereka mengalami kejadian yang menggoyahkan kehidupan mereka: 1. Mereka (kita) mungkin akan mati; 2. Mereka akan terus melanjutkan hidup dengan sikap seakan kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Hal ini disetujui Nindi yang menganggap film ini memberinya inspirasi karena membuktikan bahwa orang bisa terus bangkit setelah mengalami kemungkinan terburuk di dalam hidupnya.
Ketika masing-masing peserta diminta memberikan rating, rentangnya cukup jauh dari dua setengah sampai empat bintang. Maknyes hanya memberikan dua setengah bintang karena ada satu adegan yang sangat gelap sehingga gadis berkacamata itu tidak bisa melihat apa-apa. “Itu adegan apaan sih? Hubungan seksual penuh gairah?” komentarnya bingung. Dan ketika mayoritas orang memberikan rating antara dua setengah bintang dan tiga, ternyata ada satu orang yang memberikan rating empat bintang: Dani! Peserta writer’s circle yang biasanya paling grumpy. Seketika itu saya tersadar bahwa dalam memilih film mungkin saya tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Namun, asalkan ada satu orang saja yang menikmati film pilihan saya, perasaan saya sudah cukup senang.
Tokyo Sonata disutradarai Kiyoshi Kurosawa (tidak ada hubungan dengan Akira) yang identik dengan film-film horor. Film ini memenangkan Prix Un Certain Regard pada Festival Film Cannes 2008. Prix Un Certain Regard adalah penghargaan untuk bakat-bakat baru yang menyuguhkan orisinalitas.
Sampai jumpa pada pemutaran film lainnya! Saran dan masukan sangat diharapkan.
Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.
Rabu, 11 November 2009
Mendeskripsikan Suasana Yang Hadir Pada Satu Benda
Syahdan, sebuah toko buku kecil di sudut Siliwangi menjadi tempat pertemuan sebuah writer’s circle. Kami mengadakan workshop kecil dengan mendeskripsikan suasana yang hadir dari satu benda. Kami tidak beramai-ramai hari itu. Sebagian dari kami berhalangan hadir untuk sesuatu yang lain. Saya sendiri datang kepagian karena tak dinyana lalu lintas terlalu lancar pada hari itu. Setelah menyapa Andika, saya ingat bahwa saya belum men-defrag otak. Saya pun mendengarkan musik relaksasi Dolphin Dreaming dan melamun.
Andika, fasilitator kami, meminta saya untuk menulis jurnal kali ini. Saya menyanggupinya. Kemudian saya melihat Reggie yang ternyata sudah datang lebih dulu namun ia berada di lantai dua. Setelah membacakan instruksi yang disadur secara bebas dari buku “Daripada Bete, Nulis Aja!”, maka saya, Reggie dan Andika sibuk mencari benda untuk kami deskripsikan.
Sementara Reggie dan Andika berjalan menyusuri toko buku, saya memutuskan untuk duduk di tempat saya. Namun kami semua sama: mencari benda untuk diperhatikan. Tak lama Azisa muncul, diikuti Danny dan Hakmer. Kami berlima memutuskan untuk memulai sesi penulisan setelah semua orang telah diberikan kesempatan memperhatikan objek apa yang ingin mereka tulis.
Pembacaan cerita dibuka dengan Reggie yang seperti biasa membuat kami terpana dengan kemampuan mendongengnya. Dia menceritakan sebuah parable singkat tentang rasa cinta sebuah garpu terhadap sebuah pisau. Pisau itu tidak sebaru dan sebersih pisau lain. Justru pisau yang sudah memiliki beberapa bercak hitam itu sangat menarik di mata sang garpu yang sedih, ketika keduanya dipisahkan dari Piring alias Lingkaran Putih yang mengikat kami berdua. Saya menyukai gaya penceritaan Reggie yang mengandalkan simplicity namun manis.
Sesi pembacaan dilanjutkan dengan Azisa yang membuat cerita semi fiksi tentang seseorang yang menghitung jumlah burung di panel hiasan di belakang sofa yang saya duduki. Cerita itu membuat kami semua tersenyum. Khas Azisa. Tulisan kontemplatif dimana suasana hati dari sang penghitung ikut berpengaruh kepada akurasi dari hasil penghitungan itu sendiri. Unik dan manis.
Saya dengan mendapatkan giliran ketiga yang belakangan baru saya ketahui bahwa 3 adalah nomor yang saya dapatkan via numerologi. Saya mendeskripsikan suasana yang saya dapatkan apabila melihat bentangan pohon-pohon rimbun di balik jendela di belakang sofa. Saya membuat perbandingan antara betapa memusingkannya pemandangan tersebut apabila saya tidak mempergunakan kacamata dan sebaliknya. Suasana tersebut saya narasikan dengan perasaan seseorang yang sedang jatuh hati. Bahwa perasaan seseorang ketika jatuh hati seolah dia mempergunakan sebuah kacamata yang dipreskripsikan khusus untuknya. Semua hal menjadi jelas.
Azisa mengkritik tulisan saya dengan mengatakan bahwa terkadang apabila mempergunakan kacamata justru keburukan dari sesuatu akan menjadi jelas. Sebaliknya, Andika mengatakan bahwa dia cukup menyukai analogi tersebut. Terlepas dari beragam feedback yang saya dapatkan hari ini, saya senang karena reaksi yang cukup banyak setelah saya menghadiri pertemuan yang kesekian kali.
Berikutnya giliran Andika yang (lagi-lagi) mendapatkan urutan keempat seperti dua minggu lalu ketika teman saya Marty kedapatan bagian menulis jurnal. Andika cukup mengocok tawa kami semua ketika dia menceritakan sebuah kisah “nyata” yang menjadi “fiksi” tentang pengalamannya bertemu saya yang kebetulan datang cukup awal. Cerita dimulai dari percakapan singkat antara saya dan Andika yang diselingi jeda panjang karena saya asyik mendengarkan musik relaksasi hingga rasa frustasinya karena saya diamkan. Aneh. Padahal menurut saya justru dalam diam kadang kita tercerahkan. Apa ini semua murni karena saya kesal karena dia mendeskripsikan betapa besarnya perut saya di dalam ceritanya? Ah, well.
Danny berikutnya. Seperti biasa dia menghadirkan sebuah cerita fiksi yang menurut Reggie merupakan based on beberapa fiksi yang sudah ada. Cakrawala yang saya miliki tidak memungkinkan saya untuk mengetahui secara detail siapa saja tokoh-tokoh tersebut namun saya selalu bisa menemukan sesuatu yang beda dari tulisan Danny. Kali ini, writer’s circle dihibur dengan sebuah percakapan lucu dari sebuah pemimpin kapal besar yang galak dan bawahannya yang baik hati namun pandir. Makian-makian khas seperti ‘monyet tengik!’ membuat saya merasa sedang membaca buku-buku lawas seperti The Legend of Condor Heroes dengan suasana di sebuah kapal. Oh iya, mendekati akhir cerita kami baru sadar bahwa benda yang menjadi fokus Danny adalah peti meja kayu yang ada di tengah-tengah lingkaran. Butuh imajinasi hebat untuk membuat cerita seperti itu.
Hakmer menceritakan suasana yang dapat ia deskripsikan dari sebuah lukisan perempuan yang sedang menyibak rambut tebalnya. Berdasarkan lukisan tersebut, Hakmer menulis perasaan kontemplatif seseorang tentang seseorang yang ia kagumi dan cintai. Pada akhir tulisannya, Hakmer menarik kesimpulan bahwa ia harus memilih apakah dia harus mencoba mencari sesuatu yang baru atau menjadi seseorang yang mempunyai hati. Konsepsi tersebut hadir berdasarkan pengandaian bahwa cinta itu berada dalam sebuah pertaruhan.
Andika mengetukkan pena sebagai tanda bahwa waktu membatasi pertemuan kami pada hari itu. Namun pembatas waktu itu diangkat ketika sesosok perempuan datang dan memberikan vibrasi yang lain ke dalam toko buku ini. Adalah Marty, penulis terakhir yang datang hari itu karena harus menghadiri sebuah pertemuan. Kami memaafkannya keterlambatannya karena dia membawakan makanan kecil yang cukup untuk mengganjal perut. Marty menceritakan kisah tentang seseorang yang melamun di sebuah makam istrinya. Deskripsi Marty begitu bagus untuk hal-hal yang sangat Harlequin dan Hallmark. Flashback yang ia hadirkan begitu puitis tanpa bahasa yang terkesan dilebih-lebihkan.
Writer’s circle ditutup untuk kedua kalinya dengan ketukan pena Andika. Pembatas waktu kembali dipasang sebelum halaman-halaman kami buka lagi pada pertemuan selanjutnya. Bersamaan dengan matahari mulai bersiap-siap pulang, writer’s circle bersiap-siap pula untuk lanjutan episode kami masing-masing.
Amahl S. Azwar adalah seorang pemuda lulusan Universitas Parahyangan yang kini sedang magang di Departemen Luar Negeri. Menghabiskan hari kerjanya di Jakarta tidak membuat pria yang biasa disapa Mahel ini untuk pergi ke Bandung dan menghabiskan malam minggunya bersama Reading Lights Writer's Circle. Untuk melihat tulisan Mahel lainnya, silahkan mengunjungi blog pribadinya: http://www.mcmahel.blogspot.com/
Rabu, 04 November 2009
Alasan Bangun Pagi Hari Minggu
Sabtu, 31 Oktober 2009
Menguak Hal-Hal Yang Tidak Dibicarakan
Akhirnya kami mendapat tempat di ruang baca. Letaknya di sebelah belakang dari toko utama. Tempat ini sangat nyaman dan sangat enak untuk menulis, membaca, atau sekedar mengobrol bersama teman. Beberapa peserta writer's circle memesan beberapa minuman dan makanan untuk menemani sesi nulis hari ini.
Setelah semua sudah duduk di tempatnya, Andika memberi informasi bahwa yang akan peserta tulis hari ini adalah sesuatu yang jarang diomongkan. Bukan berarti tabu, tapi hanya jarang diomongkan, misalnya singlet, belahan bibir di bawah hidung (konon belahan dagu lebih banyak dibicarakan ketimbang belahan bibir), kulit mati, dan lainnya. Banyak yang dari kami yang bergumam, "Ck! Susah banget!"
Kami diberi waktu 5 menit untuk mencari ide. Hampir semua kepala peserta bersandar di kursi dan matanya menerawang ke langit-langit atau sekeliling ruangan baca untuk mencari ide. Sama seperti saya, peserta lain juga membutuhkan waktu itu berpikir apa ya yang kira-kira jarang dibicarakan orang karena telinga ini terlalu banyak mendengar hal-hal yang sering dibicarakan orang. Salah satu peserta, Mahel, kebingungan karena ia merasa semua hal dibicarakan olehnya. Oh, pasti dia sangat ekstrovert.
Akhirnya setelah mendapat ide, para peserta mulai menulis. 15 menit pertama yang diberikan ternyata tidak cukup bagi peserta untuk menuliskan seluruh idenya. Tambahan lima menit sebanyak 2x membuat proses kreatif ini berlangsung hampir setengah jam!
Pembacaan karya dimulai dari Dani. Ia menulis dua cerita. Pertama, Dani bercerita tentang paku payung di sol sepatu yang diketahui keberadaannya ketika sedang mencuci sepatu. Memang tidak tembus hingga kaki karena sol yang tebal, namun bagaimanapun tidak ada orang yang mau terserang tetanus karena paku payung. Kedua, Dani bercerita tentang sebuah kamar yang sangat bau. Rupanya kamar tersebut baru ditiduri oleh seorang pahlawan yang jarang mandi karena terlalu sibuk untuk menyelamatkan dunia.
Lalu apa yang jarang disampaikan? Yang ingin Dani sampaikan adalah pahlawan terlalu sibuk untuk mandi. Well, saya tidak tahu apakah yang namanya pahlawan itu jarang mandi dan orang yang jarang mandi itu bisa disebut pahlawan, tapi silahkan dicari jika penasaran.
Seharusnya Hakmer menjadi peserta selanjutnya yang membacakan karya. Karena Hakmer tidak membuat cerita sama sekali, giliran berpindah ke Mahel yang bercerita tentang catur. Bidak kesukaanya adalah kuda. Baginya, bidak ini begitu spesial karena - tidak seperti bidak lain - kuda hanya bisa bergerak L namun ia bisa meloncat. Kalimat yang sangat baik disampaikan oleh Mahel dalam ceritanya adalah 'keterbatasan yang sekian, kelebihan yang sepadan'. Menurut peserta lain, cerita ini sangat positif. Lagipula, jarang sekali orang-orang membicarakan bidak kuda dalam catur dalam sebuah tema. Tulisan Mahel selanjutnya bisa dibaca di sini.
Setelah membacakan karya, Mahel bercerita bahwa ia suka main catur ketika kecil. Dari kecil pun - entah mengapa - ia selalu memilih bidak kuda.
He-Man adalah tokoh yang dijagokan Theo dalam pembacaan karya berikutnya. He-Man artinya laki-laki dewasa karena kalau masih kecil namanya 'He-Boy'. He-Man ini disukai banyak lelaki. Ada He-Man yang asli dan ada He-man yang palsu seharga 20-30 dollar. Cara membedakannya adalah harus dirasakan. Bagaimana cara merasakannya? Entahlah, silahkan tanya Theo.
Tulisan satir Theo ini memancing gelak tawa para peserta. Rupanya yang dimaksud tulisan ini adalah hymen (selaput dara) buatan yang kini dijual seharga 20-30 dollar.
Pembahasan pun jadi melebar tentang cara membedakan hymen asli dan palsu. Kata Dani, hymen asli terlihat dari noda darah di seprai karena mencuci noda darah itu susah sekali. Peserta lain, Niken, malah menambahkan, "Sudah dicuci pakai sampo belum?"
Ah, semakin melebar dan tidak jelas. Mana ada cuci darah pakai sampo? Kalau ada, apa kabarnya yang gagal ginjal?
Lanjut!
Marti membacakan sebuah karya tentang sorotan mata ibu yang tulus. Mungkin banyak cerita atau tulisan tentang ibu secara umum, tetapi jarang ada yang menulis secara spesifik tentang sorotan mata seorang ibu.
Theo bertanya tentang mengapa Marti membahas sorotan mata. "Karena mata adalah jendela dunia. Sorot mata lebih banyak berbicara ketimbang mulut yang berbicara," jawab Marti. Ah, Marti, bisa saja ...
Lalu, peserta yang akan launching bukunya tanggal 08 November 2009 ini, Dea, membacakan karya tentang singlet. Tulisan ini berawal dari teman yang protes karena melihat singlet yang balapan dengan baju Dea. Bagi Dea, singlet itu tipis namun tidak rapuh. Dea mengaku sampai sekarang pun ia tetap memakai singlet.
Anggi, peserta yang baru bangun dari sakitnya, membacakan karya tentang apa yang baru dialami ketika ia sakit. Penyakitnya disebabkan oleh kulit telur kutu kucing. Ulangi sekali lagi. Kulit telur kutu kucing. Tidakkah kalimat tersebut cukup kompleks dan merepotkan? Betul kata Anggi, menyebutkannya saja cukup susah. Anggi tertular penyakit ini karena kucing yang suka tiduran di tempat tidurnya.
Setelah Anggi membacarakan karyanya, giliran saya membacakan karya saya tentang kotoran di kuku kaki. Ibu saya pernah berpendapat bahwa jika ingin tahu seseorang itu bersih/tidak, lihatlah kuku kakinya. Kalau kotor berarti orang itu tidak bersih. Kalau bersih berarti orang itu bersih.
Pendapat ibu mempengaruhi saya untuk memutuskan saya jadi suka/tidak terhadap laki-laki. Nasib laki-laki jadi tergantung dengan kotoran di kuku kaki. Sebenarnya ini bukan salah laki-laki, bukan salah kuku, bukan salah kaki, tapi ini salah kotoran yang sudah dibersihkan namun selalu datang berkali-kali.
Lihatlah kaki Anda, apakah sudah bersih?
Masih tentang kaki, Niken pun menulis tentang kaki. Ia bercerita tentang seorang tokoh bernama Hani yang suka dengan kaki dari betis hingga bentuk dan bulu kaki. Kegemaran sang tokoh dengan kaki dihubungkan dengan mahasiswa FKG terhadap gigi. Hani tidak segan-segan menguliti kapalan di kaki sama seperti mahasiswa FKG yang tidak segan-segan merontokkan karang gigi. Hani yang suka mencabuti bulu kaki sama dengan mahasiswa FKG yang suka mencabuti gigi. Tidakkah ini begitu mirip?
Anggi bercerita bahwa ia pernah menguliti kapan kaki hingga berdarah. Cerita Anggi disambut oleh tanggapan peserta lain tentang cerita hal-hal yang bisa menimbulkan kapalan seperti tangan kapalan karena bermain PS, menyetrika, menulis, dan lainnya.
Andika bercerita tentang celana corduroy. Awalnya ia melihat celana corduroy di pasar tumpah Gasibu seharga 15 ribu. Corduroy berwarna merah tua, biru, atau hijau yang sudah diimajinasikan jika dipadu padankan dengan kaos hitam, membantu Andika memutuskan untuk membeli dua celana corduroy sekaligus.
Ngomong-ngomong tentang corduroy, Andika memberitahukan bahwa corduroy itu berasal dari bahasa Perancis (orde du roi) yang artinya pakaian para raja. Ah, apa hebatnya di zaman sekarang karena sudah bisa dipakai para mahasiswa ;)
Setelah sesi menulis ditutup, saya bergegas untuk menunaikan shalat Magrib. Hari ini hari Sabtu, Reading Lights ramai sekali karena ada acara film di ruangan lain. Semua staff Reading Lights sibuk melayani tamu yang ingin memesan minuman/makanan atau hanya sekedear ngobrol tentang buku-buku yang dimiliki Reading Lights.
Setelah shalat, saya pun pulang. Cahaya bulan terlihat samar. Hari ini Bandung mendung.
Nia Janiar yang akhir-akhir ini lebih sering menulis artikel di Ruang Psikologi, bercita-cita menjadi seorang penulis ketimbang pengajar - sebagaimana profesinya yang digeluti saat ini - walaupun sekarang kegiatan menulisnya baru sebatas mengirim ke berbagai lomba. Belum menerbitkan buku sama sekali (kecuali skripsi).
Jumat, 30 Oktober 2009
Pengulangan Kata Dalam Cerita
Pembacaan tulisan dimulai dari Dea yang mengambil setting di kamar mandi. Tulisan ini bercerita tentang rakyat kotak-kotak kecil yang terdapat pada tegel bak mandi. Pengulangan kata yang dipakai adalah rakyat kotak-kotak kecil.
Saya mendapat giliran pertama setelah Dea. Isi tulisannya tentang kesediaan seseorang untuk menghibur dan menghadirkan senyum dari orang yang dikasihinya. Disini saya menggunakan pengulangan kata 'ada sehelai kapas putih di hatiku'.
Tulisan ketiga datang dari Lia. Tulisannya berisi tentang seorang perempuan yang hatinya teriris karena memiliki teman yang selalu berbicara sinis. Pengulangan katanya adalah 'kamu selalu sinis'.
Nomer empat adalah Andika. Menurut saya, tulisan Andika unik karena ia membuat sebuah paragraf yang berisi empat kalimat yang berbeda dan keempat kalimat tadi diramu menjadi sebuah tulisan bermakna. Kalimat-kalimat yang diulang adalah:
2. Semalam ia menampar pacarnya keras di pipi.
3. Nancy menginap di tempat kos temannya.
4. Ia begadang dan menangis di hari ulang tahunnya.
Saya baru saja menyadari bahwa, secara tidak sengaja, selain mendapat giliran yg keempat, Andika juga menciptakan 4 kalimat yang kemudian dijadikan rima untuk tulisannya. Hmm ... kebetulan yang aneh ...!
Tulisan keenam adalah tulisannya Mahel yang berisi harapan-harapan positif dari banyak kejadian negatif yang senantiasa terjadi di sekitar kita. Pengulangan katanya adalah: "'Ya Tuhan,berkatilah mereka yang pada saat tulisan ini' dibuat sedang dalam marabahaya. Apabila Engkau berkenan, panjangkanlah umur mereka."
Nia mendapatkan giliran setelah Mahel. Tulisan Nia berisi tentang seorang anak perempuan yang sudah bolak balik mewanti-wanti ibunya untuk tidak gegabah berkenalan dan menerima ajakan menikah lagi dengan seorang laki-laki yang baru dikenalnya di kereta malam. Akibat dari pertemuan itu, si anak perempuan tadi diperkosa oleh ayah tirinya. Pengulangan kata yang dipakai: 'sudah kubilang pada ibu.'
Giliran terakhir adalah Dani. Tulisan Dani berkisah tentang seseorang yg terkenang-kenang akan teman tidurnya tadi malam. Ada 2 kata dan 2 kalimat yg mengalami pengulangan, yaitu:
2. Dimanakah dia?
3. Menghilang
4. Sehelai rambut emasnya
Martina Alibasyah yang memiliki hobi melukis dan menggambar ini sempat mengalami perpindahan sekolah berkali-kali di hidupnya. Marty, nama panggilannya, menyukai penulis Paulo Coelho. Kedatangannya yang selalu meramaikan suasana ini begitu ditunggu-tunggu oleh writer's circle.
Selasa, 20 Oktober 2009
Menulis Melalui Media Gambar
Menyerah dengan Summer Hours, saya turun dari lantai atas dan mendapati Marti dan Hakmer sedang saling berbincang dengan seorang pemuda botak yang tidak saya kenal. Kelihatannya asyik sekali mereka mengobrol, wajah anak-anak itu penuh tawa. Tak lama kemudian, saya pun berkenalan dengan pemuda botak yang ternyata ramah itu. Namanya Ario. Ia berprofesi sebagai seorang komikus dan ilustrator yang kerap, ehm, mencari inspirasi di Reading Lights. Kalau bicara dengan Bahasa Inggris, logat british Ario kental sekali. Mungkin ini daya tarik terbesarnya, hahaha. Ketika peserta writer’s circle yang lain berdatangan, lingkaran pembicaraan kami pun semakin membesar.
Kemudian Ario bercerita tentang komiknya yang sebentar lagi akan diterbitkan, Nadia and The Painkillers. Komik itu mengisahkan kehidupan Nadia, seorang gadis dengan kekuatan super yang membentuk kelompok pembasmi kejahatan, The Painkillers, karena muak berhadapan dengan kondisi sosial yang ada. Ario berkata bahwa karakter penjahat dalam komiknya terinspirasi dari politikus di Indonesia yang kelihatannya baik tetapi sebetulnya tidak. Mendengar cerita tersebut, Dea mendapat ide untuk menulis berdasarkan gambar ilustrasi Ario. Ide ini kontan disetujui Hakmer yang menyatakan kalau hari ini ia sedang semangat-semangatnya untuk menulis. Berhubung Ario tidak berkeberatan, kami pun pindah ke lantai atas dan memulai pertemuan.
Ario lantas membuat sketsa seorang perempuan dengan mata tertutup. Rambut perempuan itu panjang, menjuntai melilit batang pohon dan tiang berornamen. Tangannya mengusap dada. Setiap peserta writer’s circle dibebaskan membuat cerita, interpretasi, esei, atau tulisan apapun berdasarkan gambar ini. Sayang Ario tidak bisa terus-terusan kami monopoli. Setelah setengah jam menulis, kami pun membacakan karya masing-masing.
Niken menjadi orang yang pertama kali membacakan karyanya. Tulisannya mempertanyakan hal-hal yang ada di dalam gambar. Mengapa mata perempuan itu terpejam? Memang beban apa yang ditanggungnya? Niken menuturkan ide tulisannya muncul dari pengalamannya mengajar kesenian untuk anak-anak sekolah dasar. Suatu hari murid-murid Niken mempresentasikan lukisan jari masing-masing. Presentasi ini mengundang pertanyaan-pertanyaan sederhana dari murid yang lain seperti, “Mengapa mataharinya biru?”, yang dijawab pula dengan sederhana, “Karena waktu itu jariku masih ada warna birunya.” Niken terkesan dengan hal ini. Kesederhanaan itu berbeda dengan apa yang didapatinya pada forum-forum ketika seorang seniman ‘betulan’ berusaha menjelaskan tentang karyanya sendiri.
Setelah Niken, Hakmer membacakan tulisannya yang berbentuk monolog untuk seorang sahabatnya. Tulisannya seperti sajak yang bertujuan untuk meyakinkan sahabatnya bahwa gadis yang Hakmer sukai memang pantas untuk disukai. Peserta writer’s circle yang amat kurus itu mengakui kalau dirinya pernah mengalami apa yang ditulisnya itu: suka dengan seseorang, tetapi teman-temannya tidak mengerti mengapa ia suka orang itu. Saya berharap sahabat Hakmer akan mengerti, sehingga tali persahabatan mereka tidak terputus.
Marti menulis cerita tentang percintaan seorang putri yang tidak disetujui oleh orang tuanya juga dengan gaya bermonolog. Sesekali ia menyelipkan potongan dialog raja yang murka. Marti membacakan tulisannya dengan serius sehingga suaranya terdengar mantap. Niken mengomentari perubahan sudut pandang dalam tulisan Marti yang seperti tiba-tiba. Perubahan sudut pandang mungkin terasa membingungkan apabila sebuah karya dibacakan langsung karena bisa jadi terlewatkan oleh pendengarnya, Namun, mungkin akan berbeda apabila karya tersebut dibaca secara langsung oleh pembacanya.
Sementara itu, saya menulis cerita teenlit tentang seorang gadis bernama Gadis yang lari dari pacarnya, Ben, karena satu dan lain hal yang baru diungkap di akhir tulisan. Tiang berornamen yang di dalam gambar Ario mengingatkan saya dengan Fiesta Boom Satoe (Fibosa), bazar SMA 1, tempat saya dulu bersekolah. Walhasil acara itulah yang menjadi latar di dalam cerita yang sumpah-sangat-tidak-penting-ini.
Aji menuliskan cerita tentang seorang perempuan yang begitu sedihnya sehingga kematiannya karena gempa malah menggembirakan karena membebaskannya dari masalah. Dengan dibacakannya cerita Aji, berarti sudah ada empat peserta yang menginterpretasikan gambar Ario sebagai gambar seorang perempuan yang menanggung beban hidup, kesedihan, meskipun masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda dalam mambahas masalah ini.
Apakah semua orang membuat tulisan bernuansa sedih? Ternyata tidak. Dea memberikan sentuhan akhir yang segar dan ceria. Anak writer’s circle yang seringkali juga segar dan ceria itu menuliskan cerita tentang Swasti yang rambutnya menjadi ganas dan menggila setelah berkeramas dengan, literally, lidah buaya! Swasti salah tangkap perkataan penata rambut terkenal Rudal Hadisuwarnal yang menyarankannya berkeramas dengan tanaman lidah buaya. Alih-alih Swasti malah berkelana ke rawa-rawa untuk memburu buaya untuk diambil lidahnya. Aji lantas berkomentar, “Emang buaya beneran punya lidah?” Baru kami sadar kalau buaya sebetulnya tidak berlidah!
Dan begitulah ceritanya. Perubahan agenda dari menonton bersama menjadi menulis berdasarkan ilustrasi ternyata menjadi kejutan yang menyenangkan dari pertemuan writer’s circle pekan lalu. Mudah-mudahan peristiwa-peristiwa tidak terduga akan terus muncul dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Reading Lights Writer’s Circle.
Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.
Kamis, 15 Oktober 2009
Surat
Mungkin pertanyaan itu yang jadi dasar pertemuan writer’s circle kali ini. Surat fisik yang ditulis dengan pena diatas kertas seakan sudah menjadi barang yang cukup langka untuk banyak orang, tidak terkecuali anggota writer’s circle. Mayoritas dari kami yang hadir disana terakhir kali berkirim surat di usia SD ataupun SMP.
Setelah bertanya pada masing-masing orang tentang pengalaman mereka dengan surat, Andika bercerita bahwa ia pertama kali kenal dengan surat menyurat dari surat-surat pembantunya kepada sanak saudaranya. Ia juga mengaku bahwa surat terakhir yang pernah ia terima malah tidak pernah ia balas. Walaupun potongan informasi itu sangat menggiurkan, koordinator writer’s circle tersebut hanya tersenyum simpul saat ditanyai lebih lanjut.
Andika kemudian memberikan tiga pilihan jenis surat untuk kami tulis. Surat dari penggemar kepada idola, surat untuk teman kecil yang lama tidak dijumpai, dan terakhir surat dari seorang guru ke muridnya.
Surat pertama yang dibaca adalah surat saya. Surat saya dibacakan oleh Marty. Suratnya berisi tentang seorang guru kelas menulis yang kepada anak didiknya yang baru menerbitkan buku setelah sekian lama mereka tidak bertemu karena sebuah masalah. Di akhir surat, sang guru mengekspresikan juga bahwa hubungan guru dan murid kadang-kadang bisa bertukar. Marty membacakan surat itu dengan penuh penghayatan, dan Thya menggumamkan keinginannya untuk mempunyai kakak yang serupa dengan penulis surat itu.
Saya sendiri kebagian membacakan surat milik Dani. Kali ini Dani beralih ke dunia persilatan, lengkap dengan aparel pedang pusaka pula. Penulis suratnya adalah seorang yang menulis kepada bekas rekan seperjuangannya untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia perbuat, dan meminta rekan seperjuangannya itu untuk mengambil pedang pusaka yang ia sembunyikan sebelum semuanya terlambat. Seperti kata Dea, cerita ini memang ‘sangat Dani’, namun juga terasa menarik karena tokoh sang penulis surat yang malah mempercayai orang yang paling membencinya untuk membereskan masalah tidak terselesaikan di akhir hidupnya.
Surat Thya adalah surat dari penggemar Cinta Laura yang menggambarkan secara tepat kalau idola seseorang menunjukkan orang seperti apakah dia. Dalam suratnya Thya sengaja menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris yang baru dan mutakhir seperti ‘baby sister’ ‘dunia Entertain’ ataupun ‘please replay surat aku yaa ...’. Marty menyimpulkan bahwa pembacaan surat ini tergolong istimewa. Selain karena suratnya sendiri bisa membuat rahang capek tertawa, yang membacakannya tidak lain tidak bukan adalah Dani yang biasa tampil dengan cerita berbumbu militer (yang secara menakjubkan dan agak mencurigakan membacakannya dengan logat yang sangat mengena)
Surat Andika adalah surat seseorang kepada teman SDnya yang kini menjadi artis terkenal. Surat dimulai dengan basa-basi bahwa sang penulis telah menikahi Laras, sang kembang kelas mereka dahulu, yang telah berbuah dua anak (“Kok yang satu namanya Luisa? Padahal kakanya Anto, artisnya aja Budi” celetuk Dea), Kemudian terungkaplah bahwa maksud sang penulis adalah meminta bantuan Budi si artis untuk membantu menentang penggusuran sekolah mereka. Walaupun ditulis tanpa perencanaan, namun surat Andika ini terdengar sangat rapi dan nyata.
Apabila Thya menulis surat kepada Cinta Laura, Hakmer tampil tidak tanggung-tanggung lebih suram dengan menulis surat pada Kurt Cobain. Dialamatkan ke neraka pula. Diawali dengan monolog ‘apa faedahnya menulis surat pada orang yang sudah mati’ dengan penggunaan tanda kurung yang kreatif, surat tersebut diakhiri dengan perkataan Virginia Woolf yang disukai Hakmer, “Some people must die in order for others to value life more”. Sebuah quote yang memang sangat tepat untuk surat tersebut.
Surat milik Indra dialamatkan seorang pemuda kepada gadis yang dulu tinggal di seberang rumahnya. Surat ini menjadi begitu menyentuh karena sang gadis adalah pedoman sang penulis yang mempunyai masalah di keluarganya bahwa orang bisa kok hidup dengan bahagia. Dani kemudian berkomentar bahwa ada kemungkinan si gadis yang menjadi panutan kebahagiaan si penulis surat tersebut malah sendirinya bermasalah (terutama karena sang penulis suka melihatnya duduk di atap sambil tertawa dan merenung), namun yang lainnya kurang yakin dan berargumen bahwa tertawa sendiri di atas atap mungkin memang cara yang asyik untuk menikmati hidup. Dani hanya mengangkat bahu dan berkata kalau tiap orang akan melihat sebuah cerita secara berbeda-beda.
Surat Dea dimulai dengan perenungan terhadap susu coklat bersedotan yang baru saja habis diminumnya. Dari sana ia menujukan surat tersebut kepada dotnya saat ia berumur 2 tahun, bagaimana kesedihannya saat ternyata ia harus berganti dengan dot baru, dan bagaimana dot itu adalah dot kesayangan juga dot terakhirnya. Di akhir surat Dea mengharapkan dotnya kini nyaman berada di tempatnya, dimanapun itu berada. Sebuah surat yang dirasakan oleh semuanya benar-benar manis sekaligus unik.
Lain Dea lain pula Mahel. Apabila Dea mengirimkan surat pada dot kesayangannya, Mahel mengirimkan suratnya kepada dirinya sendiri di usia 15 tahun. Disana ia berusaha meyakinkan dirinya yang lebih muda bahwa walaupun saat itu terasa gelap, namun semuanya nantinya akan baik-baik saja, buktinya ia masih bisa hidup sampai sekarang. Hebatnya, semua itu dituliskan Mahel sambil masih memegang teguh aturan pertama penyihir: Jangan pernah mengubah masa lalu! Ia mengaku surat itu didasari fakta bahwa pada usia tertentu dalam hidupnya, satu-satunya orang yang bisa ia anggap sahabat adalah dirinya sendiri.
Surat Marty menutup pertemuan kami dengan satu lagi episode yang mengocok perut. Suratnya menyatakan keinginan siswa-siswa SMUN 3 Bandung untuk mengundang sebuah grup musik terkenal tahun 80an - lengkap dengan jabatan Marty sebagai panitia acara di akhir suratnya. Usut punya usut ternyata surat itu nyata adanya, hanya sayang tidak pernah terkirim ke grup band yang bersangkutan (Atau untung tidak terkirim? Kamipun masih menimbang-nimbang)
Di ujung pertemuan, Dea sempat mengekspresikan keinginannya akan teman surat-menyurat. Beberapa anggota writer’s circle lain sontak menyanggupi. Lagipula, kalau ingin hemat biaya pos toh bisa diberikan di Reading Lights.
Jadi mungkin setelah ini ada yang mau mengeluarkan pena dan kertas dan mulai menulis surat lagi? Kami anggota writer’s circle senantiasa bersedia surat menyurat :)
Azisa Noor adalah perempuan dengan segudang bakat. Selain menulis, bermain cello dan memainkan musik klasik, ia pun jago menggambar. Bakatnya dalam menulis dan menggambar ini telah ditelurkan dalam sebuah karya komik yang berjudul Satu Atap. Karyanya bisa dilihat di toko buku terdekat.
Jumat, 09 Oktober 2009
Menuliskan Kenangan Tentang Kenalan
Tema pertemuan kali ini adalah "menuliskan kenangan tentang kenalan." Definisi tema ini sangat luas, mencakup segala macam kenangan dari segala macam kenalan dekat maupun jauh, asalkan kenangan itu cukup menarik untuk dijadikan suatu tulisan. Dan memang nyatanya hasil tulisan yang muncul dari tema ini sangat bervariasi.
Sesi pembacaan dibuka oleh Ina, yang menulis tentang fenomena "familiar stranger". Saat menaiki mobil angkutan kota di Bandung, ia sering melihat seorang pengendara motor yang seolah-olah pernah ia kenal saat masih tinggal di kota kelahirannya. Benar saja, saat Ina memberanikan diri untuk menghentikan si pengendara motor, ternyata mereka berdua memang berasal dari kota yang sama dan saling mengingat wajah masing-masing sekalipun hanya samar-samar.
Mahel menuliskan sekilas cerita nyata tentang seorang wanita karir--seorang pelanggan di gerai Starbucks tempat Mahel pernah bekerja. Dimulai dari keramahan yang mau tak mau harus ditunjukkan Mahel sebagai seorang pelayan, perkenalan antara mereka berdua berlanjut menjadi suatu persahabatan yang cukup kental. Wanita inilah yang akhirnya meyakinkan Mahel untuk memberanikan diri keluar dari pekerjaannya di Starbucks saat ia tidak lagi merasa bahwa ada ruang untuk mengembangkan dirinya dalam pekerjaan itu. Keputusan ini cukup berat karena pengunduran diri Mahel juga berarti bahwa ia tidak lagi dapat sering bertemu dengan sahabatnya itu.
Berikutnya, Andika menceritakan seorang gadis yang dikenalnya di kampus. Gadis itu begitu sering mencoba menarik perhatiannya, dan mungkin bahkan tertarik padanya; saya jadi bertanya-tanya tentang kemungkinan jalan cerita yang lain seandainya orientasi seksual Andika membuatnya lebih tertarik terhadap lawan jenis.
Tulisan Marty pendek tetapi lucu. Singkat kata, dalam versi (agak) fiktif dari kejadian nyata ini, ia dan seorang temannya sama-sama diundang ke suatu acara pernikahan; mereka berdua datang bersama orang tua masing-masing, dan di sana mereka terkejut karena ternyata orang tua mereka saling mengenal sejak dulu.
Regie mengisahkan perkenalannya di jagad maya dengan seorang penulis "fan fiction" (cerita yang memanfaatkan latar dan tokoh dari karya penulis lain yang sudah diterbitkan). Di satu sisi mereka saling melontarkan hinaan tentang cerita masing-masing, tetapi di sisi lain persahabatan mereka begitu eratnya hingga mereka berani membicarakan hal-hal pribadi yang biasanya tidak akan mereka bicarakan dengan kebanyakan teman dan kenalan di dunia "nyata." Hal ini memancing suatu diskusi tentang keterbukaan dalam membicarakan masalah-masalah pribadi dengan orang yang tidak dikenal secara langsung; salah satu isu yang diangkat dalam diskusi ini adalah peran Internet sebagai suatu media yang bersifat "anonymous" (menyembunyikan identitas) sehingga dapat menghilangkan rasa segan yang sering menghalangi keinginan untuk berbagi pikiran dan perasaan saat bertatap muka dengan seorang teman atau sahabat.
Irfan, dalam tulisannya, memberikan suatu pandangan yang sangat langsung tentang peran persahabatan dalam membangun kepercayaan dan kedewasaan diri. Lebih rincinya lagi, ia mengisahkan seorang teman yang mengajarinya untuk berani mengejar mimpi dan angan-angan di luar kungkungan rutinitas sehari-hari yang dekat dan pasti.
Tulisan Hakmer menumpahkan emosi yang dalam tentang seorang gadis yang dikenalnya pada masa-masa SD dan SMP. Kesedihan tentang kenangan yang tak mungkin kembali--karena jalan hidup mereka sudah saling menjauh, dan juga menjadi semakin rumit--sangat kentara dalam setiap baris tulisan yang dibacakannya. Terlebih lagi, ritme yang indah dalam tulisan ini membuatnya layak disebut sebagai prosa liris atau bahkan puisi.
Jujur saja, saya mengalami kesulitan dalam memilih kenangan yang cukup unik dan menarik untuk saya tuliskan dalam waktu singkat yang tersedia, jadi tulisan yang saya buat (dan bacakan) dalam pertemuan ini bukan benar-benar suatu kenangan nyata, melainkan suatu bayangan dengan tokoh-tokoh yang pada dasarnya merupakan versi fiktif dari saya dan salah seorang sahabat saya beserta suatu kejadian yang disusun sebagai semacam skenario "what if" (suatu hal yang mungkin terjadi seandainya keadaan sedikit berbeda). Penggambaran saya tentang ketegangan dalam hubungan antara kedua sahabat ini memancing reaksi beragam; pada dasarnya sebagian besar pendengar tidak sepenuhnya mengerti tentang apa yang terjadi dalam cerita saya, tetapi perasaan "tidak mengerti" ini justru memberikan bayangan yang lebih kaya tentang ketegangan yang terjadi antara kedua sahabat tersebut, seolah-olah ada semacam "bahasa tersembunyi" antara keduanya yang tidak dapat terbaca oleh orang lain.
Setelah itu Azisa menceritakan seorang laki-laki yang ia namai "Si Penyihir" karena kepribadian laki-laki tersebut mengingatkannya akan stereotype penyihir yang aneh dan penyendiri dalam cerita-cerita dan permainan-permainan fantasi. Bagian paling "berwarna" dalam tulisan ini muncul dalam spekulasi tentang alasan si "Penyihir" mengasingkan diri; mungkin saja semua itu sebenarnya suatu lingkaran setan yang terbentuk saat si "Penyihir" penyendiri dan orang-orang kebanyakan saling mengucilkan satu sama lain.
Nia, yang datang terlambat, melanggar wejangan yang ditulisnya sendiri dalam pengumuman di Facebook: "Oh ya teman-teman, tulisannya dibuat di Reading Lights ya.. bukan dibikin di rumah lalu dibawa ke RL." Karena ia tidak sempat mengikuti sesi penulisan, ia malah membacakan karya yang sudah ditulisnya sebelum datang ke RL, tetapi para peserta lain tampaknya bersedia memaafkan pelanggaran ini karena Nia menyajikan suatu cerita yang menarik tentang seorang pengidap HIV yang dulu sering ditemuinya dalam rangka penelitian. Walaupun mereka telah cukup banyak bercakap-cakap, Nia masih belum sempat mengenal si pengidap HIV begitu dalam, dan hal ini menimbulkan rasa penasaran baik bagi Nia sendiri maupun bagi peserta-peserta lain yang mendengarkan tulisannya.
Mungkin, suatu saat di masa depan, pertemuan RLWC ini pun bisa menjadi suatu kenangan tersendiri yang layak dituliskan dan diceritakan.
Jumat, 18 September 2009
Titik-Titik Di Atas Kertas
Sejak Dika mengucapkan pengumuman itu, saya memasang ekspresi secuek mungkin dan sengaja tidak berkomentar, walaupun di dalam hati saya merasa kecewa karena ketika saya sudah mulai rajin, malah menghadapi kenyataan writer's circle bakal tidak memiliki fasilitator lagi.
Saya tidak tahu kapan tepatnya acara writer's circle dimulai karena saya duduk membelakangi jam di Reading Lights. Setelah menunggu, akhirnya latihan dimulai. Latihan menulis kali ini dimulai dengan sepasang kalimat pembuka dan penutup yang telah ditentukan oleh Dika. Tulisan yang kami buat diawali dengan kalimat,"Pertama kali saya bercerita kepada keluarga saya tentang ... mereka semua tidak percaya dan ..."
Nah, tugas kami dalam 20 menit adalah mengisi titik-titik tersebut sebelum akhirnya mengakhiri tulisan kami dengan kalimat, "Begitulah ceritanya mengapa sekarang saya ..."
Hasil pembacaan karya mulai dari Dea:
Berhubung saya sedang asyik mempelajari kameranya Dea, saya jadi tidak begitu ngeh dengan tulisan yang sedang dibacakan. Tapi sekilas terdengar tentang Dea membacakan semua tulisan itu apa adanya. Tanda baca '...' dibaca 'titik-titik' yang Dea harapkan sekumpulan titik-titik tadi bisa bergabung dan menghasilkan satu garis lurus.
Giliran kedua adalah Andika yang bercerita tentang - sekali lagi, karena keasyikan memotret kanan kiri dan atas bawah - opor ayam yang awalnya saya tangkap. Namun setelah meminjam tulisannya Dika, saya baru ingat kalau Dika sempat membacakan tentang potongan rambut baru yang gagal yang malah membuat tokoh utamanya, si Argus, menjadi mati gaya dan disangka sedang terserang asma oleh tantenya serta ditertawakan oleh pamannya.
Tulisan ketiga dibacakan oleh Indra. Isinya tentang seorang pemuda yang demi bertahan hidup di luar negeri, rela menjadi model telanjang di kelas seni di universitasnya. Komentar dari saya adalah,"Indra bermain cantik." Atau mungkin tepatnya Indra menulis cantik karena tema yang diangkatnya ciamik. Setelah saya yang lagi-lagi meminjam tulisan Indra untuk dibuat jurnal, saya jadi mengubah pendapatnya tentang Indra. Menurut saya, Indra bukan penulis cantik, tetapi Indra adalah seorang pencerita yang hebat. Saya jadi kagum dengan kemampuan seorang Indra dalam meramu sebuah cerita yang hanya mengkotretkan garis besarnya saja di dalam buku tulisnya. Untuk Indra, saya ingin untuk diajarin caranya meramu cerita yg ciamik, lengkap, dan terstruktur tanpa harus banyak menggoreskan tinta seperti itu. Mungkin harus latihan bertahun-tahun, ya? But, it's ok. No pain, no gain, right?
Setelah Indra selesai, giliran saya yang membacakan tulisan saya. Sore itu, saya terinspirasi dari kegemaran saya terhadap astrologi dan hobinya menengadahkan kepalanya 'tuk menatap langit malam hanya untuk mencari-cari bintang gemintang. Sampai detik ini saya belum tahu caranya mengetahui rasi bintang yang katanya suka nongol di angkasa. Lho? Kok malah curhat colongan? Nulis jurnal,woi!
Tulisan saya berisi tentang seorang gadis yang cengeng dan manja tapi punya kemampuan untuk membaca astrologi secara langsung di langit luas. Sayangnya tak ada satu pun anggota keluarganya yang percaya kepadanya. Mereka seringkali mencemooh dia sehingga akhirnya dia memutuskan tuk 'mengungsi' ke vila di sebuah bukit hanya ditemani oleh Mbok Emban yang telah mengurusnya sejak lahir sampai sekarang.
Berikut adalah gilirannya Dani. Selesai membaca cerita, hampir semua yang hadir di writer's circle sore itu keukeuh mengatakan bahwa orang tua dari karakter 'aku' yang ada dalam tulisan Dani sudah tahu tentang Lia, gadis manis yang ditaksir sama karakter 'aku'. Tapi Dani pun keukeuh mengatakan bahwa orang tua dari karakter aku tidak tau menahu tentang Lia.
Yang terakhir adalah gilirannya Regy. Tulisannya bercerita tentang anggota keluarga kerajaan yang cukup kompleks dan melibatkan Ratu Julia dan Snow White. Dengan cerita si ratu meninggal dunia sehingga putri siapa menikah dengan raja yang mana tidak berakhir bahagia, raja tersebut lalu berselingkuh dengan anak tirinya yang membuat permaisuri berubah menjadi penyihir dan balas menyelingkuhi sang raja. Betul atau enggak sih kayak gini ceritanya? Kayaknya ada yang kebalik, deh.
Setelah selesai latihan, Dika bilang kalo latihan sore itu diambil dari majalah Writer's Digest.
Sekian dulu untuk sekarang. Sampai ketemu di tanggal 03 Oktober 2009, ya!
Martina Alibasyah yang memiliki hobi melukis dan menggambar ini sempat mengalami perpindahan sekolah berkali-kali di hidupnya. Marty, nama panggilannya, menyukai penulis Paulo Coelho. Kedatangannya yang selalu meramaikan suasana ini begitu ditunggu-tunggu oleh writer's circle.