Minggu, 14 Desember 2008

Menulis Kebalikan yang Kita Tulis

Setelah tidak ada update-an selama tiga minggu, akhirnya minggu ini saya kebagian lagi menulis postingan untuk blog ini. Mudah-mudahan bisa memuaskan rasa kangen pembacanya (kalau ada, hahaha).

Setelah minggu lalu urung datang karena demam tinggi, minggu ini saya datang satu jam lebih cepat karena kangen dengan Reading Lights. Rupanya menjelang natal, toko buku ini sedang berbenah diri. Dekorasi lampu warna-warni ditempel di depan meja pramuniaga. Beraneka macam lukisan digantungkan di dinding-dinding yang kosong. Dari speaker mengalun lagu-lagu bernuansa natal, jazz natal. Tata pencahayaannya pun diubah jadi lebih lembut. Hasil akhirnya cukup impresif, Reading Lights menjadi tempat yang cocok bagi anda yang suka membaca dan ingin mengajak pacar anda yang religius berbelanja buku bekas bersama dengan adiknya yang masih kecil. Huaa, all this people in love :(

Setelah melihat-lihat koleksi yang ada, saya pun duduk di karpet dan melanjutkan membaca Two Caravans, buku kedua pengarang novel A Short History of Tractors in Ukrainian, Marina Lewycka. Buku ini bercerita tentang imigran-imigran asal Eropa Timur yang mengadu nasib di Inggris. Seperti di novel pertamanya, juga ada banyak humor pada buku ini. Tak seberapa lama membaca, saya melihat Aji datang dan langsung naik ke atas, mungkin untuk sholat. Kedatangan Aji diikuti Ina, dan Nia yang sudah lama tidak datang. Nia datang dengan sepatu outbond, celana dan kaos warna hitam, jaket biru, dan daypack yang menggelembung di punggungnya. Belakangan Nia mengatakan bahwa dirinya tidak bisa lama-lama bersama kami lantaran harus berangkat ke Cikole untuk ... meng-OSPEK! Kontan kami menertawakan gadis itu, menuduhnya ingin melampiaskan kekesalan karena belum mendapatkan pekerjaan kepada anak-anak Psikologi UPI 2008. Setelah Aji menemukan kami, kami semua pun berbondong-bondong pindah ke atas.


Ruangan atas Reading Lights yang luas tapi sepi

Di atas pertemuan mingguan writers’ circle pun dimulai. Bertolak dari masukan Ina tentang writer’s block-nya, saya pun membacakan sebuah artikel tentang writer’s block karya Rie Yanti yang dimuat di Warung Fiksi. Artikel ini berjudul 9 Penyebab Writer’s Block, Kenali dan Hindari. Penyebab yang disebut: inkonsistensi dalam menulis, terlalu lama menunda tulisan, krisis PD, pandangan remeh orang terhadap profesi penulis, ego tinggi, kesehatan yang tidak prima, tempat menulis yang tidak pas, dan masalah pribadi. Meskipun hanya menulis sembilan, tetapi artikel ini juga membuka kemungkinan penyebab writer’s block lainnya.

Setelah membacakan artikel tersebut, saya meminta Nia melanjutkannya dengan membacakan Jika Otak Buntu Menulis dari diktat pelatihan menulis artikel dan feature untuk media-nya Farid Gaban. Di sini ada sejumlah kiat sederhana menghadapi writer’s block, yaitu: simpan tulisan favorit, ubah sudut pandang, ambil jarak, runtuhkan kerutinan, ganti alat tulis, ubah lingkungan kerja, dan bicaralah pada anak-anak! Bicara kepada anak-anak tampak menarik untuk dicoba, tetapi poin yang menjadi titik tolak latihan menulis kemarin adalah ubah sudut pandang.


Diiringi oleh kedatangan Dea, yang sempat kesasar ke reading room karena mengikuti anjuran Riswan, dan Stephanie, saya merangkumkan bab tujuh dari buku Write Where You Are: How to Use Writing to Make Sense of Your Life karya Caryn Mirriam-Goldberg, Ph.D. (Diterbitkan Kaifa For Teens dengan judul Daripada Bete Nulis Aja: Panduan Nulis Asyik di Mana Saja, Kapan Saja, Jadi Penulis Beken pun Bisa! Sebetulnya saya tidak bermasalah dengan judul Bahasa Indonesia, tetapi dalam judul Bahasa Indonesia buku ini ada kata-kata Jadi Penulis Beken pun Bisa! PD sekali!) Bab tujuh bercerita tentang bagaimana cara ‘memancing’ keluarnya tulisan. Bab ini memuat beberapa latihan yang menarik, tetapi ada satu yang sangat menarik dan membuat saya ingin mempraktekkannya. Menulis sebuah tulisan yang bertolak belakang dari tulisan yang kita buat sebelumnya.

Yang bertolak belakang di sini bisa apa saja. Bisa kata sifat, misalnya di tulisan pertama kita menulis ‘bersih’ di tulisan kedua kita ganti menulis ‘kotor’ dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, latihan menulis pun dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama kita mendeskripsikan bebas, apa saja boleh ditulis. Sesi kedua kita menulis kebalikan dari apa yang kita tulis pada sesi pertama. Namun tentu saja, saya tidak memberi tahukan tugas di sesi kedua pada saat sesi pertama. Ketika kami menulis, sementara Nia meninggalkan kami lebih awal karena sudah dihubungi temannya, tiba-tiba Uli datang dan bergabung bersama kami.

Dari instruksi ini, Ina menulis cerita yang cukup aneh di sesi kedua. Jadi apabila tulisan pertama Ina adalah tentang bagaimana seorang teman menyukai air putih sebagai air minum yang menyehatkan. Di cerita kedua si teman ini tidak lagi menyukai air putih, melainkan minuman yang lainnya.

Dea pun membingungkan kami semua di tulisan keduanya. Tulisan pertama Dea kan deskripsi tentang AC, jadi di tulisan keduanya dia mengganti AC menjadi perapian. Masalahnya, di tulisan pertamanya Dea juga mengibaratkan AC dengan bunglon sehingga di tulisan kedua, bunglon diganti dengan balon. Nah, si Dea ini tidak konsisten AC-nya mau dijadikan perapian atau balon. Akhirnya gadis itu pun bernyanyi-nyanyi. Balonku ada lima, hitam-putih ....

Stephanie cukup berhasil menerjemahkan konsep latihan ini. Jadi di cerita pertama ia menulis tentang perempuan yang kopi darat dengan laki-laki yang agak lebih muda, melalui situs perjodohan dunia maya. Hm, aroma pengalaman pribadi tiba-tiba menyeruak, hahaha. Di cerpen kedua Stephanie banyak mengubah usia dan kewarganegaraan tokoh-tokohnya.

Saya menulis tentang seorang dosen yang merasa demam ketika harus berhadapan dengan kertas ujian mahasiswanya. Di tulisan kedua, saya menulis tentang istri dosen yang berhadapan dengan rasa malas ketika menyiapkan makanan untuk keluarganya.

Terakhir Aji membicarakan tentang ... tulisan Aji berkisah tentang ... maaf saya lupa! Kalau tidak salah tentang seorang anak yang tidak suka kuliah hukum, tidak percaya dengan profesi pengacara di Indonesia, kerjanya berdemo menuntut keadilan, dan lain-lain. Kebalikannya, tokoh itu menjadi anak yang sangat percaya pada prosesi hukum di Indonesia, dan karirnya justru meroket bak perngacara-pengacara artis di televisi.

Ketika kami semua sudah selesai membacakan karya, tiba-tiba Farida datang. Uli kembali berkisah tentang pengalamannya sebagai turis Indonesia yang mengamati situasi demonstrasi di Thailand sebelum pedemo mengambil alih bandara. Dari ngobrol-ngobrol ini, muncul ide untuk menulis tentang pengalaman menggunakan angkot. Uli menceritakan pengalamannya dimintai tolong terus-terusan laki-laki di depannya untuk membukakan jendela, ternyata minta tolong itu merupakan isyarat bahwa ada laki-laki yang mengincar kantong Uli. Ceritanya di saku Uli ada ponsel, seorang pria dengan tas amat besar duduk di sebelah gadis itu dan mengincarnya. Berhasilkah? Gagal. Rupanya Uli menahan ponsel dari bawah, dan ketika pria itu bersekukuh Uli memutuskan turun meskipun belum sampai tujuan. Lalu Dea menceritakan pernah melihat bapak-bapak bermap di bus Jatinangor yang konon suka mengganggu perempuan, dan disinyalir sebagai seorang ekshibisionis yang suka bermasturbasi di tempat umum!

Berfoto tidak jelas di depan FSRD ITB

Pertemuan writers’ circle kali ini pun ditutup. Uli dan Stephanie sama-sama ke Rumah Buku sebelum datang ke pameran foto bunga di Jendela Ide, Sabuga, sementara yang lain pergi menyebar entah ke mana. Saya terdiam sendirian di dalam toko, melihat-lihat sekali lagi koleksi buku terbaru mereka, dan memutuskan duduk untuk membaca sebentar.

3 komentar:

Nia Janiar mengatakan...

Maaf jika terlalu personal dan out of topic, tapi status pengangguran gue tidak usah disebarluaskan lah :(( Huwaaaaa..

Anonim mengatakan...

Ok, that's fair enough.

Andika

Anonim mengatakan...

Huwaaa.. udah lama ngga ke RL lagi. Gila nih emang ITB, nyedot waktu, fisik, dan mental! x3
Oh iya, ngomong-ngomong, mau izin nge-link blog ini di blog aku, hehe :)