Rabu, 31 Desember 2008

Interview with the (Reading Lights Writer's Circle) Writers

Setelah sekian lama tak hadir di Reading Lights Writers' Circle, hari ini jadi hari yang paling saya tunggu-tunggu. Dan saya cukup beruntung karena peserta sore ini cukup banyak, yang tidak seperti beberapa pertemuan sebelumnya.

Hadir delapan orang: saya sendiri; Andika dan Fadil yang datang paling awal; Myra yang mengajak sahabatnya bernama Frisca; disusul oleh Aji, dan terakhir (agak terlambat) adalah Nia yang ditemani sepupunya meski si sepupu tidak ikut berpartisipasi menulis.

Searah jarum jam: Andika, Fadil, Aji , Neni, Ruli, Myra, dan Frisca. Nia was taking the picture.

Andika lantas mengeluarkan majalah Writer's Digest yang tampak lusuh. Bagian atasnya keriting karena kehujanan. Andika lalu berujar bahwa tema menulis kali ini adalah menulis wawancara. Ia pun menyebut-nyebut isi atau kesimpulan yang ia dapat dari salah satu artikel di Writer's Digest tersebut tentang seluk beluk wawancara, khususnya kepada penulis. Andika bilang kebanyakan penulis paling suka jika ditanya tentang karya mereka, tapi kurang suka jika ditanya tentang seberapa jauh tulisan itu mewakili karakter atau pengalaman sang penulis itu sendiri. Alasannya adalah karena para penulis merasa diragukan kemampuannya untuk bisa 'berjarak' dari kehidupan pribadi mereka, dan ini bisa berarti mereka gagal menciptakan dunia yang sama sekali baru atau berbeda.

Sesi selanjutnya adalah Andika membacakan dua contoh wawancara Sundea dengan dua Teman Tobucil pada dua kesempatan yang berbeda. Yang pertama adalah wawancara dengan Mas Paskalis, seorang guru Agama Katolik. Mas Paskalis beranggapan bahwa Tuhan melihatnya sebagai adalah citra-Nya. Dan mendengar kata ‘citra’ ini, kemampuan asosiasi tingkat tinggi yang dimiliki Dea langsung ‘on’. Dea pun bertanya, ‘citra’ ini sabun atau lotion? Mas Paskalis menjawab dengan serius bahwa dia bisa jadi keduanya: ia bisa menyegarkan seperti sabun, karena mungkin melihat kelakuannya Tuhan akan tertawa; dan seperti lotion karena Tuhan selalu dekat sehingga jarak di antara mereka seperti butiran halus. Contoh yang kedua adalah wawancara Dea dengan Teman Tobucil bernama Selvi yang terkenal dengan ketidakjuntrungan dan ketidakkonsistenannya. Alhasil, wawancara mereka pun tidak jelas juntrungannya dan konsistensinya. Isinya terkesan main-main. Tapi inilah yang menjadikan wawancara mereka menarik dan lucu.

Tibalah giliran kami para peserta mewawancarai sesama peserta. Berikut hasil wawancara sore ini:

# Neni (saya) mewawancarai Aji

Sebelum ini, tak pernah sekalipun saya saling bertegur sapa dengan Aji. Saya pun bingung hendak menanyakan apa pada orang asing yang hanya saya kenal wajah dan namanya saja ini. Saya memutuskan tema wawancara ini adalah tentang cita-cita, tapi tema ini tidak berhasil dipertahankan alias melenceng. Dari wawancara ini, saya tahu bahwa Aji adalah seorang penulis freelance yang merupakan seorang Sarjana Hukum. Pantas saja tulisannya banyak menyinggung masalah politik. Aji mengaku tidak mau jadi pengacara karena profesi ini ‘dirty’. Dan alasan kenapa ia jadi penulis freelance adalah karena ia lebih suka menulis dengan hati; yang berarti ia ingin menulis sesuatu apa adanya tanpa pretensi apapun, tanpa ada pesan sponsor, tanpa ada yang ngomporin, tanpa melakukan pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar.

Selesai membacakan hasil wawancara, Niken ikut nimbrung memberikan beberapa masukan tentang teknik melakukan wawancara sehingga kita bisa menggali banyak informasi dari narasumber. Menurut Niken, hasil wawancara saya dan Aji kurang tergali karena pertanyaan yang saya ajukan hanya menghasilkan jawaban singkat. Niken bilang salah satu teknik untuk menghindari hal ini adalah dengan memancing narasumber untuk mengatakan lebih banyak dengan memakai kata ‘atau’, dll.

Sosok Aji yang kabur dan tidak jelas

# Nia mewawancarai Frisca

Nia pun baru kali ini berkenalan dengan Frisca yang memang baru pertama kali datang ke pertemuan ini, hanya Nia mendapat bocoran bahwa Frisca hobi menyanyi, dan ini ia jadikan topik wawancara dengan Frisca. Frisca yang kelahiran Batak tapi besar di Bandung sering ikut menyanyi di gereja dan choir. Padahal Frisca lebih suka nyanyi bersama band dan lebih suka musik rock. Pengalaman berkesan saat menyanyi adalah saat Frisca menyanyikan lagu anak-anak Filipina yang judulnya kalau tidak salah 'Pok-Pok Alim Fako' (judul ini ditulis berdasarkan pendengaran, jadi sepertinya bentuk tulisannya salah). Sewaktu latihan, Frisca susah payah berlatih hingga akhirnya ia bisa menyanyikan lagu ini dengan benar. Tapi sayang, saat tampil Frisca justru tidak bisa menyanyikannya dengan benar. Meski tidak diketahui para audiens, kesalahannya ini dapat mengganggu konsentrasi sesama teman menyanyinya.

# Myra mewawancara Fadil

Myra membuka tulisan hasil wawancaranya dengan membeberkan penampilan fisik Fadil yang seperti chinese dan tampak sedikit feminin. Rupanya Myra mengangkat tema tentang Femininitas dan Metroseksualitas. Saat Myra bertanya pendapat Fadil tentang beda feminin dan metroseksual, Fadil dengan tangkas menjawab bahwa jelas dua hal ini berbeda. Menurut Fadil yang mungkin agak terprovokasi oleh pertanyaan Myra, metrosesksual adalah sebutan bagi laki-laki yang hobi merawat diri, sementara sifat feminin bisa dilihat dari sikap. Wawancara pun berlanjut tentang gen feminin dalam diri laki-laki yang menurut Myra tidak bisa ditolak. Fadil menjawab bahwa laki-laki bisa menolak menjadi feminin meski terlahir kemayu dengan cara misalnya melakukan aktivitas laki-laki meski dia agak feminin (kemayu) dan bukannya malah menjadi perempuan. Mendengar ini Myra, menyangsikan Fadil yang sekolah menjahit, dan Fadil pun membeberkan sejarah dunia jahit menjahit dimana pada jaman dahulu kala menjahit adalah kegiatan laki-laki.

Saat Myra selesai membacakan, Andika berujar bahwa karakter Myra kuat sekali di tulisan tersebut. Menurut Niken, Myra bigos berat karena pertanyaan-pertanyaan Myra cenderung provokatif, seolah-olah hendak membuat Fadil mengakui ada feminitas dalam diri Fadil.

# Frisca mewawancarai Andika

Meski Andika dan Frisca baru bertemu, Andika sudah lebih dulu mengenal Frisca melalui tulisan Myra yang bercerita tentang Frisca. Tema wawancara Frisca-Andika adalah tentang Andika yang belakangan suka sekali menulis tentang homoseksualitas. Saat Frisca menanyakan sejak kapan suka menulis tema tersebut, Andika mengaku hobinya ini dimulai setahun lalu saat ia berusia 19 tahun. Tulisan Andika lebih fokus pada karakter dan berbicara tentang homoseksualitas. Contoh: homoseksualitas dilihat dari segi agama, atau tentang hubungan karakter dengan orang tuanya dan setting-nya adalah masa sekarang. Karena menurut Andika menulis tentang masa kecil seringkali traumatis, walaupun kadang menulis masa lalu bisa juga ‘healing the wound’. Biasanya karakter dalam tulisan Andika berakhir jadi korban atau karakter tersebut menyerah, tapi sang karakter akan sangat suka jika ada satu orang saja yang mendukung. Saat ditanya film homo favoritnya, Andika yang bisa dibilang ‘jurig film’ ini menjawab bahwa ia sangat suka Angels in America tentang orang America di era 1980-an di mana isu HIV/AIDS sedang hangat-hangatnya dan banyak orang yang lantas menjadi homophobic, dan Six Feet Under. Frisca menutup tulisannya dengan mengatakan, ‘Demikianlah sedikit curhat colongan dari narasumber’.

# Andika mewawancarai Nia

Andika membuka tulisannya dengan mendeskripsikan penampilan fisik Nia yang menurutnya tidak representatif sebagai guru piano. Nia mengenakan jeans dan jaket, dengan rambut sebahunya yang berminyak dan bukannya mengenakan high heels, dll.

Saat ditanya sejak kapan belajar piano, Nia mengaku sejak berumur 12 tahun. Dan pengalaman berkesan selama main piano diantaranya adalah saat berduet dengan pianis lain dimana interaksi keduanya agak kacau; manggung dengan piano besar berwarna kuning; dan resital biola.

Dalam mengajar piano, ternyata Nia yang juga mengajar piano pada ibu-ibu ini, menerapkan ilmu psikologinya terutamanya saat mengajar anak-anak. Reward and punishment adalah strategi yang ia gunakan agar mampu menularkan ilmunya dengan baik.

Di sesi komentar, saat ditanya bagaimana pendapat Nia tentang tulisan hasil wawancara Andika, Nia bilang dia merasa ucapannya selama wawancara agak terkontaminasi oleh pendapat dan asumsi Andika selaku pewawancara.

# Fadil mewawancarai Neni

Fadil menanyai saya tentang pekerjaan. Pertanyaannya yang pertama adalah apakah pekerjaan saya baik atau tidak. Saya menjawab baik dan tidak baik. Pekerjaan saya menjadi baik jika saya bekerja dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya, dan pekerjaan ini menjadi tidak baik karena apa yang saya kerjakan mendukung sesuatu yang kurang baik. Fadil menulis bahwa cita-cita saya sewaktu kecil adalah menjadi pelukis, penulis, guru, dan insinyur pertanian. Mendengar ini, saya tak mampu menahan diri untuk menginterupsi Fadil yang sedang membacakan tulisannya bahwa saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Meski pada jawaban berikutnya saya menjawab guru adalah salah satu contoh pekerjaan baik, yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Fadil pun bertanya apakah saya lebih memilih hidup bermakna dan bermanfaat bagi orang lain tapi secara materi kurang atau memilih hidup berlimpah harta tapi tidak bermakna. Dan sebagai manusia biasa saya memilih hidup bermakna, berbahagia, sekaligus berkecukupan harta.

# Aji mewawancarai Myra

Wawancara Aji dan Myra berkisar tentang rencana Myra yang ingin meneruskan kuliah Creative Writing. Myra lebih memilih kuliah di luar negeri yang menurutnya justru lebih murah. Wawancara pun beralih pada bacaan favorit Myra. Saat Aji bertanya suka baca apa. Myra menjawab suka filsafal. Filsuf favoritnya adalah Albert Camus yang menulis tentang karakter yang bunuh diri karena kesumpekan hidup. Setelah itu Aji pun menanyai Myra karya favorit yang pernah Camus tulis. Myra menjawab satu judul yang tidak jelas saya dengar sebagai karya yang paling ia sukai. Myra juga menyebut-nyebut buku The Stranger, film Man of Fire, dan musik klasik sebagai favoritnya.

Neni Iryani

Neni Iryani
adalah penggemar Andrea Hirata yang membelot lantaran teman-temannya tidak menyukai pengarang keriting itu. Tumbuh besar di Lampung, lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Perguruan Indonesia ini tengah mengadu nasib di ibukota. Sampai sekarang ia bekerja sebagai sekretaris di agen pemasok pesawat terbang. Tulisan Neni tentang ‘kejamnya’ Jakarta bisa dicek di http://whiple-niafa.blog.friendster.com/.


Neni menahan rasa pedas

1 komentar:

Anonim mengatakan...

foto neni dipinjam dari serunya.multiply.com

Andika