Senin, 16 Mei 2011

Para Pelacur

“Buku Harian Seorang Pelacur / Gigolo” itulah yang muncul dalam tema kami. Entah kenapa itu dapat muncul di dalam pikiranku. Ya, saya Ryan Marhalim, kalau mau jujur tema kali ini didapatkan ketika Sapta mengatakan cerita seorang pelacur yang senang dan justru bangga akan kehidupannya. Di saat itulah terlintas dalam pikiranku tentang penulisan buku harian seorang pelacur atau gigolo.

Pada saat pertama Nia meributkan tema ini, "Seperti menulis tentang fisika akan tetapi tidak pernah menyentuh fisika!" Akan tetapi tetap saja akhirnya kami menulis, menciptakan sebuah karya unik, menjalani hidup sebagai manusia-manusia kelam. 45 menit diberikan untuk menjalani emosi dan pikiran, masa lalu, masa depan, dan masa sekarang untuk menjalani dunia kelam.

Empat puluh menit menunjukan akhir dari pendalaman emosional, Nia menunjuk diri sebagai pelacur pertama. Nia menceritakan bagaimana waktu menunjukan proses seorang bocah kecil perempuan berumur 9 tahun yang dipisahkan dari keluarganya karena lilitan hutang. Nia mampu menggambarkan bagaimana emosi seorang ayah dan ibu yang memohon kepada lintah darat untuk membebaskan anaknya. Akan tetapi dunia bukanlah tempat seindah itu. Bocah perempuan yang kemudian menjadi pesuruh ternyata harus kehilangan keperawanannya pada umur 12 tahun dengan harga 500 ribu rupiah oleh seorang pedhophile. Singkat cerita, bocah telah menjadi pelacur sejati hingga pada umur 21 tahun dia bertemu sebelah sayapnya. Pada tahap ending, Nia membuat bahwa semua cerita ini adalah sesuatu yang tertulis pada buku harian sang pelacur, hingga ketika kematiannya, buku ini dibaca oleh sang suami. Sekilas, ini mirip Memoirs of Geisha.

Andika dengan cerdik menyembunyikan seorang yang menjual tubuhnya dan dipakai oleh seorang lelaki sadism sebagai perempuan gambaran awalnya, hingga kata “berdiri tegak” muncul dan itu dapat menggambarkan kehidupan seorang gigolo yang dipakai oleh gay sadism. Tak lupa Andika juga memasukan kata “ganteng” sebagai petunjuk. Berbeda sendirian Sapta membuat cerita yang jelas-jelas menggambarkan dirinya, seorang wanita simpanan yang bangga dan senang akan kehidupannya akan tetapi takut akan wanita beriman. Sapta meringkas semua ceritanya dengan tingkat emosi gembira sekaligus takut mampu bercampur menjadi satu. Ini dikarenakan Sapta membuat cerita ini merupakan pengakuan wanita simpanan tersebut yang mengirim surat atau email kepada sahabatnya, menceritakan segalanya, akan tetapi takut kehilangan sahabatnya, sekaligus takut membohongi sahabatnya.

Agnes lebih ahli lagi menyebunyikan seorang pria yang dibungkus wanita dengan kata-kata “tubuh yang ideal, kulit mulus, bibir yang seksi, dan lain-lain.” Agnes juga mampu membawakan emosi arogan yang dimiliki oleh lelaki ini yang menggunakan tubuhnya demi mencapai tujuannya, hingga akhirnya dapat diketahui bahwa tokoh ini adalah seorang wanita dari cerita bahwa tokoh tersebut menggunakan tubuhnya untuk mencari calon pasangan yang ideal dan saleh, dan itu adalah wanita.

Monika menggambarkan penderitaan seorang wanita Indramayu yang ditekan oleh orang tuanya dengan alibi berbakti kepada orang tua atau menjadi anak durhaka. Tokoh ciptaan Monika menjadi anak durhaka sampai langit mengijinkan ayah dari tokoh tersebut jatuh sakit dan muntah darah. Hingga pada akhirnya rasa kasihan jauh lebih kuat daripada keperawanan dan harga diri. Cerita ditutup dengan siapnya tokoh ini menuju kota, menuju dunia sex, menuju dunia dimana uang berkuasa.

Terakhir, aku benar-benar membuat tulisan yang menceritakan bagaimana proses seorang bocah yang memiliki potensi gay dikembang-biakkan secara tak sengaja oleh ibunya sendiri, sehingga ketika dia bertemu dengan ayah tirinya dan ibunya harus pergi jauh untuk mencari nafkah ayah tirinya dengan memanfaatkan sifat polos bocah yang bisa disogok akhirnya meng-sodomi bocah tersebut hingga pada proses threesome. Pada akhirnya ketika bocah ini disodomi, tak sengaja ibunya pulang dan melihat kejadian itu, keributan pun tak terelakan, polisi menahan sang ibu yang mencoba membunuh suaminya, dan juga suaminya yang pedophile. Singkat kata bocah yang kebingungan ini akhirnya dibawa oleh salah satu teman ayah tirinya yang juga pernah menyodominya, dengan syarat dapat disodomi kapanpun, dimanapun, apapun. Bocah yang menyadari bahwa hidupnya bergantung pada itu memulai karirnya sebagai gigolo gay sejati. Ending ditutup dengan penulisan kembali buku harian yang telah lama ditinggalkan selama 20 tahun lebih, bocah menyalahkan dunia, kedua orang tuanya, dan juga dirinya. Kini hidupnya ada di ujung tanduk, AIDS sudah menjadi bagian dirinya.



Ryan Marhalim. Seorang bocah dengan banyak impian. Salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).

Selasa, 10 Mei 2011

Setia: Setiap Tikungan Ada

Entah apa konspirasi semesta di hari Sabtu (07/05), yang pasti tema yang terpilih adalah “setia” yang diusung oleh Agnes (biasa dikenal Agee). Yek. Saya harus nulis apa tentang setia?

Agee meminta kami berpuisi tentang setia. Namun puisi ditolak mentah-mental oleh Rizal dan saya dengan argumen bahwa setia adalah tema yang sempit untuk dijadikan puisi. Agee tetap bersikukuh. Saya mencoba mencari jalan tengah bagaimana jika menulis cerpen tapi di dalamnya ada puisi. Akhirnya, dengan putus asa, Agee memutuskan, “Bebas saja deh mau nulis apa.” Bebas di sini maksudnya terserah mau menulis puisi, cerpen, opini, dan lainnya.

Hmmm … agak paradoks. Setia itu bukan masalah bebas. Karena bukankah setia itu justru salah satu bentuk keterikatan terhadap sesuatu?

Aji, yang biasa menulis humor sosial, menulis opini tentang keraguan dari makna setia di zaman sekarang yang bisa ditukar dengan apa saja. Setia bisa dibeli uang. Setia bisa hancur karena kekuasaan. Dalam imajinasi saya, kritisisme Aji terhadap setia seperti Nietzsche yang mengumandangkan konsep nihilistik. Setia itu tidak ada!

Batik adalah lambang pernikahan. Pernikahan adalah lambang kesetiaan. Mungkin.

Rizal menulis kisah horror tentang hantu yang setia menunggu kekasihnya hingga kekasihnya menikah dan meninggal sekalipun. Saya terjebak dengan “seolah-olah” linier dalam cerita Rizal yaitu hanya sepasang kekasih yang sayangnya tidak ditakdirkan bersama, ternyata ada twist di belakangnya yaitu salah satu dari mereka adalah si hantu yang setia menunggu.

Karena tidak mau terjebak dalam romantisme, saya memilih tema setia yang lebih luas yaitu tentang seseorang yang setia dengan komitmen penggunaan kerudung. Saya menuliskan seorang perempuan yang rela melepas kerudung karena mau pergi Jerman. Di sana saya melakukan kesalahan bahwa Jerman sebagai negara yang melarang penggunaan kerudung padahal yang benar adalah pelarangan mengenakan burqa.

Agee, dengan gaya bahasa yang sungguh menggelikan yang biasa ditemui di surat-surat cinta, bercerita tentang seorang perempuan bernama Nia yang terlalu setia sehingga membunuh mantan pasangannya yang bernama Ranu Pane karena tidak rela menikah dengan orang lain di hari mantannya itu menikah. Oh, …

Setelah itu, Ryan, yang datang terlambat namun selesai juga, menulis tentang seorang ayah yang setia pada negara, ibu yang setia dengan ayah, dan anak yang setia dengan Hitler. Menurut saya kalimat “Hail Hitler!” sebagai ending cukup konklusif yang bisa menggambarkan secara keseluruhan secara efektif.

Ada Neni yang datang tapi dia tidak menulis. Dengan setia ia mendengarkan teman-teman membacakan karyanya.

Dani setia pada kedua kakinya

Dari keseluruhan, saya paling ingat dengan tulisan Dani. Ia menuliskan kisah tentang robot pengantar susu yang melakukan rutinitas tertentu. Sebetulnya Dani menceritakan issue perbedaan tipis antara setia dengan tidak punya pilihan.

Jadi pikirkan sekali lagi jika kamu merasa cukup setia dengan apa yang kamu yakini sekarang. Apa itu karena patut dijadikan acuan atau karena benar-benar tidak punya pilihan?



Nia Janiar. Menyukai tulisan dan sedang berlatih untuk menulis fiksi maupun non fiksi dengan genre travel writing yang merupakan gabungan antara travel, jurnalisme, sastra, observasi, dan refleksi. Kunjungi blognya di http://mynameisnia.blogspot.com/

Rabu, 04 Mei 2011

Sepasang Mata di The Royal Wedding

Sabtu itu, adalah tanggal 30 April. Sore berhujan itu dihangatkan oleh perbincangan mengenai pernikahan hari kemarin, yang konon paling bersejarah abad ini. Hal ini berkembang menjadi tema. Kebetulan Farida ingin sekali membahas mengenai pernikahan. Saya melengkapinya dengan usul untuk membahas Royal Wedding dari sudut pandang orang ketiga. Bisa siapa saja, mungkin dari sudut pandang penembak jitu atau (hantu) Puteri Diana. Sampai lebih dari jam 5, yang datang baru 5. Saat itu 17.30, jadi Sapta bilang menulisnya cukup setengah jam saja.


Rizal mengajukan diri untuk membacakan ceritanya pertama kali. Ia bercerita dari sudut pandang seorang pria yang kini sedang patah hati melihat pernikahan antara William dan Kate. Ia membayangkan malam2 yang indah, penuh gairah, dan penuh kenangan di masa lalu. Sampai tiba saatnya, William dan Kate berciuman, dia memilih untuk mencium bubuk sianida. Kalau dia tidak bisa memisahkan mereka berdua, biarlah dia yang memisahkan diri dari kenyataan ini. Dan dia menulis surat terakhir untuk yang dicintainya: Pangeran William. Arrrhg, it really breaks my heart! Dan menurut pengakuan Rizal, saking meyakinkannya cerita yang ia buat, ia sampai hampir percaya bahwa cerita itu nyata.

Selanjutnya, Sapta. Dalam ceritanya, Sapta menulis sebagai seseorang yang sedang memperhatikan William dari kejauhan. Ia melihat Kate sebagai seorang gadis yang layak dipuja sekaligus dibenci karena memisahkan hubungan “kita”. Saat membacakan ceritanya, Sapta menulis banyak deskripsi secara puitis. Pada akhirnya, Sapta menjelaskan bahwa cerita ini adalah monolog dari seorang pria –what, another gay story?? Huhu..- yang sedang berdialog dengan alter ego diri sendiri, si sisi baik dan buruk.

Farida didaulat untuk giliran membaca yang selanjutnya. Judulnya, orang-orang di dalam kotak. Alur ceritanya mengikuti siaran langsung mengenai Royal Wedding di televisi. Red Carpet. Arrival of Prince Charless & Camilla. Arrival of Kate Middleton. Dalam ceritanya, Farida menceritakan adanya kesenjangan antara realita yang dijalani si tokoh aku dengan apa yang sedang tampil di televisi. Saat pangeran Charles tiba, ayahnya ditemukan telah tiada. Saat akhirnya Kate Middleton tiba untuk dipersunting William, si tokoh harus cukup puas hanya dengan didampingi pacarnya yang seadanya. Farida menggambarkan betapa orang-orang selalu berandai-andai dan tidak pernah puas dengan kehidupannya sendiri. Sapta menanggapi seperti cerita Pretty Woman. Rizal mengapresiasi pendeskripsian karakter dengan menggunakan rima. Permainan kata yang matang, katanya.

Ryan melanjutkan dengan cerita yang manis. Seorang nenek bernama Mrs. Morris terkaget-kaget ketika menerima surat undangan yang diantar khusus oleh pertugas kerajaan. Undangan tersebut disertai sebuah surat dengan nama Kate Middleton di atasnya. Ternyata, 15 tahun silam, saat Kate bukan siapa-siapa di bawah hujan salju, Mrs. Morris tak segan menolong, bahkan merelakan mantelnya untuk Kate. Undangan ini adalah sebagai ucapan terima kasih. Akhirnya nenek tersebut datang dan menghadiri pesta. Kedua mempelai melihatnya, dan memeluk erat dirinya. Hm, sudut pandang yang manis dan memberi nafas lega ...

Giliran terakhir oleh Aji. Cerita Aji, seperti biasa, ringkas, padat, dan nyeleneh. Jadi setelah 50 tahun naik tahta, band punk sedang naik daun. Aji menjabarkan wawasannya dalam bidang ini. Singkat cerita, ternyata eh ternyata, Kate itu anak punk. Pada saat pernikahannya, ia berkata “f888 the queen” (ups shift-nya macet :P). Lalu terjadilah chaos dan akhirnya monarki runtuh. Cerita ini disambut tawa dari peserta lainnya. Kalau kejadian beneran gimana ya? :P



Retno Wulandari. Panggil saja Neno. Sejak kecil senang membaca, sudah besar dapat berkah bisa berteman dengan sekumpulan penulis kece di RLWCe. Rasanya seperti dimanjakan, kalau sebuah cerita bisa dibacakan langsung oleh si pencerita. Kemarin itu, saya sendiri tidak menulis, namun berkontribusi sebagai time keeper saja. Senangnya ada di sana.

Minggu, 24 April 2011

Mengindra

Saya berinisiatif untuk memberi tema untuk membangun teknik deskripsi dengan menggunakan alat indra* yang ada di manusia selain mata. Kenapa selain mata? Karena banyak literatur yang berisi deskripsi dengan apa yang dilihat mata: indahnya seseorang, buruknya pemandangan, hasil observasi ruang, dan lainnya. Orang banyak melihat, ada juga yang mendengar, beberapa mencium, sedikit meraba, lalu mengecap pada tema tertentu saja.

Dari empat sisa indra yang ada di manusia, untuk mempertajam tulisan, saya meminta peserta untuk menulis satu atau dua indra saja. Saya memberi contoh buku Perfume: The Story of Murderer. Penulisnya menggunakan hidung sebagai indra utama dalam cerita dan menghabiskan ruang yang banyak untuk menguatkan ketajaman pengindraan tokoh sehingga tokoh bisa mencium wewangian secara detail dan mendalam.

Sapta dan Aga menuliskan cerita dengan persepsi berbeda dari tema yaitu alat indra sebagai sebuah issue, bukan sebagai media mendeskripsikan lingkungan. Sapta membicarakan konstruksi sosial bahwa cantik itu putih sehingga mengakibatkan kulit yang sakit dan hilangnya sebuah nyawa karenanya dan Aga menceritakan kehilangan kemampuan melihat berdampak pada keadaan psikologis melihat seorang model Rusia yang menghabiskan waktunya untuk mengeluh dan menjauh dari lingkungan sosialnya. Sapta dan Aga mengakui bahwa mereka kesulitan dalam menulis tema ini.

Bergradasi dari situ, Aji menulis tentang untungnya tokoh memiliki kekurangan dalam mendengar (budeg) akibat earphone karena bisa meningkatkan kepercayaan diri seseorang akibat tidak mendengar apa yang dikatakan orang lain. Menurut saya, penceritaan Aji lebih ditekankan pada orang di sekitar tokoh yang tentunya tidak budeg. Sensasi sudah ada (terutama saat tokoh mencium bau tidak sedap akibat ayah tidak mencuci bekas tinjanya dengan benar) tapi masih kurang karena tidak ditekankan pada tokoh utama. Sapta memberikan ide bagaimana jika ibunya yang terbangun di suatu pagi lalu berkata, "Nah, hening gini dong!" padahal ayah dan anak berbicara sepanjang hari.

Sesuatu bertaring dan bercakar yang sedang merayap di dalam terowongan ditulis oleh Dani. Sesuatu itu mengamati setiap sandungan langkah, debaman, dentuman, dari manusia-manusia yang ada di depannya. Cerita diakhiri oleh bau anyir darah yang menetes pada taringnya. Saya bertanya pada Dani apakah ia menulis tentang binatang, Dani pun tidak tahu pasti apa yang ia tulis. Menurut saya, binatang-binatang yang menggunakan suhu tubuh, suara, indra penciuman, bisa dijadikan contoh untuk kita menulis deskriptif tentang contoh-contoh sensasi lain selain mata.

Saya menuliskan orang tuna rungu yang berkomunikasi dengan dunia luar dengan menggunakan indra pendengaran dan peraba. Namun tulisan saya menghasilkan perdebatan panjang antara saya dan Sapta bahwa walaupun yang saya tulis tentang sensasi-sensasi diterima kulit, namun tidak membuat ia turut merasakan bahwa tokoh berkomunikasi lewat kulit dan informasi tetap berdasarkan pengelihatan (visualisasi)--indra yang seharusnya tidak digunakan dalam tema ini. Saya tidak setuju karena menurut saya tokoh tetap mengindra bukan dari mata dan menggunakan pengetahuan bahwa telinga yang tokoh raba itu adalah telinga bukanlah visualisasi, melainkan penggunaan dari pengetahuan yang sudah ia terima. Contoh Perfume sudah jelas, namun ini sepertinya ketidakpuasan pada hasil pengeksekusian tulisan saya saja.

Sementara itu tema vampire dibawa oleh Farida yang juga menyisakan perdebatan panjang hingga akhir acara dimana Farida menuliskan "manis seperti strawberry di lidah" padahal strawberry itu asam adanya. Agaknya Farida diberi pesan oleh Hakmer dan Dani untuk menggunakan analogi umum--yang seperti Sapta bilang-- seperti gula cair. Saya jadi ingat RLWC pernah membuat tema menganalogi hal-hal yang tidak umum misalnya jika kau jatuh cinta, jangan kau katakan bahwa hatimu berbunga-bunga karena pasaran adanya. Bagaimanapun, analogi tetap harus ada relevansinya.

Indra adalah media alami yang membantu kita dalam menulis. Dalam membuat karakter tokoh atau membuat tulisan itu sendiri. Saya setuju dengan ruang besar yang disediakan Perfume untuk mendetailkan sensasi-sensasi yang dirasa alat indra sehingga terasa betul oleh pembaca, namun hati-hati terjebak pada deskripsi yang terlalu banyak sehingga plot terasa lama dan deskripsi yang terlalu banyak diulang sehingga cerita terasa membosankan. Untuk awal belajar, kita bisa menggunakan beberapa indera saja dalam tulisan agar bisa fokus. Namun jika sudah jago adanya, maka kita bisa menggabungkan kelimanya.

*indra, diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia



Nia Janiar

Jumat, 15 April 2011

Memeluk dan Memukul Teknologi

Jurnal RL Writers Circle: 31 Maret 2011

Jaman sekarang dimana-mana ada teknologi. Bahkan, sulit bagi kita untuk lari dari teknologi (kecuali bila Anda tinggal bersama suku Baduy :)).

Teman butuh kita, mereka telepon. Butuh gaul, ada Blackberry ama Twitteran. Saat kita tidak punya gadget gaul, teman akan bilang, “Ayo dong beli!”

Pada awal abad ke 17, muncul kata teknologi, berasal dari bahasa Yunani, yaitu technología. Téchnē adalah seni, keahlian, keterampilan. Kata logia berarti ilmu.

Secara umum, teknologi dikenal sebagai penggunaan pengetahuan akan alat, teknik, keahlian, sistem, atau metode pengorganisasian guna menyelesaikan suatu masalah atau mencapai suatu tujuan.


Dengan info mendasar tersebut, kami, sekumpulan anak muda yang terdampar di kafe Reading Lights, mencoba bercerita tentang teknologi. Kami percaya Dani paling tahu mengenai teknologi maka ialah yang pertama membacakan ceritanya.

“Sepasang kekasih chatting melalui game online. Mereka sadar, kegemaran mereka pada game online membuat mereka jarang bertemu. Maka, kencan pun direncanakan. Namun pada, akhirnya sepasang kekasih ini urung bertemu. Lagi-lagi karena game online.”

Kemudian ada Aga. Saya tidak terlalu mengenalnya tapi saya ingat waktu itu ia pernah ikut di RL Writers Circle. Sama seperti dahulu, ia membacakan cerita berbahasa Inggris, dengan nada suara yang mengguggah pendengar; “Seorang wanita menatap dirinya di cermin. Pipi, bibir, semuanya sudah tak seindah dulu lagi. Keriput wajah menjadi momoknya. Ia ingin seperti dulu lagi, dipuja-puji akan parasnya. Ia membulatkan tekad, sebuah langkah besar dibuat. Ia menelpon dokter bedah plastik, tapi ...”

Saya rasa, gaya penuturan Aga sangat terpengaruh oleh tayangan E! Channel dan Sex and the City. Detail ceritanya kuat dan ada kesan centil.

Ketiga, ada Nia yang membacakan ceritanya; “Ajisaka tengah dalam pelarian. Cakrabirawa berhasil mengepungnya dalam sebuah gudang. Tidak ada jalan keluar. Untungnya, Ajisaka punya akal mulus. Berbekal pengetahuannya, listrik diubahnya menjadi senjata mahadaya”
Saat itu, Nia menulis cerita yang pendek namun kuat unsur science-nya. Sebab, sang tokoh utama menang dengan cara McGyver.

Sapta membawa kami ke masa depan:
“Dua remaja tengah bermain dengan berbagai gadget yang canggih. Namun, sebuah benda dari masa lalu membuat mereka terpesona. Sebuah bola kaca digoyahkan, maka salju-salju didalamnya turun perlahan dengan anggunnya. Mereka tak pernah melihat salju.”

Farida datang di tengah sesi menulis. Awalnya, ia tak mau menulis. Pada akhirnya, Farida berhasil membuat tiga paragraf singkat mengenai pacar virtual.

Saya menulis mengenai sepasang kekasih yang dikalahkan kota.
“Pak Sarapan dan Bu Camilan datang ke kota berbekal gula aren dari desanya. Dengan ketekunan, mereka kaya raya. Namun, televisi, penyanyi dangdut seksi, dan bedah plastik menghancurkan ikatan cinta mereka.”

Agee menulis sebuah pandangan analitis mengenai lansekap; “Lansekap adalah bagaimana kita menata ruang, menyesuaikan kontur dan keadaan tanah sesuai peruntukkannya. Lahan pun dapat menjadi kuas seni. Di Jepang, varietas padi yang berwarna warni dimanfaatkan untuk membuat gambar raksasa di pematang sawah.”

Sesi menulis kali ini ditutup oleh kisah Aji mengenai penciptaan tiga benda yang dapat mengabadikan berbagai imajinasi dan pemikiran, yaitu tinta, bulpen, kertas.

Sampai di akhir sesi menulis, kami berdiskusi mengenai teknologi. Ternyata, cukup sulit juga membuat satu kesimpulan karena teknologi menciptakan banyak kemungkinan.



Yuliasri Perdani. Peserta yang jarang datang karena kini ia sering berada di ibukota sebagai reporter.