Jumat, 20 Januari 2012

Rohani dalam Tulisan


Kira-kira sudah jam 16.00 kala itu, ketika saya sampai di Reading Lights. Belum ada tanda-tanda kehidupan dari anak-anak Reading Lights Writer’s Circle (RLWC). Tak satupun anggota klub yang telah menunjukkan batang hidungnya. Jangan diartikan secara harfiah lho, kalo cuma batang hidungnya yang nongol, ya, percuma aja nggak bakalan bisa nulis juga.

Wah, jangan-jangan, nggak ada kegiatan nih, atau mungkin pindah tempat, pikir saya. Maklum, sudah terlalu lama tidak datang jadi, nggak tahu soal pengumuman apapun. Saya memang sudah terlalu lama membolos dari klub yang baik hati ini karena tak pernah memecat anggotanya yang doyan membolos, hehehe.

Entahlah, mungkin mereka sedang sibuk dengan kegiatan lainnya padahal, cuaca lagi bagus-bagusnya, dan tidak ada macet berkepanjangan sama sekali. Lama menunggu, Sabiq pun tiba tentu lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki tidak hanya batang hidungnya. “Belum pada dateng, nih?” tanyanya. “Belum nih, kacau.” “Wah, gimana nih, nggak ada ide, euy.” “Tauk, deh.” Parahnya, orang yang biasa jadi fasilitator, tidak ada yang bisa hadir semua. Nia, sedang ada kegiatan di Jakarta, Andika juga tidak bisa hadir. Wah, galau cuman berdua doang. Jadilah kita membentuk band The Galauers kalau hanya berdua, alamat main catur ini, sih…

Menurut Sabiq, rekannya ada yang mau ikutan bergabung dengan klub. Jika temannya itu jadi datang, kita sepakat untuk memulai kegiatan. Sekira pukul 5 sore, rekannya yang bernama Audry itu, tiba. Sembari menunggu kedatangan anggota lainnya, biasalah, ngobrol-ngobrol perkenalan dan tak lama, Sapta pun datang. Suit suit, cieh, cieh tak seperti biasanya, Sapta rapi banget sore itu pake kemeja, dimasukkin lagi. Udah gitu, pake sepatu lengkap dengan kaos kaki yang matching sama warna sepatunya. Katanya sih, resolusi 2012, tampil rapi. Okelah kalo begitu…

Seperti biasa, jika belum ada tema untuk menulis, maka, sistem yang dipakai adalah sistem “Dikocok Tegang”. Eits, jangan berburuk sangka dulu ya, maksudnya, setiap peserta diharuskan menulis tema di sepotong kertas, kemudian, diundi dengan cara dikocok. Lalu, timbul perasaan tegang, harap-harap cemas, tema siapa yang akan dipilih untuk dijadikan bahan menulis. Ya, betul sekali, sistem yang dipakai mirip dengan sistem arisan. Setelah melalui proses undian, yang terpilih adalah tema dari Sabiq yaitu, rohani.

Sesuai dengan proses undian, maka, berturut-turut peserta membacakan karyanya. Peserta yang mendapat giliran pertama membacakan karyanya adalah, Audry, The New Rookie of the Year. Audry menulis tentang kegiatannya yang dilakukannya saat dini hari ketika semua orang sudah terlelap dan menurutnya, mengasyikkan karena ia bisa lebih ‘khusyuk’ karena heningnya suasana. Kurang lebih sih, begitulah. Sorry ya, kalo salah dan terlalu banyak interpretasi hehe. Jika ditinjau dari susunan kata dan tata bahasanya tulisan ini pada prinsipnya, baik. Saya sependapat dengan komentar Sapta kalo tulisan Audry itu lebih mirip seperti jawaban dari pertanyaan”Describe yourself.” Yah, selalu ada awal dari sesuatu. Kali ini, kita maafkan lain kali, jangan begitu, ya hehe bercanda kok, Audry, tenang aja. Jangan kapok untuk datang ke mari ya, Bos!

Sapta mendapat giliran selanjutnya. Tulisan Sapta menurut saya adalah tulisan yang paling bagus di antara peserta yang hadir, nggak percuma deh, kemeja dimasukkin (hehe, apa hubungannya?). Yang menarik dari tulisan ini adalah, karena tokohnya malaikat, suatu sudut pandang yang baru. Dikisahkan kalau sang malaikat, sedang mengawasi dunia dari kejauhan. Saya suka dengan tulisan ini karena banyak analogi-analoginya, pengandaian-pengandaiannya tapi, tetap mudah dipahami. Akhir ceritanya juga tidak mudah ditebak. Inti dari cerita ini adalah orang suka sekali mengambil dan menerapkan sesuatu dan menjiplak mentah-mentah tentang apapun termasuk agama, tanpa memperhatikan apakah hal tersebut cocok untuk diterapkan katakanlah di Indonesia, misalnya. Bagusnya lagi, ceritanya membuat orang untuk penasaran untuk membacanya sampai selesai dan sehabis membaca, barulah orang tahu kalau si tokoh adalah malaikat. Well Done, dude! Hei, penonton kok, pada diem aja? Tepuk tangannya mannaa? Jangan bengong aja, ayo, kita elu-elukan Sapta, “Elu, elu, elu!”

Berikutnya, sang pencetus ide, Sabiq. Inti ceritanya adalah seorang ibu yang anaknya tertular virus HIV AIDS karena diperkosa seorang pria pengidap pedofili. Awalnya, perasaan sang ibu bercampur-baur antara kesal dan sedih atas kejadian anaknya tersebut. Namun akhirnya, sang ibu tetap mengupayakan yang terbaik bagi kesembuhan anaknya tapi, sang anak tetap tak terselamatkan nyawanya. Prinsipnya, cerita ini bagus mungkin hanya perlu perbaikan sedikit dan juga sedikit riset tentang masa inkubasi virus HIV AIDS.

Terakhir, adalah cerita karangan saya. Inti ceritanya, tentang seorang perempuan yang hendak melakukan penebusan dosa karena ia berzinah dengan pacarnya kepada pendeta di bilik pengakuan dosa. Bukannya mendapat pencerahan, ia justru disuruh kembali berzinah dengan pacarnya itu. Alasan sang pendeta karena di manual hanya tercantum sanksi berupa denda jika telah dua kali melakukan perzinahan sementara, sang gadis baru melakukan satu kali perzinahan. Jangan serius kali coy! Ini benar-benar murni gurauan belaka. Maaf berribu maaf jika ada yang tersinggung tidak ada maksud apa-apa kecuali hanya untuk melucu, melemaskan urat syaraf yang tegang.

Sekian dan sampai jumpa. Salam!



Satyo Aji Karyadi, lebih akrab disapa Aji, adalah peserta writers' circle yang kedatangannya paling sulit diprediksi. Kadang ia datang setiap minggu, tetapi kadang-kadang ia lama tidak muncul hanya untuk muncul lagi dan membuktikan kebertahanannya. Pria tinggi dan berkacamata ini sebetulnya pendiam, tetapi ada tiga fakta yang patut diketahui tentangnya. Pertama, Aji telah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Kedua, seperti yang diakuinya, Aji suka menulis tentang politik dan sepak bola (Kadang-kadang tajuk tulisan politiknya cukup ajaib.

Minggu, 15 Januari 2012

Dogma


Pertemuan pertama RLWC di tahun 2012 (sekaligus pertemuan ketiga saya setelah berbulan-bulan tidak nongol) dimulai dengan tema ‘Dogma’. Apakah dogma itu? Jujur saja, saat mendengar kata itu yang pertama kali saya pikirkan adalah Gereja Kristen di abad pertengahan. Di abad pertengahan setiap perkataan Sang Pendeta adalah sabda Tuhan yang absolut. Tidak mempedulikan rasionalitas. Yah, itulah salah satu versi dogma. Sebuah kepercayaan atau doktrin yang mempunyai kekuasaan atas suatu kelompok dan tidak boleh dipertanyakan. Versi dogma yang lainnya adalah, ‘pamali’ atau ‘saru’ dalam Bahasa Jawa.

Kak Sapta yang mengutarakan tema tersebut, adalah yang pertama untuk membacakan ceritanya. Tentang seorang gadis Sunda yang menikah tanpa restu orangtuanya. Gadis tersebut bersama suaminya mencoba untuk mempunyai anak, tapi sang gadis tak kunjung hamil. Sampai akhirnya sang suami merasa muak dan menuduh istrinya mandul. Alhasil, dia sering membawa wanita pulang untuk dihamili dan istrinya hanya bisa pasrah. Setelah berhasil menghamili salah satu wanita yang dia bawa pulang, dia pun menceraikan istrinya. Perempuan yang dulunya adalah bunga desa itu, langsung mengalami ‘breakdown’ (apa bahasa sunda-nya yah? Hm...) dan mengutuk tuhan-tuhan yang disembahnya. Setelah dia tertidur di tempat pertapaan, tiga orang yang lewat tertarik pada tubuhnya dan langsung memperkosanya. Dia pun hamil, membuktikan bahwa dia tidak mandul. Tetapi anaknya yang sekarang sudah dewasa meninggalkannya karena tidak tahan dengan ibunya yang selalu diam setiap kali sang anak ingin mengetahui siapa ayahnya.

Cerita kedua adalah milik Kak Angie. Masih bertokoh utamakan seorang gadis desa. Gadis tersebut selalu mempertanyakan ‘pamali-pamali’ yang diberitahu orangtuanya. Dia ingin tahu kenapa ini tidak boleh dan itu dilarang. Akhirnya dia tidak tahan dan pergi ke kota bersama saudaranya dari kampung lain. Awalnya dia senang tinggal di kota, sampai akhirnya dia mengetahui bahwa tempat itu tidak selalu gemerlap. Dia bekerja sebagai pembantu, berkali-kali diusir karena kesalahan kecil, dan majikan lelakinya sudah sering menggodanya. Akhirnya dia pun menyadari bahwa pamali yang ditanam di dalam dirinya sejak kecil adalah untuk melindunginya, dan gadis itu sangat menyesal sudah meninggalkan Desa Badui tempat asalnya.

Selanjutnya Kak Farida yang membacakan cerita. Seorang wanita akan dihukum rajam dan tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan pembelaannya. Yah, karena dia adalah seorang wanita. Dia dituduh berselingkuh dengan pria lain. Cerita ini ditulis melalui sudut pandang tetangganya yang tahu bahwa sang wanita tidak bersalah dan suaminya berbohong tentang perselingkuhannya. Hal itu karena suami wanita yang akan dihukum ingin mengambil hartanya dan menikahi wanita lain. Bagaimana tetangga tersebut bisa tahu? Karena dialah wanita yang ingin dinikahi sang suami.

Nah, makin lama makin tragis, inilah cerita dari Kak Riri. Lagi-lagi tokoh utamanya adalah seorang gadis. Orangtuanya sudah meninggal sejak kecil dan dia diurus oleh pamannya. Di mata orang lain, dia adalah paman baik hati yang mau mengurus keponakannya. Sementara di mata si gadis, dialah orang bejat yang merampok keperawanannya tiap malam (eh, tunggu, emang keperawanan bisa dirampok berkali-kali yah?). Dia sudah berkali-kali ingin membunuh si paman, tapi tidak pernah dilakukannya karena agama yang dianutinya mengatakan bahwa dia tidak boleh mengambil nyawa orang lain. Maka dia pun mengambil nyawanya sendiri, walau dia tahu itu pun dilarang oleh agama, setidaknya dia tidak harus hidup dicerca.

Yang terakhir adalah puisi buatan saya sendiri (dundundun!). Tidak tragis seperti yang sebelum-sebelumnya, tapi tetap tentang dogma. Karena yang pertama kali saya pikirkan adalah agama, maka saya membuatnya memakai sudut pandang seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang sangat kental elemen agamanya. Anak itu mempertanyakan apa yang dianggap para orang dewasa normal, dan dengan rasionalitas pula. Tapi para orang tua yang bingung dengan pertanyaannya malah menyuruh anak itu untuk diam dan mengikuti semua apa adanya.

Kesimpulan:

Cerita Kak Sapta dan Kak Angie adalah tentang pamali, dan bahwa pamali itu sebenarnya dibuat untuk melindungi kita.

Puisiku dan cerita Kak Farida mengambil dari sudut agama, dan bahwa kita pun harus rasional mengenai dogma.

Dan cerita Kak Riri... err, walau sama-sama tentang agama tapi take-nya beda yah? Unik dan yang paling bikin merinding. Mengambil masing-masing sudut pandang dari kedua type di atas dan menyatukannya.

Setelah pertemuan itu, saya berpikir bahwa dogma pun bisa diterima, tetapi kalau menerimanya tanpa bertanya dan berpikir rasional, maka kita semua adalah orang bodoh. Yup, inilah jurnal pertama saya di blog ini. Terima kasih sudah memberikan kesempatan!




Destiyara Putri

Minggu, 08 Januari 2012

Apa yang Kamu Lihat?


Dalam tes Psikologi, ada tes Rorschach dimana kamu melihat pola percikan tinta tertentu dan menyebutkan apa yang kamu lihat dari gambar itu. Katanya, itu bisa menunjukkan siapa dirimu.
Mungkin itu juga yang terjadi pada sesi Reading Lights tanggal 24 Desember 2011. Sebetulnya tidak tepat seperti itu juga, karena saat itu, dengan Uli sebagai fasilitatornya, para penulis melihat sebuah katalog lukisan. Kemudian, setiap orang menuliskan lukisan favoritnya pada selembar kertas. Kemudian Uli mengambil satu kertas, dan nama lukisan yang tertera di kertas itu yang dipilih.

Lukisan yang terpilih berjudul “Gazing at the sunrise”. Ada sebuah pelabuhan, dengan aktivitas berbagai orang di sana. Ada yang berdagang, tidur, melamun, dan sebagainya. Peserta bisa menulis apa saja yang ingin mereka tulis berdasarkan interpretasi mereka tentang lukisan itu. Mungkin saja, apa yang mereka lihat akan menunjukkan seperti apa diri mereka :p

Jadi, inilah tulisan-tulisan yang akhirnya dibuat:
Nama penulis
Isi tulisan
Apa yang mereka pikir?
Bagian tulisan yang diambil
Kiki
Deskripsi tentang desa Majapahit, aktivitas secara garis besar.
Seperti deskripsi awal sebuah cerita.
Sepertinya keseluruhan isi lukisan, pelabuhan dan sejarah, dan aktivitasnya.
Sapta
Kehidupan di pasar melalui sudut pandang matahari. Menceritakan karakter-karakter di pasar.
Deskripsi karakter dan twist yang tidak disangka dipuji.
Karakter-karakter yang ada di lukisan.
Uli
Nelayan yang berada di situasi hidup mati, dan akhirnya membunuh temannya. Dia takut mati dan akhirnya menghindari malaikat maut dengan melakukan kejahatan.
Bagian gantian kayu saat terapung di laut mengingatkan pada Titanic.
Nelayan.
Regi
Di pantai kota, Aini yang tinggal di sana, diajak menikah. Tapi pasangannya ternyata gay.
Romantis tapi seperti sinetron.
Cewek berkebaya.
Rey
Peringatan tsunami, tentang anak yang berkabung atas kematian ayahnya.
Menarik karena dekat dengan Indonesia.
Tidak tercatat, nampaknya keseluruhan kesan tentang kapal, atau anak dalam lukisan
Sabik
Tentang istri yang cerita tentang kehidupan orang-orang yang ditinggal suami penjual ikan yang sudah meninggal.
Bagus deskripsinya.
Mbok-mbok yang sedang duduk menatap matahari.
Nia
Ada hujan angin besar, ayahnya sedang melaut dan karakter utama takut. Terakhir ayahnya pulang.
Lupa tidak tercatat, maaf T_T
Anak kecil dan ibu-ibu mendatangi bapak-bapak yang membawa keranjang.
Farida
Anak SD yang mempertanyakan arti dari ibunya yang melihat matahari ketika sedang sedih.
Dipertanyakan apakah itu asli anak SD atau flashback.
Keseluruhan ide tentang orang-orang yang menatap matahari.
Mahel
Orang yang dianggap gila dan memperingatkan ada badai yang akan datang
Senang dengan cerita yang kita menebak-nebak apakah seseorang benar-benar gila atau tidak.
Impresi keseluruhan dari lukisan

Jadi seperti itulah. Akhirnya sesi menulis selesai sekitar pukul 7 malam dan saya pulang duluan karena sudah ada janji, jadi tidak tahu ada apa setelah itu :p




Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Gadis serius ini tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya sudah menelurkan 4 buah buku yaitu Dan Hujan Pun Berhenti, Karena Kita Tidak Kenal, serta dua antologi. Kunjungi blognya http://lovedbywords.tumblr.com/

Kamis, 05 Januari 2012

Penguatan Setting Tempat pada Cerita

Sesi RLWC pada 17 Desember 2011 adalah tentang sebuah rumah di Ubud. Sebuah rumah dengan jendela dan pemandangan yang menghadap hamparan sawah. Ada sepeda-sepeda pancal yang bisa dipakai para penyewanya untuk berkeliling. Rumah tersebut adalah rumah yang biasa disewakan untuk para penulis dalam kurun waktu tertentu. Rumah inilah yang menjadi setting dari cerita-cerita RLWC kali ini.

Adalah Mbak Riri, yang membawakan tema, yang membacakan cerita pertamanya. Mbak Riri bercerita tentang penghuni rumah yang menyaksikan tamu-tamu yang silih berganti. Ada penyewa yang baik hati dan selalu memberinya biskuit. Ada yang senantiasa memberinya daging. Dan ada juga penyewa yang membencinya, dan berusaha memukulnya. Cerita Mbak Riri ini diambil dari sudut pandang seekor kucing yang tinggal di rumah itu. Seperti sebelum-sebelumnya, cerita Mbak Riri lebih banyak berupa observasi yang berjarak dan kurang menceritakan aspek personal tokoh utamanya. Uraiannya lebih banyak diperkuat deskripsi ketimbang narasi.

Berikutnya Nia bercerita tentang Dince, seorang penyewa wanita berusia sekitar 50 tahunan. Di sini Dince merasakan kebebasan untuk tidak harus memakai penutup kepala seperti di lingkungan tempat tinggalnya. Di sini pula ia bisa melupakan masa lalunya yang pahit karena berganti kelamin dari seorang laki-laki. Cerita ditutup dengan Dince yang bersiap-siap karena akan diajak Mark untuk melihat sunset di Uluwatu. Adalah nama “Dince” yang menjadi pertanyaan banyak peserta lain, mengingat biasanya Nia mengambil nama-nama yang lebih eksotis untuk tokoh-tokoh utamanya, misalnya Musa Idris, Radi, dll. Nia menjelaskan bahwa tokohnya itu terinspirasi dari Dorce Gamalama. Saya sempat berkomentar juga dengan sulitnya saya fokus mendengarkan di awal cerita, karena Nia memulai ceritanya dengan uraian deskriptif mengenai kuku dan bagian-bagian tubuh Dince. Sapta, di sisi lain, justru berpendapat bahwa gaya uraian Nia ini bagus karena menjadikan cerita ini visual, seperti film pendek. Pendapat Sapta ada benarnya juga; mungkin lebih sulit bagi saya menangkapnya karena saya harus sambil mencatat intisari cerita untuk membuat jurnal ini.

Adalah Sapta yang membacakan cerita berikutnya. Sapta bercerita tentang seorang penyewa wanita juga, namun usianya lebih muda. Ia kedatangan Catur, pelayan di rumah itu, yang baru pulang dari sembahyang. Cerita Sapta ini terfokus pada dialog antara aku dengan Catur; bagaimana tokoh aku terheran-heran pada Catur yang sembahyang tanpa minta apa-apa, karena bagi Catur, sembahyang adalah ungkapan terima kasih. DI akhir cerita, tokoh aku pun berterimakasih atas apa yang dimilikinya. Rian berkomentar bahwa cerita Sapta ini tidak seperti cerita biasanya yang “gelap”. Saya setuju, namun saya sangat menyukai cerita ini. Menurut saya, cerita Sapta kali ini tidak hanya bagus, tapi juga punya pesan dan filosofi yang sangat kuat, dengan penyampaian yang tetap sederhana.

Pembaca berikutnya adalah Dani, yang seperti biasanya berkilah bahwa ceritanya belum selesai atau buruk. Dani bercerita tentang seorang penyewa yang datang untuk menghindari, sekaligus, menuliskan tentang akhir dunia. Ia sempat kedatangan tamu yang masih berwujud manusia, dan mengobrol tanpa arah yang jelas. Dari obrolan itu, terungkap bahwa si tokoh utama datang ke rumah itu karena dunia mulai dikerumuni zombie. Kami sempat berpikir bahwa tokoh utama dalam cerita Dani ini adalah seorang delusional. Namun ketika Dani menjelaskan bahwa settingnya memang zombie apocalypse, saya pribadi merasa kecewa. Beberapa tulisan Dani sebelumnya cukup berkarakter namun cukup sederhana dan solid. Cerita tentang zombie apocalypse ini tentu tidak termasuk di dalamnya. Dalam cerita ini Dani kembali ke minat utamanya pada sci-fi, namun menurut saya pribadi hal tersebut tidak ditempatkan secara tepat karena yang menjadi tema adalah setting yang realistik. Pemasangan setting zombie apocalypse dengan rumah menulis di Ubud saya rasakan terlalu dipaksakan.

Saya, Rizal, adalah yang membacakan cerita terakhir kali. Saya bercerita tentang seorang suami yang mengunjungi lagi rumah di Ubud itu setelah 10 tahun. Dulu istrinya yang senang menulis di rumah itu. Pria itu berusaha mengulangi lagi kenangan-kenangan indah dengan istrinya dulu, namun kini semuanya sudah berbeda, karena istrinya itu selalu diam dan selalu menghindari pandangannya. Belakangan terungkap bahwa istrinya meninggal sejak ia diserang oleh orang-orang yang tidak menyukai tulisannya, dan sejak saat itu sang suami hanya bisa merasakan kehadiran istrinya tanpa bisa berbincang atau bertatap muka. Cerita ditutup dengan sang suami yang akhirnya merelakan istrinya tersebut. Nia sempat bingung dengan kronologi waktu dalam penceritaan tersebut. Sementara Sapta berkomentar bahwa tampaknya ciri khas saya sekarang adalah menulis tentang tokoh utama yang harus merelakan sesuatu.

Demikianlah sesi RLWC pada Sabtu itu. Tema setting ini memang sudah di-request dari minggu sebelumnya pada Mbak Riri, dengan pertimbangan Mbak Riri punya banyak pengalaman dengan uraian setting; sekaligus untuk memberikan tantangan bagi para penulis RLWC untuk mengembangkan cerita naratif dari suatu setting yang bersifat objektif.


Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan waktunya untuk blogging, menulis novel, dan bersepeda gunung. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah blog mengenai gaya hidup natural, serta sedang berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.