Kamis, 05 Januari 2012

Penguatan Setting Tempat pada Cerita

Sesi RLWC pada 17 Desember 2011 adalah tentang sebuah rumah di Ubud. Sebuah rumah dengan jendela dan pemandangan yang menghadap hamparan sawah. Ada sepeda-sepeda pancal yang bisa dipakai para penyewanya untuk berkeliling. Rumah tersebut adalah rumah yang biasa disewakan untuk para penulis dalam kurun waktu tertentu. Rumah inilah yang menjadi setting dari cerita-cerita RLWC kali ini.

Adalah Mbak Riri, yang membawakan tema, yang membacakan cerita pertamanya. Mbak Riri bercerita tentang penghuni rumah yang menyaksikan tamu-tamu yang silih berganti. Ada penyewa yang baik hati dan selalu memberinya biskuit. Ada yang senantiasa memberinya daging. Dan ada juga penyewa yang membencinya, dan berusaha memukulnya. Cerita Mbak Riri ini diambil dari sudut pandang seekor kucing yang tinggal di rumah itu. Seperti sebelum-sebelumnya, cerita Mbak Riri lebih banyak berupa observasi yang berjarak dan kurang menceritakan aspek personal tokoh utamanya. Uraiannya lebih banyak diperkuat deskripsi ketimbang narasi.

Berikutnya Nia bercerita tentang Dince, seorang penyewa wanita berusia sekitar 50 tahunan. Di sini Dince merasakan kebebasan untuk tidak harus memakai penutup kepala seperti di lingkungan tempat tinggalnya. Di sini pula ia bisa melupakan masa lalunya yang pahit karena berganti kelamin dari seorang laki-laki. Cerita ditutup dengan Dince yang bersiap-siap karena akan diajak Mark untuk melihat sunset di Uluwatu. Adalah nama “Dince” yang menjadi pertanyaan banyak peserta lain, mengingat biasanya Nia mengambil nama-nama yang lebih eksotis untuk tokoh-tokoh utamanya, misalnya Musa Idris, Radi, dll. Nia menjelaskan bahwa tokohnya itu terinspirasi dari Dorce Gamalama. Saya sempat berkomentar juga dengan sulitnya saya fokus mendengarkan di awal cerita, karena Nia memulai ceritanya dengan uraian deskriptif mengenai kuku dan bagian-bagian tubuh Dince. Sapta, di sisi lain, justru berpendapat bahwa gaya uraian Nia ini bagus karena menjadikan cerita ini visual, seperti film pendek. Pendapat Sapta ada benarnya juga; mungkin lebih sulit bagi saya menangkapnya karena saya harus sambil mencatat intisari cerita untuk membuat jurnal ini.

Adalah Sapta yang membacakan cerita berikutnya. Sapta bercerita tentang seorang penyewa wanita juga, namun usianya lebih muda. Ia kedatangan Catur, pelayan di rumah itu, yang baru pulang dari sembahyang. Cerita Sapta ini terfokus pada dialog antara aku dengan Catur; bagaimana tokoh aku terheran-heran pada Catur yang sembahyang tanpa minta apa-apa, karena bagi Catur, sembahyang adalah ungkapan terima kasih. DI akhir cerita, tokoh aku pun berterimakasih atas apa yang dimilikinya. Rian berkomentar bahwa cerita Sapta ini tidak seperti cerita biasanya yang “gelap”. Saya setuju, namun saya sangat menyukai cerita ini. Menurut saya, cerita Sapta kali ini tidak hanya bagus, tapi juga punya pesan dan filosofi yang sangat kuat, dengan penyampaian yang tetap sederhana.

Pembaca berikutnya adalah Dani, yang seperti biasanya berkilah bahwa ceritanya belum selesai atau buruk. Dani bercerita tentang seorang penyewa yang datang untuk menghindari, sekaligus, menuliskan tentang akhir dunia. Ia sempat kedatangan tamu yang masih berwujud manusia, dan mengobrol tanpa arah yang jelas. Dari obrolan itu, terungkap bahwa si tokoh utama datang ke rumah itu karena dunia mulai dikerumuni zombie. Kami sempat berpikir bahwa tokoh utama dalam cerita Dani ini adalah seorang delusional. Namun ketika Dani menjelaskan bahwa settingnya memang zombie apocalypse, saya pribadi merasa kecewa. Beberapa tulisan Dani sebelumnya cukup berkarakter namun cukup sederhana dan solid. Cerita tentang zombie apocalypse ini tentu tidak termasuk di dalamnya. Dalam cerita ini Dani kembali ke minat utamanya pada sci-fi, namun menurut saya pribadi hal tersebut tidak ditempatkan secara tepat karena yang menjadi tema adalah setting yang realistik. Pemasangan setting zombie apocalypse dengan rumah menulis di Ubud saya rasakan terlalu dipaksakan.

Saya, Rizal, adalah yang membacakan cerita terakhir kali. Saya bercerita tentang seorang suami yang mengunjungi lagi rumah di Ubud itu setelah 10 tahun. Dulu istrinya yang senang menulis di rumah itu. Pria itu berusaha mengulangi lagi kenangan-kenangan indah dengan istrinya dulu, namun kini semuanya sudah berbeda, karena istrinya itu selalu diam dan selalu menghindari pandangannya. Belakangan terungkap bahwa istrinya meninggal sejak ia diserang oleh orang-orang yang tidak menyukai tulisannya, dan sejak saat itu sang suami hanya bisa merasakan kehadiran istrinya tanpa bisa berbincang atau bertatap muka. Cerita ditutup dengan sang suami yang akhirnya merelakan istrinya tersebut. Nia sempat bingung dengan kronologi waktu dalam penceritaan tersebut. Sementara Sapta berkomentar bahwa tampaknya ciri khas saya sekarang adalah menulis tentang tokoh utama yang harus merelakan sesuatu.

Demikianlah sesi RLWC pada Sabtu itu. Tema setting ini memang sudah di-request dari minggu sebelumnya pada Mbak Riri, dengan pertimbangan Mbak Riri punya banyak pengalaman dengan uraian setting; sekaligus untuk memberikan tantangan bagi para penulis RLWC untuk mengembangkan cerita naratif dari suatu setting yang bersifat objektif.


Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan waktunya untuk blogging, menulis novel, dan bersepeda gunung. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah blog mengenai gaya hidup natural, serta sedang berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.

Tidak ada komentar: