Katanya. Saya mungkin menggunakan judul itu untuk membenarkan kesalahan saya yang terlambat membuat jurnal tentang rasa bersalah. Duh, Farida. Rasa bersalah yang mengiringi laporan jurnal menulis tentang rasa bersalah. Tapi seterlambat apapun, saya tetap ingin menulisnya untuk menebus kesalahan saya.
Saat itu tidak banyak peserta RLWC yang datang menghadiri pertemuan. Hanya ada saya, Andika, Rizal, Dani, dan Mbak Riri. Sisanya tidak datang atau tidak ikut menulis. Di sebelah kami ada Marwan, yang sebelumnya pernah memberikan presentasi tentang pembuatan komik di salah satu sesi RLWC. Dia juga tidak ikut menulis.
Beberapa saat, kami juga kesulitan mencari tema. Hingga saya tiba-tiba teringat tentang sesuatu yang saya baca sebelumnya, tentang rasa bersalah. Rasa bersalah katanya disebabkan oleh nilai yang berbeda antara nilai sosial dengan nilai kita, atau perasaan bahwa kita telah melanggar suatu nilai tertentu. Rasa bersalah bisa membuat orang melakukan apapun untuk menebus rasa bersalah itu.
(termasuk tetap menulis walau sudah terlambat)
Ternyata usulan tema saya diterima oleh peserta lain, dan akhirnya kami menulis tentang rasa bersalah. Beberapa menganggapnya sulit, tapi akhirnya kami kerjakan juga.
Cerita pertama dibacakan oleh Andika. Andika menggunakan gaya khasnya yang cukup memperhatikan detil dan mengalir. Ceritanya dituturkan oleh seorang narator yang menceritakan tentang hubungannya dengan temannya yang berubah sejak dia menemukan kesalahan temannya dalam hal yang sama-sama mereka sukai, menggambar. Cerita ini menimbulkan banyak pertanyaan di peserta lain, dan kami harus memastikan dan bertanya pada Andika tentang isi dari ceritanya. Mungkin karena pembatas setting yang kurang jelas, atau hal lain. Tapi Andika (dengan sabar, ya?) menjelaskan ceritanya. Jujur saya juga belum terlalu yakin apa yang saya simpulkan di sini pun sudah betul isi ceritanya. Andika bisa berkomentar.
Cerita selanjutnya datang dari Rizal. Rizal ternyata menggunakan perasaan pribadinya untuk menulis cerita ini. DIa menulis tentang seseorang yang tidak dapat menghayati ibadah yang dilakukannya, tapi tetap melakukannya demi ibunya, temannya, dan pacarnya. Peserta memuji gaya bahasa Rizal di cerita ini dan berkomentar bahwa rasa bersalahnya dapat terasa di cerita ini. Yang baik untuk disorot mungkin cara Rizal menjelaskan tentang shalat tanpa menyebutkan bahwa itu shalat. Ini salah satu cerita favorit saya darinya.
Kemudian Dani membacakan juga. Dani menceritakan tentang rasa bersalah seorang perempuan yang menjadi simpanan seorang gubernur yang ditembak mati. Dani mengakui ini terinspiras dari All The King's Men, sebuah film.
Selanjutnya Mbak Riri juga membagi rasa bersalahnya, dalam ceritanya tentang hasil audit yang dipalsukan dan bagaimana seseorang bisa berhenti merasa bersalah karena situasi yang mendorongnya. Para peserta tertarik dengan masalah audit ini dan merasa mendapat pengetahuan baru dari cerita Mbak Riri.
Saya sendiri? Saya tadinya ingin menulis sebuah rasa bersalah personal, tapi ternyata saya tidak tega. Saya menulis tentang seorang laki-laki yang mengidap obsessive compulsive disorder karena rasa bersalah pribadinya. Tapi nampaknya ceritanya juga kurang jelas sampai peserta lain tidak mengerti di endingnya. Sudahlah :p
Sekarang rasa bersalah saya sudah sedikit tertebus.
Mohon dimaafkan.
Farida Susanty adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Ia sudah menelurkan 4 buah buku yaitu Dan Hujan Pun Berhenti, Karena Kita Tidak Kenal, serta dua antologi. Sekarang ini ia sedang dalam proses menerbitkan buku selanjutnya. Kunjungi blognya http://lovedbywords.tumblr.com/
Jurnal Mingguan Karya Peserta Writers' Circle di Reading Lights Bookshop & Coffee Corner, Bandung.
Sabtu, 19 Mei 2012
Rabu, 16 Mei 2012
Kau -- Sudut Pandang Kedua
Jam tiga sore – dari sudut toko buku Reading Lights, kau melihat
arus lalu lintas tak sepadat saat kau kemarin pulang. Di depanmu menunggu
halaman putih kosong, tetapi matamu tak bisa lepas dari pemandangan di balik
jendela. Pohon-pohon berdahan tinggi daunnya bergerak-gerak dihembus angin.
Sinar matahari memunculkan beraneka warna hijau. Kau lebih ingin berada di luar
daripada apapun. Namun, tidak semua keinginan mesti dituruti, kan? Perhatianmu
kembali ke halaman kosong. Mencoba menulis, tetapi tak bisa. Mungkin lebih
sulit memulai sesuatu jika dilakukan terlambat. Namun adakah kata terlambat
jika sesuatu itu berarti? Kau berhenti mencari alasan. Kau mengingat-ingat lagi
apa yang terjadi dalam pertemuan writer's circle dua pekan silam,
pertemuan di mana kau bertugas menulis jurnalnya.
Kau ingat, kau datang lebih cepat daripada peserta lainnya. Kau tidak
ingat, seperti apa cuaca hari itu. Padahal kau biasa memulai tulisan dengan
menggambarkan cuaca. Kau ingat, buku yang kaubaca sambil menunggu yang lain. Wise
Children oleh Angela Carter. Indra Permadi tiba beberapa saat setelahmu,
mengeluarkan buku Writing Fiction: A Guide to Narrative Craft oleh Janet
Burroway. Kalian pun bertukar bacaan. Buku Indra banyak memuat latihan,
penjelasan, contoh fiksi yang baik, bahkan naskah fiksi penuh coretan. Ketika
kau meminta Indra menjadi fasilitator menulis, laki-laki itu segera mengiyakan.
Belakangan Indra selalu memakai pewangi yang tak kau ingat ia pakai dua
tahun silam. Wangi serupa pernah kauendus saat menemani seorang teman
berbelanja di gerai The Body Shop. White Musk Sport for Men. (Kau membayangkan
reaksi temanmu Dani dan Nia ketika membaca kalimat barusan.) Lalu Dea datang.
Kalian terlibat pembicaraan lokal mengenai serunya berkirim kartu pos. Ketika
Ririe datang, kalian bergabung dengan Sabiq dan Almer yang telah menyulut rokok
di ruang belakang. “Kita mulai sekarang?” tanya Indra. Waktu menunjukkan pukul
setengah lima lebih, kau mengangguk. “Atau kita menunggu sebentar lagi?” tawar
Indra. “Bagaimana kalau ada yang datang lagi? Menjelaskannya jadi dua kali, kan?”
Kau geli. Indra tak menyebut nama, tetapi kaupikir yang dimaksudkannya adalah
Dani.
Sore itu, Indra muncul dengan tema dan latihan tentang sudut pandang.
Pertama-tama ia menjelaskan macam-macam sudut pandang: orang pertama, orang
kedua, dan orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, cerita dinarasikan
oleh 'aku' atau 'saya', sementara pada sudut pandang orang kedua penulis
menempatkan karakternya sebagai 'kau' atau 'kamu', “Seperti dalam surat,” Indra
mencontohkan. Lalu ada juga cerita bersudut pandang orang ketiga di mana
penulis menempatkan karakternya sebagai 'dia'. “Pada prakteknya sudut pandang
ketiga dapat sangat bervariasi, penulis bisa berperan sebagai Tuhan yang
menunjukkan isi hati semua karakternya, dan bisa juga tetap fokus pada
karakter-karakter tertentu,” jelas Indra. Konon semua sudut pandang ini sama
pentingnya. Sebuah cerita lama dapat memiliki rasa baru ketika dituturkan
dengan sudut pandang lain. Untuk membuktikannya, Indra meminta setiap peserta
menulis dengan sudut pandang yang paling jarang digunakan, “Tulislah cerita
menegangkan dengan sudut pandang orang kedua.” Setelah timer dipasang,
segenap peserta mulai sibuk dengan alat tulis masing-masing.
***
Andika! Kamu tahu contoh buku yang memakai sudut pandang
orang kedua?
Hmm, apa ya? Serial pilih-sendiri-petualanganmu? Biasanya
di akhir setiap kejadian, pembaca ditanyai apa tindakan yang mereka pilih
selanjutnya. Seingat saya, dalam serial ini pembaca dirujuk sebagai 'kamu'. Oh,
ya! The Perks of Being a Wallflower.
Novel ini terdiri dari serangkaian surat yang ditulis Charlie, tokoh utama buku
ini, kepada orang yang tak dikenalnya. Novel yang terdiri dari surat disebut
epistolary novel. Pada pertemuan writer's circle, Indra mencontohkan The Great Gatsby. Saya belum membacanya,
tetapi kata Indra tokoh utamanya justru bukan si narator, melainkan si Gatsby.
Ketika akhirnya Gatsby mati, si naratorlah yang kemudian memetik pelajaran dari
pengalaman hidup Gatsby.
Menurut kamu seberapa penting 'sudut pandang' dalam fiksi?
Penting sekali! Mengubah-ubah sudut pandang adalah salah
satu cara menghindari kejemuan ketika menulis sebuah kejadian yang sering kita
tulis. Pertemuan writer's
circle, misalnya. Saya sendiri lebih suka membaca novel yang sudut
pandangnya kaya daripada novel yang latarnya kaya(!). Saya ingat saat pertama
kali membaca Biru-nya Fira Basuki. Novel ini memakai sudut pandang orang
pertama dengan narator berganti-ganti. Itu membuat Biru begitu lain dan
berkesan di mata saya, Semakin lama, saya menemukan semakin banyak buku
bersudut pandang menarik. The Accidental-nya Ali Smith bergulir dengan
sudut pandang dari setiap anggota suatu keluarga dan semuanya menggunakan stream
of consciousness. Memoar Dave Eggers selincah senam dalam memainkan sudut
pandang orang pertamanya. Karakter anjing dalam Two Caravans-nya Marina
Lewycka dapat 'berbicara' dan berperan penting dalam penuturan cerita. Kamu
punya judul lain?
Saya? Awal tahun ini saya menamatkan Freedom-nya Jonathan Franzen. Buku
itu nyaris setebal empat senti, tetapi tidak sekalipun saya bosan
membacanya. Saya percaya rahasianya terletak pada variasi penuturan Franzen.
Saya pernah membaca di sebuah surat kabar Inggris Jonathan Franzen dan
beberapa penulis lainnya berbagi 'aturan menulis' mereka kepada para penulis
pemula. Salah satu aturan Franzen: 'Selalu gunakan sudut pandang orang ketiga,
kecuali sudut pandang orang pertamamu berbeda dan ia terus memaksa muncul.'
Hm, saya setuju untuk alasan saya sendiri. Jujur saya
paling tidak sabar jika membaca cerita bersudut pandang orang pertama di mana
tokohnya laki-laki; dan konflik utamanya bagaimana ia mendapatkan hati
perempuan yang disukainya. Dengan sudut pandang orang pertama, saya sulit
menempatkan diri di posisi kedua tokoh itu.
***
Sesi membaca pun dimulai dengan berakhirnya sesi menulis selama setengah
jam. Kau menawarkan diri membaca pertama. Tulisanmu menceritakan 'kamu',
seorang remaja laki-laki yang menulis surat berisi rahasia tentang dirinya.
Surat itu diselipkan ke dalam tas ayahnya pagi-pagi sebelum beliau pergi kerja.
Ketegangan lantas dirasakan remaja itu sepanjang hari, di sekolah, di angkutan
kota, sebelum nantinya ia mesti pulang dan menghadapi kedua orang tuanya. Dea
berkomentar tulisanmu bagus, tetapi seperti tak ada hubungan antara narator
dengan tokoh utama. Dan berhubung cerita belum selesai, Almer menanyakan
akhirannya. “Sudut pandang yang digunakan sudut pandang orang kedua, narator
tidak masuk dalam cerita,” Indra menyimpulkan. “Nah, apa Bung Andika merasa ceritanya
cocok dengan sudut pandang ini?” Kala itu jawabanmu untuk Almer dan Indra
“Belum tahu,” dan “Tidak!” Kini kau tahu bagaimana cerita akan berakhir, serta
bagaimana sudut pandang orang kedua dapat membantu mengakhirinya.
Tulisan Indra berkisah tentang percakapan telepon sepasang laki-laki dan
perempuan. Awalnya si laki-laki menceritakan detil tentang kecelakaan yang
disaksikannya di jalan. Namun lama-lama percakapan memanas – si perempuan
seperti kesal, dan si laki-laki mencoba menenangkannya dengan cara yang salah.
(“Kamu sedang menstruasi, ya?” tanya si laki-laki. “Kalau bukan sama aku, nanti
kamu cerita sama siapa?” tanyanya lagi.) Berhubung Indra hanya menulis ucapan
si tokoh laki-laki, peserta writer's circle yang lain jadi membayangkan
apa yang kiranya diucapkan si tokoh perempuan. Indra menggunakan sudut pandang
orang kedua di mana naratornya ikut menjadi karakter. Kau setuju ceritanya
cocok menggunakan sudut pandang ini, tetapi kau percaya topik percakapan
teleponnya bisa lebih menegangkan.
Ini bagian sulit, kau sungguh lupa Dani menulis apa. (“Tulisan gua gagal,”
ujarnya sebelum membaca.) Di writer's circle, kalian terbiasa mendengar
tulisan Dani tentang perang, militer, cinta, maupun cerita fiksi ilmiah. Kalau
tidak salah, tulisannya sejenis monolog seseorang yang kehilangan kekasihnya.
Ia menulis tema ini dari waktu ke waktu. Kau yakin tulisannya tidak akan
terlalu gagal. Jika Dani mengatakan demikian, besar kemungkinan itu demi
menurunkan ekspektasi.
Tulisan Dea pendek dan mengejutkan, judulnya 'Rahasia.' Seingatmu
begini tulisannya:
MALIIIIING!
Iya kamu!
Ayo mengaku! Kamu maling, kan?
Sudah jangan banyak bicara! Kamu telah mencuri!
Kamu mencuri baca tulisan ini.
Semua geli mendengar pembacaan Dea. Tulisannya seperti apa yang biasa dituliskan
di halaman pertama buku harian anak-anak. Kau mulai memahami keunggulan sudut
pandang orang kedua dibandingkan sudut pandang yang lainnya. Sudut pandang ini
membuat pembaca merasa dilibatkan ke dalam tulisan – seperti diajak bicara. Hal
yang sama juga ditemukan dalam tulisan Ririe yang berjudul ‘Cue Cards’. Berikut cuplikannya:
Point A
Hi!
Kamu baru saja menemukan Point A. Silahkan matikan GPS-mu sekarang untuk
menghemat baterai, masukkan dalam dry bag yang tersedia, dan bawalah bersamamu.
Bersama cue card ini, kamu akan menemukan sebuah dayung. Di ujung jalan ini ada
sebuah perahu kayak, ikuti aliran sungai hingga ke hilir. Saat melihat
pelampung dengan bendera hijau, menepilah dan tambatkan perahu di pilar yang
tersedia. Petunjuk menuju point B ada disana. Hati-hati ya!
Kata ganti 'kamu' dalam sudut pandang orang kedua dalam cerita Dea dan
Ririe tak terbatas hanya tertuju pada satu tokoh, tetapi juga bisa pada entah
berapa banyak pembaca.
Di sisi lain, ‘kamu’ dalam tulisan Sabiq dan Almer tertuju pada satu orang
saja. Cerita Sabiq adalah surat untuk seorang pahlawan-penyelamat-kota.
Meskipun tak menyebut nama, Sabiq memberikan banyak petunjuk mengenai identitas
si pahlawan. Salah satunya bahwa ia fotografer. “Spiderman, ya?” tebak Almer. Sabiq mengiyakan. Meskipun tulisan ini
menarik, Indra menunjuk kurangnya konsistensi Sabiq dengan sudut pandang yang
digunakan. Di beberapa bagian, tulisannya memberi informasi terlalu banyak,
seakan penulis adalah Tuhan yang tahu semua. Padahal pada awalnya tulisan itu
dimaksudkan sebagai surat. Saran Indra, sebaiknya Sabiq memilih antara menulis
dengan sudut pandang terfokus, atau sejak awal menulis dengan sudut pandang
penulis-tahu-semua.
Almer menuturkan kisah sentimentil tentang dua orang teman yang melarikan
diri setelah merampok bank. Di mobil, salah satu di antara mereka mengajak
berbicara yang lain – memaki-maki, menyesali kebodohan yang lain, meratap, serta
mengenang masa lalu. Namun semua itu
tidak dijawab, karena yang diajak bicara sudah tak sadarkan diri karena
tertembak. “Sudut pandang orang kedua, narator termasuk ke dalam cerita,” ujar
Indra. Seperti yang sudah-sudah, Almer lancar dalam mengungkapkan ceritanya. Kalimatnya
sederhana dan minim kesan dibuat-buat. Sekalipun ke depannya ia tak ikut writer’s circle, kau berharap akan
membaca lebih banyak lagi tulisannya.
***
Andika! Setelah tiga hari akhirnya kamu menyelesaikan jurnal ini! Kamu
memulai pada sore cerah di Reading Lights dan berakhir pada sore hujan di rumahmu. Bagaimana perasaanmu saat ini?
Capek. Tidak yakin saya sudah melakukan
hal yang betul.
Apa yang membuatmu tidak yakin?
Saya menulis menggunakan sudut pandang
orang kedua dengan alasan yang mungkin tidak jelas. Saat pertemuan writer’s circle, Indra, Dea, Dani, Ririe, Sabiq, dan Almer punya alasan yang jelas
menggunakan sudut pandang itu. Indra karena tokohnya sedang melakukan
percakapan via telepon. Dea, Ririe, dan Sabiq karena tak berhadapan langsung
dengan yang diajak bicara. Lalu Almer karena yang diajak bicara tak bisa
menjawab. Setelah pertemuan writer’s circle berakhir, saya baru menyadari bahwa sudut pandang ini juga bisa dipakai
menggambarkan percakapan dengan diri sendiri.
Coba jelaskan.
Kadang-kadang saya suka bercakap-cakap
dengan diri saya sendiri. Seperti yang kita lakukan sekarang. Ada kalanya saya
ingin bercerita, tetapi sedang sendirian – saat itulah saya berbincang dengan
diri sendiri. Ada kalanya saya ingin bercerita, tetapi ceritanya tak berharga
waktu orang lain – saat itulah saya berbincang dengan diri sendiri. Ketika berbicara
dalam hati pun, saya lebih sering menggunakan kata ganti ‘kamu’ daripada
‘saya’. Terutama untuk memotivasi diri sendiri(!). Saya mulai menulis jurnal
ini dalam keadaan malas dan sendirian, maka saya menggunakan sudut pandang
orang kedua.
Mengapa kamu tidak menulis dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga?
Saat menulis jurnal RLWC, saya selalu
menulis dengan sudut pandang orang pertama, dan itu mulai membosankan. Lagipula
sudut pandang ini kadang-kadang gagal menggambarkan konflik batin seseorang.
Sementara itu, sudut pandang orang ketiga, dalam kasus menulis jurnal RLWC,
membuat saya berjarak dengan apa yang saya tulis. Padahal saya ada di dalamnya.
Hm. Rumit juga ya? Dan sepertinya kamu sudah capek
dan tak ingin menulis lagi. Terakhir
deh, apa yang bisa kamu petik dari pengalaman ini?
Ada berbagai sudut pandang untuk melihat dan mengisahkan
sebuah peristiwa. Carilah sudut pandang yang membuatmu bisa menuliskan sebanyak
mungkin yang ingin kauceritakan.
Andika Budiman adalah seseorang yang tidak pernah mengganti profile picture Facebook-nya.
Langganan:
Postingan (Atom)