Paragraf pembuka cerita kami dicuplik dari novel Ronggeng Dukuh Paruk
yang sedang dibaca oleh Nia. Saya belum membaca buah pena Ahmad Tohari
tersebut, tetapi saya ingat pernah membaca resensinya beberapa tahun silam saat
novel yang mulanya terbit dalam tiga buku ini mulai diterbitkan dalam satu
buku. Sampulnya oranye, si peresensi tak kehabisan kata-kata sanjungan. Tahun lalu
rilis film Sang Penari yang terinspirasi dari cerita Dukuh Paruk. Saya
sempat menonton lalu pulang dengan perasaan kagum dan senang. Ronggeng Dukuh
Paruk yang dibawa Nia pada hari itu adalah edisi terbaru, yang mana
sampulnya bergambar aktor dan aktris dari film Sang Penari. Tanpa
berpanjang-panjang lagi, beginilah paragraf yang mengawali cerita kami:
Salah satu gubuk yang tersisa ketika terjadi kebakaran
besar di Dukuh Paruk terletak hampir terkurung rumpun bambu. Isinya seorang
nenek yang kini tak pernah lagi membuka matanya. Dia hanya bergerak bila ada
yang mengangkat tubuhnya agar segala kotoran di bawahnya dapat disingkirkan.
Sudah lima hari nenek Rasus tidak makan atau minum apa pun. Orang-orang Dukuh
Paruk bergantian menjaga nenek yang dipercaya sudah hampir ajal itu.
Setelah Nia membacakannya beberapa kali, segera kami berkutat dengan
bolpen dan kertas masing-masing. Dea selesai ketika tangan kebanyakan dari kami masih
sibuk mencari titik terakhir. Gagal memikat Dani jadi teman bicaranya, Dea pun
membalik kertas dan mulai
menggambar. Tak seberapa lama, ponsel Nia berdering. Waktu menulis sudah habis. Sekali lagi Dea jadi yang
pertama membacakan tulisannya yang singkat tetapi menyentil:
Padahal maksud pembakaran gubug itu adalah “membakar
semangat”. Tapi mungkin segala sesuatu yang tidak diperhitungkan kadarnya akan
membawa dampak yang berbeda, bahkan bisa jadi sebaliknya. Karena terlalu lama
dan dengan api yang terlalu besar, upaya “bakar semangat” pada gubug
menimbulkan kegosongan. Akibatnya semangat yang harusnya membara dan
menghidupkan malah mendekatkan Nenek Raus pada kematian. Ia jadi tak lagi punya
cukup semangat untuk bergerak atau membuka mata sekalipun.
Sambil menjaga nenek, Rasus menangis tersedu-sedu
menyesali tindakannya yang kurang berhitung. “Neneeek ... ketika membakar gubug
ini aku hanya ingin membakar semangatmu. Aku ingin engkau sehebat Titik Puspa
atau Laila Sari … “
Gambar di balik kertas Dea, gambar Rasus? |
Sapta menawarkan diri membaca selanjutnya. Dikisahkah Abbas adalah seorang
pemuda yang mendapat giliran menjaga nenek Rasus karena kebetulan sedang
menganggur. Begitu Abbas menjejakkan kaki di dalam gubuk nenek, kata yang tiada
henti didengarnya adalah “Haus … haus … haus ….” Mulanya Abbas merawat nenek
Rasus dengan perhatian. Pemuda itu bercerita kepada nenek tentang perempuan
yang akan ia nikahi. Nenek Rasus pun melihat Abbas tidak seperti melihat warga
lain yang menjaganya. Akan tetapi, ketika datang seorang warga desa yang
memberitahu Abbas bahwa gilirannya menjaga nenek diperpanjang, Abbas
mengabaikan kata “Haus … haus … haus ….” Ketika kata-kata itu tidak lagi
terdengar, Abbas memukul kentongan mengabarkan warga desa bahwa nenek sudah
meninggal. Ia lantas bersiap menikahi perempuan idamannya.
“Ceritanya lengkap,” puji Indra. “Ada karakter, plot, dan ending.” Saya
menyetujui. Farida menyukai cerita ini karena plotnya digerakkan tindakan
karakter. Namun Audrey tidak suka karena menganggap logikanya tidak masuk.
Dalam paragraf pengawal cerita, digambarkan sebagian besar rumah di Dukuh Paruh
sudah rata dengan tanah. Ia membayangkan lingkungan di sekitar desa itu sudah
dalam keadaan nol, di mana tidak ada kehidupan sehari-hari seperti pernikahan
atau pekerjaan. Tanpa ada lapangan kerja, Audrey percaya yang menganggur seharusnya
bukan hanya Abbas. Kritik Audrey ini menarik, karena justru menunjukkan
perbedaan interpretasi masing-masing peserta terhadap paragraf paragraf pembuka
cerita.
Perbedaan ini bisa dilihat ketika membandingkan cerita Nia dengan cerita
Almer. Ketika mendengarkan Nia membacakan tulisannya, saya menangkap bahwa ia
terpengaruh latar cerita yang sudah dibacanya. Dalam cerita yang berfokus pada
nenek ini, Nia tidak lagi detil menggambarkan Dukuh Paruk, ia hanya menulis,
“Rasus pergi meninggalkan kebobrokan Dukuh Paruk.” Sapta pun merasa terkhianati
karena sebelumnya tak tahu bahwa Rasus bukanlah nama nenek, melainkan nama
cucunya. Sebaliknya pembacaan Almer mengejutkan semua orang karena nenek Rasus
dalam ceritanya digambarkan segar bugar. Nenek Rasus tidak mau dirawat warga
bahkan mengajak berdebat seorang warga yang apes mendapat giliran. Almer
menulis serta membacakan perdebatan ini dengan baik. Di satu sisi perdebatan
antara Nenek Rasus dengan protagonis Almer terasa absur karena tidak mungkin
terjadi di Dukuh Paruk. (“Gua rasa terjadinya mungkin di Jerman,” ujar Dani.
“Soalnya logika-logika neneknya, mirip logika Heidegger.” “Hai, seger,” sahut
Dea.) Namun di sisi lain, ini termasuk momen menyenangkan writer's circe: ketika sebuah
tantangan menulis memunculkan sebuah tulisan yang lain dari tulisan peserta
lainnya. Meskipun - secara halus - Indra mengatakan bahwa pesan-pesan dalam
dialog Almer dapat juga disampaikan dengan tak begitu tersurat, tulisan Almer
menjadi personal favorite saya pada sore itu.
Berikutnya saya ingin membandingkan cerita Sabiq dengan Audrey.
Masing-masing menunjukkan potensi, walaupun sore itu keduanya kurang luwes
menggulirkan cerita. Sabiq mengaku sebelum sesi menulis ia memiliki ide menulis
tentang badut. Walhasil, Sabiq menulis tentang seorang warga Dukuh Paruk yang
menjadi badut setelah mendapat saran dari nenek Rasus. Sebetulnya cerita Sabiq
cukup masuk akal, tetapi kurang ada greget atau penggambaran yang logis
bagaimana itu bisa terjadi. Tulisannya pendek, kalimatnya banyak bersifat
narasi, ketika selesai di benak saya muncul pertanyaan, “Lho, sudah beres
lagi?” Begitupun dengan cerita Audrey yang berawal dari ide yang rumit. Audrey
menulis tentang pertentangan warga dalam memaknai tradisi Ronggeng Dukuh Paruk.
Banyak jeritan dalam dialog Audrey. Padahal dialog menjerit (jeritan yang
bersahut-sahutan) cukup sulit dilakukan di writer's circle. Selain
karena kita membacakan tulisannya sendiri, dialog menjerit perlu didahului
latar belakang cerita untuk menjelaskan mengapa dialog itu diperlukan. Biasanya penggambaran latar belakang yang
jelas sulit dilakukan dalam setengah jam sesi menulis. Padahal tanpa itu,
dialog semacam ini jadi kehilangan maknanya. Audrey mengaku ceritanya
terpengaruh resensi Ronggeng Dukuh Paruk yang dibacanya di majalah Tempo
beberapa waktu silam.
Apabila dalam menulis perhatian kebanyakan dari kami tertuju pada nenek
Rasus, Rasus, atau warga yang mendapat giliran menjaga nenek Rasus, perhatian
Indra tertuju pada kebakaran yang terjadi di Dukuh Paruk. Alih-alih dialog,
cerita Indra banyak menggunakan kalimat berita. Ceritanya jadi seperti wacana. Alasan Indra
adalah ketika sesi menulis dimulai ia sempat menanyakan di mana letak Dukuh
Paruk. (“Jawa,” jawab entah Nia atau Dea.) Rupanya Indra merasa tidak percaya
diri bisa menulis dialog berbahasa Jawa. Padahal dalam novelnya dialog sebagian
besar justru menggunakan bahasa Indonesia dengan sedikit selipan bahasa Jawa.
Seperti komentar Dani, Indra benyak berfilosofi. Begini
ceritanya berakhir: Adalah bohong bila kebakaran tersebut mengangkat seluruh
warga Dukuh Paruk hingga bangkit dari kenestapaan. Namun, paling tidak, ia
membantu membuat warga Dukuh Paruk menyadari bahwa hidup memang penuh derita
dan tidak ada yang pantas dilakukan dalam hidup kecuali disertai dengan
pembongkaran, penghapusan, pembangunan kembali, pengkajian ulang, penyusunan,
pembangunan ulang, pengerjaan ulang, pembentukan kembali, dan segala macam
bentuk upaya manusia lainnya yang tak pernah usai dan tak pernah sempurna.
Tulisan Indra |
Pembacaan Farida membuat kami sulit berkata-kata. Dalam paragraf pengawal
cerita dideskripsikan bahwa Nenek Rasus tidak pernah lagi membuka matanya.
Setelah delapan orang dengan karya masing-masing, Farida mengangkat bagian yang
belum disentuh yang lain: mimpi-mimpi nenek Rasus. Tulisan Farida campur aduk
antara masa muda nenek, pengalaman menyenangkan, ingatan buruk, kondisi saat ini. Semua yang
ada dalam kepala nenek tertuang lewat pilihan kata yang apik. Ketika banyak di
antara kami yang mengakhiri cerita dengan kematian atau kepergian nenek Rasus,
Farida justru membiarkan beliau dalam keadaan bermimpi. Satu jempol dari saya
untuk Farida.
Sebagaimana tulisan Farida, tulisan saya juga membuat orang sulit
berkata-kata. Saya curiga bukan karena hasilnya sebagus Farida, melainkan karena
memang kata-katanya sudah habis saja. Saya adalah pembaca cerita kesepuluh. Dan
tema ceritanya pun menurut saya biasa. Kalaupun ada yang terkesan, maka itu
adalah saya sendiri. Kesan saya
bukan pada tulisan saya, melainkan pada latihan menulis ini. Sudah lama saya
tidak menulis cerita pendek, dan kali ini saya menulis agak panjang. Almer
bilang bisa membayangkan apa yang saya deskripsikan. Ini membuat saya senang,
karena ketika awal-awal ikut writer's circle kemampuan deskripsi saya
bukan sesuatu yang jadi bahan omongan.
Saya lupa kapan terakhir menulis jurnal RLWC. Eh, tunggu dulu. Sekarang
saya ingat. Kalau tidak salah waktu itu tema latihannya adalah bercerita
tentang akhir suatu masa. (Paling tidak begitulah rencananya, pada akhirnya
semua peserta menulis tentang cinta.) Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya mesti menyampaikan betapa senangnya saya mendapat
giliran mengisi lagi jurnal ini. Awalnya saya ragu,
tetapi rupanya mendengarkan cerita teman-teman kemudian menceritakannya lagi
adalah suatu kesenangan. Saya
harap semua orang datang lagi minggu depan.
Andika Budiman adalah mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, essay ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, kritik serta saran-sarannya sangat berguna dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup.