“Mereka yang beruntung adalah yang tidak dilahirkan ke dunia dan yang mati muda, sedangkan yang tidak beruntung adalah yang mati tua.” Itulah kata-kata Sok Hoe Gie. “Kematian” itulah yang menjadi tujuan akhir setiap hidup manusia. Tapi pertanyaannya, kapan kita akan mati?
Waktu menunjukan pukul 17.00 ketika saya sampai di RLWC. Di sana sudah tersedia Nia Janiar, pasangan Rizal Affif & Neno, dan Farida Susanty yang sedang bercanda untuk memulai sesi RLWC kali ini. Entah siapa yang memulai tetapi kali ini tema yang kami pilih adalah sudden death. Waktu sebanyak 30 menit diberikan untuk mulai menulis.
Rizal membawa kita semua kepada dunia keluarga yang terdiri dari 3 orang anggota; Yusuf, Fatimah dan si kecil buah hati keluarga itu. Dunia memang tidak adil, si kecil yang baru berumur beberapa bulan meninggalkan keluarga tersebut dan membuat kebahagiaan hancur berkeping-keping. Semenjak itu Yusuf menyalahkan Tuhan, Yusuf menyalahkan Fatimah, dan Fatimah hanya membisu menahan pekikan caci-maki dari Yusuf.
Yusuf kian hari semakin menjadi-jadi, kekerasan menjadi kegiatan sehari-hari di saat makan, mandi, tidur, dan bahkan ketika Fatimah memohon kepada Tuhan. Yusuf, ketika pulang dari mabuknya, mulai memukuli Fatimah dengan botol. Kesedihan yang tidak tertahankan membuat Fatimah berteriak dan menangis.
Kepanikan adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah Yusuf ijinkan masuk ke dalam dirinya, begitu juga Fatimah. Yusuf mencoba menghindari caci maki tetangganya dan mencoba membekap Fatimah dengan bantal. Ketika itu Yusuf melihat anaknya di dalam lorong di tempat yang terang, ketika Yusuf mencoba menggapainya namun ia terjatuh ke dalam kegelapan. Cerita ditutup dengan Fatimah yang digiring polisi dan mayat yusuf yang tertusuk pecahan botol di matanya.
Moral of the Story: Jangan minum dengan botol beling, tetapi cukup kaleng alumunium.
Farida memilih menjadi korban akan kematian mendadak. Ia adalah seorang yang sudah bosan akan kehidupan sehari-harinya. Pagi hari, bangun, sarapan, mandi , siang hari, makan, malam hari, makan malam, dan tidur. MONOTON, itulah yang dibenci sang aku yang menginginkan kejutan sesuatu yang berbeda. Namun kejutan yang seharusnya membuat dia tertawa terbahak-bahak, senang, dan bahagia, malah tidak untuk kali ini.
Dalam hari yang gelap hujan sang aku pulang ke rumahnya yang sudah dia tinggali selama bertahun-tahun. Ketika sang aku masuk ke dalam rumah, dia mendapati sesosok wajah baru yang dia tidak kenal. Tidak sedetik sang aku sudah kehilangan lehernya. Bahkan dia tidak sempat tertawa terbahak-bahak atau bahagia karena “kejutan” ini.
Moral of the Story: Rutinitas tidak membunuh, kejutanlah yang membunuh.
Janiar memang menyukai alam. Dia juga mungkin menyukai lelaki alam: mendaki gunung. Radit dan ketiga temannya menembus hutan mendaki gunung untuk mencapai telaga yang konon airnya semerah darah. Tentu saja perjalanan ini tidak 1 atau 2 jam tetapi butuh waktu berhari-hari. Radit dan teman-temannya memutuskan untuk berkemah saat hari sudah gelap, terlalu berbahaya untuk melanjutkan di dalam kegelapan. Akan tetapi dalam kegelapan binatang liar masuk ke dalam tenda dan mengais-ais tas Radit dan kawan-kawan. Dilemparkan sebuah pisau dan binatang itu lari kesakitan. “Itu babi hutan!” kata teman Radit. Ketika semua telah siap pergi, Radit mencari-cari pisau di dalam tasnya dan teman-temannya telah mendahuluinya. Namun Radit tidak pernah menyusul teman-temannya karena alih-alih pisau, ia malah mendapatkan “dewa kematian” yang berupa ular kecil nan berbisa. Dan Radith akan selamanya menjadi lelaki alam.
Moral of the Story: Nature sucks, City GOOD …
Saya ingin mengetahui bagaimana menjadi Tuhan. Apa yang Tuhan rasakan ketika mencabut nyawa seseorang? Sang aku adalah tuhan, aku membawa kita mengenali rencana Tuhan mengambil nyawa seorang suami bernama Hendra yang bangun pagi dan hendak bersepeda. Aku menginginkan Hendra dengan rencana yang telah Aku persiapkan dengan matang untuk mengambil kembali Hendra dari dunia manusia. Kubuat istri Hendra yang seharusnya bangun pagi dan bersepeda bersamanya tidak mampu bangun dilanda rasa kantuk.
Hendra harus sendirian bersepeda lalu Kubuat Brian—pemuda yang baru saja malam sebelumnya patah hati semakin sedih hingga bermabuk-mabukan dan pulang dengan pikiran muram. Kubuat adik-kakak yang bermain di pinggir jalan raya berkelahi sehingga sang adik melompat ke jalan menghindari pukulan sang kakak. Brian terkejut akan sang adik yang lari ke tengah jalan. Mobil Brian berhasil menghindari sang adik, tapi tidak Hendra yang sedang bersepeda.
Adegan ditutup dengan sang Aku melihat keadaan dunia; sang adik yang menangis ketakutan dan orang tuanya berlari menghampiri ketakutan, Brian yang berteriak akan penyesalan, bunyi telepon ke ambulans dan polisi, dan dalam beberapa saat kemudian akan Kudengar teriakan tangisan istri Hendra.
Moral of The Story: Jangan bersepeda jika istri masih mengantuk.
Manusia hidup bersama waktu, tapi kapan waktu akan meninggalkan manusia ?
Sekian jurnal RLWC untuk Sabtu, 19 november 2011.
Ryan Marhalim. Seorang bocah dengan banyak impian. Salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).