Sabtu, 15 Januari 2011

Merekayasa Dongeng


Sabtu, 08 Januari 2011. Akhirnya setelah sekian lama saya telah kembali ke komunitas menulis ini, tidak terasa sudah setahun saya bersama dengan mereka. Ketika saya datang Andika, Rizal, dan Dani sudah hadir di RL bagian depan. Mereka menyalami saya selamat tahun baru (itu yang saya ingat). Tak lama kemudian Dani menyuruh kami berempat untuk cepat naik, tak lain alasannya karena datangannya Nia. Mungkin Nia dan Dani merupakan musuh bebuyutan, tak heran Dani datang dengan membawa busur panahnya. Rupanya hari itu Reading Lights cukup penuh, karena di tempat bagian belakang—tempat yang biasa kami menulis—dipenuhi oleh komunitas lainnya. Akhirnya kami memutuskan untuk ke lantai atas sebagai markas besar komunitas menulis kami. Tak apalah walapun hanya lima orang, markas besar tetap markas besar.

Dari lima orang yang hadir, hanya dua orang yang primitif yang menulis dengan buku dan bolpen, sedangkan sisanya dengan laptop. Tapi ternyata tidak, Dani berbaik hati untuk menulis secara primitif juga. Tibalah kami pada sesi mencari topik dan tentu saja ini adalah sesi yang tersulit karena topik itu sulit ditentukan. Akhirnya saya sabagai pemimpin (maunya) mengajukan topik rekayasa dongeng dan cerita rakyat. Hal ini muncul di pikiran saya karena saya baru saja membaca buku yang berjudul The Book of Lost Thing yang juga menceritakan sebuah cerita dan dalam cerita tersebut dimasukan unsur-unsur dongeng. Mereka semua setuju, akan tetapi ada suatu hambatan yaitu bahwa pengetahuan kami terhadap dongeng tidak begitu “tinggi”.

Setelah sekian lama (saya skip waktu menulisnya karena memang makan waktu yang cukup lama) menulis, akhirnya kami tiba pada sesi membaca. Oh, perlu diketahui bahwa Sapta dan Uli datang di tengah-tengah kesibukan mereka (walapun saya tidak yakin mereka sibuk). Nia menjadi orang pertama yang membacakan karyanya tentang Sangkuriang. Nia mengubah cerita ini menjadi incest yang benar-benar terjadi antara Sangkuriang dan ibunya, sedangkan sang anjing memiliki keturunan lain setelah kabur dari Sangkuriang. Akhir dari kisah ini adalah anak hasil hubungan Sangkuriang dan ibunya terluka dan dimakan oleh keturunan dari anjing—sang ayah Sangkuriang.

Berikutnya Sapta yang menjadi orang kedua yang membacakan karyanya. Terlihat gayanya disini—sadism—Sapta mengambil cerita Timun Mas sebagai rekayasanya. Akan tetapi disini yang diceritakan adalah tentang keturunan Timun Mas yang ke-7 yang sangat ambisius, sehingga dia berniat mengangkat Buto Ijo yang tenggelam ke permukaan laut untuk membuktikan kepada dunia bahwa Buto Ijo itu ada. Tragis nasib sang keturunan, atau memang sengaja dibuat tragis, dan sepertinya memang sengaja dibuat tragis oleh Sapta, sehingga ketika bangkai Buto Ijo mencapai permukaan laut dan ditaruh di daratan. Buto Ijo kembali bangkit dan memakan keturunan Timun Mas ini, dengan sumpah serapah, dan Sapta menggambarkan dimakannya keturunan Timun Mas ini seperti kita memakan kacang. Dan itulah cerita sadis Sapta. Hati-hati dengan orang ini.

Dan kali ini adalah giliran Andika yang ternyata mengambil Timun Mas juga. Cerita Andika me-modernisasi cerita Timun Mas dengan mengganti dengan ayah Timun Mas adalah seorang arsitek terkenal yang berselingkuh dengan pembantunya sehingga menghasilkan anak dan istrinya yang merupakan seorang sastrawan. Pada awalnya mereka menolak anak tersebut, akan tetapi karena mereka menginginkan anak itu, maka mereka setuju untuk mengadopsi anak ini menjadi anak mereka. Sang pembantu setuju dengan syarat uang dan ketika anak tersebut berumur 10 tahun, ia akan mengambil kembali. Singkatnya setelah lewat 10 tahun, anak ini dibawa dengan paksa. Pada waktu dibawa, anak ini dibekali dengan alat-alat sama seperti Timun Mas. Dan dimulailah kekonyolan saat dimana anak itu berlari, dia melemparkan alat-alatnya yang menjadi lumpur, bonteng, dan laut. Perubahan cerita yang logis dan serius menjadi serba sihir membuat cerita ini sangat konyol. Akhirnya cerita tamat sesuai dengan dongeng Timun Mas.

Tiba giliran Dani. Ceritanya cukup sederhana karena Dani mengambil cerita The Beauty and The Beast. Disini Dani mengajak kita untuk menjadi orang ke-3, menjadi tokoh baru dalam cerita tersebut. Dani membuat cerita ini kelam dengan membuat bad ending, sehingga judul ceritanya adalah The Beast and The Beast. Karena pada akhirnya The Beauty yang dijual ke kastil The Beast ikut menjadi The Beast dan memburu ayahnya yang menjualnya.

Akhirnya tiba giliran saya yang mengambil cerita Peter Pan. Akan tetapi saya mengganti Peter Pan ini sebenarnya adalah monster jejadian yang kerjanya memangsa anak kecil, membujuk mereka ke Neverland untuk dimakan dan tidak pernah kembali lagi (sehingga menjadi asal usul Neverland). Tapi sepertinya saya gagal membuat cerita ini kelam karena mereka semua tertawa mendengar saya bercerita. Mungkin yang salah adalah penggunaan bahasa penulisan kali ya?

Terakhir Rizal. Dia cukup pusing untuk dongeng sehingga Rizal memutuskan untuk membuat historical fiction. Perang para sunan dengan syekh menjadi inti ceritanya. Rizal menggambarkan betapa rumitnya keadaan perang waktu kerajaan Demak menyebarkan Islam. Pada akhirnya, cerita ini berakhir sesuai dengan cerita sebenarnya, yaitu kekalahan sang syekh.

Uli, yang datang paling terakhir tidak menulis, karena sudah tidak sempat lagi.

Menurut saya, kelemahan yang tampak adalah pengetahuan kita akan dongeng terlalu sedikit sehingga kurang begitu baik dalam merekayasa dongeng. Dan inilah jurnal dari saya.



K. Ryan Marhalim. Seorang bocah dengan banyak impian. Salah satunya untuk menjadi penulis novel ternama bak Pramoedya Ananta Toer. Kegiatannya selain menggentayangi Reading lights Writers' Circle adalah menghadiri sebuah kelompok okultisme (occultism).

2 komentar:

mcmahel mengatakan...

I wish I was there!

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

Hayo dong, Mahel, ke Bandung :)