Jumat, 19 November 2010

Dilarang Membawa Makanan dari Luar!

Tidak seperti judul di atas, hari ini kami melakukannya di Reading Lights.

Sore itu, ruang belakang Reading Lights tidak kosong seperti minggu lalu. Ada beberapa orang di bangku merah, bangku yang minggu lalu kamu duduki. Saya orang pertama yang datang, Rizal setelahnya, disusul Farida. Akhirnya sofa oranye dipilih menjadi tempat kami melakukan acara menulis bersama.

Persiapan yang tidak matang terlihat saat masing-masing diantara kami bertanya “ Hari ini temanya apa?”. Awalnya saya mengajukan tema ‘menulis dari lukisan yang saya pilih, dikarenakan lukisan di ruang atas tidak boleh di pindah dari tempatnya maka niat ini urung dilaksanakan.

Ryan datang. Setelah menyapa sekumpulan orang di bangku merah - yang ternyata dikenalnya – akhirnya gagasan tema hari ini muncul. Terinspirasi dari
Filosofi Kopi Dewi Lestari yang telah dibacanya, maka benang merah tulisan kami dalah filosofi (tentang) makanan. Waktu yang disepakati adalah 30 menit.

Diantara waktu menulis, berdatangan anggota RLWC yang lain. Nia, yang tampak lelah karena harinya dihabiskan untuk mengikuti workshop tentang anak autis. Uli datang beberapa menit setelahnya, Kebalikan dari Nia, Uli datang dengan sumringah. Dani adalah anggota yang terakhir hadir, berbeda dari biasa, hari ini Dani kelihatan tenang.

Banyaknya
Intermezzo membuat 'kesepakatan waktu' yang ditentukan mengalami perpanjangan. Hanya lima menit! tapi ini berarti bagi kami.


Akhirnya tuliskan kami siap dihidangkan! Siap disantap, selanjutnya dikunyah, ditelan, dan cerna sebagai masukan, kritikan atau (bahkan) penjabaran.

Karena ide awalnya datang dari Ryan, dialah orang yang pertama menyuguhkan filosofi makanannya, dengan gaya retorikanya Ryan menyuguhkan pisang sebagai santap pemubuka kami. Saya yang kemudian menyusul menyuguhkan ayam panggang untuk disantap, selanjutnya Rizal menyuguhkan minuman berupa espresso & latte.


Tidak adil rasanya bila kita hanya memakan sesuatu yang enak saja. Karena ini hidup, kita harus realistis, Farida dan Nia memperhitungkan alasan ini. Suguhan selanjutnya tidak begitu menyenangkan; Farida membawa makanan-makanan tidak enak, seperti coklat hambar dari warung, sementara Nia menyuguhkan jengkol untuk menjadi sebuah filosofi hidup seseorang yang sedang tinggal di luar negeri.


Untunglah ada Uli. Makanan selanjutnya yang dihidangkannya adalah kulit bebek
Duck King dan kulit ayam KFC. Penuturan cerita yang dibuatnya seperti membawa kita menyaksikan film kartun ‘Born To Cook’. Kudapan berupa biskuit melengkapi ‘perjamuan malam’ ini. Dani menjadikan biskuit sebagai makanan yang dipilih sebagai filosofi di ceritanya.

Setelah kami kenyang dengan semua hidangkan yang di bawa masing-masing anggota, mulailah kami menganalisa sebuah pertanyaan. Saya sendiri tidak begitu mengerti mengenani filosofi sehingga muncul pertanyaan “ Apa bedanya filosofi dengan analogi?”

Penjelasan Uli mengenai Filosofi saya simpulkan menjadi penjelasan yang ‘tak membingungkan’ bila dibanding saya harus mengenal atau memahami filosofi secara filosofis. “Seorang Filosof yang akan kita antut dan dipilih adalah berasal dari seorang Filosof yang penjelasannya atau penguraiannya bisa dimengerti, karena filosofi adalah tentang kecintaan.”

Akhirnya pertemuan berakhir. Karaoke, makan sushi, PVJ dan menyendiri adalah acara yang di pilih oleh para anggota secara terpisah sebagai acara lanjutannya.





Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Minggu, 14 November 2010

Pembatasan Yang Tidak Membatasi

Jika biasanya para anggota Reading Lights Writers' Circle (sebagian besar) duduk di kursi saat menulis, maka pertemuan tanggal 6 November 2010 dapat dikatakan agak tidak biasa. Kami menemukan setumpuk bantalan duduk saat kami berpindah ke lantai kedua toko buku Reading Lights untuk menulis sehingga pada akhirnya kami mengatur kembali susunan perabot agar kami semua dapat duduk di lantai (atau paling tidak di bantalan). Ada pendapat yang menyatakan bahwa perubahan situasi seperti ini dapat memacu kreativitas. Entah benar entah tidak, yang jelas semua orang tidak kesulitan menemukan gagasan saat kami mulai menulis.

Kembali ke awal pertemuan, Neni sempat menggoda Sapta dengan permintaan untuk "menentukan batasan" sebelum kami semua masing-masing menuliskan tema untuk dimasukkan dalam undian hari itu. Celetukan ini mengilhami saya untuk menulis "pembatasan" dalam kertas undian saya, dan ternyata kata ini terpilih menjadi tema penulisan. Tanpa pikir panjang, saya mengutarakan hal pertama yang terlintas dalam benak saya, yaitu keterbatasan barang-barang konsumen seperti yang dialami rakyat Uni Soviet saat negara komunis itu masih berdiri karena sumberdaya ekonomi di sana lebih diarahkan untuk mendukung kinerja industri berat. Dari gagasan dasar ini saya mengusulkan bahwa "pembatasan" di sini mungkin dapat diartikan sebagai suatu halangan yang bukan berasal dari keterbatasan sejati, melainkan dipaksakan oleh suatu faktor dari luar.

Terdengar rumit, memang, tetapi--seperti telah saya katakan sebelumnya--tampaknya tidak ada yang kesulitan menemukan gagasan dari titik mula ini, termasuk Andika yang datang saat semua peserta yang lain sudah hampir selesai menulis. Kemunculannya merupakan satu lagi kejadian tak biasa yang mewarnai hari itu karena sebelumnya Andika tak pernah muncul dalam pertemuan RLWC sejak ia mengundurkan diri dari jabatan fasilitator beberapa bulan yang lalu.

Sementara Andika mulai menulis, Neni membuka sesi pembacaan dengan sebuah monolog tentang seorang wanita yang merasa tersanjung bercampur jengah atas banyaknya orang yang telah melihat, mengamati, dan mencoba menggali arti di balik senyumnya selama beberapa ratus tahun. Wanita ini ternyata Mona Lisa yang terabadikan sekaligus terpasung dalam bingkai lukisan sejak mata kuas Leonardo da Vinci menorehkannya di atas kanvas berabad-abad yang lalu.

Berikutnya, Sapta membawakan sebuah cerita tentang seorang wanita berjilbab yang hendak mengubah penampilannya. Tetapi, walaupun ia sudah bersusah-payah mempercantik dirinya dengan sepatu bertumit tinggi, dandanan yang indah (termasuk tatanan rambut yang dipamerkannya tanpa kerudung), dan baju baru dengan potongan yang provokatif, pada akhirnya ia dihadang di pintu depan oleh suaminya yang baru saja pulang dari suatu urusan di luar rumah; lelaki ultra-konservatif itu langsung menampar si wanita dan menghardiknya untuk mengenakan jilbabnya kembali. Pujian datang dari Nia dan Neni karena menurut mereka cerita ini benar-benar dapat menggambarkan jalan pikiran seorang wanita, terutama saat si tokoh utama berandai-andai tentang berbagai cara yang hendak digunakannya untuk memikat lelaki di luar rumah nanti.

Lalu Dini membacakan sebuah cerita dengan nafas fantasi yang sangat kental. Dikisahkan ada suatu keluarga kecil di negeri makhluk jejadian (shape-shifters). Kehidupan sehari-hari keluarga ini terganggu saat naga peliharaan sang raja mengamuk akibat tersedak batu permata yang ditelannya. Adik si tokoh utama--seorang (atau seekor?) anak (makhluk?) kecil yang terobsesi dengan ekor berbagai macam hewan--menghambur keluar untuk mengejar ekor si naga, sehingga si tokoh utama terpaksa menyelamatkannya sememntara sang ayah mengakhiri amukan sang naga dengan cara manjatuhkan sebuah tiang bangunan di atas perut naga tersebut agar batu permata di kerongkongannya kembali terdorong keluar. Berbagai tanggapan yang muncul umumnya setuju bahwa cerita ini berhasil menampilkan interaksi dalam keluarga dengan manis, tetapi bagian pembukanya agak membingungkan karena begitu banyak nama dan tempat baru yang diperkenalkan di dalamnya. Sempat terlontar wacana bahwa cara untuk menghindari masalah ini adalah memapas dan /atau menggabungkan segala macam nama, tempat, dan kejadian yang tidak benar-benar memegang peranan inti dalam cerita sependek ini.

Kisah keempat yang dibawakan oleh Nia mengambil latar kerusuhan etnis di Sampit (2001) antara suku Dayak dan suku Madura. Di tengah kekejaman dan penderitaan dalam peristiwa ini, diceritakan ada seorang lelaki yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan anak-anak kecil yang terlantar dari kedua suku. Lelaki ini menelusuri reruntuhan sebuah kampung untuk mencari satu lagi anak yang dapat diselamatkannya; saat ia memasuki sebuah rumah, tiba-tiba ada satu sosok kecil yang muncul dari persembunyian. Sayang sekali cerita berakhir di sini karena Nia kehabisan waktu. Semua peserta yang lain pun masih merasa penasaran tentang sosok kecil yang tak sempat diceritakan ihwalnya itu.

Rizal, pada giliran kelima, mengisahkan seorang pria yang begitu kesal dengan batasan-batasan waktu yang dikenakan kepadanya hingga ia sengaja memberontak dengan melanggar berbagai macam jadwal dan tenggat waktu dalam hidupnya. Tentu saja hal ini tidak begitu baik bagi kariernya maupun hubungannya dengan orang lain, tetapi baginya semua itu adalah harga yang setimpal bagi kebebasan yang didapatkannya dari kungkungan waktu. Kebiasaannya ini begitu meresap hingga iapun tak pernah langsung mengangkat telepon yang masuk; pada suatu hari, tindakan ini berakibat fatal saat ia baru mengangkat teleponnya setelah panggilan diulang beberapa kali dan ternyata seorang dokter telah berusaha menghubunginya sejak tadi tentang ibunya yang sakit parah. Begitu mendengar berita ini ia langsung bergegas pergi dan berharap bahwa kali ini adalah pertama kalinya ia mampu tak terlambat dalam hidupnya, tetapi dalam perjalanan ia malah tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan Sang Maut menjemputnya dengan kata-kata "Waktumu telah habis."

Dalam cerita keenam yang saya tulis, seorang pengembara mendatangi sebuah desa yang begitu kekurangan kayu bakar hingga satu-satunya api besar yang boleh dinyalakan adalah perapian di kedai yang merangkap sebagai balai desa. Ternyata ada segerombolan makhluk besar yang menyerang penduduk desa setia kali mereka keluar untuk mencari kayu bakar, dan si penjaga kedai menjelaskan kepada si pengembara bahwa kejadian seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Keesokan harinya si pengembara pun menunda perjalanannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang makhluk-makhluk yang mengganggu desa ini. Seperti halnya cerita Nia, cerita ini terpotong di tengah jalan karena keterbatasan waktu--suatu hal yang memicu diskusi tentang panjang yang "tepat" dan "alami" bagi setiap gagasan cerita. Ada pula beberapa komentar yang membahas cara cerita ini memasukkan rincian-rincian kecil tentang kejadian di sekeliling tokoh utama, terutama dalam kaitan (dan perbandingan) dengan cerita dari Dini.

Sebagai penutup, Andika mengisahkan seorang anak lelaki yang merasa kesal karena kakaknya (juga lelaki) yang beranjak remaja tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Ia tak mengerti mengapa kakaknya selalu mengunci kamar dan memutar musik keras-keras atau asyik mengobrol dengan teman-teman yang tak pernah diperkenalkannya kepada adiknya. Pada suatu hari, si adik memberanikan diri untuk mengintip ke dalam kamar baru kakaknya saat ia melihat bahwa tirai jendela luar tak sepenuhnya tertutup, dan betapa kagetnya ia ketika ia sadar bahwa di dalam kamar kakaknya yang telanjang bulat sedang mencium seorang teman lelakinya. Peserta yang lain bergurau bahwa cerita ini diangkat dari pengalaman adik Andika walaupun tokoh si adiklah yang kebetulan mendapat nama "Andika" dalam kesempatan ini.


Selama beberapa tahun terakhir Pradana Pandu Mahardhika telah berusaha untuk menaklukkan dunia, menjadi penulis profesional, dan melakukan penelitian pribadi tentang beberapa sisi sejarah yang tak umum dibicarakan, tetapi sejauh ini ia masih jauh lebih berhasil dalam mempelajari seni panahan daripada dalam upayanya untuk mancapai tujuan-tujuan tersebut.

Selasa, 02 November 2010

Bahagia Dalam Bencana

30 Oktober 2010. Langit tampak muram—mungkin masih berduka bagi Negeri kita yang berulang kali ditimpa bencana. Saya sedang duduk manis di angkot Cicaheum-Ciroyom ketika, pukul 4 teng, ada SMS masuk dari Sapta. “Rizal Affif, di mana lu?”

Ternyata, di RL, baru Sapta yang datang. Saya yang datang pukul 4 lebih 5 terheran-heran melihat Sapta yang berantakan seperti baru kena bencana. Giliran saya bertanya, “kenapa lu?” Tidak lama setelah saya, Tegar datang. Tapi karena masih sedikit yang datang, ia izin ke depan.

Seperti biasa saya mengobrol banyak dengan Sapta, dan waktu pun berlalu. Setengah 5 sore, dan belum ada yang datang lagi. Pukul 5 kurang 10 menit, Nia muncul dan bertanya dengan heran, “kok belum mulai sih?” Ya orang baru bertiga, itu aja Tegar ngabur hahaha... Nia menjatuhkan diri ke kursi sambil mengeluhkan sesuatu, lalu mengeluh tentang disiplin waktu. Hehe, disiplin waktu tampaknya jadi bencana buat Nia hari itu, dan bencana buat kelancaran kegiatan RLWC tentunya.

Kata Nia, hari itu Tegar ingin memberikan tema. Jadi “diseretlah” Tegar dari ruang depan. Ternyata oh ternyata, bencana berikutnya: kata Tegar, ia belum sepenuhnya siap dengan tema yang ingin ia ajukan. Jadilah, daripada semakin berlarut-larut, saya berinisiatif, dengan mempertimbangkan berita dari Wasior, Jakarta, Mentawai, dan Merapi—saya mengusulkan tema BENCANA.

... yang kemudian ditambahkan oleh Sapta, menjadi “bahagia dalam bencana”, supaya ceritanya tidak melulu kelam.

Waktu penulisan pun disepakati selama 30 menit. Satu menit setelah mulai, Dani datang dan langsung menyusul menulis. Dua puluh menit berikutnya, Lulu menyusul dan hanya jadi pendengar.

Pada sesi ini, kami mencoba sesuatu yang baru: cerita kami dibacakan oleh peserta lain. Hal ini diusulkan oleh Sapta dan Nia, karena kata mereka klub ini klub menulis dan bukan klub drama, jadi harusnya karya penulis bisa dinilai terlepas dari bagaimana ia dibacakan.

Supaya adil siapa membacakan karya siapa, maka dilakukanlah pengundian. Pada pengundian pertama, saya dan Sapta kebagian membacakan karya kami sendiri, sehingga dilakukan pengundian kedua. Kami pun bertukar cerita.

Yang pertama membacakan cerita adalah Nia, yang membacakan cerita saya, yang berjudul “Mbah Maridjan”. Cerita ini merupakan gambaran fiktif mengenai menit-menit terakhir kehidupan Mbah Maridjan, bagaimana beliau mengetahui bencana yang akan melanda desanya namun tidak diizinkan berbuat apa-apa; dan bagaimana para Bahureksa mengangkat jiwanya ke Gunung Merapi, menyelamatkannya dan menjadikannya kekal, sebelum awan panas menerjang rumahnya. Cerita ini diikuti dengan pembahasan dan spekulasi lain mengenai kematian Mbah Maridjan; termasuk perdebatan apakah Mbah Maridjan meninggal di kamar tidur atau di kamar mandi.

Yang kedua adalah Tegar, yang membacakan cerita Sapta, yang berjudul “Adila, Shilla, dan Anak Kecil Berkulit Hitam”. Mengangkat tema banjir di Wasior, Papua Barat, cerita ini mengisahkan 3 orang yang saling terpisah: Adila, yang menyaksikan bencana itu melalui layar kaca, sebelum kemudian Ibunya mematikan TV tersebut dan mengisahkan bencana lain dalam hidupnya; Shilla, reporter bencana di Wasior yang senang bisa mendramatisir keadaan di Wasior demi kepuasan pemirsa, dan bagaimana ia terkena bencananya sendiri; serta Anak Kecil Berkulit Hitam, seorang korban di Wasior, yang hanya bisa melihat mayat Ibu dan adiknya dalam diam, berharap ayahnya akan menyelamatkannya. Pertanyaan pertama saya adalah, di mana bahagianya? Sapta bilang yang bahagia adalah si reporter yang bisa mendramatisir bencana untuk kepopulerannya sendiri :D saya juga tadinya berharap akan ada sesuatu yang mengikat ketiga cerita terpisah itu, tapi saya juga setuju dengan Nia: cerita itu bagus.

Yang ketiga membacakan seharusnya saya. Tapi Dani belum selesai dengan ceritanya. Jadi saya pas.

Berikutnya adalah Sapta, membacakan cerita Tegar. Cerita itu mengisahkan tokoh “aku” yang berdiri di tengah pembatas jalan raya dan merasa terancam oleh bunyi sirine yang menghampirinya dari dua arah. Ternyata kedua sirine itu sama-sama adalah sirine patwal yang mengawal mobil pengantin. Nia yang paling pertama protes, “itu bukan bencana alam!”. Tegar berkilah bahwa temanya memang bencana, bukan bencana alam. Saya sendiri tadinya mengira si tokoh aku terjebak di suatu tempat dan sirine itu adalah pertolongan. Justru dalam cerita ini saya kurang menangkap “bencana” yang dimaksudkan. Menurut saya, seharusnya dua iringan pengantin itu harusnya bertabrakan, biar beneran kelihatan ada bahagia dalam bencana, di mana pengantin-pengantin itu bisa mati bersama pasangan. Kata Sapta, “itu mah elu banget.”

Berikutnya, Dani. Meskipun ia belum menyelesaikan ceritanya, ia pun bersedia membacakan cerita Nia. Kali ini, Nia bertutur tentang seorang gadis yang sedang chatting dengan ibunya ketika tiba-tiba terjadi gempa. Terjebak dalam kamar karena pintu yang macet, ia akhirnya malah menjadi satu-satunya orang yang selamat, sementara teman-teman satu kosannya tertimpa reruntuhan saat mereka menuruni tangga. Saya memuji cerita Nia terutama karena penggambaran suasananya yang cerdas, sesuatu yang belum bisa saya lakukan dan masih harus saya pelajari.

Setelah itu Dani masih melanjutkan menulis cerita. Nia beberapa kali protes agar Dani menyelesaikan tulisannya. Sesi itu pun kami selingi dengan Sapta dan Tegar yang membacakan cerita mereka masing-masing, agar lebih terasa soul-nya. Barulah setelah sekitar setengah jam dari berakhirnya sesi menulis. Dani menyodorkan ceritanya pada saya. Saya menolak sebagai bentuk protes keterlambatannya. Tapi Nia yang sedari tadi protes ternyata berbaik hati mengambil cerita itu dan membacakannya.

Dani bercerita tentang dua orang petugas relawan di daerah bencana, bagaimana mereka sebenarnya jengah dengan pekerjaan itu, tetapi kemudian merasa bahagia setelah berhasil menyelamatkan 12 orang. Bagi mereka, menutup pintu ambulans untuk mengantarkan korban selamat adalah kebahagiaan dalam bencana. Sapta yang pertama mengomentari cerita Dani, ia menyatakan bahwa suasana dala cerita itu kurang terbangun. Saya setuju. Dani berkilah ia terpaksa melakukan itu karena waktunya kurang untuk menulis deskripsi situasinya :p Sapta melanjutkan bahwa cerita itu bisa menjadi bagus kalau dijadikan karya visual. Saya berpendapat Dani sebetulnya bisa menyelipkan deskripsi berupa pemilihan kata dalam narasi, jadi tidak perlu membuat deskripsi khusus yang berpanjang-panjang. Namun saya juga memuji bahwa kali ini Dani keluar dari mainstream ceritanya

Sesi kali ini berakhir pukul 7 malam--alhamdulillah, tanpa bencana, tapi dengan kebahagiaan.


Rizal Affif adalah seorang konsultan HR yang sebenarnya lebih mencintai dunia menulis dan web design ketimbang dunia industri. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Selain menulis di RLWC, ia juga secara konstan menulis karya bertema spiritualitas—dan menuangkan eksperimen desain webnya—dalam blognya http://thesoulsanctuary.us. Ia juga sedang merencanakan pembuatan blog mengenai manajemen HR untuk menunjang karirnya.