Sabtu, 26 Juni 2010

Menulis Pidato Pernikahan











Sabtu lalu, butuh perjuangan ekstra untuk mencapai toko buku Reading Lights. Jalanan macet luar biasa. Meskipun sudah beberapa minggu, perbaikan jalan di Simpang Dago belum juga selesai. Rupanya ini berpengaruh kepada jumlah pengunjung yang singgah. Berbeda dengan akhir minggu biasanya, suasana toko sangatlah lengang. Dan barangkali musim Piala Dunia juga membuat orang malas beranjak dari depan televisi.

Menjelang jam lima, peserta writer’s circle yang hadir baru saya dan Hakmer. Semakin lama kami duduk, semakin kosong lagi keadaan Reading Lights. Nyaris hanya saya dan Hakmer. Untunglah kemudian hadir Dani dan Sapta. Kami semua lantas pindah ke dua sofa besar yang saling berhadapan.

Tema pekan ini adalah menuliskan pidato untuk pernikahan teman kita. “Lho, kok temanya kayak gini?” protes Hakmer. “Minggu lalu ‘perubahan’, sekarang pidato pernikahan. Elu kenapa sih?”

Setelah mendapat penjelasan bahwa tema menulis biasanya dipilih secara random – bukan berdasarkan suasana hati si fasilitator – masing-masing mengeluarkan bolpen dan kertas. Kali ini kami menggunakan panduan menulis pidato pernikahan dari About.com. Menurut panduan tersebut, pidato pernikahan sama saja dengan tulisan-tulisan yang lain. Ada bagian pembuka, isi, dan penutup. Apabila seorang teman meminta kita untuk berpidato, sebaiknya kita menuliskan dulu apa saja yang mau dibicarakan. Jangan melakukannya secara impromptu kecuali kalau kita memang pandai berbicara. Langkahnya ada beberapa, yaitu:

1. Jika sebagian besar hadirin tak mengenal kita, mulailah pidato dengan perkenalan diri. Kita bisa menjelaskan secara singkat siapa kita dan hubungan kita dengan pasangan pengantin.

2. Cari satu hal positif (atau lebih) tentang acara pernikahan dan ucapkan dengan tulus. Kita bisa mengatkan betapa khidmatnya upacara yang baru saja kita saksikan, betapa indahnya dekorasi ruangan, betapa cantik dan gantengnya si pengantin, dll.

3. Apabila kita mengenal pengantin cukup lama, kita dapat membagi kenangan yang dilalu bersama, menceritakan kisah pertemuan kedua mempelai. Ingatlah untuk membahas kebaikan yang dimiliki pengantin pria, pengantin wanita, dan kualitas mereka berdua sebagai pasangan.

4. Pidato pernikahan semestinya bersifat hangat, personal, dan singkat. Kecuali kalau kita pelawak, play it straight. Tidak usah terlalu banyak memasukkan lelucon. Terlebih pidato pernikahan biasanya akan diingat terus oleh pasangan pengantin.

5. Kehabisan kata-kata? Kita bisa menggunakan berbagai kutipan tentang cinta di internet.

6. Hal-hal yang mesti dihindari: jangan berpidato saat mabuk, jangan larut membicarakan diri sendiri, jangan membocorkan tentang kehamilan, jangan memberikan tekanan untuk cepat punya anak, jangan membuat lelucon tentang seks dan malam pertama, jangan menyinggung mantan pacar, mantan suami, atau mantan istri.

7. Terakhir, ucapkanlah selamat dengan tulus.

Berhubung hanya bersedikit, kami menulis dengan waktu yang lebih leluasa. Sejam kemudian, tulisan pun siap untuk kami bacakan. Saya pun menawarkan diri untuk membaca pertama. Pidato pernikahan ini ditujukan kepada dua orang sahabat fiksi saya: Johan dan Marian. Saya bercerita tentang pertemanan kami bertiga semenjak SD. Dulu setiap pagi kami mesti berjalan kaki ke sekolah yang jauh. Di tengah jalan Marian sering kelelahan, kalau sudah begini saya dan Johan akan menggendongnya secara bergantian. Kami bertiga melanjutkan ke SMP yang berbeda, tetapi bertemu lagi di Fakultas Kedokteran(!) Rupanya Johan dan Marian masuk ke SMA yang sama dan pada masa itulah mereka mulai berpacaran(!!) Cerita ini terinspirasi film Laskar Pelangi yang diputar SCTV pada malam sebelumnya.

Setelah saya, Sapta berpidato dengan elegan. Isinya menggambarkan pernikahan seorang frenemy; bagaimana pada malam itu si perempuan terlihat cantik dalam balutan gaun putih. Orkestra di ujung ruangan memainkan lagu Linger yang dipopulerkan The Cranberries. Anya, teman Sapta yang sore itu datang, tersenyum-senyum mendengar pidato ini. Ia mengaku bahwa karakter pengantin perempuan sangat mirip dengan dirinya. Hal ini langsung diiyakan Sapta, sambil bergurau ia akan merasa bebas ketika Anya menikah. Penggalan pidatonya akan saya cantumkan di akhir tulisan ini.

Dani lantas membacakan pidatonya. Pidato tersebut disampaikan saat kondisi ‘bangsa kita ibarat bangsa yang terbuang’. Kira-kira Dani menulis, pada saat seperti itu pernikahan adalah sebuah momen berharga untuk dirayakan. Tidak hanya untuk para pengantin, tetapi juga bagi semua hadirin. Pidato Dani ini sebetulnya sangat menggunggah, sayang terlalu cepat berakhir. Ia mengaku terinspirasi serial science fiction Battlestar Galaktika dalam latihan menulis ini.

Pidato Hakmer dibacakan terakhir. Tanpa ampun, Hakmer mengungkap kebobrokan pernikahan di awal tulisannya. Ia mengutip Katherine Hepburn bahwa sebaiknya pria dan wanita tidak usah menikah tetapi hanya bertetangga, di mana yang satu boleh mengunjungi yang lain kapan saja. Namun di tengah-tengah, haluan pidato ini berubah. Hakmer menyatakan bagaimana khusus ‘hari itu’ bayangan buruknya tentang pernikahan tidak terbukti. Pasangan pengantin kelihatan bahagian, dan itu cukup. Dani mengomentari bahwa pidato Hakmer ini akan membuatnya dibenci oleh orang tua masing-masing pengantin.

Kurang lebih begitulah pada suatu sore di Reading Lights Writer’s Circle. Kami sempat berdiskusi sebentar sebelum berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Seperti janji saya, tulisan ini akan nukilan pidato Sapta:

Saya di sini berdiri, tanpa seorang di samping, tapi saya tak sempat merasa sendiri, karena saya terlalu bahagia, melepas temanku untuk membuka gerbang baru di hidupnya.



Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.

Kamis, 24 Juni 2010

Perubahan

Tidak banyak yang berubah di Reading Lights Writers' Circle pada hari Sabtu, 12 Juni 2010, sekalipun tema yang diusulkan oleh Andika adalah "perubahan." Tema yang sulit, memang, karena tidak ada petunjuk yang lebih rinci tentang "perubahan" yang dimaksud, sehingga pada akhirnya tema ini sama saja dengan meminta setiap orang untuk menulis sebuah "cerita" karena toh jarang sekali cerita yang tidak mengandung unsur perubahan di dalamnya.

Mirna, yang didaulat untuk membuka pembacaan karya, membawakan pengamatan pribadinya dalam suatu tulisan yang berbentuk catatan dalam blog atau buku harian. Dalam tulisan ini ia menceritakan perubahan yang dilihatnya dalam penampilan dan jati diri kota Bandung hingga kota ini menjadi terasa asing baginya dan tidak lagi memberikan kesan sebagai "rumah" yang dikenalnya dulu.

Cerita kedua dibacakan oleh Andika. Tema khas Andika, yaitu kehidupan kaum gay, muncul seperti biasa dalam tulisan ini. Dikisahkan ada suatu pasangan gay yang telah lama tinggal serumah; salah satunya selalu menyiapkan makan malam istimewa setiap tahun untuk memperingati hari jadi hubungan mereka. Sayangnya, pasangannya tak pernah mempedulikan isyarat ini, dan bahkan selalu pulang terlambat pada setia kesempatan perayaan tersebut. Cerita ini tidak benar-benar mengandung unsur perubahan, tetapi belakangan Andika menjelaskan bahwa pada awalnya ia berencana menuliskan cerita yang lebih panjang untuk menampilkan awal keretakan hubungan pasangan tersebut secara terbuka.

Thya/Maknyes menceritakan seorang wanita bernama Tamara yang baru saja putus dengan pacarnya. Saat Tamara membicarakan hal ini dengan sahabatnya Laura, terkuaklah rahasia bahwa hubungan Tamara dengan para mantan pacarnya tak pernah bertahan lama karena Tamara sendiri tak pernah memilih lelaki yang akan dipacarinya--selama ini para lelakilah yang selalu mendekatinya. Jelas saja Laura kaget begitu mendengar pengakuan ini karena ia mengenal Tamara sebagai seorang wanita yang cantik dan menarik. Ia lalu membujuk Tamara untuk mulai mendekati lelaki, dan sebagai langkah pertama ia membawa Tamara ke sebuah klub yang sering didatanginya. Di klub ini Tamara berhasil menemukan seorang lelaki yang menarik dan--dengan cukup banyak dorongan dari Laura--berkenalan dengan lelaki tersebut. Gaya khas Maknyes yang penuh humor dan celetukan tentang budaya pop sangat kentara dalam tulisan ini.

Berikutnya, cerita Nia juga menampilkan kecenderungan khasnya untuk menuangkan curahan hati yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Tokoh "aku" dalam cerita ini adalah seorang guru yang bertanggungjawab menangani anak-anak bermasalah. Pada suatu hari ia dipanggil untuk mengurus seorang anak yang bengal dan rewel; sialnya, ternyata anak ini juga suka mengadu jika "aku" bertindak keras kepadanya sekalipun tindakan itu cukup beralasan, dan ibunya begitu buta terhadap kenakalan anaknya hingga ia selalu menyalahkan si "aku" atas kegagalan untuk mengubah perilaku si anak bengal itu. Masalah ini menjadi berlarut-larut hingga "aku" yang awalnya mencintai pekerjaanya lama-kelamaan malah menjadi tegang dan depresif setiap kali ia terpikir tentang pasangan ibu-anak bermasalah tersebut.

Dalam cerita Niken, seorang wanita terbangun dengan rasa mual yang menjadi-jadi dan kemudian muntah-muntah di kamar mandi. Suaminya langsung tergopoh-gopoh membantu dan membawanya ke dokter terdekat karena ia menduga bahwa sang isteri sedang hamil muda. Ternyata, setelah diperiksa, sang isteri dinyatakan hanya masuk angin, dan sang suami tiba-tiba kembali berubah menjadi dingin dan tak lagi sudi membantu isterinya.

Cerita Rizal dimulai dengan pertemuan tak sengaja antara seorang lelaki dengan seorang wanita di sebuah kedai kopi. Pertemuan ini berlanjut menjadi suatu perbincangan yang hangat, dan kemudian menjadi suatu persahabatan yang dilangsungkan melalui pertemuan-pertemuan berikutnya di kedai yang sama setiap hari Kamis sore. Lama-kelamaan sang lelaki jatuh cinta kepada sahabat wanitanya itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena wanita itu ternyata sudah menikah. Belakangan, saat muncul tanda-tanda saat suami wanita tersebut sering menganiayanya, sang lelaki mulai membenci dirinya sendiri karena ia tak berani bertindak untuk mengubah keadaan itu. Akhirnya sang wanita meninggal karena penganiayaan yang didapatnya, tetapi sahabat lelakinya tetap datang ke kedai tempat mereka dulu bertemu setiap Kamis sore untuk memperingati persahabatan mereka.

Saya sendiri menulis cerita tentang seorang terpidana mati bernama Dimitri. Suatu hari ia diseret keluar dari selnya untuk eksekusinya--eksekusi yang ternyata palsu. Belum juga hilang kagetnya karena regu tembak menggunakan peluru kosong, ia sudah digiring ke dalam sebuah mobil hitam yang ditumpangi seorang pria misterius. Pria ini memuji kejahatan yang membawa Dimitri ke penjara (sebuah pembantaian) dan mengatakan bahwa ia mempunyai "cara-cara tertentu" untuk membuat Dimitri menjadi "berguna." Tanggapan terhadap cerita ini pada dasarnya menanyakan bagaimana kelanjutannya, tetapi sayangnya saya sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi kepada Dimitri setelahnya. Ada saran?



Pradana Pandu Mahardika memiliki prinsip 'Kalau tidak ada acara, saya akan selalu datang ke Reading Lights Writer's Circle'. Laki-laki yang pernah berkata bahwa ia tidak menyukai pergi dengan para anggota suatu group lalu membicarakan hal di luar konteks group (misalnya hal-hal personal) ini memiliki kompulsi membeli buku fiksi dan non fiksi. Sudah bisa ditebak kalau ia memiliki koleksi buku banyak sekali.

Sabtu, 12 Juni 2010

Movie Week: Sita Sings The Blues

Rojali dan Juleha, Galih dan Ratna, atau Romeo and Juliet dalam skala internasionalnya, bisa dikatakan sebagai kisah kasih yang tak hanya terjadi di SMA. Kisah mereka bertahan sepanjang masa. Namun bagaimana dengan Rama dan Shinta/Sita? Apakah bisa dikatakan pula bahwa kedua sejoli ini memiliki kisah cinta sejati yang bikin iri semua pasangan suami-istri? Dimana Sita--sang istri--terkenal setia dan Rama--sang suami--sungguh gagah perkasa. Sampai-sampai banyak film India yang menggunakan nama Rama dan Sita sebagai nama karakter yang diceritakan saling mencinta.

Tampaknya hal ini tak berlaku bagi Nina Paley, perempuan nyantey, walaupun pernah patah hatey, yang saya yakin tak suka makan petey. Alih-alih memercayai jargon “kisah cinta terbaik sepanjang masa” untuk cerita Rama dan Sita, ia lebih suka dengan “kisah putus terburuk sepanjang masa”.

Sarkas? Tidak juga. Mari kita selami isi kepala sang sutradara! Akan lebih baik apabila kita memposisikan diri sebagai wanita.

Nina Paley yang patah hati karena ditinggalkan sang (mantan) kekasih menyadari bahwa kisah hidupnya sebelas-duabelas dengan kisah hidup Sita, simbol perempuan suci sekaligus istri berbakti. Sita begitu memuja suaminya, Rama – kesatria yang gagah perkasa sekaligus titisan dewa yang dipuja-puja, yang ironisnya, tak pernah dikenal sebagai suami yang (bahkan mendekati) sempurna. Bukan tak mungkin apabila Rama tak mendapat julukan sebagai suami yang baik karena tak ada catatan sejarah yang menyebutkan tentang itu (nah yang ini mohon dicek kebenarannya). Sebaliknya, justru ia melakukan hal yang paling membuat para istri tersiksa (selain selingkuh, tidak memberi nafkah, tukang mabuk dan judi, poligami, dan KDRT) yaitu menaruh ketidakpercayaan setingkat dengan harga dirinya... tinggiiii sekali.



Sita yang begitu terhormat dan setia pada Rama, bahkan sampai mendapatkan sertifikasi halal dari para dewa, justru tak dipercayai oleh suaminya sendiri yang lebih mementingkan harga diri sebagai pria yang notabenenya lebih tinggi dari wanita. Rupanya diam-diam Rama senang bernyanyi. Dan sebuah lagu yang sangat digemarinya adalah sebuah lagu yang berbunyi ‘wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu’. Namun kepiawaian Rama dalam bernyanyi tak ditunjukkan di sini, karena Sita lah yang memegang peranan dalam menyuarakan isi hati dalam bentuk lagu-lagu syahdu bernuansa biru, yang kita kenal sebagai blues.

Kisah yang seharusnya sedih bila dilihat dari kacamata perempuan justru dibalut dengan suasana ceria di film ini. Hal ini bisa jadi disebabkan karena gambar karakter yang menyenangkan untuk disaksikan dan lagu-lagu yang menenangkan untuk disenandungkan. Sehingga sang creator film ini merasa tak perlu lah lebay sampai menangis bombay demi sebuah cerita sedih.

***

Wayang 1 : “Kalau tak salah, kita mulai jam 4...”
Wayang 2 : ”Jam setengah 5!"
Wayang 3 : “Euuhh... lebih tepatnya jam setengah 5-an!”
Wayang 2 : “Yaah... sebelas dua belas!”
Wayang 1 : “Ngomong-ngomong, siapa saja yang datang ya?”
Wayang 2 : “Andika pasti...”
Wayang 1: “Ya, tentu! Sang fasilitator! Dan sang pembawa film, sekaligus the feminist one, Regie! Oh maaf memotong, silahkan!”
Wayang 2 : “Euuuh... yang perempuan kacamata itu... Maknyus, Maknyos, Nyesmak,...”
Wayang 3 : “Maknyes!”
Wayang 2 : “Oh ya! Nama macam apa itu?! Dia juga membawa temannya, Dita, yang tertidur di salah satu bagian film.”
Wayang 3 : “Ck ck... Kok bisa-bisanya?! Lalu ada Resti.”
Wayang 1 : “Ya... dia datang telat. Daaan... perempuan memakai baju pesta!”
Wayang 2 : “Lia! Haha... dia mau kondangan ternyata!”
Wayang 3 : “Lalu laki-lakinya ada Aji...”
Wayang 1 : “Yang sudah agak gondrong!”
Wayang 3 : “Dan si laki-laki berwajah lucu itu...?!”
Wayang 1 : “Rizal!”
Wayang 3 : “Oh ya! Dan Niken si sarjana psikologi!”
Wayang 2 : “Yang sekaligus berjualan celana dalam!”
Wayang 1, 2, 3 : (Tertawa)
Wayang 2 : “Dan ada dua sejoli yang adem ayem duduk di bagian belakang, Faisal dan Uli!”
Wayang 1 : “Oh well, mereka pasangan!”
Wayang 2 : “Oh pantas mesra!”
Wayang 1 : “Kalau tak salah, ada Theo juga?!”
Wayang 2 dan 3 : “Itu di film!”
Wayang 1 : “Oh maaf, saya suka lupa mana film yang saya tonton, mana kenyataan yang saya alami.”
Wayang 2 : “Kalau tak salah karakter itu namanya Laksmini!”
Wayang 3 : “Come on! Itu mah di Tutur Tinular... musuhnya Mantili! She was Lasmini!!”
Wayang 1 : “Wow, jadi kepikiran! Kalau Nina Baley...”
Wayang 2 dan 3 : “Paley!”
Wayang 1 : “Ya, dia... kalau dia membuat Rama dan Sinta dari sudut pandang perempuan, mungkin ada sutradara perempuan kita, yang bisa membuat versi Catatan Si Boy, namun dari sudut pandang perempuan-perempuan yang dipacarinya."
Wayang 2 : “Lumayan juga idenya.”
Wayang 1 : “Yaa... kita kan punya banyak sutradara perempuan. Seperti Riri Riza, misalnya?”
Wayang 2 dan 3 : “Riri Riza tuh laki-laki!”
Wayang 1 : *benjol


Thya (beberapa memanggilnya Maknyes) adalah insinyur yang sudah sama sekali lupa mengenai ilmu tentang keinsinyurannya dan berjanji tak akan kembali ke bidang itu. Profesinya saat ini adalah penyiar di sebuah radio anak muda di Bandung. Hobi menulisnya dituangkan ke http://rahmathya.multiply.com/ dan khusus untuk cerpen-cerpennya ia tuangkan di http://ceriterathya.blogspot.com/

Sabtu, 05 Juni 2010

Murderous Slasher of Psychopath

Saat itu di daerah Jalan Cipaganti, jam menunjukan pukul 16.45. Saya bergegas mengejar waktu sebisa mungkin karena biasanya jadwal menulis dimulai pukul 16.30, berati saya akan terlambat. Jalan Cipaganti dan Jalan Setiabudi sangat padat merayap luar biasa saat long weekend sehingga saya harus melindas aspal secepat mungkin (dengan penuh kesabaran :D ) untuk segera sampai di Reading Lights (RL)--pikir saya.

Begitu sampai, saya langsung memakirkan kendaraan kemudian bergegas menuju ke lantai dua. Menurut saya, cahaya di ruangan tempat peserta berkumpul itu cukup redup dibandingkan dengan cahaya di ruangan sebelahnya. Pada saat itu acara menulis sudah dimulai. Saat melangkah di lantai dua saya semakin antusias untuk ikut berkegiatan lalu menghampiri lingkaran peserta. Saya melihat peserta kali ini cukup banyak dibanding biasanya lalu menyusul beberapa peserta lainnya setelah saya seperti Sapta, Kiki, Dani, Arifin, dan Fadil. Ah, saya kira saya yang paling terlambat, pikir saya.

Tema kali ini adalah SLASHER. "Wah apaan nih?" tanya saya. Andika langsung menyodorkan selembar kertas dalam bahasa Inggris pada saya berisi panduan untuk mengungkap dan merangkai isi cerita yang akan dibuat mengenai slasher. Slasher adalah sebuah sub-genre dalam film horor dimana yang menjadi daya tarik dalam genre ini adalah aksi sang psikopat yang memburu mangsa, lalu menghabisinya dengan senjata, dan caranya masing-masing. Tentu saja biasanya yang menjadi sasaran adalah pria-pria idiot dan wanita-wanita berdada besar yang selalu lari tidak karuan atau bersembunyi di kolong meja jika sedang dikejar. Singkatnya saya langsung menorehkan tinta pada kertas notes setelah berpikir cukup lama untuk memahami dan mencari ide cerita.

Here is the show. Bagi saya ini adalah durasi terlama dari waktu yang biasanya diberikan Andika untuk menulis. Waktu hampir menunjukan pukul 7 saat cerita mulai dibacakan. Yang mendapat kehormatan untuk membacakan cerita pertama adalah Andika. Tulisannya cukup mengundang rasa keingintahuan saya terhadap ide pengambilan cerita dan tokoh-tokoh yang ia gunakan dalam tulisannya kali ini. Mungkin terinspirasi teroris yang bersebrangan dengan para muslim--gumam saya.

Andika menulis tentang seorang pria Protestan yang memiliki seorang nenek beragama Islam. Si pria tidak pernah sekalipun menginjakan kaki di surau sebelumnya. Hingga pada suatu hari neneknya menyuruh ia mengantarkan minuman ke surau untuk jamaah yang sedang mengaji. Di sana ia bertemu dengan seorang bapak-bapak bersorban yang menahannya untuk ikut sholat berjamaah bersama mereka tetapi si pria menolak keras hingga akhirnya hilang kesadaran karena pukulan keras dikepalanya. Saat sadar kembali, ia sudah diikat serta merasa akan "diislamisasi" tetapi karena tetap menolak si bapak-bapak bersorban itu menghukum dengan mencabut kuku si pria, tetap menolak keras dan si pria berkata 'Yesus', si bapak-bapak itu mengarahkan pisau ke dada si pria.

Sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, datanglah suatu peristiwa yang akhirnya menyelamatkan si pria tersebut. Sebelum ia kehilangan kesadaran karena mencium terlalu banyak CO2, ia melihat seorang wanita renta menyelamatkannya. Saat ia tersadar kembali ternyata neneknyalah yang menyelamatkannya dari peristiwa kebakaran itu hingga si nenek meninggal.

Kini giliran saya yang membacakan cerita mengenai seorang psikopat yang berkepribadian ganda karena memiliki masa lalu yang kelam sebagai seseorang yang hampir dikorbankan pamannya untuk sesajen terhadap setan supaya si paman tetap memiliki kekuasaan memimpin sebuah sekte satanic. Sebenarnya paparan cerita yang saya tulis belum tuntas karena terlalu asyik dengan paparan detail-detail aksi si pembunuh.

Diawali dengan seorang pria yang mengejar-ngejar gadis hingga si gadis tertangkap dan hilang kesadaran saat itu karena hantaman yang besar dikepalanya. Saat gadis itu sadar, ia berada di sebuah ruangan yang bau, kotor, dan menjijikan. Ia terikat di atas ranjang elektrik yang bisa memutarnya ke segala arah hingga ia di posisikan vertikal terbalik lalu si psikopat mulai beraksi dengan menguliti pipinya dan kuping si korban satu per satu. Cerita yang saya bacakan baru saya tulis sampai disitu.

Pembacaan cerita kini beralih pada Sapta yang menceritakan tentang seorang wanita bernama Jasmine yang check in di sebuah hotel dengan seorang pria bernama Danesh untuk memadu kasih. Aktivitas ranjang mereka dimulai dengan permintaan Jasmine yang ingin melampiaskan hasratnya dengan style bercinta ala "penyiksaan". Danesh pun mengiyakan, membuka baju, dan pasrah saat tangannya diborgol oleh Jasmine dan diikatkan ke ujung ranjang sambil terlentang. Danesh tidak sabar melihat aksi Jasmine dan fantasinya mulai meninggi, Jasmine pun memang bukan wanita biasa karena ia langsung mengeluarkan tikus got yang sudah dipersiapkan untuk memenuhi fantasinya.

Serta merta Danesh mengeluarkan sumpah serapah dari mulutnya dan mencaci maki Jasmine atas tindakan gilanya. Danesh mulai panik dan Jasmine kegirangan, aksinya semakin menggila saat mengeluarkan pisau dan mengkebiri Danesh. Kemudian Jasmine mengangkat kursi dan meletakan ujung kaki kursi ke perut Danesh dan mendudukinya hingga perutnya terurai, kemudian ia juga membiarkan tikus got yang ia bawa itu untuk bekerja memenuhi titah tuannya. Setelah cerita dibacakan ruangan cukup ramai dengan komentar para peserta yang mengungkapkan ada unsur yang bisa dijadikan lanjutan dari stensilan atau sekretaris yang dendam terhadap bos nya. Tapi bagaimanapun juga ritme tulisan Sapta sangat rapi dari step awal hingga akhir cerita.

Para peserta semakin menahan nafas ketika cerita-cerita berikutnya dibacakan. Kini giliran Kiki yang duduk di sebelah Sapta dan Anggi yang membacakan cerita. Kiki membacakan cerita mengenai seorang siswi SMU bernama Lisa mendapatkan tugas untuk membersihkan laboratorium Biologi dan keadaan laboratorium saat itu kotor menjijikan. Ia membersihkan sisa-sisa bangkai amphibi yang digunakan untuk praktik dan baunya benar-benar sangat memuakan. Pada saat membersihkan LAB, ia menemukan percikan darah di sudut ruangan dan ternyata percikan itu berasal dari arah seorang guru biologi yang memiliki kelainan psikologis karena ia sedang memakan kodok dengan lahapnya. Degup jantung Lisa semakin kencang ketika melihat sebuah bola mata menggelinding melewatinya. Saat si guru biologi hendak beraksi dengan kegilaannya, Lisa melarikan diri tanpa mempedulikan apa yang telah terjadi pada dirinya mendapati keadaan tubuhnya yang terluka dan tusukan beling di tangannya.

“Tulisannya tidak mengada-ngada dan sangat realistis,” komentar Anggi. Andika manambahkan, “Sangat bersemangat dan menggugah.”

Para peserta semakin dimanjakan dengan cerita bertema slasher ini. Kini saatnya Dani yang membacakan cerita. Cerita diawali oleh seorang klien yang merasa puas sekali dengan baju yang ia gunakan saat fitting di sebuah studio tailor milik pria bernama Pak Hukong. Salah satu karyawan di studio tersebut yang bernama Andrew, merasa terkagum-kagum saat memperhatikan cara Pak Hukong mengepas baju klien yang pikirnya sangat sempurna hingga Andrew tidak tersadarkan sejenak saat Pak Hukong meminta Andrew untuk mencatat beberapa koreksi dari bagian baju yang dirasa masih belum sempurna.

Saat jam 10 lewat, tidak terasa bagi Andrew karena ia tertidur saat menunggu Pak Hukong yang belum pulang juga, terpaksa ia menerima tawaran Pak Hukong untuk menuju ruang studio bawah tanah dan mengerjakan pekerjaan tailor itu sendirian. Tetapi saat Andrew berhasil memasuki ruangan tersebut, sebuah keganjilan terjadi: Andrew melihat sebuah patung untuk mengepas baju yang terlihat begitu nyata seperti manusia. Ternyata patung itu adalah mayat manusia yang sudah diawetkan dan memiliki bentuk badan serta ukuran persis sempurna seperti si klien.
Cerita yang dibacakan Dani dengan sangat tidak terduga. Para pendengar dituntun perlahan untuk memasuki ketegangan pada klimaks yang luar biasa mengejutkan. Menurut salah satu peserta, penggunaan kalimat 'bau formalin yang menyengat' masih kurang tepat digunakan.

Kini saatnya Anggi yang membacakan tulisannya. Kisahnya mengenai seorang wanita yang berprofesi sebagai tour guide yng sedang memandu sekelompok anak remaja melihat-lihat gedung serta goa bersejarah. Ketegangan memuncak saat beberapa orang dinyatakan hilang. Kemudian ia dan temannya, John, mencari orang-orang yang hilang tersebut di dalam goa hingga mereka mendengar jeritan yang memekakkan telinga di dalam goa. Mereka pun menghampiri asal jeritan itu dan tercengang saat melihat sesosok makhuk bertaring, bermata merah, dan mengerikan, sedang melahap tubuh salah seorang korban yang sedang mereka cari. Mereka pun lari tidak karuan di dalam kegelapan itu hingga mendapati Lyn, salah satu rekan mereka, terbaring tidak berdaya dengan keadaan sudah tidak memiliki lagi dada yang selalu dibanggakannya. Di sebelah Lyn terdapat Jonas yang juga sama tidak berdayanya, mungkin karena ulah makhluk mengerikan itu. Saat mereka tercengang, si wanita semakin memekik ketakutan ketika melihat dengan mata kepala sendiri saat John berhasil disandera oleh makhluk mengerikan itu untuk dijadikan korban selanjutnya.

Seperti biasa paparan Anggi sangat rapi dan jelas sekali, setelah sebelumnya Anggi mengeluh untuk menyerah dengan tulisannya kali ini. Tetapi hasil cerita yang dibacakan Anggi justru menjebak dengan membuat peserta kagum dan tidak seperti yang dikeluhkan Anggi sebelumnya. Beberapa peserta berpendapat tulisannya pas sekali untuk cerita remaja seperti Fear Street.

Beranjak ke cerita selanjutnya milik Niken yang tentu saja sangat "psikologi" sekali seperti biasanya. Niken baik sekali dalam memainkan ritme ceritanya. Dimulai dengan seorang gadis bernama Sophie yang sedang mengamati ruangan dimana ia berada. Sophie berpikir ruangan ini sangat indah sekali karena dipenuhi dengan lukisan indah kesukaannya serta kolam ikan lengkap dengan ikannya. Tapi ia mulai sadar bahwa ada yang tidak beres di ruangan itu. Setelah beberapa lama, ia menyadari bahwa tidak ada pintu sama sekali di ruangan tempat ia berada sekarang sehingga membuat ia panik dan kelaparan di ruangan itu. Akhirnya dengan terpaksa untuk bertahan hidup, Sophie memakan ikan di kolam indah itu satu per satu hingga benar-benar habis.
Setelah 10 jam dan tidak ada yang bisa dimakannya lagi, dengan pikiran yang kalut, ia memutuskan untuk memakan daging tangannya sendiri. Awalnya merasa kesakitan hingga akhirnya ia memaksakan diri untuk menggerogoti dirinya sendiri hingga tewas. Didapati kedua tangannya sampai sikut hilang dan kakinya sampai lutut enyah. Sophie didapati tewas sebagai percobaan ke 7 maka dilanjutkan dengan korban pada percobaan selanjutnya yaitu percobaan 8.

Cerita Niken membuat saya cukup terkejut dan masih berbekas di benak saya mengenai cerita kegilaan percobaan manusia yang dilakukan si psikopat.

Meskipun reaksi para peserta saat mendengarkan cerita masih dibarengi dengan ringisan tanda mereka terbawa suasana kengerian, tapi peserta mulai terbiasa dengan aksi-aksi psikopat, dan kini saatnya tiba bagi Maknyes untuk membacakan cerita.

Yoga, salah satu editor senior sebuah majalah, disekap duduk di kursi berbahan sintetis dengan keadaan telanjang bulat dalam sebuah ruangan studio yang sangat dingin sekali. Sebelumnya ia sempat hilang kesadaran sebelum terbangun di ruangan itu.

Sesosok pria berpotongan rambut asimetris dengan rantai-rantai di saku celananya, ciri khas anak band, memasuki ruangan dan mulai mengoceh terhadap Yoga tentang ketidaksukaannya terhadap tulisan yang dibuat Yoga mengenai band-nya yang dianggap kampungan di majalah tersebut karena, dalam tulisannya, Yoga cukup piawai membeberkan kealergiannya terhadap band si pria itu.

Untuk melampiaskan kekesalannya yang sudah memuncak, si pria menempelkan earphone ke telinga Yoga dengan volume suara yang paling full hingga gendang telinga Yoga pecah dan membuat ia sempat hilang kesadaran beberapa saat lalu terbangun lagi dengan keadaan tuli. Belum puas dengan aksinya, kali ini si pria memotong jari jemari Yoga dengan golok hingga Yoga hilang kesadaran lagi. Setelah Yoga terbangun untuk kesekian kali aksi gila, kegilaan si pria semakin memuncak saat menggunting kedua pipi dari mulut Yoga.

Cerita Maknyes seperti biasanya sangat menghibur para peserta dengan ide yang dipaparkan berhasil mencampuradukan kengerian dan humor. Menurut beberapa peserta performance tokoh psikopat yang digambarkan mirip dengan Rizky The Titans. Tetapi saya justru punya pendapat lain karena saya berpikiran sosok itu mirip dengan Andika Kangen Band yang juga memiliki rambut asimetris.

Para peserta kali ini dibuat semakin penasaran dengan cerita selanjutnya yang akan dibacakan oleh Mahel dimana ceritanya kental akan unsur tradisional: dua wanita berkebaya dan berkonde ala jaman penjajahan berada di sebuah ruangan. Salah satu dari wanita itu adalah Arimbi dengan keadaan perut yang besar karena hamil tua dan cucuran air mata yang tiada hentinya karena ia disekap di ruangan itu. Wanita lainnya lagi bernama Nyai Anastasi yang memiliki dendam kesumat terhadap Arimbi karena suaminya yang telah membuat Arimbi hamil. Tanpa belas kasih, Nyai Anastasi membelek perut Arimbi dan mencabik-cabik isi di dalam perut itu dengan sadisnya serta mengambil jabang bayi yang ada didalamnya. Bayi itu dipotong dadu dan daging segar dari si bayi di hancurkan seperti minuman jus oleh Nyai Anastasi kemudian diserahkan kepada suaminya bernama Suwondo untuk diminum sampai habis.

Suwondo yang telah menggauli 100 wanita itu pun tiada berdaya memenuhi titah Nyai Anastasi yang kejam untuk meminum cairan segar yang berasal dari daging si jabang bayi. "Jangan macam-macam dengan waria," ujar Nyai Anastasi kepada Suwondo. Kekejamannya sangat mewakili adegan slasher. Mahel menambahkan mengenai pengertian waria, "Persepsinya tergantung pada masing-masing pendengar dan pembaca," ucap Mahel.

Regi, peserta writer's circle selanjutnya, mendapatkan bagian untuk membacakan cerita setelah menunggu 8 peserta lainnya selesai membacakan cerita masing-masing. Kali ini Regi menceritakan tentang seorang putri kerajaan yang tertidur seperti sleeping beauty. Hingga tibalah seorang pangeran yang akan mencium si putri untuk membuat si putri sadar kembali dari tidurnya. Namun nafas si putri busuk sekali hingga ia tidak kuasa untuk menciumnya. Sebelum si pangeran mendaratkan ciumanya, si putri membelalakan mata dan berkata, "Mana ciumanku?" sambil menjulurkan lidahnya yang panjang dan mengerikan semua orang yang berada di istana ketakutan dan berlarian kesana kemari. Si pangeran mati oleh juluran lidah si putri yang panjang dan mematikan akhirnya satu persatu pengawal dan orang-orang yang berada di istana mati karena ulah sadis si putri. Hanya satu pria yang tersisa di istana itu dan ia tiba-tiba kehilangan kesadarannya. Saat si pria bangun, ia sudah berada di samping si putri yang mengerikan itu. Si putri lalu berkata "Mana ciumankuuuuu????"

Menurut Sapta, putri kejam ini digambarkan seperti Putri Syalala dan teko ajaib menurut Sapta. Sedangkan menurut saya, saat si putri berkata “Mana Ciumanku???” membuat saya cukup terusik dan discomfort karena saya membayangkan wajah putri mengerikan itu sama menyebalkannya seperti Ratu Hati berkepala besar yang merupakan tokoh antagonis di Alice in Wonderland.

Akhirnya tiba waktunya para peserta untuk bernafas lega setelah pembacaan cerita terakhir yang disampaikan oleh Arifin selesai dibacakan. Arifin sangat piawai dalam mendeskripsikan adegan slasher yang sangat mengerikan itu, sehingga dalam ceritanya ia langsung fokus terhadap penjabaran detil-detil dari kengerian yang dilakukan si psycho killer seperti dalam adegan serial killer di film-film yang membuat bulu kuduk bergidik.

Tema kali ini membuat para peserta keluar dari comfort zone-nya masing-masing, namun demikian ternyata para peserta mampu dan cerdas sekali menungkapkan ide cerita meskipun mungkin sebagian dari mereka tidak menyukai tema seperti ini.



Resti S Tarbandi. Seorang Auditor dan mahasiswi yang menyukai hal-hal berbau seni meskipun dirinya bukan seniman. Menulis merupakan alat untuk mencurahkan beberapa hal yang sering terlintas dibenaknya yang terkadang tidak bisa diungkapkan kepada orang lain secara verbal. Ia sangat tertarik sekali terhadap tulisan-tulisan yang berbau teori konspirasi.