Rabu, 28 April 2010

Catatan Panjang: Kartu Pos dan Sang Pencipta Konflik

Pertemuan writers’ circle kali itu terdiri dari dua sesi. Di sesi pertama, kami diminta untuk menulis sebuah pesan kartu pos. Demi mendengar tema itu, semua peserta tercenung beberapa saat. Beberapa orang, seperti saya, Uli dan Dea, sampai merasa perlu untuk menggambar kartu pos itu sendiri, lengkap dengan tempat perangko dan tempat menulis alamat, untuk memperkirakan panjang tulisan yang harus dibuat. Selain harus mempertimbangkan ruang yang tersedia, kami juga dituntut untuk berpikir keras agar dapat memunculkan sesuatu yang bermakna dari tulisan sependek itu. Inilah hasilnya:


Nia mengirim kartu pos kepada seseorang bernama Umbra di Amerika Serikat. Pilihan nama yang tidak biasa ini membuat saya bertanya apakah nama ini berhubungan dengan istilah Umbra dan Penumbra. Namun, ternyata nama ini hanyalah nama pertama yang terlintas di benak Nia tanpa ada kaitan apapun dengan apa yang saya kira. Nia memberitahu Umbra bahwa foto-foto yang ia terima darinya telah ia simpan dengan baik di sebuah tempat tersembunyi, di dalam laptop, di dalam sebuah hidden folder dengan password khusus, yaitu sebuah “tanggal ketika kamu sadar bahwa kamu tidak lagi muda.” Tulisan Nia ini membuat peserta lain berspekulasi tentang apa objek foto-foto tersebut. Saya cenderung menduga bahwa itu adalah foto-foto affair mereka berdua. Uli berfantasi lebih jauh dengan mengungkapkan dugaannya bahwa foto-foto tersebut adalah foto-foto pembunuhan. Di tengah dugaan-dugaan “binal” kami, Nia memilih untuk menyimpan jawaban misteri tersebut untuk dirinya sendiri.

Dika menulis pesan yang cukup panjang dan memakan waktu yang cukup lama untuk menulisnya sehingga beberapa anak berseru, “Dika curaaaang!” Dika menulis untuk seseorang bernama Ezra, bercerita bahwa ia terkenang akan sosok orang tersebut ketika mereka duduk berdua di Canary Bakery seraya memandang hujan berdua. Dika juga mengenang perasaannya saat menatap Ezra dalam momen-momen itu. Tulisan Dika, persis seperti yang saya curigai sebelumnya, mengandung deskripsi tempat dan suasana yang sangat kaya alias rich description. Dika hanya tersenyum lebar ketika antisipasi saya tersebut terbukti benar. Oya, saya sendiri merasa bahwa tulisan Dika kali ini sangat romantis.

Sapta menulis tentang pengalamannya menyambangi Jawa Tengah dan Jawa Timur beberapa waktu sebelumnya. Tidak seperti para peserta yang lain, ia mengirim beberapa kartu pos sekaligus, yang pertama dari Solo, di mana ia bercerita tentang lampu-lampu eksotis yang ditaruh dalam sangkar burung, yang langsung mengundang kekagumannya. Dari Semarang, ia menyinggung soal banyaknya “kucing” di sana dan bercerita tentang sebuah “gereja hantu” yang selalu gagal ia abadikan dalam foto. Dari Jogja, ia mewanti-wanti temannya agar berhati-hati karena harga barang-barang di sana mahal-mahal dan juga karena “tukang becaknya membunuh kita dengan senyuman.” Di akhir cerita, Sapta memberi tahu para peserta yang masih belum mengerti bahwa istilah “kucing” di Semarang itu sebenarnya merujuk pada gigolo.

Semua peserta mendapati hal ini sebagai informasi yang sama sekali baru. Uli mempertanyakan korelasi antara kucing dan gigolo (sebagaimana PSK perempuan dan kupu-kupu). Dea mencoba menjawabnya dengan menghubungkan kucing dengan “tukang nyolong”. Tapi, bahkan hingga pertemuan berakhir, pertanyaan tersebut masih belum terjawab. Imajinasi Sapta yang lumayan liar hari itu mengandaikan dibuatnya sebuah film hitam putih tanpa suara yang bercerita tentang seorang buronan yang bersembunyi dari kota ke kota dengan hanya meninggalkan jejak berupa kartu-kartu pos. Hmmm... sebagai tambahan, foto-foto eksotis petualangan Sapta yang menunjukkan lampu sangkar burung, gereja hantu, dan restoran pembuat kantong bolong itu dapat dilihat di akun facebook-nya lho!

Hakmer, yang perhatiannya saat itu lebih tersita oleh apa yang ia lakukan di dunia maya, akhirnya bersedia juga untuk menulis. Ia mengirimi seorang “gadis misterius” (sebut saja namanya Mawar) sebuah kartu pos dari Venice, di mana ia bercerita tentang pemandangan di sana (Gondola! Gondola! Gondola!). Nada pesan di kartu pos Hakmer cukup sendu. Meskipun berada di salah satu tempat paling romantis sedunia, ia malah mengungkapkan ketidakpuasannya yang sudah mencapai tahap akut. Di akhir pesan, Hakmer mengungkapkan harapannya untuk dapat sesegera mungkin bertemu dengan Sang Gadis. Isi hati Hakmer terpatri jelas dalam tulisannya kali ini, meskipun identitas Mawar tetap tidak diketahui hingga akhir cerita, bahkan hingga akhir pertemuan hari itu.

Kali ini, saya menulis untuk Hakmer, entah kenapa. Saya mengirimi Hakmer kartu pos dari Jepara, kota persinggahan untuk mencapai Karimun Jawa yang merupakan tujuan liburan impian saya. Ceritanya, saya menemukan kartu pos lucu bergambar seseorang yang sedang tenggelam di samping sebuah perahu (ironis, karena esok harinya saya harus naik speedboat untuk sampai ke Karimun Jawa). Saya menuliskan harapan saya untuk tidak tenggelam dalam perjalanan, sebagaimana saya berharap agar Hakmer tidak “tenggelam” di tempatnya berada saat itu karena menurut saya, “semua cinta, baik yang Eros-like maupun Platonis, selalu memiliki kekuatan untuk menenggelamkan.”

Dea menulis pesan kartu pos yang sangat unik, bercerita kepada seseorang tentang keberadaannya di sebuah tempat bernama Pulsang, yang ternyata singkatan dari Pulau Pisang. Dea bercerita tentang betapa menyenangkannya Pulsang itu, bagaimana di sana terdapat banyak sekali jenis pisang, dan bagaimana Dea berpikir bahwa sang penerima kartu pos akan senang sekali kalau bisa ke sana. Siapakah sebenarnya penerima kartu pos itu? Dea menyebutnya Onde, lagi-lagi sebuah nama yang tidak lazim. Menjawab rasa penasaran kami, Dea tiba-tiba mengeluarkan sebuah boneka monyet dari tasnya: Onde!!! Onde alias “Onyetnya Dea” pun menjadi tamu kami sore itu. Uli berkomentar bahwa tulisan-tulisan Dea menimbulkan perasaan ringan dan “enak” baginya sementara bagi Sapta yang telah membaca Salamatahari, tulisan-tulisan Dea selalu bernada optimis, tidak seperti penulisnya yang tampak agak depresif. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Dea menulis ketika tidak sedang depresi dan membiarkan sisi-sisi depresifnya tidak terekam dalam tulisan.

Menulis tentang tulisan Uli kali ini tidak mudah, terutama karena tulisan di jurnal ini tidak akan mampu menggambarkan emosi yang tumpah ruah saat Uli membacakan tulisannya. Kartu pos Uli berasal dari Opa Uli yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Opa menyapa Uli, cucu tercintanya di Bumi, dan menyampaikan nasihat-nasihatnya yang bijak khusus untuk Uli.

Di tengah-tengah pembacaan tulisannya, Uli tidak bisa menahan air matanya hingga ia terpaksa berhenti sejenak. Pembacaan tulisan Uli sempat diambil-alih oleh Dea sampai Uli merasa mampu untuk melanjutkannya. Uli terkenang akan sosok Sang Opa, seorang dosen artistek Unpar yang juga penyuka sastra dan ilmu-ilmu sosial. Di mata Uli, Opa-nya lumayan galak, namun penyayang. Dalam ceritanya, nasihat Opa yang paling menyentuh bagi Uli adalah berikut ini: “....teruslah belajar, teruslah mencintai, dan jangan menyimpan dendam yang hanya akan melelahkanmu.” Menurut Uli, akhir-akhir ini ia memang cenderung cepat marah sehingga akhirnya lelah sendiri. Dika mengajukan tafsirannya mengenai tulisan Uli, yaitu bahwa Uli menasihati diri sendiri melalui suara Opanya. Sementara itu, para peserta lain tampak terlalu terserap dalam suasana haru saat itu sehingga tidak dapat mengomentari tulisan Uli, kecuali Hakmer yang berpendapat bahwa tulisan Uli sangat sentimental dan “eksistensialis” (apapun maksudnya) sehingga membuatnya “merasa sedikit manusiawi” hari itu.

Dalam pertemuan kali ini, Dani membuat pengakuan bahwa ia “mencuri kesempatan” untuk memasukkan tulisan kali ini ke dalam plot cerita yang telah ia buat sebelumnya. Seorang gadis bernama Anya mengirimi Yan sebuah kartu pos yang berisi pemberitahuan akan kepulangannya ke Indonesia, meskipun ia sudah diperingati oleh Yan untuk tidak berbuat demikian. “Aku sudah bosan dilindungi,” begitu kata Anya yang sudah membulatkan tekad akan menghadapi apapun yang mungkin terjadi di sana, termasuk serangan teroris yang menurut Yan mungkin akan harus dihadapinya. Nada tulisan Dani kali ini, menurut beberapa peserta, sangat feminin, tercermin antara lain dalam “Salam Sayang” yang menjadi penutup pesan Anya untuk Yan. Nada tulisan Dani kali ini sedikit terlalu formal bagi selera Hakmer, sementara Uli berpendapat bahwa formalitas dalam tulisan tersebut justru cocok dengan setting cerita tertentu, misalnya setting tahun 80-an.

Di sesi kedua, kami diharapkan untuk menulis tentang seorang karakter yang sangat menginginkan sesuatu, tapi di akhir cerita tidak mendapatkan sesuatu yang sangat ia inginkan itu.


Dika bercerita tentang seorang laki-laki bernama Rahmat yang akan berkencan dengan seorang gadis bernama Aisyah. Ia melakukan berbagai “ritual” seperti mencuci motornya bersih-bersih, berpakaian yang rapi, menyemir sepatu pantalonnya sampai mengkilat, memakai parfum banyak-banyak, dan berdoa agar cuaca hari itu cerah secerah-cerahnya. Tak disangka tak dinyana, di tengah jalan hujan turun dengan amat deras sehingga ia terlambat sampai di rumah Aisyah. Meskipun beberapa peserta, seperti Hakmer dan Sapta, berharap bahwa cerita itu akan berakhir tragis (misalnya dengan ketiadaan Aisyah), Dika memberi Rahmat sebuah happy ending, di mana Aisyah malah mengajaknya menikmati secangkir teh sambil menunggu hujan reda. “Lalu, apa hal yang sangat diinginkan Rahmat, yang pada akhirnya tidak tercapai olehnya?” tanyaku penasaran. “Ya, cuaca yang cerah!” jawab Andika, lalu mengeluarkan senyumnya yang khas sambil memandangi saya seakan-akan saya -- dengan sangat tidak bertanggung jawab -- telah melewatkan keseluruhan inti ceritanya. Baiklah, Dika...

Sapta menulis tentang seorang karakter bernama Ajal yang memiliki seorang teman perempuan bernama Ovo, yang dulu pernah sangat cantik sebelum ia harus terbaring di ICU dengan tubuh kurus kering dan darah yang terus mengalir dari sela-sela kakinya. Ajal berteman baik dengan Ovo, meskipun mereka nyaris tidak pernah berbicara dan meskipun Ovo “tidak segadis statusnya” karena Ovo adalah seorang gadis malam. Dalam kondisinya yang genting itu, Ovo bercerita pada Ajal tentang impian-impiannya, salah satunya adalah untuk pergi ke tanah suci bersama Ibundanya. “Sudah tidak bisakah, ‘Jal?” tanya Ovo pada Ajal. Ajal tidak bisa berkata apa-apa hingga akhirnya Ovo meninggal dunia.

Kali ini, Sapta kembali memberi kami “kengerian a la Sapta” karena ia membacakan cerita yang tragis ini sembari tersenyum-senyum. Dika berkomentar bahwa ia menyukai metafor-metafor yang digunakan Sapta. Saya sendiri sudah bisa merasakan kekhasan tulisan Sapta, yaitu dalam kebiasannya menggunakan untaian frase sedemikian rupa hingga saya merasa “terbanting”, misalnya dalam kalimat ini: “...karena Ovo adalah hidup, Ovo adalah lampu malam, Ovo adalah seorang pelacur.” Pemilihan kata “pelacur” yang begitu banal di akhir kalimat ini, setelah sebelumnya menggunakan berbagai metafor yang cukup dalam, sungguh khas Sapta.

Opik, a new guy to me, menulis tentang seorang gadis yang impiannya adalah melanjutkan S-2 di Belanda. Gadis itu bercerita panjang lebar tentang rencana-rencananya yang membuatnya terpesona. Namun, gadis itu tidak pernah mencapai impiannya tersebut karena sesuatu alasan, yaitu “tiiiiiiiiiiiit” (original censor by Opik). Opik hanya memberi tahu kami bahwa gadis itu sudah pergi ke surga, dan bahwa ia meninggalkan nasihat ini untuknya: “Jangan kalah dengan kondisi jika kau mau mencapai apa yang kau cita-citakan.”

Dika dan Uli berkomentar bahwa tulisan Opik kali itu lain dengan tulisan-tulisannya sebelumnya, yang biasanya penuh dengan metafor. Mereka mencontohkan tulisan Opik yang pernah membuat seorang karakter pembantu bernama Anastasia, sesuatu yang tidak biasa. Menurut Opik, ia mencoba berubah karena teman-temannya pernah mengkritik dan menganjurkannya agar tidak membuat tulisan yang “membuat orang yang membaca mengernyitkan dahi.” Tapi, Uli dan Sapta berpendapat bahwa semakin berkernyit dahi orang yang membacanya, semakin baguslah tulisan itu. Sementara itu, Nia berpendapat bahwa tidak apa-apa menggunakan bahasa yang lebih sederhana. Lagipula, ide tulisan Opik menurutnya sudah tidak biasa.

Nia menulis tentang seorang fotografer persisten yang sangat menginginkan foto Gunung Tambora yang sedang mau meletus. Sang fotografer nekat kemudian menyewa seorang tukang perahu yang juga nekat untuk berperahu ke dekat Gunung Tambora yang sedang terbatuk-batuk itu demi mengambil gambarnya dari dekat. Ia harus membayar mahal untuk kenekatannya itu: perahu mereka terbalik tepat ketika Tambora mengeluarkan letupannnya yang penuh keindahan!

Tulisan Nia kali ini penuh dengan detail geografis (yang membuat saya kagum karena saya sangat bodoh dalam hal itu), namun sekaligus terasa puitis. Gaya pembacaan Nia selalu menjadi hiburan tersendiri karena ia bisa membuat peristiwa yang paling tragis sekalipun (terbaliknya perahu dan raibnya si tukang perahu) menjadi sesuatu yang memancing tawa kami. Dani bahkan berkomentar bahwa cerita itu adalah “cerita orang mati yang menyenangkan.” Nia juga mampu membuat Gunung Tambora seakan-akan hidup dan “beradu tanding” dengan si fotografer nekat. “Seakan-akan di antara Gunung dan orang itu ada emosi dan saling berlomba,” komentar Uli. Untuk merasakan hiburan ganda dari Nia ini, kamu benar-benar harus datang dan mendengar sendiri Nia membacakan tulisannya!

Dani memulai pembacaan ceritanya dengan sebuah autokritik. Menurutnya, ia salah memilih POV (point a view) dalam ceritanya kali itu. Dani menulis tentang seorang relawan Oxfam yang bertengkar dengan seorang korban bencana alam yang memotong antrian untuk mendapatkan semangkuk bubur. Sang relawan menyuruh pemotong antrian tersebut untuk kembali ke dalam antrian sementara sang pemotong antrian berkeras untuk mendapatkan bubur dengan caranya sendiri. Mereka berdua bertengkar hingga akhirnya memicu bentrokan fisik yang berakhir dengan tersenggolnya panci bubur (poor portridge!). Dani berpendapat bahwa tulisan tersebut akan lebih bagus jika ia memilih sudut pandang orang pertama, baik sudut pandang sang relawan maupun sang pemotong antrian, hanya saja ia merasa malas untuk mengubah cerita yang telah mulai terbentuk itu. Uli pun mendukung pendapat Dani. Terlepas dari persoalan sudut pandang dalam cerita, Dani (seperti biasa) berhasil membangun adegan pertengkaran itu dengan baik sehingga membuat saya bisa membuat bayangan yang sangat hidup di kepala saya.

Kali itu, Uli kembali menulis tulisan yang mengandung kritik sosial. Uli bercerita tentang sepasang suami-istri di Singapura yang sangat sukses secara finansial, Mr. dan Mrs. Lim, yang tengah berjuang untuk mendapatkan “sesuatu yang sangat berharga” lewat seorang agen lelang. Uli menggambarkan dengan penuh detail betapa di tengah kesuksesan pribadi serta kemajuan dan kemakmuran negara mereka, pasangan tersebut jauh dari kondisi berbahagia. Pada akhirnya, mereka gagal mendapatkan apa yang sangat mereka inginkan tersebut, seorang bayi cantik bermata sipit, bayi Indonesia keturunan China untuk melengkapi keluarga mereka.

Dani dan Dika berkomentar bahwa Uli selalu membuat tulisan yang mengandung “kritik sosial yang gimanaaaa gitu.” Saya sendiri tidak bisa berkomentar apa-apa karena tulisan Uli selalu simply awesome. Sementara itu, penggunaan kata chinese dalam tulisan Uli yang berbahasa Indonesia mengundang protes Dani dan pada akhirnya memicu perdebatan yang cukup hangat (dan lama) tentang penggunaan yang benar dari kata Cina, China, Chinese, dan Tionghoa (sementara saya berkali-kali menendang kaki Andika di belakang meja).

Dea masih menulis tentang Onde. Kali ini, ia bercerita tentang bagaimana Onde tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur ketika dirinya pergi. Betapa Onde ingin dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat ia lakukan dalam bentuknya saat itu. Dea yang biasanya membuatnya hidup sedang tidak ada dan ia benci keadaaan itu.

Tulisan Dea bisa membuat saya membayangkan perasaan ketidakberdayaan yang besar jika kita tidak bisa menggerakkan tubuh kita sendiri. Saya sendiri mempunyai boneka tangan yang bernama Popo, tapi saya tidak pernah berpikir untuk membuatnya menginginkan atau tidak menginginkan sesuatu. Dea memang super kreatif!

Hakmer menulis sesuatu yang serius kali itu (memangnya dia pernah menulis sesuatu yang tidak serius?). Ia bercerita tentang seorang anak, Joni, yang harus menerima kenyataan bahwa dalam hidup, ia tidak bisa selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, sebagaimana dinyatakan oleh Rolling Stone dalam salah satu lagunya. Joni ingin es krim, ingin sepeda, dan beberapa hal lainnya, namun ia malah dimarahi oleh mamanya. Kemudian, Joni merepresi semua hal yang ia inginkan dan mengembangkan sebuah kompleks di mana ia berbalik membenci dan merasa jijik akan hal-hal yang dulu sangat ia inginkan, seperti es krim dan sepeda itu.

“Anak kecil dengan motivasi yang menyeramkan,” komentar Uli. Pribadi Joni dalam tulisan Hakmer memang terasa agak gelap, meskipun Uli berpendapat bahwa anak-anak sekarang memang “menyeramkan,” misalnya anak yang kecanduan merokok pada usia balita atau anak-anak SD yang tawuran sambil membawa-bawa pedang. Tulisan Hakmer, sebagaimana dicermati Uli, mengandung beberapa kalimat yang berima, membuatnya selalu terdengar puitis.

Pertemuan hari itu ditutup oleh penjelasan Andika tentang tema menulis yang diberikannya kali itu. Menurutnya, tema pertama dimaksudkan untuk melatih kami agar dapat membuat tulisan pendek yang berisi, sedangkan tema kedua adalah latihan bagi kami untuk bisa membangun konflik dalam cerita. “Perbedaan antara apa yang kita inginkan dan kita dapatkan adalah cara termudah untuk membangun konflik dalam cerita,” kata Dika. Saya setuju dengan pendapat Dika, sementara Dani berpendapat bahwa lebih mudah baginya untuk membangun konflik secara alamiah seiring dengan perkembangan cerita daripada disuruh membangun konflik secara sadar. Begitulah pertemuan kami kali itu. Ide pertemuan kali itu datang dari Indra, yang meskipun sedang berada di Australia, ternyata tetap peduli pada kami dengan mengirimkan ide-idenya lewat e-mail pada Andika. Terima kasih, Indra :)




Anggalia Putri adalah seseorang yang baru mengantongi gelar S.IP (Sarjana Ilmu Pelet) dan menggandrungi tulisan-tulisan yang personal dan tulus. Mengakui ketidakmampuannya dalam mengolah alur cerita, sekarang ia berkonsentrasi pada pembuatan sketsa dan tulisan-tulisan berkarakter “still” dan tanpa arah.

Selasa, 20 April 2010

Kisah Seorang Gadis yang Tak Menyukai Nasibnya

Sepertinya judul film ini kurang efektif, karena terlalu panjang sehingga orang sulit mengingatnya.

Kali ini ada yang beda di RL Writers' Circle. Kita tidak diminta menulis oleh Andika. Kursi-kursi berjejer di ruang yang gelap, menghadap pada tembok putih yang ditembakkan cahaya dari proyektor. Regie terlihat sumringah hari itu. Mungkin karena kali ini ia berkesempatan mengenalkan dunia yang sangat dicintainya: anime.

Seperti yang kita tahu, Regie si Siluman Rubah suka sekali membaca dan menulis mengenai dunia khayalan khas Jepang. Bisa saya katakan, kali ini ia menawarkan film anime berkualitas tinggi untuk kita, Toki o Kakeru Shōjo alias The Girl Who Can Leapt Through Time. Menurut Reggie, film ini merupakan adaptasi dari novel Yasutaka Tsutsui yang telah menerima banyak penghargaan walau pun tidak meraih box office yang menghebohkan. Penghargaan yang sudah diraih film ini antara lain Japan Academy Prize for Animation of the Year, Sitges International Film Festival of Catalonia, dll.

Film ini bercerita tentang Makoto Konno, siswi SMA yang secara tidak sengaja dapat menemukan cara untuk kembali ke masa lalu. Hal ini membuat ia mampu memperbaiki kesalahannya dengan hanya meloncat tinggi, mengantukkan kepalanya, dan BOOM! Ia melompati waktu. Dengan cara ini, Makoto memperbaiki nasibnya dalam urusan percintaan dan pertemanan.

Awalnya, ia hanya ingin urusan sendiri, seperti membuat Chiaki batal mengajaknya kencan atau menghindari nilai ujian yang jelek. Seiring waktu, Makoto memiliki misi baru: menolong seorang siswi pemalu yang menyukai sahabatnya, Kōsuke Tsuda!

Berkali-kali Makoto meloncat, mengantukkan kepalanya, melompati waktu, lalu membuat perubahan yang serba melelahkan dengan harapan meraih masa depan yang lebih baik. Sayangnya, Makoto salah. Ia hanya mengacaukan nasib dan membuat sahabat-sahabatnya menderita.

Di tengah kebingungannya, Makoto menemukan tato angka yang terus berkurang tiap kali ia menembus masa. Apakah maksud tato ini? Mengapa Makoto ia bisa melompati waktu? Bagaimana ia memperbaiki kekacauan yang ia perbuat? Termasuk, kematian sahabatnya, Kōsuke, yang berada di depan mata? Apakah Makoto bisa mencegahnya?

Uuupps ... sorry, saya tidak akan membuka ending-nya di sini. Anda harus menonton filmnya secara utuh untuk menikmati keindahan gambar dan cerita The Girl Who Can Leapt Through Time. Yang jelas, setelah proyektor dimatikan dan lampu ruangan dinyalakan, saya dapat melihat senyum dari sekitar sepuluh penonton yang hadir. Mmmm... sepertinya mereka menyukainya!

Tiga sahabat Makoto, Chiaki dan Kōsuke.

Cerita filmnya lumayan keren, walau kita disuguhkan cerita mengenai hari yang sama berulang kali, tapi kita tidak merasa bosan. Beberapa bagian membuat kita tertawa terpingkal pada kebodohan tiga sahabat Makoto, Kōsuke dan Chiaki.

Hal sedikit mengganjal adalah pelompatan waktu yang kadang sulit dicerna oleh otak. Yah ... itu mungkin tergantung pada kemampuan otak masing-masing. Yang jelas, hal tersebut sempat membuat saya bingung :P

Film ini pun acapkali menyuguhkan pemandangan yang sunyi dan lama. Dan, yang dilakukan para tokoh adalah termenung. Bagi saya adegan semacam ini sedikit membosankan. Apabila diperhatikan, memang banyak film anime yang menyuguhkan adegan sunyi dan diam semacam ini. Mungkin, memang disitulah letak kekhasan film anime.

Dalam setiap langkahnya Makoto berusaha untuk menghindari kenyataan yang ia tidak suka. Namun, yang ia dapat hanyalah kesedihan. Makoto ternyata harus menghadapi kenyataan. Bukan hanya Makoto, ternyata kita pun harus menghadapi kenyataan (bukannya sok bijak, tapi memang harusnya kita begitu, ‘kan?)

Sedikit curhat, kadang saya melakukan kesalahan yang membuat orang mengernyitkan jidat. Tentunya, saya kesal kepada diri sendiri dan membenci momen seperti ini. Rasanya ingin memutar waktu dan melakukan segala hal dengan cara yang benar. Pada kenyataannya, kita tidak punya kekuatan ajaib untuk kembali ke masa lalu. Semua chaos yang dibuat harus dihadapi. Dan kemampuan kita untuk menghadapinya adalah cara membuat kita semakin kuat. Iya, nggak?

Sekian laporan saya tentang acara nonton The Girl Who Can Leapt Through Time. Terima kasih kepada Regie yang telah menyajikan film keren ini dan teman-teman yang telah hadir atau membaca jurnal ini. Semoga sabar membaca tulisan ini yang diselingi curhat colongan. Hehehe ...

Dan yang terakhir, saya dan teman-teman RL Writers Circle ingin mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya ibunda Regie, Ibu Dewi. Semoga ia diterima di sisi-Nya. Semoga Regie dan keluarga diberikan ketabahan dan kekuatan untuk menghadapinya.

Amin.


Yuliasri Perdani adalah mahasiswa jurnalistik yang belum bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Ia menyukai kegiatan menonton film dan membuat film. Prestasinya dalam dunia film adalah sebagai scriptwriter Naughty Matahari, Veronica Tebs Movie Competition Winner, Finalis LA Lights Indie Movie 2007, dan mentor Ekskul Film SMA Tarbak.

Minggu, 04 April 2010

Menerka Teka-Teki

Setelah agak lama tidak ikut writer's circle karena alasan tertentu, akhirnya pada saat itu saya menampakkan batang hidung juga. Begitu masuk, sudah ada Andika, Aji, Ina, dan Niken yang duduk-duduk santai di kursi dekat coffee corner. Aji bertanya kepada saya kemana Ardie-nya. "Ardie?" tanya saya pada Aji. Lalu Aji balas bertanya, "Bukannya kemarin menikah, kok sekarang tidak dibawa?"

Saya nyengir kuda.

Tentu saja orang yang dimaksud bukan saya.

Entah apa yang ditunggu padahal waktu sudah menunjukkan setengah lima. Akhirnya dengan komando fasilitator, kami semua ke atas. Sesampainya di atas, fasilitator menyampaikan sebuah tema yang membuat orang-orang menahan nafas: teka-teki.

Dalam membuat teka-teki, diyakini ada beberapa proses. Awalnya kita harus mencari temanya tentang apa, brainstorming apa saja yang ada di dalam tema dan putuskan mana yang akan menjadi jawaban, setelah itu bayangkan jika kita adalah jawabannya--apa yang dirasakan dan tidak dirasakan oleh jawaban.

Teka-teki begitu dekat dengan kehidupan kita. Dalam tataran Sunda, ada teka-teki yang sangat terkenal dalam sebuah pupuh. Saya tidak terlalu bisa bahasa Sunda, tapi kira-kira begini terjemahannya:

Budak leutik bisa ngapung (ada anak kecil bisa terbang)
Babaku ngapungna peuting (terbangnya malam-malam)
Nguriling kakalayangan (berputar-putar)
Neangan nu amis-amis (mencari yang manis-manis)
Sarupaning bungbuahan (sejenis buah-buahan)
Naon bae nu kapanggih (apa saja yang ditemukan)
Ari beurang ngagarantung (kalau siang pada ngegantung)
Pinuh dina dahan kai (penuh di ranting)
Disarada patembalan (saling berbunyi)
Nu kitu naon ngaranna (kalau itu apa namanya)
--Pupuh kinanti

Jawabannya adalah kelelawar.

Sungguh, ternyata membuat teka-teki itu tidak mudah. Kami membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk berpikir. Dibandingkan menulis cerita, waktu secara keseluruhan lebih pendek dibandingkan biasanya sehingga kami menulis teka-teki sebanyak dua sesi. Di sesi ke dua, kami jadi semakin mahir dan semakin berusaha agar jawaban tidak dapat ditemukan.

Coba kau tebak teka-teki ini. Jawaban ada di paling bawah tulisan. Jangan mengintip!

I.
Dalam gelap aku berasal
Dalam gelap aku berakhir
Tak terlihat, tetapi dalam gelap denganku kau melihat (Dani)

II.
Aku sekarang sudah layak masuk museum
Dulu aku salah satu perkakas favorite orang
Tugasku menghibur orang (Aji)

III.
Kadang orang menyukai, kadang orang membenci
Aku dapat menyatukan hal-hal yang tercerai berai
Aku menjadi pelipur lara bagi orang-orang kesepian
Memberi mimpi sesaat hanya dalam satu sesap
Aku ada dimana-mana dan aku murah. Aku tepatnya murahan (Uli)

IV.
Aku ada untukmu, meskipun kau menganggapmu mimpi terburukku
Secepat apapun kau berlari, aku pasti akan menyertai (Andika)

V.
Bintang kecil berwarna hijau
Bagi rakyat kecil tak terjangkau (Maknyes)

VI.
Aku susah dicari
Sekali ketemu, aku dibuang (Niken)

VII.
Aku menerpa depa dan menegaskan angka
Membantu membuat rumah, ada di setiap sekolah
Menunjukkan yang tak terjangkau, tak berubah sejak masa lampau (Sasa)

VIII
Dia bisa jadi apa saja
Bisa berpasangan dengan apapun
Atau hidup sendiri atau berada di tumpukkan
Orang bisa salah menyebutnya
Biasanya dia bulat
Diganti nama tanpa tahu berapa jumlahnya
Kadang orang jadi melongo (Ina)

IX
Kematian akan datang padamu lebih dulu, bukan padaku
Aku memang yang menentukan nasibmu, meski sebetulnya ini adalah persetujuanmu juga
Biarkan aku mengarahkanmu tapi aku terlalu pengecut untuk ada di depan
Aku menjadikanmu tameng
Aku bukan rajamu, aku adalah budakmu
Biarkanlah kukayuh berat bebanmu, biar kematian datang padamu lebih dulu, bukan padaku (Sapta)

X
Suara-suara tanpa sumber, raga-raga tanpa wujud
Kini aku terkekang dalam hal yang absurd
Kubicara namun tidak ada yang mengerti
Mengapa mereka tidak mau mendengar seorang nabi? (Nia)

Ada satu teka teki lain yang disebutkan oleh Lia dengan jawaban jejaring sosial. Namun karena orangnya sudah keburu pulang sebelum saya bertanya ulang, sehingga saya lupa apa teka-tekinya dan tidak bisa dituliskan di sini.

Setelah pertemuan selesai, kami mengingat teka-teki yang pernah kami dapat. Teka-teki yang paling klise adalah: Bagaimana cara memasukkan gajah ke kulkas? Buka kulkasnya lalu masukkan gajahnya. Bagaimana cara memasukkan jerapah ke kulkas? Buka kulkasnya, keluarin gajahnya, masukkin jerapahnya. Kalau gajah dan jerapah balap lari, siapa yang menang? Gajah. Karena jerapahnya masih tertinggal di dalam kulkas.

Entah siapa yang memulai. Yang pasti bukan saya. Yang jelas--seperti yang diucapkan Sasa--writer's circle berubah menjadi riddle's circle.

Q: Kenapa dinamakan nasi goreng?
A: Karena lapar.







Jawaban:
I. Suara
II. Radio/tape lama
III. Lem aibon
IV.
Treadmill
V. Starbucks (jawaban Maknyes mendapat protes dari semua orang)
VI. Upil VII. Penggaris VIII. o/0 IX. Tukang becak
X. Orang gila (dengan sanggahan dari Dani seharusnya ini
schizophrenia)




Nia Janiar yang tidak menyukai hal yang moralis konservatif--feodal, fanatik, dan kapitalis. Seringkali berkomentar sinis, kritis, pipis, spilis, meningitis--tanpa bermaksud untuk menistakan sesuatu karena dia juga sempurna. Silahkan berkunjung ke rumahnya: http://mynameisnia.com

Kamis, 01 April 2010

Menulis Hari Apa Sedunia

Sabtu itu hujan deras turun menyirami Bandung, tepat ketika saya, Azisa dan Natalia akan mengikuti RLWC. Alhasil kami datang dengan baju yang basah dan badan kedinginan.

Sampai di RLWC-pun kami agak terlambat, karena temen-temen RLWC semua sudah mulai menulis. Hari itu saya merasa RLWC memiliki sebuah atmosfer yang berbeda. Mungkin karena pada hari itu kami berkumpul di sebuah sofa sehingga membuat kesan hangat dan akrab.

Setelah mengeringkan diri seadanya, saya pun bertanya-tanya tentang tema hari itu. Maknyes dengan segera memberi tahu bahwa tema hari itu sesuai dengan Hari Bumi yang memang jatuh di tanggal 27 Maret 2010. Kita harus memaparkan sebuah Hari Spesial yang dirayakan di seluruh dunia, namanya, dan cara-cara merayakannya, baik fiktif maupun kisah nyata.

Tema itu sebenernya membuat saya berpikir agak lama, karena terlalu banyaknya harapan saya untuk hal-hal (yang tidak penting) dijadikan hari libur. Hehehe.

Setelah menulis (dan diselingi dengan gosip-gosip tidak penting), satu-persatu dari kami pun membacakan karyanya, sayangnya tidak semua peserta dari RLWC hari itu bisa mendengarkan dan memberi komentar dari karya-karya temen-temen penulis karena harus cepat-cepat pergi.

Wahyu, mendapatkan kesempatan pertama membaca (karena harus cepat-cepat pergi). Dia menuliskan bila suatu saat ada Hari Tidak Mandi Dunia. Menurut imajinasi Wahyu, hari itu dibuat untuk menghemat air, di ceritanya bahkan ada sebuah konferensi dimana para pemimpin dunia tidak mandi untuk menghadiri konferensi tersebut. Namun ternyata Hari Tidak Mandi Dunia itu berefek samping dengan rusaknya atmosfer dan udara dunia karena setiap orang menggunakan parfume dan cologne yang berlebihan.

Cerita Wahyu sangat menyenangkan untuk di dengar. Lucu tapi sedikit satir, dimana manusia ternyata bagaimanapun memang terbiasa merusak dunia dalam kehidupannya.

Andika, yang mendapatkan kesempatan membaca selanjutnya, kembali hadir dengan kisah yang manis dan romantis. Ber-setting di Prancis, kisahnya bercerita tentang Francis, seorang anak remaja laki-laki yang merasa canggung dan minder menghadapi World Kissing Day. Seperti biasa Andika dengan luar biasa, memaparkan rasa canggung dan malu Francis ketika dia membayangkan harus mencium 5 gadis hari itu dan bagaimana teman-temannya sukses mencium 5 gadis (secara mudah maupun sulit). Di akhir cerita ternyata kecanggungan dan rasa malu itu muncul, karena bukan teman-teman perempuannya-lah yang ingin dia cium, tapi gurunya yang berasal dari Indonesia--guru laki-lakinya lebih tepatnya. Cerita diakhiri dengan adegan nekat Francis yang mencium sang guru saat pelajaran tambahan dan lari keluar kelas.

Cerita Andika mengalir dengan nyaman dan unsur homoerotis di dalamnya disampaikan dengan manis. Tampaknya Andika sudah sangat nyaman menulis di genre ini (genre semi-curhat. Hehehe). Saya mengharapkan Andika menulis sebuah cerita penuh dari cerita ini, karena boleh dibilang cukup jarang kisah homoerotis yang memiliki tokoh remaja.

Maknyes kembali hadir dengan kisah kocaknya. Maknyes yang mengeluh mengalami writer's block ternyata menghasilkan cerita yang bagus dan lucu. Itu kena writer's block ya? Gimana kalau enggak? Kisah Maknyes dimulai dari kehebohan Susan dan teman sekosannya, Johan, untuk merayakan sebuah peryaan dunia di lapangan Tegalega. Cerita mengalir dengan penuh komedi, sampai di saat Eva Arnaz, artis yang memandu acara peryaan itu muncul. Kisah semakin lucu ketika digambarkan mereka melakukan waxing massal, terutama karena sang artis melakukannya di ketiak (Ouch!!! :p). Ternyata hari itu adalah Hari Hairless Dunia.

Seperti biasa Maknyes menghadirkan cerita yang membuat semua anggota tertawa dari awal hingga akhir dan dialog lucu antara tokoh Dari narator dan temannya, cara pemilihan kata, hingga ending membuat tertawa. Dan tidak lupa dengan unsur sinis yang menyindir (meledek lebih tepatnya, yang korbannya hari itu adalah Mbak Eva Arnaz).

Suasana berubah saat Uli membawakan ceritanya tentang Hari Terserah, dimana setiap orang diperbolehkan mekukan apa saja yang mereka mau. Cerita di mulai tentang seorang anak remaja pria yang memutuskan untuk tidak sekolah, agar dapat berenang dengan sahabat prianya. Tokoh ini digambarkan sebagai Anak Populer di sekolahnya terutama di kalangan wanita. Tapi ternyata keinginan utamanya adalah memeluk sahabat prianya. Keinginan terpendamnya terwujudkan, bahkan lebih karena sang teman membalas pelukannya (ada adegan shower kolam renang yang membuat saya déjà vu masa SMU :p ). Cerita berlanjut dengan Parman, satpam sebuah apartemen yang muak dengan keributan di apartemen itu, dan memutuskan untuk mendapatkan ketenangan dengan mematikan listrik. Tapi ternyata hari itu justu membuat keluarga-keluarga yang sering ribut itu menjadi semakin akrab karena terkurung dan menyadari bahwa mereka saling memiliki.

Cerita Uli sangat bagus dan seperti biasa hadir dengan suasana melankolis namun tidak depresif. Hari itu Uli "menuduh" Andika meracuni otaknya dengan kisah homoerotika. Namun menurut saya, kisah itu akan lebih bagus bila kisah pertama lebih memiliki tali merah dengan cerita kedua (selain Hari Terserah). Menurut saya akan lebih bagus bila misalnya tokoh si anak itu adalah penghuni apartment juga atau berenang di kolam renang apartment itu. But that's just an idea, cerita Uli sudah bagus tanpa dirubah apapun juga.

Giliran berikutnya jatuh kepada Azisa yang kembali dengan dunia fantasinya. Menceritakan suatu dunia dimana mimpi dan imajinasi dapat menjadi nyata. Kisah dimulai dengan narasi perasaan sang tokoh ketika harus menghadapi mimpi masa kecilnya yang sudah dia simpan begitu lama di lemarinya. Karena sebuah adat istiadat dimana semua orang pada hari itu HARUS mengeluarkan mimpi masa kecil yang sudah lama disimpan bahkan dilupakan. Kisah Azisa diakhiri dengan sang tokoh membuka lemari tua tempat dia menyimpan mimpi tanpa memeberi tahu apa mimpi tersebut.

Cerita mengalur dengan imajinatif dan kontemplatif. Metafora dan analogi disampaikan Azisa dengan santai dan mengalir. Membuat kita berpikir, kalau kita dihadapkan dengan mimpi masa kecil yang menjadi nyata, kira-kira apa yang akan kita rasakan ya? Terutama bila mimpi itu adalah mimpi buruk ...

Dani kembali hadir dengan genre kesukaannya - spionase. Mengambil setting Hari Bumi sedunia dimana semua oarang harus mematikan lampunya selama satu jam. Bercerita tentang detektif Yan, yang disekap di suatu gudang oleh George yang tampaknya adalah musuh lamanya. Ternyata George telah menyabot PLTGU Muara Karang dan meledaknya PLTGU itu membuat lampu-lampu kota Bandung mati satu persatu dan membawa kota Bandung ke dalam kegelapan. Cerita diakhiri dengan datangnya pahlawan yang menyelamatkan detektif Yan.

Saya selalu menyukai kisah-kisah Dani karena pengetahuannya terhadap temanya membuat dia selalu menghasilkan cerita yang detil. Tapi menurut saya, Dani harus mulai mencoba keluar dari comfort zone-nya dengan mulai menulis sesuatu yang benar-benar baru. Tapi cerita ini HARUS dijadikan sebuah cerita panjang yang akan sangat saya tunggu (dan juga tentu juga ditunggu peserta RLWC yang lain)

Natalia, yang baru pertama kali datang, mendapat giliran selanjutnya. Mengisahkan tentang suatu keadaan dimana semua orang tidak memakai alat perhitungan waktu, di dunia Hari Tanpa Waktu, dimana narator menjadi gelisah dan bad mood karena harus mengandalkan insting saja, dan dimana sebuah meeting penting sudah ada di depan mata. Narator akhirnya terlibat sebuah perbincangan dengan supir taksi yang mengantarkan dia tentang bagaimana kedisiplinannya dalam mentaati waktu, membuat dia bisa memperkirakan waktu dengan cukup tepat tanpa alat bantu penghitung waktu apapun.

Kisah Natalia memiliki kritik sosial yang cukup kuat, dimana justru banyak orang yang tidak mentaati waktu walau sudah memakai alat penunjuk waktu. Agak menohok saya juga yang termasuk tukang telat :p

RLWC diakhiri oleh Niken. Dia bercerita tentang pemikirannya ketika melihat spanduk tentang Hari Orang Sakit Dunia. Ceritanya berisi monolog dirinya mulai dari apa yang dikerjakan di Hari Orang Sakit Dunia. Apakah mengunjungi mereka dan memberi ucapan selamat? Yang pastinya akan sangat aneh. Atau mungkin satu hari ini semua orang di dunia sakit?

Seperti biasa Niken bercerita dengan alur yang terasa sangat akra, dan menggambarkan keseharian yang dapat begitu related dengan kehidupan kita.

Sementara bagaimana dengan cerita saya? Hehe. Anda bisa baca di blog saya.





Regian Permana. Lahir lebih dari 20 tahun yang lalu. Menyukai lagu-lagu Jepang dan Korea. Penggemar berat cerita fantasi dan dongeng - terutama dongeng-dongeng Asia tentang siluman rubah. Mungkin itulah yang menyebabkan cowok narsis ini mempunyai Facebook: Siluman Rubah Kitsune, YM: liyujingbai (siluman rubah putih), dan Livejournal: http://white-demon-fox.livejournal.com. Usut punya usut, menurut cerita nenek Regie, nenek moyangnya di Cina dulu adalah seorang (atau seekor) rubah, sehingga untuk mengenal Regie harus berhati-hati karena siapa tahu garis darah itu masih menurun kepadanya ...