Rabu, 27 Januari 2010

Meneruskan Kalimat kemudian Berpetualang

Hari itu – Sabtu, 23 Desember – perhelatan rutin Reading Lights Writers’ Circle berjalan seperti biasa. Di sana, sebagaimana sebelum-sebelumnya, sekelompok bakal penulis muda mengasah kemampuan mengarang mereka dengan program-program latihan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh sang fasilitator, Andika Budiman. Selain itu, para peserta juga biasa saling melibatkan diri dalam diskusi-diskusi penting yang topiknya tidak hanya menyentuh subjek tulis-menulis, namun juga filsafat, budaya, dan seni secara keseluruhan.

Pada kesempatan tersebut, beberapa peserta yang datang lebih awal tampak bercakap-cakap mengisi waktu hingga waktu yang ditentukan tiba. Sundea, yang baru datang dari Jakarta, menceritakan pengalamannya selama di ibukota dan bagaimana peristiwa tersebut mempengaruhi tulisannya. Pengarang buku Salamatahari ini bercerita bahwa ternyata, bagaimanapun kata orang, di Jakarta juga banyak hal yang menggugah dan melembutkan hati. Hal tersebut membuat Dea yakin bahwa dimanapun akan selalu ada hal-hal menarik yang ditawarkan tiap tempat/kota untuk dijadikan sebuah cerita.


Saat Andika memulai sesi menulis hari itu, semua peserta telah duduk membuat lingkaran di lantai ke-2 Reading Lights. Semua memegang alat tulis mereka, semua duduk terfokus, semua siap menulis. Andika menyatakan bahwa latihan menulis pada hari itu adalah membuat karangan dengan kalimat yang telah dipersiapkan sebelumnya yaitu ‘Kau menemukan koper yang berisi begitu banyak uang kemudian kau memutuskan untuk berpetualang.’


Membacakan tulisannya pertama, Indra menuturkan kisah seorang kakak yang menyurati adiknya di Jakarta. Diceritakan dari sudut pandang si kakak yang konon sedang berada di negeri seberang, Indra tampak memiliki alasan sentimentil untuk menulis cerita tersebut, ia pun ternyata tidak lama lagi akan bertolak ke luar negeri demi melanjutkan sekolahnya.


Giliran berikutnya, Sundea. Dia menulis kisah fantasi yang humoris, diisi dengan permadani terbang, Aladin serta jin koper pengabul segala keinginan. Membacakan tulisannya secara jenaka, Sundea nyata bersenang-senang dengan kisah yang dibuatnya itu.


Setelah Sundea, Mahel membacakan tulisannya. Semua peserta yang lain mendengarkan secara seksama. Patut dicatat, secara pasti tulisan Mahel mulai menunjukkan cirri khas dan gaya yang unik darinya. Corak yang tertangkap adalah bahwa dia gemar menyertakan petikan kalimat serta referensi budaya pop dalam karyanya.


Nia, seorang penulis blog yang sudah punya nama, memaparkan kisah seorang laki-laki yang bertualang ke Irian Jaya, serta orang-orang yang ia temui di perjalanannya. Nia menyertakan banyak sekali detil dalam ceritanya itu, membuat cerita itu lebih nyata dan mudah dipercaya.


Sang fasilitator, Andika, menulis cerita tentang seorang pemuda yang menemukan uang, lalu menjadi naas karenanya. Sebagaimana biasa, cerita Andika mudah diikuti dan berkesan seperti sebuah penggalan catatan harian. Bagus.


Aji membuat teman-temannya tertawa melalui karakter dalam ceritanya.
Pria rendah hati ini membacakan cerita yang berkenaan dengan sepakbola dan piala dunia. Lalu, walaupun datang terlambat, Hakmer dan Dani mampu merampungkan kisah mereka yang khas dengan gaya unik mereka masing-masing.

Diskusi informal setelah pertemuan informal

Setelah sesi pembacaan karya berakhir, seperti biasa para peserta terjun dalam diskusi. Kali itu mereka membandingkan dua buah novel oleh penulis yang berbeda; bagaimana walaupun kedua novel tersebut mengadaptasi banyak opini dan pengalaman pribadi masing-masing penulisnya, yang satu jatuh nilainya di mata para peserta diskusi karena narasinya dianggap terlalu membebani dan melelahkan pembaca (“Gua capek banget bacanya, soalnya isinya tuh penuh ama omelan dan keluhan si penulis,” kata salah seorang peserta), sedangkan novel yang satunya lagi, 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori, mendulang pujian karena sang penulis berhasil merangkai pengalaman pribadinya sebagai komponen esensial cerita yang membuatnya menjadi semakin nyata dan realistis.

Akhirnya, setelah terbenamnya matahari, mereka semua bubar, berpisah untuk pergi menuju kepentingan mereka masing-masing. Tidak lupa, sebelum pulang, para peserta memberi ucapan selamat pada Nia yang akan berulang tahun. “Selamat ulang tahun, Nia ...!” ucap mereka akrab. Indra, yang mulai minggu depan tidak akan berkegiatan bersama mereka lagi, ikut terharu.




Ali Singatuhan
adalah seorang penulis yang karyanya sering mendapatkan banyak pujian dari pembaca karena kata-katanya sederhana namun sarat makna. Ia percaya bahwa dalam memberi nama satu tokoh dalam cerita, haruslah memiliki arti dan tidak asal-asalan. Nama haruslah terkait dengan karakter dan latar belakangnya. Lalu, apakah nama ‘Singatuhan’ sendiri berkaitan dengan dirinya? Bisa ditanyakan jika ia sudah kembali ke rimbanya.

Senin, 18 Januari 2010

Kaos Kaki, Oh, Kaos Kaki

Hampir seharian di hari Sabtu tanggal 16 Januari 2010 itu hujan. Hujannya kecil-kecil, kayak keluar dari pancuran air. Selain itu, hujan agak moody – kadang hujan, kadang berhenti. Hari itu sangat cocok bagi orang yang ingin santai-santai di kamar. Namun ketimbang santai di kamar, saya dan teman saya memutuskan untuk ikut writer’s circle.

Awalnya, saya menginterpretasikan bahwa kegiatan hari ini akan menulis tentang imajinasi atau fantasi. Namun ternyata dugaan saya salah karena kegiatannya adalah menuliskan kesan pertama dari sebuah benda dilihat yang pada saat itu akan disembunyikan di dalam sebuah kotak (boks) cokelat. Sesampainya disana, saya tidak melihat ada boks atau sesuatu apapun yang berwarna cokelat, hingga akhirnya fasilitator mengeluarkan tujuh buah kaos kaki dari tasnya. Benda-benda tersebut berada di dalam kaos kaki dan harus dikeluarkan!

Ok, mungkin saya berlebihan, tapi bukan hanya saya saja karena beberapa peserta yang datang pun ragu mau memegang dan memasukkan tangannya ke kaos kaki milik si fasilitator. Namun sudah kepalang kami berada di RL, maka kegiatan pun berjalan. Setiap orang memilih kaos kaki kemudian mengeluarkan benda yang ada di dalamnya.

Andika, peserta yang merangkap sebagai fasilitator, mendapatkan sebuah boneka porselain panda dari kaos kakinya. Ia menuliskan cerita bahwa ia menemukan porselain panda itu di rak ibunya. Sang ibu memiliki kebiasaan mengkoleksi namun jarang merawat hingga akhirnya berdebu. Andika menuliskan cerita fiksi tentang Mama Panda yang sedang berolahraga akibat kegendutan sehabis melahirkan. Kehamilan panda adalah hal yang jarang karena panda adalah hewan yang secara seksual sulit untuk terangsang. Selain itu Andika menyelipkan fakta-fakta penting mengenai panda tentang habitat panda di Cina dan kemana mereka berimigrasi.

Setelah Andika, Regie mendapatkan sebuah kaset Kuch Kuch Hota Hai. Regie adalah satu-satunya peserta yang segera mendapat insight ketika pertama kali melihat barang. Ia menuliskan tentang salah satu anggota keluarganya yang suka film India di tengah epidemik film Mandarin. Regie bukanlah tipe orang yang suka nonton film India. Namun paradigma ini berubah setelah ia menonton Kuch Kuch Hota Hai atas rekomendasi tantenya. Ia menjadi paham bahwa adegan tari-tarian dan adat istiadat yang ditunjukkan dalam film India adalah bentuk kecintaan masyarakatnya terhadap budaya.

Staples biru adalah benda yang Aji dapatkan. Ia bercerita tentang Pak Diman, seorang tukang fotokopi, yang sedang men-staples (menghekter atau menjegrek) makalah salah satu mahasiswi. Sang mahasiswi bertanya, “Aslinya mana, Pak?” Pak Diman menjawab, “Tegal.” Padahal asli yang dimaksud adalah makalah asli yang dimiliki mahasiswi. Sebelum pergi, mahasiswi kaget dan cekikan mendengar jawaban Pak Diman.

Karya Aji ini dikritik oleh Regie bahwa sebaiknya tidak perlu dijelaskan reaksi kaget dan cekikan karena itu membuat kualitas cerita menjadi tidak lucu. Sebaiknya, ketika Pak Diman mengeluarkan humor, langsung pada adegan si mahasiswi melengos pergi. Mendengar pernyataan Regie, Dani pun mengiyakan. Ia merasa lebih mengerti jika adegan itu dipotong.

Di tengah suasana ceria, berbekal tetikus biru yang didapatkannya, Lia membawa aroma sendu dalam cerita. Tetikus biru adalah benda kesayangan Anne, yang pada saat itu tidak dijelaskan apa hubungannya dengan sang tokoh. Diceritakan dari sudut pandang tokoh mengenai ingatan tentang Anne yang senang di hari dimana tetikus kecil jadi miliknya sebagai hadiah paketan ketika Anne membeli laptop. Tetikus biru nan kecil itu sekarang tergeletak, sementara sahabatnya menghilang.

Hubungan Anne dengan sang tokoh serta menghilangnya Anne menjadi bahan pertanyaan peserta. Lia tidak memberikan jawaban, sehingga yang lain hanya menduga-duga.

Hakmer, yang pada saat itu tumben memakai kemeja dan telat datang, mendapatkan sebuah dompet kosong. Bercerita tentang tokoh yang menemukan sebuah dompet di dekat tempat sampah Jalan Balubur, yang berselimut kaos kaki bau dan berjamur, berada di bawah roda ban becak yang mungkin sudah menggilas tahi kuda. Dalam tulisannya, Hakmer mencoba mempersepsikan sosok orang berdasarkan dompet dan posisi barang. Kira-kira, orang macam apa ya jika betul bahwa seseorang ditentukan dari dompet yang kosong serta ditemukan di tempat yang tidak mengenakkan? Pasti naas sekali nasibnya.

Sebuah botol parfum dengan merek Versace pun melayang ke tangan Anggi. Botol minyak wangi membuat Anggi menuliskan tentang seseorang yang membayangkan orang lain yang hadir dalam ingatan melalui sensasi wangi. Ia tidak bisa persis mengingat orang lain karena apalah yang bisa dibayangkan oleh seorang manusia yang sedang sakit hati.
Regie dan Hakmer menebak bahwa tulisan ini dibuat dari sudut pandang pria karena pria cenderung menulis dengan ‘setiap wanita’ ketimbang ‘wanita-wanita’. Menurut teori Hakmer yang mengacu pada contoh Wanita Tuna Susila (WTS), istilah wanita lebih rendah dari perempuan. Pernyataan ini ditambahkan dengan Anggi yang berkata, “Pantas saja Sherlock Holmes bilang ‘Hey, Woman!’ kepada Irene Adler.” Dani berkata kalau Sherlock Holmes adalah sosok misoginis.

Seorang perempuan berkacamata yang sudah lama tidak datang, Thya, mendapatkan sebuah payung. Ia menuliskan tentang seseorang yang terkejut karena menang undian sebagai pengunjung ke-100. Namun terkejutannya sirna karena ia masih harus diundi lagi. Mimpi untuk mendapatkan tea pot pun kandas begitu ia mendapatkan payung cantik yang warna dan bentuknya sudah tidak ‘cantik’. Btw, payung aslinya memang tidak cantik lho. Benda ini benar-benar mempengaruhi tulisan Thya!

Ini adalah kali pertama teman saya yang bernama Irna datang ke writer’s circle. Ia mendapatkan sebuah kamera film dan ia segera menuliskan tentang seseorang yang menceritakan sebuah mitos kalau foto bertiga, maka orang yang di tengah akan segera mati. Namun sepertinya mitos itu tidak benar karena orang masih hidup sampai sekarang. Lalu orang itu menemukan sebuah kamera perak dengan merek Coppa. Jika orang bergaya dan difoto dengan kamera itu, maka orang akan mati. Penasaran, ia mencoba ke keluarganya dan keluarganya pun mati. Karena merasa bersalah, orang itu memfoto dirinya dan ternyata kiamat yang terjadi.

Tulisan Irna ini terinspirasi dari novel horror remaja, Goosebumps, yang berjudul Bergaya Sebelum Mati. Sebagai peserta baru, Irna membawakan suasana horror segar.

Lain dengan Ina, Dani menuliskan tentang seorang detektif atau polisi yang menemukan sebuah Kamus Padanan Kata yang berisi kata sandi. Di sisi kamus, terdapat darah seorang perempuan yang ia kenal, perempuan yang seringkali memainkan kacamatanya dan mengulum pulpennya. Bahkan ketika ia mati pun, kacamata masih bertengger manis di hidungnya.

Tulisan seperti ini khas Dani! Sepertinya tulisan dengan tema detektif atau polisi ini agak jarang di Indonesia. Sebaiknya Dani menuliskan ceritanya.

Dari dalam kaos kaki, saya mendapatkan sebuah surat cinta. Tidakkah itu romantis sekali? Namun sayangnya saya agak kurang suka dengan tema cinta sehingga saya membawa angin sinis di dalam tulisan saya. Gara-gara kebanyakan menulis yang dekat dengan kehidupan pribadi, peserta lain berburuk sangka bahwa saya ini sedang mengadakan group therapy. Ah, lain kali, saya tidak akan menulis hal-hal (yang dianggap) personal lagi.

Selesainya kegiatan, kami terlibat dalam diskusi panjang tentang Twilight. Setelah itu, saya bergegas untuk menunaikan ibadah shalat maghrib dan langsung pulang. Entah apa yang peserta lain diskusikan. Mungkin ide-ide tentang mengeluarkan benda selain kaos kaki.



Nia Janiar sedang terjebak di tulisan pesimis dan terlalu subjektif. Jika menyukai tulisan semacam itu, silahkan mengunjungi blognya: http://mynameisnia.blogspot.com

Rabu, 13 Januari 2010

Masa Lalu yang Tidak Pernah Mengkristal

Banyak orang tidak suka hujan karena hujan membuat mereka tidak leluasa bergerak. Tapi aku suka sekali dengan hujan. Jika hujan tiba, hal yang paling suka aku lakukan adalah tidur di kamar sambil mendengarkan musik klasik dengan jendela dan pintu kamar yang terbuka. Menikmati tetesan air hujan yang jatuh menabrak ubin lalu memental membentuk percikan-percikan kecil. Tetesan kecil itu kemudian ditabrak oleh tetesan yang lebih besar sehingga membentuk konfigurasi indah.

Sore tadi juga hujan tetapi tidak aku habiskan di kamar. Aku ingin mengunjungi klab nulis, tempat berkumpulnya orang-orang yang senang menulis. Aku tidak berharap banyak yang anggotanya ikut, mungkin saja mereka tidak datang karena masih dalam suasana tahun baru.

Keluar dari rumah, udara dingin, dan rinai menyergap. Aku berjalan cepat menembus serpihan-serpihan hujan, berjalan melewati jalan yang mendaki, ciri khas jalan kota ini. Berdiri di bawah kanopi tukang jualan makanan, menunggu datangnya angkot yang melewati jalan Siliwangi.

Di dalam angkot, aku ditanya, “Apakah ini angkot yang akan melewati GOR Pajajaran?”

Aku memandangnya, menelisik.

“Nonton bareng persib, A',” ia menukas cepat seperti mengetahui pikiranku.

Aku berpikir keras dan menjawab, “Salah, Mas, pake angkot yang biru yang arahnya berlawanan dengan angkot ini. Nah itu angkotnya.”

Orang muda itu mengucapkan terima kasih.

Sial. Ternyata angkotnya salah.

Reading Lights masih seperti dulu. Buku-buku berjajar rapi, beberapa gadis sedang ngerumpi, dan bau roti bakar menyeruak. Sambil menunggu anggota yang lain, aku berbicara dengan moderator klab nulis. Sebuah obralan khas orang yang sudah lama tidak bertemu. Dalam dua puluh menit ke depan, ia akan mengajak peserta untuk menulis tentang masa lalu - masa yang sedikit samar-samar karena ia begitu lama terabaikan. Kenangan pada usia tujuh tahun.

Kami duduk di atas sofa empuk berwarna merah marun. Kursi rotan yang dulu telah diganti. Kami duduk menghempaskan diri dan melompat pada kejadian tujuh tahun. Suasana menjadi demikian hening, tiba-tiba masa lalu menjadi demikian penting. Setelah albumnya dibuka, masa lalu menjadi warna warni.

Apakah kamu seorang lelaki yang pernah mencoba memakai celana dalam perempuan dalam keadaan terbalik? Apakah kamu pernah merasa terabaikan karena diperlalukan pilih kasih oleh seorang guru? Apakah kamu pernah merasa sedih karena pindah rumah? --- setidaknya itulah sebagian masa lalu yang dikeluarkan para anggota yang hadir pada saat senja yang sedikit kabur.

Aku tidak ingin menuliskan pengalaman-pengalaman itu detail dengan tokoh-tokohnya. Toh semua orang punya masa lalu yang bagaimanapun akan sulit untuk dilupakan karena ia akan terus membayangi di sepanjang perjalanan hidup seseorang.

Dulu aku pernah bertanya tentang tentang masa lalu. Apa pentingnya masa lalu karena, toh, hal yang nyata adalah saat sekarang. Pada akhirnya aku merasa bahwa masa lalu adalah tali penghubung antar waktu yang dimiliki manusia. Ia adalah pengantar manusia pada sesi hidup selanjutnya. Ketika aku menengok masa laluku, tiba-tiba masa lalu menjadi demikian penting karena masa lalu adalah tali kendali perilaku, bingkai perspektif, dan jejak karakter.

Beruntunglah mereka yang punya pengalaman mancing bersama kakek mereka di pantai, diantarkan oleh ayah mereka dengan sepeda tua untuk beli es krim ke kota karena mendapat juara sepuluh di kelas, atau dimasakkan oleh bunda sebutir telur sebagai hadiah ulang tahun. Sesungguhnya sial bagi mereka yang mendapatkan masa kecil mereka dengan pengabaian, hinaan, dan penolakan.

Masa kecil yang gembira dan penuh kehangatan itu telah kita bungkus dalam sebuah album yang bernama kenangan yang akan kita buka ketika jiwa-jiwa sedang lelah dan tertunduk lesu. Tak salah penyair mistik Lebanon, Gibran, berkata, “Kenangan adalah hadiah terindah yang dibawa kemana-mana.”

Andi Anas sudah lama tidak hadir di Reading Lights Writer's Circle. Kehadiran terakhirnya cukup membekas di hati para peserta yang hadir pada saat itu karena ia berkata bahwa ia sedang detoks musik. Musik - baginya - hanya akan membuat perasaan menjadi lebih senang atau lebih sedih. Tentunya ini mencengangkan karena banyak manusia yang tidak bisa terlepas dari musik. Pemikiran-pemikiran lain seringkali tercermin ke dalam tulisan-tulisan yang membawa angin filsafati dalam pesonanya sendiri. Inilah ciri khasnya.

Kamis, 07 Januari 2010

Bermain Dengan Kata-Kata. Kenalkan, Ini SPOK!

Hari itu saya habis kehujanan edan-edanan. Akibatnya muka saya dingin, tangan saya dingin, kaki saya dingin, semuanya dingin. Lalu, karena malas dan bosan kembali ke kosan dan membayangkan teh hangat yang nikmat, maka saya berbelok ke Reading Lights. Setelah menyapa beberapa orang, memesan teh hangat dan pancake, saya lalu menuju ke lantai atas. Saya mau ikut RL Writer’s Circle.

Oke, cukup tentang saya, karena jurnal ini adalah jurnal Reading Lights Writer’s Circle, bukan jurnal saya ;P

Saat saya datang (euh, kenapa pakai saya lagi?), sudah ada Andika, Nia, Dani, Indra, dan Hakmer. Mereka semua sedang sibuk menulis. Ketika saya hampiri, Andika menyodorkan dua kertas kecil yang penuh kata-kata di dalamnya. “Pilih salah satu dari sini lalu buat tulisan,” kata Andika. “Oke,” jawab saya. Setelah meminta kertas dan meminjam ballpoint (haha, ga modal banget sih), saya juga langsung ikut menulis.

Setelah semua peserta selesai menulis, kami langsung berpindah ke sesi yang berikutnya, yaitu membacakan tulisan. Karena selesai pertama kali, maka Dani didaulat untuk menjadi pembaca yang pertama. Sebelum membacakan tulisannya, Dani mengatakan, “Saya mendapat kalimat ‘Pedagang kambing – membuat – celana dalam – dengan sepenuh hati’.” Kemudian Dani membacakan tulisannya yang berisi percakapan antara dua orang yang menemukan fosil celana dalam yang diperkirakan terbuat dari kulit kambing. Hmm…. bener ga ya ingatan saya ini? Tulisan Dani lucu dan mendapat pujian dari semua peserta karena walaupun bentuknya percakapan dan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, tapi terdengar mengalir dan tidak kaku. Lalu ada yang berkomentar, “Hebat ya, walaupun mendapatkan kalimat yang sangat aneh, tapi Dani berhasil membuat tulisan yang asik seperti ini.”

Semua orang mengangguk setuju dan mengiyakan, sementara saya berpikir, “Oo… tampaknya ada yang salah nih.” Apa yang salah? Baca terus jurnal ini ya….

Pembaca berikutnya adalah Nia. Nia mendapatkan kalimat ‘Melodi – menuliskan – teh jahe – dengan brutal’. Tulisan Nia bercerita tentang seseorang yang bernama Melodi, seorang reporter kuliner yang harus membuat review tentang sebuah cafĂ© teh padahal dia tidak suka minum teh. Karya Nia ini terdengar sweet, khas Nia banget – kata Andika. Emang, tulisan yang Nia banget tuh yang bagaimana sih, Andika? Kemudian Indra berkomentar, “Pinter juga ya, Melodi-nya dijadiin nama orang. Karena yang kebayang tadi cuma melodi yang ada di dalam lagu.”

Selanjutnya yang membacakan tulisan adalah Andika. Andika bercerita tentang seorang remaja perempuan yang tidak diundang ke pesta minum teh sekaligus pesta ulang tahun yang diadakan oleh teman sekelasnya yang juga cewek terpopuler di sekolah. Karena penasaran, dia mencari tahu mengapa dia tidak diundang dan menemukan bahwa beberapa teman yang lain, yang pernah secara tidak sengaja membuat kesal sang cewek populer, juga tidak diundang. Lalu orang-orang yang tidak diundang ini berencana mengacaukan pesta dengan cara melempari rumah sang cewek populer dengan cangkir teh. Kenapa dengan cangkir teh? Karena ternyata cangkir-cangkir itu diproduksi oleh pabrik yang dimiliki oleh ayah si cewek populer. Kami tertawa-tawa selama Andika membacakan ceritanya. Kocak sih. Oya, di tulisan ini Andika memberi nama karakter-karakternya dengan nama depan dan nama keluarga. Begitu Andika selesai membaca, saya langsung bertanya apakah akhir-akhir ini dia membaca kembali serial Lima Sekawan, Malory Towers, atau buku-buku lain karya Enid Blyton. Sambil tertawa-tawa,

Andika menjawab, “Ya, tulisan ini memang semacam tribute untuk Enid Blyton.” Ha! Dugaan saya tepat! Kemudian Nia bertanya apakah Andika memang sengaja membuat ceritanya ber-setting jaman dulu. Belum sempat Andika menjawab, Indra – yang didukung oleh Dani dan Hakmer – langsung bertanya dengan heran mengapa Nia bisa menebak kalau cerita itu ber-setting jaman dulu. Lalu diskusinya menjadi ramai karena semua orang bersahut-sahutan mengungkapkan penjelasan dan pertanyaan tentang setting waktu yang ada di cerita Andika. Oya, Andika mendapatkan kalimat ‘Secangkir teh – menghujam – lembah – di malam hari’.

Setelah ramai membahas karya Andika, berikutnya adalah giliran saya. Jeng – jeng…..! Ini dia nih cerita tentang sesuatu yang salah yang saya sebutkan tadi. Ternyata, ketika menyodorkan dua kertas kecil dan mengatakan ‘pilih salah satu’, yang dimaksud Andika adalah pilih salah satu dari dua kalimat yang ada di dua kertas tadi. Dan yang saya lakukan adalah hanya memilih satu kata, karena saya tidak ngeh kalau kata-kata yang ada di masing-masing kertas itu membentuk satu kalimat. Habis kalimat yang dibentuk aneh banget sih dan otak saya kan masih beku gara-gara kehujanan… hahaha, ALESAN! Kata yang saya pilih adalah ‘Melindas’. Dengan kata itu saya membuat tulisan tentang roda yang memulai kegiatannya lagi setelah cukup lama tidak bergerak. Saya menulisnya dari sudut pandang si roda lho. Tapi, karena kesalahan yang saya buat, akhirnya tidak ada yang mengomentari tulisan saya. Hiks.

Setelah saya, berikutnya adalah giliran Hakmer. Hakmer mendapatkan kalimat ‘Lampu – merentangkan – ember – di tengah padang kabut’. Tulisan Hakmer sebetulnya belum selesai, karena ceritanya masih panjang sementara waktunya tidak cukup. Isinya adalah tentang suami istri yang hendak bercinta, tapi terganggu oleh Lampu (yang alat penerangan dan yang ternyata juga nama anak si suami istri tadi). Sayang ceritanya belum selesai, padahal cara penuturan Hakmer sangat menarik dan Hakmer ingin mengangkat budaya Batak Karo sebagai latar belakang ceritanya. Semua peserta mengharapkan Hakmer meneruskan tulisan ini karena penasaran dengan akhir ceritanya.

Yang terakhir membacakan karyanya adalah Indra, yang pada hari itu entah kenapa tampak riang sekali dan sering tertawa. Ia mendapatkan kalimat ‘Nia – merangkak – secangkir teh – jika hari sedang hujan’. Karya Indra bercerita tentang seorang anak bernama Nia yang sakit cukup parah sampai mengigau dan teriak-teriak seperti orang kesurupan dan membuat takut orang-orang seisi rumahnya. Awal ceritanya terkesan agak horor buat saya, tapi lalu Indra dengan menarik menyusun kata-kata sedemikian rupa sehingga endingnya jadi komedi. Sementara si Andika tertawa-tawa terus sepanjang cerita karena membayangkan Nia Janiar yang jadi tokoh di tulisan Indra.

Hari itu rasanya semua peserta membuat tulisan yang cara penulisannya, pemilihan kata-katanya, dan isi ceritanya berbeda dari yang biasa dilakukan oleh masing-masing orang. Mungkin karena tiba-tiba dihadapkan pada satu kalimat yang aneh dan absurd sama sekali yang akhirnya malah menimbulkan suatu efek yang ‘membebaskan’, maka setiap orang ingin membuat tulisan yang berbeda dari kebiasaan. Sampai-sampai Dani sempat berkata kalau tulisannya kali ini sungguh aneh dan enggak penting banget. Lalu semua orang menanggapi, “Ah, tulisan gue juga aneh kok.” Kemudian masing-masing melihat kembali tulisannya sendiri dan saling berkomentar, “Iya ya, tumben cerita kamu kocak, tumben tulisan kamu isinya dialog semua, tumben …, tumben …” (Jadi inget, apa sih bahasa Indonesianya tumben?) Terus, Indra berkata kalau cara penulisan yang kita pilih kan biasanya cara yang paling nyaman untuk kita, begitu juga tentang isinya. Jadi ada semacam comfort zone di sana. RL Writer’s Circle ini ternyata bisa membuat orang keluar dari comfort zone-nya dan mencoba yang lain. Wow!

Sebelum mengakhiri pertemuan hari itu, Andika mengajak untuk bermain kata-kata lagi. Jadi, begini caranya: Ambil kertas dan pena. Orang pertama menuliskan kata yang merupakan Subyek. Lipat kertasnya agar kata yang pertama tidak terlihat oleh orang yang berikutnya. Orang kedua menuliskan Predikat. Lipat lagi. Orang ketiga menuliskan Obyek. Lipat lagi. Orang terakhir menuliskan Keterangan. Kalau sudah selesai, buka lipatan-lipatannya dan baca.

Ooo….pantesan kalimatnya jadi aneh-aneh begitu. Makanya Niken, lain kali jangan telat kelamaan. (^_^;)




Niken Anggrahini adalah lulusan Psikologi UNPAD yang seringkali disangka anak seni rupa. Mungkin karena rupanya berseni sesuai dengan pekerjaannya yaitu mengajar seni gambar di sekolah dasar. Niken seringkali menyisipkan humor dalam tulisan-tulisannya. Untuk melihat tulisan-tulisannya, silahkan mengunjungi http://nniikkeenn.multiply.com/