Tidak seperti judul di atas, hari ini kami melakukannya di Reading Lights.
Sore itu, ruang belakang Reading Lights tidak kosong seperti minggu lalu. Ada beberapa orang di bangku merah, bangku yang minggu lalu kamu duduki. Saya orang pertama yang datang, Rizal setelahnya, disusul Farida. Akhirnya sofa oranye dipilih menjadi tempat kami melakukan acara menulis bersama.
Persiapan yang tidak matang terlihat saat masing-masing diantara kami bertanya “ Hari ini temanya apa?”. Awalnya saya mengajukan tema ‘menulis dari lukisan yang saya pilih, dikarenakan lukisan di ruang atas tidak boleh di pindah dari tempatnya maka niat ini urung dilaksanakan.
Ryan datang. Setelah menyapa sekumpulan orang di bangku merah - yang ternyata dikenalnya – akhirnya gagasan tema hari ini muncul. Terinspirasi dari Filosofi Kopi Dewi Lestari yang telah dibacanya, maka benang merah tulisan kami dalah filosofi (tentang) makanan. Waktu yang disepakati adalah 30 menit.
Diantara waktu menulis, berdatangan anggota RLWC yang lain. Nia, yang tampak lelah karena harinya dihabiskan untuk mengikuti workshop tentang anak autis. Uli datang beberapa menit setelahnya, Kebalikan dari Nia, Uli datang dengan sumringah. Dani adalah anggota yang terakhir hadir, berbeda dari biasa, hari ini Dani kelihatan tenang.
Banyaknya Intermezzo membuat 'kesepakatan waktu' yang ditentukan mengalami perpanjangan. Hanya lima menit! tapi ini berarti bagi kami.
Akhirnya tuliskan kami siap dihidangkan! Siap disantap, selanjutnya dikunyah, ditelan, dan cerna sebagai masukan, kritikan atau (bahkan) penjabaran.
Karena ide awalnya datang dari Ryan, dialah orang yang pertama menyuguhkan filosofi makanannya, dengan gaya retorikanya Ryan menyuguhkan pisang sebagai santap pemubuka kami. Saya yang kemudian menyusul menyuguhkan ayam panggang untuk disantap, selanjutnya Rizal menyuguhkan minuman berupa espresso & latte.
Tidak adil rasanya bila kita hanya memakan sesuatu yang enak saja. Karena ini hidup, kita harus realistis, Farida dan Nia memperhitungkan alasan ini. Suguhan selanjutnya tidak begitu menyenangkan; Farida membawa makanan-makanan tidak enak, seperti coklat hambar dari warung, sementara Nia menyuguhkan jengkol untuk menjadi sebuah filosofi hidup seseorang yang sedang tinggal di luar negeri.
Untunglah ada Uli. Makanan selanjutnya yang dihidangkannya adalah kulit bebek Duck King dan kulit ayam KFC. Penuturan cerita yang dibuatnya seperti membawa kita menyaksikan film kartun ‘Born To Cook’. Kudapan berupa biskuit melengkapi ‘perjamuan malam’ ini. Dani menjadikan biskuit sebagai makanan yang dipilih sebagai filosofi di ceritanya.
Setelah kami kenyang dengan semua hidangkan yang di bawa masing-masing anggota, mulailah kami menganalisa sebuah pertanyaan. Saya sendiri tidak begitu mengerti mengenani filosofi sehingga muncul pertanyaan “ Apa bedanya filosofi dengan analogi?”
Penjelasan Uli mengenai Filosofi saya simpulkan menjadi penjelasan yang ‘tak membingungkan’ bila dibanding saya harus mengenal atau memahami filosofi secara filosofis. “Seorang Filosof yang akan kita antut dan dipilih adalah berasal dari seorang Filosof yang penjelasannya atau penguraiannya bisa dimengerti, karena filosofi adalah tentang kecintaan.”
Akhirnya pertemuan berakhir. Karaoke, makan sushi, PVJ dan menyendiri adalah acara yang di pilih oleh para anggota secara terpisah sebagai acara lanjutannya.
Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.