Kamis, 24 Desember 2009

Liburan!

Pernahkah Anda menonton film fiksi ilmiah Minority Report yang dibintangi Tom Cruise? Atau bahkan membaca cerita pendek tulisan Philip K. Dick yang mengilhami film tersebut? Tema penulisan Reading Lights Writers'Circle (RLWC) pada tanggal 19 Desember 2009 ini agak mirip dengan gagasan dasar cerita tersebut, walaupun diwarnai oleh suasana liburan akhir tahun. Pendek kata, masing-masing peserta diminta menuliskan suatu cerita tentang pengalaman yang mungkin akan mereka dapatkan selama masa liburan Natal dan Tahun Baru di penghujung tahun 2009 ini.


Indra, Marty, dan Anggi

Ki-ka: Andika, Wahyu, Hakmer, Dani

Indra mengawali pembacaan karya dengan suatu cerita yang menyentuh. Dalam cerita ini Indra--yang tidak dapat menikmati liburan karena terpaksa bekerja lembur di akhir tahun--menerima panggilan telepon dari ibunya di rumah. Pada awalnya ia agak kesal karena iri dengan ibunya yang selalu bisa menikmati liburan sebagai seorang ibu rumah tangga yang tidak perlu bekerja di kantor, tetapi tak lama kemudian ia sadar bahwa pekerjaan ibu rumah tangga adalah suatu pekerjaan dua puluh empat jam yang tidak memberikan kesempatan apapun untuk libur atau cuti. Akhirnya ia dapat merasakan hangatnya kebersamaan keluarga walaupun hanya lewat pembicaraan lebih lanjut di telepon dan renungan tentang kenakalannya sendiri dalam suatu liburan keluarga saat ia masih berusia tujuh tahun. Cerita ini berisi cukup banyak baris dialog, dan belakangan Indra menyatakan bahwa pengalamannya di RLWC selama ini membuatnya lebih mampu dan berani dalam menulis cerita seperti itu (dibanding dengan cerita-ceritanya dulu yang relatif lebih miskin dialog).

Berikutnya, Marty menulis tentang liburan yang dihabiskannya dengan membaca di kamarnya sendiri dan merajut syal untuk ayahnya; salah satu alasannya untuk tidak keluar rumah dalam liburan ini adalah salah satu liburan sebelumnya yang sedianya akan menjadi liburan romantis bersama pacarnya tetapi malah berubah menjadi bencana.

Anggi menceritakan suatu perjalanan ke Kalimantan sebagai penerjemah untuk seorang peneliti orangutan. Di tengah perjalanan ini Anggi (atau paling tidak tokoh penggantinya dalam cerita) nekat terjun ke sungai untuk menolong seseorang yang nyaris tenggelam ditarik oleh siluman buaya yang bergentayangan di sungai itu, tetapi sayangnya ia malah ikut mati tenggelam dan dikirim pulang dalam peti mati bersama orang yang tidak dapat ditolongnya itu. Anggi membaca cerita ini dengan nada yang ceria sehingga menimbulkan kesan ironis yang lucu tetapi juga membawa semacam humor gelap.

Bagaimana dengan Nia? Ceritanya mengulas rentang waktu tiga hari (24-26) Desember yang dilewatkannya dengan sebuah maraton gosip--pertama-tama dengan para rekan kerjanya di sebuah warung seafood, lalu dengan teman-teman SMPnya di kafe Kopi Ireng dan sebuah tempat karaoke, kemudian dengan para koleganya dari majalah online RuangPsikologi. Tak ayal beberapa tema psikologi dan filsafat (yang tentunya berkaitan erat dengan gosip!) ikut terbawa dalam cerita ini.

Saya tidak mendapat inspirasi dari liburan akhir tahun ini karena saya belum bisa memperkirakan apa yang akan saya lakukan selama liburan tersebut, jadi saya memilih untuk "banting setir" dan menulis cerita khayal tentang seorang perwira kavaleri yang tidak lagi dapat menikmati liburan di akhir tahun 2015 akibat perang saudara di Indonesia setelah pemanasan global melelehkan setengah es Kutub Selatan pada malam natal 2012 dan menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Banyak pertanyaan yang muncul tentang latar dan penokohan cerita ini karena sejujurnya saya belum sempat memikirkan setiap rincian dan cerita inipun sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu cara untuk menjajaki pilihan-pilihan yang mungkin saya ambil seandainya saya ingin mengembangkannya lebih lanjut. Latar cerita ini (yang sebagian besar fiktif) sempat menuai protes dari Indra yang awalnya mengira bahwa kami benar-benar harus menulis tentang hal-hal yang benar-benar mungkin terjadi dalam liburan akhir tahun 2009 ini.

Hakmer bercerita tentang lima janji yang dibuatnya kepada dirinya sendiri untuk tahun baru 2010: lebih rajin pergi ke gereja, hidup sehat, kuliah dengan lebih serius, menjadi "lebih dan lebih," dan mencari pacar baru. Lalu ia membeberkan rincian tentang masing-masing janji dan kegagalannya dalam memenuhi janji-janji tersebut--kecuali janji keempat yang dapat diartikan gagal memenuhi niat tahun baru dengan lebih tragis.

Cerita Wahyu mengangkat liburan ke pantai yang dimulai dengan berbagai macam rencana (termasuk menyewa penari telanjang) tetapi berakhir datar, tak kurang karena rasa malu dan segan antara teman-teman (dan bahkan kakak-beradik) saat mereka hendak menjalankan rencana-rencana gila mereka.

Andika membawakan cerita tentang perjalanan yang terpaksa dilakukannya ke Magelang untuk mengenalkan calon istri kakaknya kepada neneknya. Perjalanan ini harus dilakukannya dengan cepat karena calon istri kakanya itu ternyata sudah terlanjur hamil muda, sehingga sang kakak harus cepat-cepat menikah sebelum tersebar kabar miring. Naasnya, sang nenek ternyata tidak begitu berkenan dengan kurangnya bibit, bebet, dan bobot calon cucu menantunya; bahkan bujukan dari cucu yang paling disayanginya (Andika) tidak begitu berhasil dalam melunakkan hatinya. Akhir cerita ini "dipelintir" dengan manis saat tokoh Andika mengungkapkan bahwa mungkin ia menjadi cucu tersayang karena ia tidak akan membawa seorang wanita ke dalam keluarga besarnya--apapun maksudnya itu!


Secara resmi, pertemuan kali ini berakhir cepat karena para peserta RLWC harus segera berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan seorang staf Reading Lights. Saya baru mengetahui adanya resepsi ini tak lama setelah pertemuan dimulai, jadi saya tidak sempat berganti pakaian untuk memberikan kesan yang lebih formal; tetapi paling tidak nasib saya tidak setragis Hakmer yang sama-sama baru diberitahu tentang resepsi ini dan terpaksa mengenakan sandal jepitnya karena ia tidak membawa alas kaki lain. Di sisi lain, Andika mengganti bajunya dengan setelan jas yang membuatnya menjadi pusat perhatian, bahan pembicaraan, dan korban hujatan saat kami sedang bersiap-siap sebelum berangkat. Salah satu penyebabnya adalah potongan jasnya yang aneh--bagian depannya memiliki dua baris kancing (double-breasted) yang seharusnya dipasangkan dengan sepasang bukaan samping di dasar punggung jas, tetapi pada nyatanya hanya ada satu bukaan tengah (center slit) yang lebih cocok dengan jas yang hanya memiliki sebaris kancing (single-breasted) sehingga jas tersebut terasa agak sempit dan canggung saat Andika sedang duduk. Mungkinkah ada seseorang yang akan menceritakan kekeliruan potongan jas ini seandainya saya sempat mengetahuinya dan mengemukakannya sebelum kami mulai menulis?




Pradana Pandu Mahardika memiliki prinsip 'Kalau tidak ada acara, saya akan selalu datang ke Reading Lights Writer's Circle'. Laki-laki yang pernah berkata bahwa ia tidak menyukai pergi dengan para anggota suatu group lalu membicarakan hal di luar konteks group (misalnya hal-hal personal) ini memiliki kompulsi membeli buku fiksi dan non fiksi. Sudah bisa ditebak kalau ia memiliki koleksi buku banyak sekali.


Rabu, 09 Desember 2009

Menyelami Foto Dengan Mata, Menulis Dengan Tangan dan Hati

Hari Sabtu yang lalu, udara tidak jelas panasnya. Salah seorang sahabat saya memberi komentar ini disebabkan karena adanya acara outdoor di daerah Saparua yang menggunakan para pawang sakti untuk mencegah hujan, oleh karenanya cuaca hari itu panas sekali. Namun menjelang sore, udara mulai terasa dingin. Kurang lebih pada saat itulah saya datang ke Reading Lights untuk ikut menulis bersama di RL Writers' Circle (RLWC) yang sudah dua minggu tidak bisa saya hadiri.

Saya datang sekitar pukul empat lebih. Ketika datang, dua peserta pertama yang saya lihat adalah Nia dan Andika yang sedang duduk di pojok favorit. Setelah menyapa mereka, Andika pun memberi tahu bahwa hari itu kita akan menulis cerita fiksi berdasarkan kesan yang kita tangkap melalui sebuah buku foto yang dibawa Andika.



Ketika melihat buku foto tersebut, kesan pertama yang saya tangkap adalah gambar-gambar di foto itu sangat bagus, Dengan pengetahuannya, Andika menceritakan buku foto itu yang merupakan salah satu karya fotografi tahun 60an -- menangkap kesenduan Amerika di masa yang disebut golden age-nya Amerika.

Tidak lama kemudian dua peserta RLWC yang belum saya kenal datang dan Andika mengenalkan saya kepada mereka: Mayang dan Natalia. Beberapa saat kemudian datang lagi peserta langganan RLWC, Martina. Setelah itu, kami berlima pun sepakat untuk pindah ke "ruang belajar" tercinta kami di lantai dua.

Andika segera memulai kegiatan hari itu dengan mempersilahkan kami memilih foto-foto yang ada di buku foto. Karena buku foto yang dibawa dan digunakan hanya satu, kami terpaksa bergiliran melihat dan memilih foto didalamnya. Sempat muncul protes konyol tentang bagaimana kalau dirobek-robek saja lembaran bukunya supaya kami semua bisa melihat isinya tanpa perlu bergiliran. Pada saat kami memilih, dua peserta RLWC lain muncul yaitu Hakmer dan Dani. Setelah selesai memilih, kami segera menulis. Kurang lebih 30 menit waktu yang kami habiskan untuk menerjemahkan visual foto melalui tulisan.

Setelah batas waktu yang ditentukan, Andika menyatakan sesi menulis berakhir. Dia bertanya siapa yang akan membaca duluan, saya berseru dengan keras, "Andika duluaaaannn!!!" dan karena mayoritas suara peserta RLWC ikut mendukung, maka Andika mendapat giliran pertama untuk membaca (saya harap Andika tidak dendam. Hehe ...)



Pilihan Andika adalah sebuah foto yang menggambarkan seorang pria di depan mesin jukebox di sebuah bar di daerah Las Vegas, Nevada. Kok saya bisa tahu lokasinya? Karena ada keterangan foto di belakangnya. Andika menceritakan pria itu bernama Deni yang sedang mencari Deri -- kakaknya yang hilang saat istri Deri hendak melahirkan. Monolog Deni mengalir dan menceritakan sebuah rahasia terpendam tentang rasa iri yang Deni rasakan kepada kakaknya dan menjadi pendorong dia memperkosa iparnya sendiri di malam pengantin kakaknya. Ceritanya menurut saya sangat bagus dan tidak terduga. Hampir semua peserta RLWC menyukai cerita itu. Walau kalau dipikir-pikir sih, ceritanya cukup kelam.


Andika, saya-lah yang kena giliran membacakan tulisan saya. Saya memilih sebuah foto yang mengambarkan counter sebuah family restaurant yang bagian atas restoran dihiasi dengan hiasan natal dan ada seorang waitress ber-makeup tebal dan berwajah sedih. Berhubung sudah suasana Natal, saya coba mengambil suasana itu ke dalam cerita saya, Dengan tokoh utama Laura, seorang waitress di sebuah restoran di kota Hollywood, yang terjebak dalam rayuan kekasihnya yang menjanjikan kehidupan seorang artis di Hollywood. Namun kehidupan Laura di Hollywood jauh sekali dari mimpinya. Kekerasan fisik dan kesedihan membuat dia merindukan keluarganya yang jauh dan terutama salju tidak pernah turun di Hollywood. Komentar yang saya dapat sangat menyenangkan. Beberapa peserta merasa kalo cerita saya sangat Amerika (ternyata banyak menonton serial Amerika membantu saya untuk membuat cerita ini juga!)


Dilanjutkan dengan Nia yang mengambil foto seorang ibu dengan kedua anaknya di mobil. Cerita Nia diawali dengan kehebohan kedua anak, saat sang ibu membangunkan mereka terburu-buru, menyuruh berpakaian, dan bersiap-siap untuk sebuah perjalanan. Dalam perjalanan, Nia membangun ketegangan dengan kebisuan sang ibu, dan pernyataan-pernyataan si anak yang sedikit menyerempet kriminal, kejahatan, dan penyiksaan. Ternyata semua ketegangan itu memuncak saat sang ibu memarkirkan mobilnya untuk ... berbelanja di supermarket obral! Saya yakin semua peserta RLWC pada saat itu tertipu dengan ending tak terduga namun lucu ini. Seperti biasa, Nia dengan kemampuan kata-katanya, mampu membangun rasa penasaran audience-nya.


Dilanjutkan dengan Martina yang mengambil foto perayaan 4th July. Marty memusatkan ceritanya kepada tokoh bernama Marty dan saudara sepupunya yang menghadiri perayaan 4th July. Marty mengambarkan perasaan senang dan kekaguman infantil yang mereka rasakan dan juga pola pandang anak-anak itu terhadap perayaan tersebut. Sayang Marty tidak mengembangkan ceritanya lebih dalam, padahal ceritanya sangat bagus dan sangat mewakili perasaan anak-anak (apa karena Martina baru pulang dari sebuah workshop menulis buku anak-anak?)



Hakmer membacakan karyanya tentang pandangannya terhadap foto seorang pemuda dan wanita dalam mobil di tengah gurun. Manuel, seorang pemuda dalam pelarian dengan sang Ibu, merasa sangat letih dan mulai muak dengan perjalanan yang mereka alami -- mobil yang mereka tumpangi dan pemandangan monoton yang itu-itu aja. Seperti biasa, Hakmer menggunakan banyak alegori dan metafora dalam tulisannya. Tulisan yang sangat bagus menurut kami.


Mayang bercerita dari foto seorang wanita kulit hitam dengan anak kulit putih. Wanita berkulit hitam itu bernama Rachel, seorang budak bebas yang terjebak sebuah konspirasi aneh yang melibatkan penculikan anak majikannya. Selain itu, salah satu temannya Rachel - seorang wanita kulit putih miskin - ternyata mencoba menjodohkan Rachel dengan sang majikan melalui penculikan. Komentar pertama yang keluar dari salah satu peserta RLWC adalah 'telenovela!' yang disetujui oleh sebagian besar peserta RLWC. Tapi menurut saya, cerita Mayang justru mungkin yang lebih mudah dijual jika diteruskan menjadi sebuah novel komersil karena ada konflik cerita yang berlandaskan cinta didalamnya.


Peserta yang membacakan karya selanjutnya adalah Natalia. Lia, panggilan akrab Natalia, menulis melalui foto yang menggambarkan seorang wanita paruh baya yang tersenyum lebar di tengah padang rumput. Natalia menggambarkan sang wanita sedang menunggu suami dan anaknya pulang dari perang. Namun harapan positiflah yang mampu membawa wanita itu dapat melalui hari-hari dengan tersenyum. Cerita Natalia sangat positif serta mengalir dengan tenang dan pasti. Sangat menyenangkan untuk didengar. Bagi sebagian peserta, kisah yang dibuat Lia adalah kisah yang paling menggambarkan susana yang ditangkap dalam foto tersebut.


Dani, peserta yang terakhir membacakan karyanya, menulis sangat jauh dari foto yang ada. Dia bercerita tentang peperangan di dunia fantasi yang melibatkan burung raksasa yang dapat ditunggangi, prajurit-prajurit tua dengan baju zirah tua, pahlawan dengan busur, dan ketepatan memanah yang luar biasa. Kami semua bertanya dimana kolerasi antara foto dengan ceritanya, Dani dengan enteng menjawab, "Fotonya menggambarkan tentang sekelompok orang tua yang memakai pakaian ketinggalan jaman". Dani hanya mengambil sebagian kecil dari foto tersebut.

Akhirnya kegiatan kami pun berakhir dengan sebuah pelajaran bahwa cara pandang dan kesan seseorang terhadap suatu masalah itu berbeda, namun tetap akan menghasilkan sebuah cerita yang mengalun dengan indahnya.




Regian Permana. Lahir lebih dari 20 tahun yang lalu. Menyukai lagu-lagu Jepang dan Korea. Penggemar berat cerita fantasi dan dongeng - terutama dongeng-dongeng Asia tentang siluman rubah. Mungkin itulah yang menyebabkan cowok narsis ini mempunyai Facebook: Siluman Rubah Regie, YM: liyujingbai (siluman rubah putih), dan Livejournal: http://white-demon-fox.livejournal.com. Usut punya usut, menurut cerita nenek Regie, nenek moyangnya di Cina dulu adalah seorang (atau seekor) rubah, sehingga untuk mengenal Regie harus berhati-hati karena siapa tahu garis darah itu masih menurun kepadanya ...