Rabu, 27 Mei 2009

Catatan Pinggir: Sabtu Sore. Dua puluh Tiga Mei

Aku keluar dari kamarku yang remang. Menyeret kaki yang terasa berat entah mengapa. Lima belas menit berlalu. Aku turun dari angkot dan mendapati dua orang lelaki yang telah lama ku kenal dari sebuah kelompok menulis. Kulihat Aji dan Andika. Aji yang memakai kaos kesukaannya membuat Andika berujar, “Macam-macam ya pakaian orang yang hadir di Reading Lights ini,’ ujarnya kemudian menyeruput minuman yang sudah mencapai dasar gelas.

Toko buku ini tidak terlihat tua walaupun panel raknya terbuat dari kayu. Buku-buku menempati raknya sendiri. Fiksi, non fiksi, dan majalah.

Di seberang sana para pegawai hilir mudik mengantarkan pesanan. Seorang pelayan yang sudah tampak tua dengan kumis tipis dan perut yang mulai buncit mendengar musik dari earphone yang ia pasang di telinga. Sesekali ia menggoyangkan kepala.

Dari lorong rak, muncul Yasraf Amir Piliang beserta seorang gadis dengan sepasang mata yang berbinar dan seorang perempuan berkudung berusia paruh baya. Mungkin anak dan istrinya. Si gadis duduk di atas kursi di depan kasir, Yasraf dan perempuan berkudung berdiri di sampingnya. Mereka menunggu beberapa buku yang sedang dihitung sementara pelayan dengan earphone di telinga sesekali tersenyum kepada mereka.

Di meja kami kini telah hadir Nia, teman kami. Setelah duduk sebentar, ia mengelilingi rak-rak buku dan berhenti di coffee corner untuk memesan sesuatu. Beberapa lama kemudian dua batang resoles yang cukup besar dan saus kacang diantarkan. Ia menyicipnya dengan kemayu. Tampaknya ia menikmati resoles itu. “Kita tunggu anak-anak lain sebentar lagi,” imbuhnya. Lalu ia melanjutkan upacara makannya. Aku curiga ia ingin kami tidak meninggalkannya begitu saja.

Sepuluh menit berlalu. Sekarang kami berempat sudah berada di sebuah ruangan lantai atas. Duduk dalam sofa yang empuk, dikelilingi oleh berbagai lukisan abstrak. Andika menjelaskan kalau tempat ini digunakan sebagai galeri.



Hari itu kami menulis tentang diskripsi. Selesai menulis, datang Rukmini. Gaya bicaranya begitu polos. Semua perasaan dari ujung katanya tumpah begitu saja, mengingatkanku dengan tokoh-tokoh dalam komik jepang. Ia menulis tentang dua orang yang makan di restoran yang sepi karena di lantai atasnya sedang di bangun hotel.

Seorang anggota geng nulis yang lain datang, ia adalah Uli. “Hari ini aku enggak nulis”. Kami mengangguk. Ia duduk manis di atas kursinya sambil menyeruput minuman yang entah apa namanya. Minuman dicampur dengan segelas kecil madu.

Seperti biasa, Andika menulis tentang seorang lelaki yang diseret penjaga kebun yang ternyata homo. Seharusnya nuansa cerita ini getir, tapi ia membuat atmosfernya terdengar komedikal. Dengan menamai penjaga kebun itu dengan tokoh Rudolfo saja, ia sudah terlihat kocak. Andika juga sesekali tertawa dalam membacakannya.

Nia menulis tentang perempuan yang bekerja sebagai guru pendamping untuk anak-anak yang sulit konsentrasi. Tokoh ayah dan ibu mengkritik tokoh utama dengan pertanyaan-pertanyaan pedas seperti kenapa anaknya sulit berubah. Pertanyaan ini ditanggapi oleh sang tokoh bahwa ia hanya memiliki dua setengah jam dalam seminggu. Presisi diksinya bagus. Ia seperti menulis pengalaman sendiri.

Sementara aku menulis tentang seorang lelaki yang tidak punya ikatan yang jelas dengan seorang perempuan. Dua tokoh yang sama-sama platonis.

Dan Aji keluar dari mainstream tulisannya. Ia yang semula terbiasa dengan tulisan tentang politik dan sepakbola, malah menulis tentang seorang mahasiswa yang suka sama mahasiswi yang ternyata lesbian.

Tulisan-tulisan dibaca. Lalu muncul komentar yang menggamit masalah lain. Awalnya tentang perempuan, diikuti perilaku over acting perempuan dalam masalah cinta, nyambung lagi dengan tema-tema lukisan Raden Saleh, dan bla-bla ...

Adzan magrib terdengar. Konsentrasiku hilang. Seseorang pernah berkata padaku bahwa pada pergantian waktu seperti saat itu turun para malaikat yang membawa hadiah dari Tuhan juga setan yang meniupkan imajinasi buruk pada kepala-kepala manusia.

“Baiklah kita tutup pertemuan kita”. Kata-kata Andika membangunku. “Minggu depan kita menulis tentang nonfiksi.” Tidak berapa lama kemudian, ia mengoreksinya, “Hampir lupa. Nggak jadi. Nggak jadi. Minggu depan, tanggal 30 Mei, ada workshop menulis roman yang diisi oleh dua orang penulis terkemuka. Datang ya!”

Matanya berharap.


- Anas -

Senin, 25 Mei 2009

Write Your Romantic Moment: Workshop Penulisan Cerita Romansa

Semua orang pernah merasakannya!

Romansa hubungan lawan jenis yang pernah dirasakan setiap orang akan menjadi suatu ide yang kaya. Tidak hanya sebuah pertemuan namun proses menjalani suatu romansa menjadi tema yang sangat bermakna dalam kehidupan manusia. Seringkali seseorang terus mengenangnya walaupun kenangan tersebut sudah lama berlalu.

Perasaan-perasaan dan kenangan-kenangan itu tidak cukup jika hanya disimpan. Ide besar itu lebih baik diolah untuk dijadikan suatu karya. Tulisan itu mengabadikan.

Reading Lights Writer's Circle memfasilitasi proses penulisan ide melalui teknik menulis dengan orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. Workshop ini akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal:
Sabtu, 30 Mei 2009

Pukul:
Sabtu (10.00-14.00)

Tempat:
Reading Lights Bookshop & Coffee Corner
Jalan Siliwangi 16 (dekat Ciumbuleuit)

Pembicara:
- Primadonna Angela
(penulis Quarter-Life Fear, Belanglicious, Big Brother Complex, Kintaholic, QueryPita, dan lainnya)
- Isman H. Suryaman
(Copywriter, editor, dan penerjemah, fasilitator Ubud Writer's and Reader's Festival, penulis buku Bertanya Atau Mati)

Moderator:
Theoresia Rumthe
(Penyiar Sky Book Club Radio Sky FM dan penikmat puisi)

Contact person:
- Ina (022 - 91257981)
- Andika (022 - 91652084)


GRATIS!!

Rabu, 20 Mei 2009

Ind(ones)ia

Suatu sore, saat sedang tidak ada kerjaan di sela-sela waktu yang tidak padat oleh aktifitas, Si Maknyes membuka-buka facebook. Di kolom event, perempuan itu mendapati sebuah undangan untuk datang ke Reading Lights hari Sabtu itu, dengan agenda menonton Monsoon Wedding, film produksi tahun 2001 yang sudah pernah ditontonnya tahun itu pula. Namun kalau kata Alec Baldwin dalam film Ghost of Mississipi “waktu menemukan cara untuk mengembalikan ingatan seseorang”, tidak berlaku buat Si Maknyes yang pelupa. Waktu justru telah mengikis ingatannya akan film itu. Bukan karena film itu kurang menarik menurutnya, melainkan karena faktor x yang terjadi sehingga dulu dia menonton dengan kurang fokus. Bukannya karena waktu itu tidak menggunakan fasilitas infokus, hanya saja seingatnya, waktu itu dia nonton bersama kecengan (entah kecengan yang mana, dia pun lupa). Sehingga alih-alih menonton dengan tenang, hatinya malah tertuju pada si kecengan nan tampan, walaupun matanya menatap film itu lekat-lekat. Yaa… namanya juga anak muda toh? Namun satu yang dia ingat, film itu lucu.

Setelah melihat judul film yang akan diputar, tanpa pikir panjang, langsung di-klik-nya sebuah kotak kecil biru bertuliskan YES.

Pada hari H, Si Maknyes datang memenuhi komitmennya pada undangan facebook itu, walaupun tidak sepenuhnya komit karena dia datang terlambat. Saat kakinya menapaki lantai 2 Reading Lights, tempat dimana film diputar, ruangan sudah gelap. Artinya sang film sudah mulai diputar, walaupun belum lama. Dalam kegelapan, dia bisa menghitung berapa kepala yang hadir sore itu. Hanya lima kepala, termasuk kepalanya. Tubuh yang melengkapi kepala-kepala itu pun berjumlah lima. Agak seram juga membayangkan kalau jumlah kepala dan tubuh yang ada di sana tidak seimbang.

Saat film berlangsung, datang lah lagi dua orang me’ramai’kan suasana romantis sore itu. Se-romantis film yang sedang diputar di tengah ruangan yang dingin oleh hembusan penyejuk ruangan.

***



Monsoon Wedding mungkin tak seromantis film-film a la Bollywood kebanyakan yang mengangkat kisah cinta giung. Film ini berkisah mengenai sebuah keluarga besar dengan Lalit Verma sebagai kepala keluarga yang penyayang dan mau berkorban apa saja demi putrinya, termasuk mengadakan sebuah pesta pernikahan yang mahal dan mewah, padahal dia sedang tak luput dari masalah keuangan. Aditi, sang putri, dijodohkan oleh seorang pria yang belum pernah dia temui sama sekali. Padahal perempuan itu sudah punya kekasih.



Kisah yang seharusnya sederhana, antara menjawab ‘bersedia’ atau ‘tidak’, menjadi kaya akan konflik yang mulai timbul saat semua keluarga Verma dan para calon besan berdatangan dari beberapa belahan dunia.

Film ini bukan sekedar film tentang cinta: cinta antara dua manusia, cinta ayah kepada keluarganya, cinta kakak kepada adiknya, cinta seorang anak dengan jati dirinya sendiri, dan cinta orang India terhadap tradisinya, yang semuanya diramu secara seimbang, namun Mira Nair pun mengangkat tema keberagaman yang dipersatukan dalam satu atap besar bernuansa India yang kental. Seakan mau menunjukkan bahwa sebanyak apapun kebudayaan dan tradisi di dunia ini, budaya India lah yang paling kaya dan menarik.



Film yang penuh dengan intrik namun dibalut oleh keceriaan tradisi India yang terkesan selalu meriah oleh tarian, musik, dan warnanya. Hujan sebagai ciri khas film India kebanyakan yang biasanya digunakan sebagai penguat adegan-adegan emosional, secara cantik diangkat menjadi objek yang mempersatukan semua orang dalam kebahagiaan dan pernikahan besar yang terbayar bukan hanya dengan uang namun dengan banyak kejujuran.

***

Hujan deras turun di penghujung film itu, seakan berkejaran dengan suasana langit kota Bandung yang sudah mulai mendung bersiap meluncurkan butiran-butiran air yang mungkin tak kalah derasnya.

Sembari dihanyutkan oleh backsound musik India yang mengiringi credit title, ketujuh penonton memulai diskusi ringan. Andika, sang fasilitator, langsung mengajak joget India, yang tentu saja tak sedikitpun mendapat tanggapan bernada setuju.

Nia menyamakan India dengan Indonesia yang nampaknya sama-sama western minded. Namun setelah dibahas, mereka mendapati ternyata penduduk India tidaklah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa gaya, melainkan memang sebagai bahasa pemersatu, karena mereka tidak punya bahasa nasional seperti Indonesia.

Sementara Ina, yang datang terlambat, mengaku terhibur oleh film itu, walaupun gelap (mungkin dalam hal ini ‘kualitas’nya yang gelap, karena media yang digunakan adalah VCD).

Badar yang adem ayem ajya, ternyata tak terlalu suka. “India banget… terlalu rame,” katanya sembari cengar cengir.

Omes tidak banyak komentar karena dia tidak nonton dari awal.

Sementara Niken, yang ‘menghilang’ beberapa saat dari ruang nonton, berpendapat tidak menyukai film itu. “Kayak pernikahan Jawa!” serunya. Dalam hati Si Maknyes berujar, ‘bukannya pernikahan Jawa nggak ada rame-ramenya ya? Dibandingin Betawi!’. Kemudian Si Maknyes menyadari, ‘ooohh… barangkali sama ribetnya!’

Yah, semua orang boleh punya pendapat masing-masing. Si Maknyes sendiri suka dengan film itu. Yang paling dikaguminya adalah sentuhan khas India yang sederhana namun berkelas di setiap scene-nya. Dan dari film itu pula, dia bisa menemukan kesamaan antara India dengan Indonesia, dilihat dari setting-nya. Pasar-pasar, jalan dan lalu lintas, pemukiman, dan kondisi kota di sana tak ada ubahnya dengan kondisi di Indonesia. Tapi kenapa di sana kok tampaknya lebih eksotis ya? Ah memang rumput tetangga selalu lebih hijau.

Sesaat setelah diskusi berakhir tanpa ditandai dengan ketuk palu, Si Maknyes buru-buru pulang karena masih banyak agenda yang harus dilakukannya. Perjalanannya pulang dinikmatinya dengan seksama. Jalanan yang becek, lalu lintas yang padat, udara yang tercampur dengan polusi, pasar yang padat, semuanya dilaluinya dengan hatii riang. Pikirannya menghipnotis dirinya sendiri dengan serta merta berkata “Gue lagi di India… gue lagi di India… gue lagi di India…”.


Minggu, 17 Mei 2009

Mengolah Ide Menjadi Tulisan



Melanjutkan postingan sebelumnya yaitu bagaimana cara menangkap ide dari kehidupan sehari-hari, kini akan saya coba paparkan bagaimana cara mengolahnya. Mengolah ide adalah mematangkan ide yang telah didapat oleh seseorang untuk diperoleh menjadi sebuah cerita tulis (Pranoto, 2007). Terkadang ada beberapa penulis yang mendapat ide kemudian langsung menuliskannya, namun ada juga yang harus mengendapkan terlebih dahulu, misalnya Hamsad Rangkuti yang mengendapkan idenya selama empat tahun.

Ide diolah untuk dijadikan plot cerita. Waktu yang tepat untuk mengolah ide adalah pada saat mood (suasana hati) yang tepat. Karya yang berasal dari mood biasanya lebih bermakna karena menggunakan perasaan ketika menulisnya, namun bukan berarti menunggu mood baik juga. Kalau moodnya tidak datang terlalu lama, penulis menjadi tidak produktif. Selain suasana hati ada juga jam-jam produktif (the golden time for writing). Pada umumnya, jam produktif berada di suasana yang sepi yaitu sekitar pukul 23.00 hingga dini hari. Percaya atau tidak, saya pernah mengalami jam produktif ini. Pernah hampir tiga tahun saya mengalami gangguan tidur tapi saya banyak memproduksi tulisan. Begitu jam biologis sudah berubah, saya hampir tidak menghasilkan karya apa-apa.

Mengolah ide bisa melalui proses yang terstruktur dengan menggunakan 5W (Who, What, When, Where, Why) dan 1H (How). Pedoman 5W+1H bisa menjadi pernyataan-pernyataan untuk menguji atau mengasah ide itu sendiri.

Who - Charaters - Siapa saja pelaku atau tokoh-tokohnya?
What - Conflict - Konflik apa yang akan disajikan?
When - Time - Kapan berlangsungnya cerita itu?
Where - Place - Dimana cerita itu terjadi?
Why - Character's motivation - Mengapa atau motivasi apa yang dimiliki tokoh sehingga ia berbuat sesuatu?
How - Resolve Conflict - Bagaimana menyelesaikan konflik yang ada?

Terdapat langkah-langkah untuk mengolah ide. Caranya sangat mudah dengan sistem kerja yang terarah:

1. Menghimpun Tokoh
- Tokoh tidak harus manusia tetapi bisa binatang, tumbuhan, atau alam itu sendiri. Tokoh pun harus dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh pendukung.
- Dalam cerita pendek, usahkan tokoh tidak lebih dari tiga agar penulis bisa fokus terhadap tookoh yang dibuat.

2. Membuat setting cerita
Setting dapat dibuat fiktif atau diambil dari setting yang sesungguhnya. Setting fiktif biasanya digunakan untuk menyajikan cerita kontemporer yang bersifat absurd atau cerita fantasi. Sedangkan setting sesungguhnya, biasanya digunakan untuk cerpen realis, menggunakan kota-kota yang sudah ada seperti Jakarta, Bandung, dan lainnya.

Salah satu teman saya pernah berkata bahwa kebanyakan penulis Indonesia membuat setting fiktif yang tidak matang. Batasan panjang cerita pendek membuat penulis susah menulis secara detail setting fiktif. Berbeda di novel, J.K. Rowling bisa menulis, mencipta, dan membentuk dunia baru lengkap dengan detailnya sehingga pembaca merasa masuk ke dalam cerita. Pengadaan setting fiktif yang tiba-tiba dan tanpa penjelasan membuat cerita terlihat patah.

3. Konflik dan Peristiwa
Tulis poin-poin penting konflik dari cerita yang akan disajikan. Konflik ini berhubungan erat dengan peristiwa yang disajikan disamping dampak dari perilaku tokoh. Untuk mencipta konflik, ada beberapa tips:
- Konflik akan terasa hidup apabila dilukiskan dengan kata-kata yang kuat, yaitu kata-kata yang mampu mewakili suatu perbedaan yang mengundang perdebatan, argumen, bahkan pertengkaran.
- Konflik tidak cukup dibangun dengan dialog para pelaku dengan sistem sahut-sahutan.
- Konflik bukan berarti buruk walau terjadi pertentangan yang dahsyat.

4. Penyelesaian
Cerita yang menarik harus terdiri dari pembukaan-klimaks-anti klimaks-penutup. Penyelesaian harus dibuat sedalam mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak logis kecuali menulis cerpen yang bersifat absurd.

Mungkin sistem kerja yang terarah jangan sampai membuat menulis sebagai pekerjaan yang kaku. Buatlah sesantai mungkin namun pada jalur yang tepat dimana point-point penting harus masuk ke dalamnya.

Apapun dan bagaimanapun cara menulis Anda, selamat menulis!

sumber: Pranoto, Naning. 2007. Creative Writing: Jurus Menulis Cerita Pendek. Bogor: Raya Kultura

Rabu, 13 Mei 2009

Movie Week: Monsoon Wedding

Director: Mira Nair
Writer: Sabrina Dhawan

Film ini mengisahkan tentang seorang ayah yang bernama Lalit Verma yang mencoba untuk mengadakan pesta pernikahan yang mahal dan mewah untuk anaknya, dimana sang anak akan menikah dengan seseorang yang baru dikenalnya selama beberapa minggu. Dari generasi ke genenarsi, pernikahan di India harus dihadiri oleh semua keluarga yang berdatangan dari seluruh belahan dunia.

Pengantin perempuan, Aditi Verma (Vasundhara Das), sangat gugup karena ia memiliki hubungan dengan mantan atasan yang sudah menikah yang bernama Vikram (Sameer Arya). Terdapat beberapa plot lain seperti keponakan perempuan dari pengantin wanita yang pernah diperkosa oleh pamannya, sistem patriarki dalam keluarga, dan lainnya.

Dalam agenda movie week, Reading Lights Writer's Circle akan menayangkan film ini di hari Sabtu (16/05) pukul 16.00 WIB. Ditunggu ya kedatangannya!

Senin, 11 Mei 2009

Art Exhibition Review: Pour Daisy

"The Inside of Me" karya Anne Nurfarina (2009)

Di penghujung Sabtu sore yang biasanya saya habiskan di Reading Lights, kali ini saya berkunjung ke Titik Oranje Gallery di Jl. Taman Pramuka No. 181 yang juga sekaligus tempat tinggal sang teman di Writer’s Circle, Nia. Andika sebelumnya menunggu teman lain di Reading Lights untuk berbarengan, berhubung mendadak 3 teman tak mau ikut ke Titik Oranje, jadi kami hanya bertiga.

Seni baru bermakna jika dibicarakan dengan orang lain

Minggu ini bertema ART EXHIBITION REVIEW. Sebelum membuat sebuah review pameran seni sebaiknya kita mengetahui tentang sejarah seni, latar belakang artis si pembuat karya, dan sediakan segelas wine (hahahaha … saya malah menyediakan bajigur). Lalu kata Andika, langkah membuat review pameran seni diantaranya :

- Berlama-lamalah melihat sebuah karya dan mengetahui alasan kurator memposisikan karya.
- Wawancarai sang artis
- Cari informasi tentang galeri tempat pameran tersebut
- Posisikan seniman diantara orang terdekat dalam kehidupan kita
- Jangan takut berpendapat

Setelah memandangi dan berfoto ria, kami membacakan review masing-masing.

Ini pembacaan review, bukan apresiasi puisi, Nia!

Ini versi Nia, sang pemilik ruang. Dia sempat ragu tentang jumlah tamu yang akan datang ke galeri ini karena pembukaan dilakukan pukul setengah tujuh malam. Namun perkiraannya salah, tamu yang datang cukup banyak. Buktinya saya dan Andika berada diurutan nomor 96 & 97 di buku tamu. Nia memaknai semua lukisan sebagai sebuah proses sejak pembuahan sampai kelahiran. Sosok burung sebagai perwujudan seorang laki-laki dan bunga perumpamaan seorang wanita. Menurutnya, mungkin bukan bercerita tentang Anne, tapi mengenai wanita pada umumnya. Andika berpendapat review Nia terlalu objektif tanpa sisi subjektif yang mendominasi.

Andika yang penasaran dengan legenda Nini Anteh

Andika merasa dipeluk saat memasuki ruang pamer, ada kesan hangat namun terlalu erat. Ruang yang mini beradu dengan lukisan-lukisan besar yang tergantung berdekatan. Jika membandingkan karya tahun 1994 dengan 2009, Andika merasa karya terbaru Anne lebih ceria.

Lalu waktunya saya mereview. Inilah subjektifitas saya :

"Seolah-olah saya disodorkan pada batik karya pabrik yang hanya beda komposisi namun satu pola."

Dari sembilan lukisan grafis dan 5 karya lama Anne Nurfarina, saya menyukai tokoh sang ibu dengan rambut keriting, mata yang selalu terpejam, dan bibir penuh yang sering tersenyum. Dosen salah satu universitas swasta di Bandung ini telah lama tak berkarya karena kesibukannya bekerja. Lalu ketika support dari orang terdekat dia dapatkan, maka nuansa kasih sayang dengan sang anak dia curahkan. Namun guratan yang mirip di semua karyanya menghambat keunikan dari lukisan itu sendiri. Seolah-olah saya disodorkan pada batik karya pabrik yang hanya beda komposisi namun satu pola.

Posisi sang bayi yang selalu terlelap tenang menggambarkan kenyamanan yang dia rasakan. Lalu ada dua lukisan yang menyertakan seekor burung dengan tatapan “nakal” menemani sang bayi. Ada tiga ekspresi dalam satu frame berjudul “Inside of Me”, terlihat kekanak-kanakan dengan pita di kepala, garang dengan tanduk layaknya bobotoh PERSIB, dan dunia berputar seolah Anne merasakan kepusingan.

Kalau harus memilih, saya akan menunjuk satu lukisan yang terlihat sangat sederhana. Sang bayi tertidur diatas daun talas dengan tangkai yang menyerupai plasenta dan burung kecil disampingnya, sangat simpel. Tanpa ornamen dan goresan apapun. Berjudul “My Guardian Angel II” dengan teknik charcoal yang dijual seharga 5 juta rupiah saja.

Pameran ini sampai tanggal 16 Mei 2009, jadi kalau teman-teman mau datang, silahkan!


Sabtu, 09 Mei 2009

Menjaring Ide

"Jangankan nulis, ide saja tidak punya!"

Kalimat itu terlontar dari mulut teman saya ketika saya bertanya apakah ia suka menulis cerita atau tidak. Saya bertanya kepada teman saya apakah yang menjadi hambatannya selama ini adalah penemuan ide, teman saya menjawab iya.

Ide menjadi hal yang esensial dari menulis karena ide menjadi titik mula untuk membuat sebuah karya. Banyak penulis yang dibuat frustasi setengah mati jika kena writer's block - yaitu proses terhambatnya ide. Lalu, bagaimanakah caranya mendapatkan ide?

Sumber Ide Adalah Kehidupan Itu Sendiri

Jika ada yang berkata mencari ide itu sulit, maka itu bohong besar. Ide ada dimana-mana! "Jika Anda mengalami kesulitan pada saat akan memulai menulis, buka jendela lebar-lebar dan lihatlah sejauh mungkin. Dunia dan semua isinya serta kehidupan kita adalah sumber cerita dan setiap peristiwa adalah sebuah keajaiban!" ujar Ernest Hemingway (1899-1961).

Ada sebuah sumber ide yang paling dekat dengan diri yaitu pengalaman hidup sendiri. Selain itu, ide bisa didapatkan dari hasil pengamatan dan/atau interaksi dengan lingkungan sekitar. Hamsad Rangkuti, penulis cerpen yang banyak mengangkat tema kehidupan rakyat jelata, mendapatkan ide dari orang-orang disekitarnya seperti tukang becak, penjual gado-gado, dan lainnya. Semakin banyak bergaul dan memahami dunia dan karakter mereka, maka semakin banyak ide yang kita dapatkan.

Dalam perjalanan ke sekolah, ke kantor, atau ke rumah, banyak sekali ide yang Anda temui. Setiap orang dan peristiwa adalah ide. Namun bagaimana mengamati keadaan lingkungan kita, mungkin itulah yang sering terlupakan. Semua yang Anda lihat dan Anda alami akan membentuk fakta-fakta mentah. Jika Anda ingin menulis cerita fiksi, Anda harus mengolah dan memanipulasi fakta mentah itu menjadi cerita yang masuk akal.

Ide bagaikan daun-daun yang perlu mendapatkan batang, akar, cabang, dan ranting untuk utuh sebagai pohon cerita. Berilah ruh agar bisa berbicara banyak kepada pembaca. Ruh bisa didapat dengan membaca buku-buku seperti buku sejarah, psikologi, sosiologi, kebudayaan, dan lainnya.

Ekspresi Hidup

Menulis cerita fiksi adalah mengekspresikan suasana hati pengarang berdasarkan ide yang digalinya untuk pencerahan pembacanya. Jadi, jika ada seorang pengarang yang berkata bahwa karyanya itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya adalah bohong besar. Perasaan penulis selalu masuk dalam karyanya. Misalnya novel-novelnya Ayu Utami yang seringkali membahas masalah politik pada masa orde baru. Hal ini bisa dilihat sebagai ekspresi perasaan Ayu Utami sebagai seorang jurnalis dalam melihat keadaan Indonesia pada masa itu.

Atau misalnya penulis yang memenangkan Nobel Sastra tahun 1991 bernama Nadine Gordimer. Ia adalah perempuan kulit putih yang menyuarakan penderitaan kulit hitam yang ditindas penguasa para orang kulit putih. Novelnya dilatarbelakangi bahwa ia pernah dibesarkan di daerah pertambangan. Di daerah itu Nadine bergaul dengan anak-anak kulit hitam walaupun mendapat kecaman dari teman-temannya sesama kulit putih. Nadine paham benar kehidupan mereka dan itu menjadi kekayaan batin baginya. Apa yang ia saksikan itu menjadi ide tulisannya yang sangat manusiawi.

Berani Tampil Beda

Jangan pernah Anda tidak percaya diri dengan penulis yang sudah lama berada di dunia penulisan hanya karena Anda adalah penulis muda. Menulis bukanlah masalah senioritas tapi bagaimana proses kreativitas itu muncul dan dihasilkan menjadi sebuah karya. Tidak ada namanya karya yang bagus atau berbobot jika karya itu tidak pernah ditulis. Ciptakan karya yang berbeda, bukan karena permintaan pasar atau yang sedang tren di masyarakat. Utarakan imajinasi dan logika Anda sebebas mungkin.

Jika Anda perlu "ruang" seperti tempat yang nyaman atau waktu yang tepat, sediakanlah. Buatlah diri Anda senyaman mungkin.

Bagaimana, sudah ada ide? Kalau sudah ada, datang lagi ke blog ini ya. Kita akan sama-sama membahas bagaimana cara mengolah ide itu sendiri.


sumber: Pranoto, Naning. 2007. Creative Writing: Jurus Menulis Cerita Pendek. Bogor: Raya Kultura

Kamis, 07 Mei 2009

Ber-Ora et Labora di Writers' Circle

Sabtu kemarin ketika memarkirkan sepeda motor di halaman Reading Lights, dari jendela kaca besar saya melihat Dea, Uli, Ina, dan Nia. Tiga puluh menit sudah berlalu sejak jam empat sore, sementara mereka duduk dan saling bercerita di atas sofa putih yang kelihatan empuk. Saya merasa sedikit lega. Karena satu dan lain hal pertemuan minggu ini mesti mundur setengah jam seiring dengan keterlambatan saya. Maaf!


Saya lantas mengajak teman-teman pindah ke function room di lantai atas. Sudah ada tikar dan bantal-bantal yang menunggu diduduki. Kami pun membentuk lingkaran. Sambil menunggu semua berkumpul, saya membaca-baca buku panduan menulis Daripada Bete Nulis Aja! Karya Caryn Mirriam-Goldberg. Sebagai fasilitator writers’ circle, saya menjadikan buku ini sebagai salah satu ‘kitab’ karena memuat latihan-latihan menulis yang personal dan variatif. Sesuai dengan tema nonfiksi minggu ini, saya menggunakan latihan menulis mengenai hal yang salah. Ada dua langkah dalam latihan kali ini: 1) Tentukan dulu permasalahan/sesuatu yang mengganggu diri kita masing-masing. Bisa pemanasan global, kemacetan lalu lintas, belum bisa buang air besar, dll; 2) Buatlah sebuah tulisan tentang dunia di mana masalah-masalah tadi terselesaikan. Apa yang terjadi?

Sebelum memulai latihan, saya menatap wajah teman-teman dari kiri ke kanan. Ada Dea, Ina, dan Uli. “Kita berempat,” ujar saya. Rupanya Nia harus pulang karena ada pembukaan pameran seni di rumahnya. Lalu kami dikejutkan kehadiran seorang pemuda tinggi keriting berkacamata. Indra. “Berlima,” koreksi saya, tersenyum. Ini merupakan kejutan yang cukup menyenangkan karena anak itu jarang datang dan kami semua menyukainya!

Lalu saya meminta setiap orang untuk mengungkapkan apa yang saat ini menjadi masalah/apa yang membuat kita merasa terganggu dengan penuh emosi. Namun, ternyata sore itu suasana hati kami secara umum sedang senang-senang saja. Kami harus berpikir sejenak, sebelum mengungkapkan apa yang jadi sumber kekesalan kami. Itu pun tidak dengan emosi penuh. Saya menyatakan kekesalan terhadap arus lalu lintas yang semrawut. Dengan cukup berapi-api, kemudian Uli menyatakan kesebalannya akan pernikahan anggota keluarga Bakrie yang dilangsungkan besar-besaran. Konon pernikahan itu menggunakan jasa event organizer milik Ivanka Trump, padahal sampai sekarang persoalan ganti rugi korban Lumpur Lapindo belum kunjung tertuntaskan. “Itu keluarga saya,” celetuk Indra. Tawa kami kontan meledak. “Elu sekeluarga sama Bakrie atau sama pihak pasangannya?” tanya Uli, mencoba menetralkan suasana.

Ina menceritakan kejengkelan tentang seorang kenalannya yang sikapnya ‘nggak penting banget’ tanpa ada rincian mengapa ia disebut begitu. “Takut jadi curhat,” ujar Ina berhati-hati. Indra heran sendiri mengapa orang yang jujur dalam kehidupan yang nyata tidak semenonjol orang-orang yang memiliki uang. Sementara Dea tidak habis pikir mengapa Salahuddin Wahid bernama Salahaddin Wahid, bukan Benaruddin Wahid.

Selanjutnya kami menuliskan dunia tanpa segala permasalahan yang baru diucapkan. Dua puluh menit kemudian alarm ponsel saya berbunyi. Waktu habis, tibalah sesi pembacaan karya. Ina secara sukarela pertama kali membacakan tulisannya. Gadis berkaus cokelat itu membacakan sebuah dunia di mana kenalan yang disebalinya itu berbuat baik dengan mempertimbangkan perasaan semua orang, bukan hanya perasaannya sendiri. Ina juga menuliskan betapa ia risih dengan orang-orang yang kecanduan meng-update status di Facebook. Harapannya status diisi dengan berita yang betul-betul penting.

Giliran Indra, ia menggambarkan kelegaan terbangun pagi-pagi sendiri pada suatu hari di ibukota. Untuk pertama kalinya ia menjadi orang yang pertama, bukan kedua, ketiga, atau keeempat. Tulisannya lantas berbelok, di mana Indra mempertanyakan keberadaan orang yang kedua, ketiga, atau keempat. Bukankah kebaikan baru berarti bila ada keburukan? Lalu tokoh dalam tulisan Indra pun berdoa kepada Tuhan dengan syahdu, berharap semuanya kembali seperti semula. Doanya terkabulkan, si tokoh pun bersyukur. Tulisan ini membuat kami cukup terhenyak. Sepengamatan saya, Indra seperti merefleksikan kehidupannya dengan buku-buku yang ia baca dan menuangkannya ke dalam tulisannya. Dan si Indra ini lumayan literate, bacaannya mulai Oscar Wilde, Pramoedya Ananta Toer, sampai rombongan penulis klasik Amerika: Jack Kerouac, F. Scott Fitzgerald, sampai Truman Capote. Careful grrls.

Sejenak saya membahas tentang bagaimana dari dua percobaan masing-masing penulis jadi menulis sebuah doa, atau mengungkapkan harapan. Apa yang dimaksudkan sebagai menulis nonfiksi, menjadi menulis hal yang sangat personal. Betul kata Nia, personal writing adalah hobi saya.

Kemudian Dea Sundea membacakan tulisan yang tidak ada doa-doanya sama sekali: bagaimana bila di dunia ini adik Gus Dur dinamakan Benaruddin Wahid, bukan Salahuddin Wahid. Dea peka dalam memelesetkan kata-kata yang bunyi pengucapannya memberikan makna ambigu. Tulisan gadis ini sangat khas. Mengenalinya hampir semudah mengenali es krim vanila dengan saus cokelat, whipped cream, dan sebuah cherry di atasnya.

Sebagian tulisan saya kemarin akan dijadikan penutup tulisan ini. Terakhir, Uli masih mengemukakan kekesalannya terhadap keluarga Bakrie. Dari seluruh karya yang sudah dibaca, karya inilah yang paling mendekati tulisan nonfiksi. Tulisan yang dibaca Uli seperti artikel opini dalam surat kabar yang menyiratkan keprihatinan akan kondisi masyarakat. Mahasiswi Ilmu Jurnalistik ini mengaku tulisannya terbawa gayanya dalam menulis tugas.

Selesai pembacaan karya, perbincangan kami beralih ke masalah kontroversi rokok (Uli dan Indra ngotot bahwa rokok lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.) dan pekerjaan. Berhubung latihan menulis ini berujung pada pengungkapan harapan-harapan, kami lantas saling berdiskusi tentang apa-apa yang ingin kami lakukan. Indra mengatakan meskipun ‘senang’ melakukan profesinya saat ini, tetapi ia risau membayangkan apabila sepuluh tahun ke depan ia masih melakukan pekerjaan yang sama. Indra skeptis dengan pepatah ‘Lakukanlah apa yang kamu suka’, ia percaya bahwa semua sudah ditentukan perannya. Ada yang jadi pemulung, The Beatles, dan auditor pajak.

Ada Uli yang menyatakan setelah lulus nanti ia berencana bekerja sebagai wartawan. Apalagi gadis yang teorinya setahun lagi lulus itu mulai menyenangi proses wawancara. Akan tetapi, ia hanya ingin bekerja sebagai wartawan beberapa tahun saja. Ia sadar pekerjaan wartawan begitu menuntut waktu, tenaga, dan pikiran; ironisnya bayarannya kadang-kadang berbanding terbalik dengan semua itu.

Dea bilang menjadi penulis adalah keinginannya sejak berusia sembilan tahun. Di sisi lain, kesadaran ini membuatnya kurang fokus pada pelajaran di sekolah. Dea pernah tidak naik kelas, dan kerap mendapat nilai yang pas-pasan. Sementara itu Ina tampak makin percaya diri bergiat dalam dunia perfilman tanah air. Ia sedang rajin-rajinnya menjalin koneksi dengan nama-nama yang cukup dikenal.

Kalau saya, saya mau menjadi …. Saya belum memutuskannya. Jujur, dalam fantasi tergila sebetulnya saya ingin menjadi simpanan diplomat. Sebetulnya tidak terbuka pada diplomat saja, tetapi pastinya orang-orang yang ‘menyimpan’ saya mesti memiliki kualitas tertentu sehingga bisa menjadi ‘kendaraan’ yang membawa saya pergi ke tujuan yang belum diketahui. Hubungan yang terbayang ya seperti Jane Birkin dan Serge Gainsbourg, Carla Bruni dan Nicolas Sarkozy, atau Prince Charles dan Camilla Parker-Bowles …. Entahlah. Berikut sebagian dari apa yang saya tulis kemarin:

Dunia yang tidak bermasalah bagi saya adalah dunia di mana ada cukup makanan untuk semua orang. Romeo dan Juliet menikah dan hidup bahagia beranak pinak. Kisah-kisah Jane Austen berakhiran sedih. Sinetron Indonesia bersifat edukatif. Manusia menerima bahwa mereka tidak dapat menilai manusia lain. Ibu mengizinkan saya menindik telinga. Produk bajakan dilegalkan. Tugas menjelang UAS dibatalkan. Erick menghubungi duluan, bercerita dan menanyakan apa kabar writers’ circle.

Kembali ke pekerjaan, Uli mengutip seseorang bahwa kesalahan terbesarnya adalah ketika ia berusaha menyenangkan semua orang. Tambah Dea, seseorang bertahan menghadapi kejenuhan pekerjaan karena memiliki harapan. Semacam doa.