Selasa, 31 Maret 2009

Jembatan Dua Emosi Dalam Fiksi


Sahabat perempuanku pernah berkata, “Suatu ketika, sesungguhnya manusia dan hidupnya merupakan permainan yang paling menarik bagi Tuhan. Kita berbuat dosa, merasa hampa dan rindu akan Ketenangan. Kembali pada Dia.”

Sampai pada Sabtu pagi, aku berbicara dengan seorang pedagang kelontongan di sebuah pasar tradisional di kota ini. Tapi sepertinya lebih tepat dikatakan obrolan untuk mematenkan waktu. Dengan muka memelas ia berkata, “Satu-satunya perbuatan yang tak dapat saya hindarkan tiap hari adalah BERBOHONG.”. Tiap kali kedatangan pembeli maka syaraf bohongnya meronta-ronta ingin keluar. Begitu setiap tahun selama seperempat abad.

Dalam hatiku, mengetahui isi hati pedagang kelontongan itu, aku tersenyum. Beruntunglah mereka yang suka akan fiksi. Mereka bisa tinggal dalam dunia campuran, antara dunia nyata dan imagi. Di fiksi semua bisa ditorehkan: kekesalan terhadap ibu yang suka ngatur hidup anaknya, perempuan yang kecewa karena tidak didengarkan, atau dendam terhadap masa lalu yang belum dilampiaskan. Semuanya berjalin berkelin. Dalam fiksi terdapat hasil imajinasi kreatif.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, dimana realitas dilempar dalam tong sampah, manusia hidup dalam dunia imajinal. Semua kejadian harus sesuai dengan harapan. Lalu setiap manusia hidup dalam imajinasinya sendiri-sendiri walaupun ia berjalan dan mengaku otonom dengan dirinya sendiri. Fiksi, pada akhirnya, adalah sebuah bentuk harapan terakhir yang bisa bikin manusia tersenyum, seperti pernyataan Maradona ketika Argentina menekuk Venezuala 4-0 tiga hari yang lalu, “Luar biasa, ini seperti dalam fiksi”.

Sorenya, aku bergabung dalam kelompok ini. Hari ini di bahasan tentang pace, yang kalau aku definisikan sebagai sesuatu yang ditulis untuk menjembatani dua reaksi emosi dalam sebuah novel – atau transisi untuk variasi. Mengubah efek emosi yang ditimbulkan oleh beberapa bab untuk menikmati sensasi emosi yang lain. Yeah, manusia memang suka akan hal-hal yang baru dan majemuk, lalu lahirlah istilah pace dalam sastra.

Seperti biasa anggota lama sudah hadir, tapi ada tiga orang makhluk asing. Nyentrik. Pertama, Maknyes, yang pertama kali melihatnya aku teringat Bondan Winarno. Sebentar-sebentar buka laptop, sebentar-sebentar cas-cis-cus dengan Uli dan Ina. Kayak cacing kepanasan. Ia menulis tentang perempuan yang hilang Blackberry. Tapi atmosfer tentang emosi atas hilangnya Blackberry kepunyaan tokoh tidak terlalu terasa karena fokus yang terbelah antara menggambar setting yang detail dengan perasaan yang sedang dialami tokoh utama.

Kedua, Dindra. Berkacamata, berkepala botak, terlihat sangat santai, dan intelek dengan celana jeans pendeknya. Ia menulis tentang seseorang yang berkunjung ke sebuah depo minuman dan menanyakan barangkali ada sebotol arak yang bisa dicicipi. Tapi ia mematahkan harapan pembacanya dengan menceritakan kalau arak itu tidak ada. Lalu si tokoh utama duduk menunggu ...

Ketiga, perempuan yang lebih tinggi dariku. Barangkali 165 cm. Ia memakai anting ‘ban sepeda’. Antingnya mengingatkanku pada pelek sepeda yang aku lompati pada atraksi kenaikan kelas waktu SD (beberapa tahun kemudian aku sadar, dengan melakukan itu aku disamakan dengan lumba-lumba). Jalannya anggun, seperti angsa yang mengatakan kepada si jantan, ‘Tahan rayuanmu, Goddek. Aku sedang ingin sendiri. Mari anak-anak, kita ke kolam’.

Theo menulis tentang perasaan perempuan—idealiseme romantik. Tentang perempuan yang sulit melupakan ciuman yang diberikan oleh lelaki pada saat ia hanyut dan hampir tenggelam dalam sungai cemburu. Sepertinya ada jejak psikologi dalam cerita ini. Entahlah.

Setelah masing-masing membacakan tulisan masing-masing, dikomentari, dan dilanjutkan dengan diskusi kecil, kami pun bubar.

Minggu depan, barangkali akan belajar menulis tentang non fiksi—jurnalisme sastra. Seperti judul buku yang akan dibawakan Uli untuk kami.

Aku pulang menembus hujan. Aku percepat langkah karena jam 7 malam ini ada film India di TPI.

Aku tulis FIKSI ini dengan penuh cinta,

Picture

Rabu, 25 Maret 2009

I’ve Loved You So Long Baby, Honey, Sugar …

Kesempatan kali ini, Reading Lights writers' circle memutar Film Perancis yang berjudul I’ve Loved You So Long. Film berdurasi 2 jam ini dibintangi aktris Kristin Scott Thomas sebagai pemeran utama, Juliette.


Film ini menceritakan bagaimana Juliette harus membuka lembaran baru lagi dalam hidupnya. Hal yang harus dilakukannya setelah bebas dari penjara selama 15 tahun akibat pembunuhan.

Tentu tak mudah untuk memulai hidup baru sebagai bekas narapidana lebih-lebih, narapidana kasus pembunuhan anaknya sendiri!

Dalam salah satu adegan disebutkan sebenarnya betapa menyesalnya sang tokoh terhadap tindakan yang telah diambilnya. Juliette bilang kalau tidak ada kehilangan yang lebih besar dari kehilangan seorang anak. Bahkan, ia juga bilang kalau kehilangan anak baginya, adalah penjara itu sendiri. Bukti bahwa sebenarnya Juliette sangat mencintai anaknya itu.

Oleh karena itu, menurut Juliette, selama proses penyelidikan dan persidangan ia lebih banyak diam karena menurutnya, tak boleh ada excuse terhadap kematian. Tidak boleh ada alasan atau pembelaan diri terhadap yang namanya kematian. Faktanya, kamu menyebabkan seseorang mati, kamu tetaplah bersalah apapun alasannya, begitulah mungkin kurang lebih yang hendak disampaikan oleh sang tokoh.

Salah satu adegan yang menyentak adalah ketika keponakan Juliette, P'tit Lys bertanya kepada ibunya, Lea. Ia bertanya mengapa tantenya tidak punya anak. Mengapa kau menanyakan itu? tanya ibunya. Soalnya, ‘kan saya bisa punya sepupu, jawab P'tit Lys lagi. Terbayang, kalau dia tahu bahwa tantenya itu adalah seorang pembunuh anaknya sendiri! Apalagi, ia akrab dengan tantenya Juliette, walau baru bertemu saat itu juga.

Poin lain yang menurut saya penting adalah ketika sang tokoh diajak adiknya Lea, untuk berkumpul dengan teman-temannya. Dalam kesempatan itu, Juliette dicecar habis-habisan mengenai jati dirinya dan apa pendapatnya tentang sesuatu hal. Ia pun akhirnya menjawab kalau ia pernah dipenjara selama 15 tahun karena membunuh orang. Orang-orang yang tak tahu jati dirinya lantas tertawa karena menganggap pernyataan Juliette itu adalah gurauan yang cerdas dan mengagetkan.

Ini sebenarnya merefleksikan nilai-nilai dan wujud nyata di masyarakat yang sebenarnya. Kita sering melihat bagaimana masyarakat dengan mudahnya menghakimi seseorang, mengolok-oloknya padahal, ia sendiri belum tahu persis mengenai keadaan seseorang tersebut.

Jadilah, pendapat-pendapat yang sering muncul terlalu menyederhanakan masalah, simplisitis, overgeneralisasi, dangkal, serba di permukaan, dan bukan pada esensinya. Inilah yang menghajar sisi rasionalitas, intelektualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan kita setiap harinya ….

Mungkin kita bisa bercermin dari film itu bahwa baik dengan kita sadari maupun tidak, kita sering melakukan hal yang sama. Well, you know, judging people. I admit it, I do it a lot in every single day in my whole life! Hayo, sekarang, giliran lu yang ngaku! Ngaku ajalah! Don’t worry, I won’t bite!

Entah apakah kita harus bersimpati atau justru mengutuk sang tokoh utama ini. Pembunuhan apapun alasannya, tentu tak bisa dibenarkan karena yang berhak mencabut nyawa seseorang itu adalah Tuhan. Masalah mencabut nyawa seseorang jelas, mutlak, hak prerogatif Tuhan. Ini penting, apalagi banyak pembunuh yang beralasan bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah karena cinta. Katanya cinta, tapi kok, ngebunuh, ya?

Satu hal yang pasti, Juliette yang tadinya sangat tertutup, lama kelamaan mulai lebih membuka diri kepada dunia.

Juliette

Pertanyaan yang kemudian menggelayut di pikiran saya apakah penyelesaiannya terlalu klise, simplistik, terlalu happy ending, fairy tale layaknya film-film Hollywood? Atau justru unik, mengejutkan, tak terduga, cukup realistis sesuai dengan alur ceritanya dan membuka wawasan berpikir yang baru?

Everybody has the right to get a second chance. Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, ketiga, keempat, atau bahkan kelima, itu yang bisa saya tangkap dari film ini. Seorang bajingan sekalipun, berhak mendapat pengampunan dan kesempatan untuk memperbaiki diri sampai ajal menjelang. Aduh, klisenya …

Mengenai karakter Lea, adik, sang tokoh utama, itu adalah bentuk dari cinta tak bersyarat. Bagaimana seorang adik bisa tetap mencintai dan menerima apa adanya segala kekurangan, keburukan, dan kejahatan yang pernah dilakukan oleh kakaknya. Unconditional Love. Wih, siapa yang nggak mau, coba? Mungkin ada yang pernah mengalaminya? Entah sebagai pelaku, atau korban?

Lea dan Juliette

Enak juga kali, ya? Jika kita yang menyebalkan ini masih ada yang mencintai dengan sepenuh hati tanpa syarat pula. Jadi, ada alasan untuk tidak perlu memperbaiki diri. Toh, masih ada yang mencintai kita apa adanya hehehe ....

Saya jadi teringat dengan salah satu dialog dalam sebuah film yang saya lupa judulnya. Salah satu tokoh dalam film itu bilang, dia tetap tak bisa lupa bagaimana dia pertama kali bertemu dan jatuh cinta dengan seseorang walaupun bagaimana menyebalkannya orang itu. Ia juga bilang walau jengkel dan akhirnya harus putus, tetapi dia masih inget sama mantannya itu. Kalo inget mantannya itu, hatinya pun masih bergetar. Tsaaah, sedaaap, klise banget nih orang!

Di film in, kita juga bisa lihat betapa pemaafnya figur Lea, sang adik. Mungkin poin yang hendak disampaikan dalam film ini adalah kekuatan memaafkan. Betapa dahsyatnya kekuatan memaafkan bagi seseorang agar dapat melewati masa-masa suram nan kelam. Suatu bentuk dukungan moril yang sangat dibutuhkan agar Juliette dapat berdamai dengan masa lalunya demi menatap masa depan yang lebih baik.

Wah, saya kok jadi suka sekali sama hal yang berbau klise. Marilah kita berklise ria! Klise? Waduh, saya lupa harus afdruk foto buat di-upload ke Facebook. Ini baru klise beneran. Bener-bener klise deh, pokoknya!

Pusing karena tak mendapat pembaruan wacana dan peningkatan intelektualitas setelah membaca tulisan saya?

Well, it’s only a goddamn movie
! It’s only my goddamn opinion! You can’t disagree with me! Lho, katanya terserah kok, harus setuju?

Au revoir
deu, mentang-mentang Film Perancis! I’ve loved you so long. Now, I have to say so long suckerhahaha.

Minggu, 15 Maret 2009

'Nulis Jurnal Musikal dan Bernyanyi-Nyanyi

Writers' Circle edisi personal writing kali ini spesial tentang menulis jurnal musik. Maksudnya adalah, kita menulis apa yang kita ingat/bayangkan ketika mendengar sebuah lagu. Istilahnya menulis apa yang kita dengar. Dengan ini kita akan merasakan memori atau sensasi, atau mungkin sekelebat peristiwa akan lewat di otak kita ketika mendengar sebuah lagu.

Maka kita pun diminta memilih lagu pas SD, SMP, SMA atau kuliah yang pernah menjadi soundtrack yang mengiringi peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita kala itu. Selama tiga puluh menit kita berpikir dan merenung membongkar kembali ingatan.

Seperti biasa, Andika menunjuk saya untuk membacakan karya pada giliran pertama.

Dea dan Andika

Dengan sedikit deg-degan karena harus menyanyikan lagu pilihan kita, akhirnya saya membacakan tulisan ini :

Seorang teman laki-laki satu kelas di bangku SMA menyerahkan kertas saat pelajaran kosong. Saat itu saya bertanya, “Apaan?” Dia menjawab, “Baca aja!” Lalu saya membuka kertas itu yang bertuliskan lirik lagu dari band BUNGA-Kasih Jangan Kau Pergi. Saya tersenyum ke arahnya. Memang kala itu kami sering pulang sekolah beriringan. Bukan bermaksud GR saya bingung menjawab dari pernyataan yang tidak langsung itu. Saya menganggapnya seperti teman biasa karena saya nyaman berteman dengan laki-laki. Pada akhirnya dia jadian dengan teman satu kelas. Saya turut bahagia dan berharap mereka langgeng. Setelah bertahun-tahun lamanya saya tidak mendapat kabar berita dari mereka. Ketika mendengar lagu yang satu ini saya sering tersenyum sendiri. Lucu karena waktu kuliah dulu saya suka band Sheila on 7 karena pernah bermimpi, Duta sang vokalis menyanyikan lagu Jadikan Aku Pacarmu (JAP) untuk saya. Terlebih saya sedang mengagumi seorang pria yang mirip Duta (versi cakepnya) yang bersebrangan kelas dengan saya. Sayang kami tak sempat jadian karena saya meninggalkan kampus itu dengan bermacam alasan. Tapi saya tetap mengenangnya dengan menjadikan plat motornya menjadi PIN di ATM BCA saya yang sudah kadaluarsa. Tapi saya terkadang berharap bisa bertemu dia lagi. Buat Dea … beneran lho ini versi cakepnya. Huhuhuhuhu

Thya a.k.a Maknyes seorang penyiar pagi di sebuah radio swasta mendapat giliran selanjutnya. Ketika SD, dia sekeluarga terbiasa jalan-jalan dengan iringan lagu dari UB 40 dan Benyamin Sueb. Untuk UB 40 dia tidak menyukainya hingga kini yang berarti anti musik reggae. Baiklah …
Namun lain hal dengan Benyamin S. yang menjadi candu bagi dia. Terpesona dengan lagu Benyamin S. feat Ida Royani yang liriknya bercerita tentang harga piring selusin 700 perak dan itupun susah untuk dimiliki, sampai terpikir untuk berhutang. Bo … niat yah? Hehehe

Manda yang kini datang sendiri karena Lafra sudah mendapat sumber penghidupan di ibukota sana, mengenang masa-masa SMA. Melly Goeslaw dengan lagu Bimbangnya dipilih Manda dari sekian lagu yang menjadi soundtrack film AADC. Katanya dia lagi ngecengin seorang gitaris, terus bernyanyi bersama. Nampak syahdu rasanya …

Ketika pria kecengannya jadian dengan perempuan lain, Manda teriris mendengar lagu ini. Oya … suara Manda oke lho pas menyanyikan reff lagu Bimbang ini. Cie … cie

Nah … untuk Martina, saya pribadi begitu bingung karena memiliki pilihan lagu yang sangat banyak, mana beda zaman lagi. Hahahahaha … maaf Bo!

Dia menyukai lagu-lagu dance, dia bercerita tentang keluarganya yang memiliki tradisi mendengarkam musik di pagi hari. Jadi siapapun yang bangun lebih awal berhak menyetel lagu kesukaannya masing-masing dan anggota keluarga yang lain harus mengalah. Hemm … keluarga yang asyik. Pas SD pilihannya: Tiffany (Hold and Old), Paula Abdul (Straight Up), Janet Jackson (Rhytm Nation). Pas SMP: Alphaville (Summer Rain), NKOTB (If you go away). SMA: U2 (Sunday Bloody Sunday). Kemudian peristiwa di balik lagu tak dia uraikan. Tapi disalah satu lagu dia sering terbawa emosi saat mengemudi di jalan Soekarno-Hatta, pasti ngebut. Hati-hati!

3M: Martina, Manda, dan Maknyes

Rudy teringat pas SD dengan lagu-lagu melayu dari Malaysia, yang memang booming waktu itu. Ketika SMP dia suka dengan salah satu soundtrack sebuah games berjudul Melodies of life. Sampai sekarang dia masih mendengarkannya hingga larut menemaninya tidur.

Rudi dan Wahyu

Neni bercerita kalau syarat sebuah lagu dikatakan bagus dari nada dan liriknya. Perpaduan unsur tadi yang wajib ada. Lagu Pink: Family Portrait sering dia nyanyikan dan akhirnya terjadi pada kehidupannya. Dia yakin bahwa: ucapan adalah doa, lagu adalah ucapan yang disenandungkan. Begitupun lagu itu begitu menyatu dalam kehidupannya. Lalu saya terkenang dengan quotes dari Neny : HIDUP ADALAH TAK TERDUGA DAN TAK TERANTISIPASI.

Uli yang datang belakangan mengenang lagu Chrisye yang dia lupa judulnya. Uli merasa lagu ini puitis dan bikin depresi. Ketika dia kelas 1 SD suka dengan teman kelasnya bernama Ruly, pria berkacamata. Semakin dewasa dia merasa bahwa putus hubungan memang begitu perih rasanya. Lagu Chrisye lain yang dia suka yang bercerita tentang anak jalanan.

Myra suka lagu dari Stevie Wonder: Ebony and Ivory. Dia memberikan kesimpulan bahwa hidup adalah pasangan, antara hitam dan putih, jahat dan baik, laki-laki dan perempuan dan sebagainya. Kenapa harus ada perbedaan karena akan menjadi perbandingan. Ketika kita menilai pintar karena ada pembanding yang bodoh begitu seterusnya.

Myra dan Neni

Itulah hidup Mai

Andika yang mulai masuk SD ketika usianya 5 tahun, terkenang dengan lagu ciptaan guru keseniannya Pak Awan yang berjudul Minggir Dong. Jadi liriknya bercerita tentang permohonan anak kelas satu yang akan lewat di depan kakak kelasnya. Dia merasa mendapat kekuatan ketika menyanyikan lagu ini. Ketika kelulusan SMA dia suka dengan lagu Blur (Blue Jeans) yang ia dengarkan untuk mengusir rasa takutnya kehilangan teman-teman terdekat.

Dea … kurang kreatif nih … yang lain kan berhubungan dengan perasaan pribadi yang condong tentang kasih sayang. Dia memilih soundtrack PEMILU yang bermakna generalisasi kebahagiaan. Dia mengingat masa jayanya TVRI kala itu. Namun pemilu tahun ini menurutnya BISU tanpa lagu. Hayu atuh kita bikin lagu PEMILU! Kan selain writers' circle kita bikin singers' circle. Huahahahaha ….

Ina Khuzaimah

Ina dengan pose andalannya

Selasa, 10 Maret 2009

Interpretasi Lukisan

Tema pertemuan kali ini ditemukan secara spontan ketika Andika melihat salah satu lukisan baru di function room Reading Lights. Kami diinstruksikan untuk membuat tulisan mengenai gambaran mengenai lukisan yang kita lihat. Saya bertanya apakah hanya gambaran perasaan dari lukisan atau membuat cerita berdasarkan lukisan. Andika menjawab terserah.

Dari kiri ke kanan-Saya, Theo, Ina, Neni, Syahril, Rudi, dan Ivan

Seorang peserta bertanya mengapa lukisan yang dipilih menjadi tema minggu ini. Andika menjawab hal ini dikarenakan lukisan sebagai representasi realita yang dirasakan pelukis namun bisa membangkitkan emosi orang yang melihatnya. Saya menyimpulkan bahwa maksud tema kali ini sebagai persepsi orang kedua yang berasal dari persepsi orang pertama.

Kami diberi waktu setengah jam untuk mencari lukisan dan membuat tulisan. Ternyata memilih lukisan itu tidak mudah karena ada beberapa orang dari kami yang kesulitan menemukan lukisan yang menangkap perhatiannya.

Ina mendapat urutan pertama untuk membacakan karya. Dipilihnya sebuah lukisan karya Agus S yang menggambarkan sebuah pohon besar. Ina bercerita bahwa gambar pohon yang begitu rimbun dan rumit itu sebagai analogi cerita mengenai seseorang yang defensif.

Ina

Neni memilih lukisan karya Widayat. Pertama-tama, Neni mendeskripsikan tentang lukisan melalui sudut pandangnya. Misalnya warna merah yang bagi Neni terlihat seperti noda. Sedangkan titik-titik dan pola lukisan disambukan dengan kuasa Tuhan menghubungkan titik-titik dan pola dalam kehidupan manusia.

Neni

Theo memilih lukisan seorang perempuan yang bertelanjang dada. Dengan gaya puisi yang singkat dan padat, ia memberi judul "Perempuan Sejuta Makna". Tulisan Theo, yang biasa menulis metafora, membuat peserta lainnya terkesima.

Theo

Sepertinya Andika langsung jatuh cinta dengan lukisan pertama yang ia lihat ketika masuk ke ruang atas Reading Lights. Ia menjelaskan warna biru dalam lukisan yang multitafsir. Biru adalah analogi air dan cinta yang indah jika bunyinya bergemericik namun bisa juga menggelamkan. Warna biru di lukisan karya Muchtar Apin (1996) ini memang begitu dominan.

Andika

Syahril memilih lukisan dimana tergambar beberapa orang yang sedang bermain musik. Ia mendeskripsikan musik, alunan musik, gesekan setiap alat yang menjalin harmoni irama. Sayang sekali, kata-kata indah Syahril dipotong dengan kasar mengenai cerita pribadinya. Tiba-tiba ia menuliskan, "Eh kok gue jadi mellow gini?". Padahal tanpa menambahkan hal tersebut, tulisan Syahril sudah bagus.

Syahril

Saya memilih lukisan Barli (1983). Wajah sendu sang perempuan dalam lukisan membawa saya ke masa penjajahan Belanda. Perempuan yang saya beri nama Siti Rukmina diceritakan sebagai perempuan yang berasal dari kampung jawa yang dibawa paksa ke Batavia untuk dijadikan pelacur para tentara. Disana tidak hanya menjadi pelacur, Siti Rukmina dipaksa untuk melihat bangsanya disiksa. Cerita ditutup dengan semburat rasa lelah dan pasrah yang saya tangkap dari lukisan.

Saya

Rudi, yang ketika mendengarkan namanya mengingatkan saya kepada tokoh kartun Rudi Tabootie, memilih lukisan karya Yulia Sugiarti. Lukisan ini digambarkan dari sudut pandang pertama yang melihat seorang perempuan tua yang memanggul jamu. Sebenarnya tulisan Rudi hanya sebatas itu, namun kejelian Theo melihat background muka di belakang lukisan perempuan membuat kami larut dalam diskusi panjang mengenai seni. Jika kami tidak membahas lukisan, kami mungkin hanya melihat lukisan ini sekilas saja, tanpa melakukan interpretasi apapun. Tapi gambar-gambar orang dibelakang perempuan membuat kami bertanya-tanya apakah maksud gambar orang itu adalah orang-orang yang tidak peduli dengan perempuan tua yang memanggul jamu - hanya melihatnya saja, atau gambar orang itu adalah hasil bayangan si perempuan tua yang membuatnya hidup seperti ini?

Rudi

Kami terjebak dalam seni hingga kami menyimpulkan bahwa seni adalah pengalaman subjektif manusia. Ini bukan kata para ahli, bukan kata media, bukan kata mode, bukan kata agama, tetapi seni tetaplah pengalaman utuh yang dirasakan manusia itu sendiri. Seni, yang beragam, jadi hilang maknanya. Theo bilang ia percaya pada naturalitas, seperti manusia dilahirkan dengan sidik jari yang berbeda, manusia memiliki area tertentu dalam dirinya yang membuat bergairah, excited, dan jadi bersemangat. Bukan hanya lukisan, patung, atau gambar tetapi hal-hal kecil yang membuat manusia merasa tergerak, itulah seni manusia hidup.