Syahdan, sebuah toko buku kecil di sudut Siliwangi menjadi tempat pertemuan sebuah writer’s circle. Kami mengadakan workshop kecil dengan mendeskripsikan suasana yang hadir dari satu benda. Kami tidak beramai-ramai hari itu. Sebagian dari kami berhalangan hadir untuk sesuatu yang lain. Saya sendiri datang kepagian karena tak dinyana lalu lintas terlalu lancar pada hari itu. Setelah menyapa Andika, saya ingat bahwa saya belum men-defrag otak. Saya pun mendengarkan musik relaksasi Dolphin Dreaming dan melamun.
Andika, fasilitator kami, meminta saya untuk menulis jurnal kali ini. Saya menyanggupinya. Kemudian saya melihat Reggie yang ternyata sudah datang lebih dulu namun ia berada di lantai dua. Setelah membacakan instruksi yang disadur secara bebas dari buku “Daripada Bete, Nulis Aja!”, maka saya, Reggie dan Andika sibuk mencari benda untuk kami deskripsikan.
Sementara Reggie dan Andika berjalan menyusuri toko buku, saya memutuskan untuk duduk di tempat saya. Namun kami semua sama: mencari benda untuk diperhatikan. Tak lama Azisa muncul, diikuti Danny dan Hakmer. Kami berlima memutuskan untuk memulai sesi penulisan setelah semua orang telah diberikan kesempatan memperhatikan objek apa yang ingin mereka tulis.
Pembacaan cerita dibuka dengan Reggie yang seperti biasa membuat kami terpana dengan kemampuan mendongengnya. Dia menceritakan sebuah parable singkat tentang rasa cinta sebuah garpu terhadap sebuah pisau. Pisau itu tidak sebaru dan sebersih pisau lain. Justru pisau yang sudah memiliki beberapa bercak hitam itu sangat menarik di mata sang garpu yang sedih, ketika keduanya dipisahkan dari Piring alias Lingkaran Putih yang mengikat kami berdua. Saya menyukai gaya penceritaan Reggie yang mengandalkan simplicity namun manis.
Sesi pembacaan dilanjutkan dengan Azisa yang membuat cerita semi fiksi tentang seseorang yang menghitung jumlah burung di panel hiasan di belakang sofa yang saya duduki. Cerita itu membuat kami semua tersenyum. Khas Azisa. Tulisan kontemplatif dimana suasana hati dari sang penghitung ikut berpengaruh kepada akurasi dari hasil penghitungan itu sendiri. Unik dan manis.
Saya dengan mendapatkan giliran ketiga yang belakangan baru saya ketahui bahwa 3 adalah nomor yang saya dapatkan via numerologi. Saya mendeskripsikan suasana yang saya dapatkan apabila melihat bentangan pohon-pohon rimbun di balik jendela di belakang sofa. Saya membuat perbandingan antara betapa memusingkannya pemandangan tersebut apabila saya tidak mempergunakan kacamata dan sebaliknya. Suasana tersebut saya narasikan dengan perasaan seseorang yang sedang jatuh hati. Bahwa perasaan seseorang ketika jatuh hati seolah dia mempergunakan sebuah kacamata yang dipreskripsikan khusus untuknya. Semua hal menjadi jelas.
Azisa mengkritik tulisan saya dengan mengatakan bahwa terkadang apabila mempergunakan kacamata justru keburukan dari sesuatu akan menjadi jelas. Sebaliknya, Andika mengatakan bahwa dia cukup menyukai analogi tersebut. Terlepas dari beragam feedback yang saya dapatkan hari ini, saya senang karena reaksi yang cukup banyak setelah saya menghadiri pertemuan yang kesekian kali.
Berikutnya giliran Andika yang (lagi-lagi) mendapatkan urutan keempat seperti dua minggu lalu ketika teman saya Marty kedapatan bagian menulis jurnal. Andika cukup mengocok tawa kami semua ketika dia menceritakan sebuah kisah “nyata” yang menjadi “fiksi” tentang pengalamannya bertemu saya yang kebetulan datang cukup awal. Cerita dimulai dari percakapan singkat antara saya dan Andika yang diselingi jeda panjang karena saya asyik mendengarkan musik relaksasi hingga rasa frustasinya karena saya diamkan. Aneh. Padahal menurut saya justru dalam diam kadang kita tercerahkan. Apa ini semua murni karena saya kesal karena dia mendeskripsikan betapa besarnya perut saya di dalam ceritanya? Ah, well.
Danny berikutnya. Seperti biasa dia menghadirkan sebuah cerita fiksi yang menurut Reggie merupakan based on beberapa fiksi yang sudah ada. Cakrawala yang saya miliki tidak memungkinkan saya untuk mengetahui secara detail siapa saja tokoh-tokoh tersebut namun saya selalu bisa menemukan sesuatu yang beda dari tulisan Danny. Kali ini, writer’s circle dihibur dengan sebuah percakapan lucu dari sebuah pemimpin kapal besar yang galak dan bawahannya yang baik hati namun pandir. Makian-makian khas seperti ‘monyet tengik!’ membuat saya merasa sedang membaca buku-buku lawas seperti The Legend of Condor Heroes dengan suasana di sebuah kapal. Oh iya, mendekati akhir cerita kami baru sadar bahwa benda yang menjadi fokus Danny adalah peti meja kayu yang ada di tengah-tengah lingkaran. Butuh imajinasi hebat untuk membuat cerita seperti itu.
Hakmer menceritakan suasana yang dapat ia deskripsikan dari sebuah lukisan perempuan yang sedang menyibak rambut tebalnya. Berdasarkan lukisan tersebut, Hakmer menulis perasaan kontemplatif seseorang tentang seseorang yang ia kagumi dan cintai. Pada akhir tulisannya, Hakmer menarik kesimpulan bahwa ia harus memilih apakah dia harus mencoba mencari sesuatu yang baru atau menjadi seseorang yang mempunyai hati. Konsepsi tersebut hadir berdasarkan pengandaian bahwa cinta itu berada dalam sebuah pertaruhan.
Andika mengetukkan pena sebagai tanda bahwa waktu membatasi pertemuan kami pada hari itu. Namun pembatas waktu itu diangkat ketika sesosok perempuan datang dan memberikan vibrasi yang lain ke dalam toko buku ini. Adalah Marty, penulis terakhir yang datang hari itu karena harus menghadiri sebuah pertemuan. Kami memaafkannya keterlambatannya karena dia membawakan makanan kecil yang cukup untuk mengganjal perut. Marty menceritakan kisah tentang seseorang yang melamun di sebuah makam istrinya. Deskripsi Marty begitu bagus untuk hal-hal yang sangat Harlequin dan Hallmark. Flashback yang ia hadirkan begitu puitis tanpa bahasa yang terkesan dilebih-lebihkan.
Writer’s circle ditutup untuk kedua kalinya dengan ketukan pena Andika. Pembatas waktu kembali dipasang sebelum halaman-halaman kami buka lagi pada pertemuan selanjutnya. Bersamaan dengan matahari mulai bersiap-siap pulang, writer’s circle bersiap-siap pula untuk lanjutan episode kami masing-masing.
Amahl S. Azwar adalah seorang pemuda lulusan Universitas Parahyangan yang kini sedang magang di Departemen Luar Negeri. Menghabiskan hari kerjanya di Jakarta tidak membuat pria yang biasa disapa Mahel ini untuk pergi ke Bandung dan menghabiskan malam minggunya bersama Reading Lights Writer's Circle. Untuk melihat tulisan Mahel lainnya, silahkan mengunjungi blog pribadinya: http://www.mcmahel.blogspot.com/
2 komentar:
Haduh. Orang Indonesia itu susah amat disuruh nulis "Dani" cuma pake satu "n" sama "i" (bukan "y") ya. Pada harus ngulang pelajaran ngeja kata lagi nih....
Sebenernya bukan karena dia orang Indonesia atau bukan, tapi ada beberapa orang yang menuliskan kata yang berdasarkan apa yang dia denger, salah satunya nama Myra mungkin bisa ditulis menjadi Maira.
Posting Komentar