Selasa, 25 Agustus 2009

Enam Cerita Tentang Tujuh Benda

“Hari ini personal writing. Tulis sesuatu tentang benda yang kita pakai sekarang,” begitu kira-kira instruksi yang diberikan Andika. Setiap peserta Reading Lights Writer's Circle pun langsung sibuk memilih “teman” untuk diceritakan. Kami pun menyadari bahwa kami tak pernah benar-benar sendiri; setiap benda adalah teman personal yang kadang luput kami kenali.


Indra, yang mendapat giliran pertama, bercerita tentang ikat pinggang Levi’s-nya. “Ini sabuk warisan,” katanya. Sabuk tersebut diberikan turun temurun kepada adik yang mulai memasuki dunia kerja. Menurut Indra, sabuk itu seperti perlambangan dan harapan.


Saking tuanya, kulit sabuk abu-abu tersebut sudah terkelupas di sana-sini. Untungnya Indra tak punya adik lagi. Jika tidak, wah … tak terbayang kondisi si sabuk saat melingkar di pinggang generasi berikutnya.


Seperti Indra, benda yang diceritakan Andika pun warisan dan sudah cukup berumur. Namanya tas Dody. Awalnya Dody adalah milik seorang teman yang diberikan kepada Andika justru setelah Andika memiliki tas baru. Kira-kira apa yang akan dikatakan Dody jika dia bisa bicara? “Aku sudah harus pensiun!” demikian Andika membayangkan.


Ina bercerita tentang sepatu yang dikenakannya saat itu. “Tadinya sepatu ini untuk hadiah. Tapi ternyata kekecilan, pasnya di gua,” ujar Ina. Jadilah sepatu tersebut milik Ina selamanya. Ina pun merasa nyaman melangkah bersama si sepatu yang kerap dibawanya berkenalan dengan sepatu-sepatu lainnya.

Kamu harus mencium baunya. Serius, kamu harus.

Hampir mirip dengan Ina, Niken menceritakan sweater yang bukan miliknya. “Tapi sweater ini nyaman banget dan gua belum mau berpisah dengan dia,” Niken mengakui. Jika si sweater bisa mendengar, Niken ingin sekali bertanya, “Gimana rasanya bersama-sama dengan saya? Kangen nggak sama pemilik asli kamu?” Niken pun berniat mengajak si sweater bergosip tentang pemilik aslinya. “Gua mau tanya apa pendapat si sweater tentang pemiliknya … Hehehehe …”


Tulisan Dani agak berbeda dengan tulisan-tulisan teman-teman lainnya. “Ini campuran fiksi dan tidak,” kata Dani. Dani bercerita tentang buku yang sedang dia baca dan telpon genggamnya.

Di tangan Dani, mereka adalah sejoli

Paragraf Dani dibuka dengan jatuhnya si buku dan telpon genggam yang berdering. Selebihnya, Dani menuliskan kisah cinta mengenai seseorang yang meninggalkannya di hari ulang tahun. Mana yang fiksi dan mana yang tidak? Silakan ditanyakan langsung kepada Dani sendiri.

Sundea bercerita tentang Sparks, sarung kamera digitalnya. Ketika Dea memotret ke sana ke mari, Sparks kadang tertinggal menganga dan terlupakan di mana-mana. Akhirnya Dea memasangkan tali rafia di punggung Sparks agar Sparks dapat menggelayut aman di bahu Dea.


Dea pun tersadar betapa seringnya Sparks diabaikan. Mungkin baru hari itulah dia dapat duduk bangga karena menjadi bintang yang diceritakan.

Pertemuan ditutup dengan artikel Goenawan Mohamad yang dibacakan oleh Indra. Ada salah satu kutipan Konfusianis yang menarik dan menurut Dea relevan dengan pertemuan hari itu, “Kita tidak dapat bercermin pada air yang mengalir. Kita hanya dapat bercermin pada air yang diam”.

Setiap hari benda-benda yang kita kenakan mengalir bersama kita.
Hari itu mereka diam. Peserta Reading Lights Writer's Circle pun bercermin kepada mereka.


Perempuan yang memiliki nama asli Ardea Rhema Sikhar dulunya selalu dikuncir buntut kuda, gendut, suka bawa botol air, dan suka nulis-nulis. Setelah lulus dari Universitas Padjadjaran, Dea - nama panggilannya - sudah tidak dikuncir buntut kuda, sudah tidak gendut, (sepertinya) sudah tidak bawa botol air, namun masih suka nulis-nulis. Mau lihat tulisannya, silahkan berkunjung ke http://salamatahari.blogspot.com

Kamis, 20 Agustus 2009

Jinak-Jinak Merpati, Hendak Ditangkap Ia Pun Terbang

Minggu ini di writer’s circle, temanya adalah peribahasa. Tepatnya, memicu keluarnya tulisan dengan peribahasa. Ide ini mengemuka ketika pada minggu lalu Hakmer mengusulkan menulis berdasarkan kutipan sebagai tema minggu depan. Ide itu memang menarik, tetapi kami pernah melakukannya. Saya lantas teringat pengakuan Indra beberapa waktu yang lalu. Kata laki-laki itu, ia menikmati membaca buku peribahasa terutama karena nuansa Melayu yang kentara sebagai akar dari Bahasa Indonesia. Akhirnya diresmikanlah menulis berdasarkan peribahasa menjadi tema writer’s circle minggu ini.

Berbekal sepuluh peribahasa dari buku Peribahasa Indonesia keluaran CV, saya menuju ke toko buku Reading Lights. Rupanya di sana baru ada seorang peserta semi-mingguan, Aji. Di depan kaca besar yang bersih sekali, saya duduk bersamanya, menggulung potongan-potongan kertas bertuliskan peribahasa untuk latihan menulis nanti. Satu demi satu wajah-wajah pun bermunculan. Ada Dani, yang membawa plastik keresek yang saya kira berisi makanan padahal isinya gergaji. Juga ada Neni, yang kelakuannya semakin aneh saja akibat ketidakpastian kapan keluarnya visa. Uli, Wahyu, dan Hakmer muncul berturutan ketika kami sudah pindah duduk ke atas.

Pertemuan dimulai, saya lantas menanyakan kepada para peserta tentang penggunaan peribahasa dalam kehidupan sehari-hari. Jawaban semua peserta cukup senada. Peribahasa memang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hakmer menyatakan dirinya kurang bisa teridentifikasi dengan penggunaan peribahasa karena peribahasa, “Terlalu Melayu.” Sebagai bagian dari keluarga besar Batak, ia merasa jauh dengan budaya Melayu. Menurut Hakmer, sejak kecil ia terbiasa membaca buku berbahasa Inggris dan baru membaca buku berbahasa Indonesia ketika menginjak bangku perguruan tinggi. Soal kesulitan teridentifikasi dengan budaya Melayu ini kurang lebih disetujui oleh Dani. Peribahasa yang dibacanya biasanya adalah yang berbahasa Jawa.

Latihan menulis dimulai setelah pembicaraan sepintas kami tentang peribahasa selesai. Saya menunjuk kertas yang sudah saya gulung. Di setiap gulungan kertas terdapat sebuah peribahasa beserta maknanya untuk masing-masing peserta. Latihan menulisnya sendiri cukup fleksibel. Peserta bisa menempatkan peribahasa tersebut sebagai pembuka atau penutup tulisannya. Bisa juga membuat tulisan yang sama sekali tidak mencantumkan peribahasanya per se, asalkan dari tulisan tersebut bisa ditelusuri makna dari peribahasa yang didapatkan. Waktu yang diberikan sebanyak 15 menit + 5 menit + pokoknya sampai tulisan selesai.

Rupanya sore itu semua orang berlagak malu-malu kucing. Tidak ada seorang pun yang mau membacakan tulisannya duluan. Ketika saya mengharuskan peserta yang membaca terakhir menulis jurnal ini barulah nyaris semua orang berebut membacakan duluan. Yeee. Wahyu lantas membaca tulisannya yang menggambarkan padang rumput, angin semilir, dan sapi-sapi gemuk yang sedang digembalakan. Kesannya tenang. “Peribahasanya apa?” tanya saya. “Jinak-jinak merpati, hendak ditangkap ia pun terbang. Artinya, seorang gadis yang seperti mudah didekati, padahal tidak,” jawab Wahyu. “Tapi kok nggak nyambung?” Rupanya Wahyu lebih terinspirasi pada lagu Enya yang berirama New Age yang diputar sayup-sayup di Reading Lights!

Kemudian Neni membacakan tulisannya yang terinspirasi dari peribahasa, ‘Di mana kayu bengkok, di situlah musang meniti.’ Artinya: musuh ada di tempat yang kurang penjagaannya. Neni mengaku sama sekali blank mendapatkan peribahasa ini. Tulisannya sangat kental unsur dialognya, di mana salah satu karakter selalu bertanya sementara karakter yang lain berusaha menjawabnya. Yang dibacakan Neni seperti menggambarkan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang pada akhirnya coba dijawabnya sendiri.

Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan Indra yang datang sembari terbatuk-batuk. Aji lantas membacakan tulisannya yang kembali berkutat di urusan-urusan yang serius: politik, hukum, kriminalitas. Peribahasa yang didapat Aji pun sangat pas dengan tulisannya yang agak-agak bernuansa mafia, ‘Menangkap gajah yang liar itu harus dengan gajah pulu.’ Maknanya adalah menangkap penjahat harus dengan penjahat pula.

Saya pun membacakan tulisan saya. Ceritanya tentang Agnes Santoso, seorang mahasiswi yang tergila-gila pada merk Zara dan The Body Shop. Belanja adalah nafas Agnes. Sementara itu, di perguruan tinggi nilainya yang pas-pasan membuat ia berpindah dari satu kampus ke kampus lainnya sampai menikah dan mati. Untuk memperkental nuansa komikal pada cerita ini, saya banyak memakai repetisi. Tulisan saya terinspirasi dari peribahasa, ‘Minyak habis, sambal tak enak,’ yang berarti: telah banyak mengeluarkan uang tetapi hasil tidak memuaskan.

Lalu Hakmer membacakan tulisannya yang terinspirasi peribahasa ‘Belum bertaji, hendak berkokok.’ Belum berilmu sudah mau melagak. Tulisannya itu sangat lucu, karena seperti curhat laki-laki menyebalkan tentang seorang laki-laki lain yang juga menyebalkan. Terasa seperti curhat karena Hakmer menggunakan narasi sudut pandang orang pertama. Menyebalkan karena si narator suka mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Padahal sebetulnya pencampuran ini alami karena ada beberapa kata dalam Bahasa Inggris yang padanan Bahasa Indonesianya tidak ditemukan Hakmer.

Pada kesempatan ini, Uli mengisahkan kehidupan seorang pengusaha yang dulunya adalah atlet. Suatu hari pengusaha itu membeli lukisan seorang seniman yang tanpa diketahuinya adalah rivalnya semasa menjadi atlet sekaligus saingannya dalam memperebutkan cinta perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Tulisan Uli berbeda dengan cerita peserta-peserta lain karena penuh dengan darah. Ia memang tega menyiksa karakter-karakternya. Dani membandingkan tulisan tersebut dengan sebuah film yang pernah ditontonnya, “Awalnya mirip, tapi akhirannya enggak.” Peserta lain memberi komentar bahwa kendatipun ‘berdarah’, tetapi belum terasa tonjokan emosi yang signifikan. Pasalnya narasi yang digunakan Uli kelewat berjarak, sehingga tulisannya seperti video yang diambil dengan kamera yang kelewat statis dari jarak terlalu jauh. Tulisan Uli berdasarkan makna peribahasa ‘bagai harimau beranak muda’, yaitu sangat ganas terhadap istri.

Militerisme mengemuka pada cerita Dani seperti biasa. Pada awal kedatangannya di writer’s circle ia memang sudah menjelaskan bahwa genre kesukaannya memang yang berbau-bau militer. Tulisan yang dibacakan Dani cukup lucu. Berlatarkan sebuah hutan yang menjadi lokasi gerilya, tersebutlah seorang letnan muda yang sering jalan-jalan sendirian tanpa jelas ke mana tujuan. Bisik-bisik pun terjadi antara sesama prajurit. Sementara itu dengan geli sersan mereka menduga-duga ke mana letnan itu pergi sambil memikirkan pertanyaan apa yang akan ia ajukan saat interogasi nanti. Cerita ini dipicu oleh peribahasa, ‘Bagai kucing lepas senja.’ Artinya: anak muda yang suka keluyuran.

Terakhir, Indra membacakan tulisannya yang berdasarkan peribahasa yang sama dengan peribahasa yang didapat Dani. Alkisah, seorang perempuan menjalani hidup yang penuh dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang ibarat pinggul perempuan itu sendiri. Banyak peserta yang suka dengan cerita Indra karena bahasanya yang halus dan metafor-metafor yang digunakannya. Bertolak dari tulisan Indra, Dani berpendapat bahwa belakangan peribahasa memang agak jarang digunakan, tetapi dalam tulisannya penulis-penulis saat ini banyak memakai metafor-metafor yang sifatnya personal. Bukan tidak mungkin bila metafor ini akhirnya menjadi metafor umum yang diakui oleh banyak orang.

Writer’s circle lalu mengobrolkan pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah. Bagaimana seorang guru memerintahkan murid-muridnya untuk menghapal sejumlah peribahasa, majas, dlsb. Kata Dani, pendidikan seperti itu sukses membuat apa yang sebetulnya keren menjadi tidak keren. Lalu muncul pertanyaan, memang bagaimana membuat suatu yang keren tetap menjadi keren? Lantas Indra menyebut film Dead Poet Society yang berakhir tragis. Kemudian, muncul pendapat bahwa idealisme seseorang akan selalu berakibat tidak enak karena memang dalam dunia ini tidak ada tempat bagi idealisme.

Tulisan ini pun saya tutup dengan peribahasa kesukaan Indra, ‘Lebih baik mati bertabur bunga daripada hidup berlumur tahi.’

Kamis, 13 Agustus 2009

Movie Week: Bad Education (2004)

Sutradara: Pedro Almodóvar
Penulis: Pedro Almodóvar

Dua sahabat, Ignacio dan Enrique yang bersekolah di sebuah sekolah biara katolik, saling menemukan cinta pada tahun 60an. Romo Manolo, biarawan, kepala sekolah, dan guru literatur mereka, menyadari ketertarikan antara dua anak ini. Ia cemburu karena dirinya sendiri tertarik secara seksual terhadap Ignacio dan berniat untuk mengeluarkan Enrique dari sekolah itu, dengan tuduhan menjadi "bad education" untuk Ignacio. Dalam usahanya untuk memepertahankan orang yang disayanginya, Ignacio bersedia melakukan apa saja untuk sang biarawan, agar Enrique tidak dikeluarkan. Ternyata setelah Igancio rela dilecehkan, sang biarawan tetap mengeluarkan Enrique.


Kurang lebih 20 tahun kemudian, kedua sahabat ini bertemu kembali. Enrique yang telah menjadi sutradara film terkenal, dikunjungi oleh seorang aktor asing yang mengaku sebagai sahabat sekolah dan cinta pertamanya, Ignacio. Ignacio membawa sebuah naskah cerita yang bercerita tentang cinta, cita, dan penderitaan mereka semasa sekolah dulu. Siksaan fisik dan seksual yang mereka dapatkan dibawah tangan Romo Manolo, kisah fiksi (harapan Iganacio) tentang pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah, semuanya ada di dalam naskah tersebut.


Enrique sangat ingin mengadaptasi cerita Ignacio menjadi sebuah film. Tapi Ignacio memberi syarat, Enrique boleh membuat film itu, asal dia diberi peran sabagai Zahara, alter-ego Ignacio. Zahara digambarkan sebagai seorang transeksual yang mengimitasi Sara Montiel – seorang bintang besar pada tahun 40-70an. Enrique yang merasa Ignacio terlalu maskulin untuk memerankan Zahara, menolaknya. Hal ini membuat Ignacio marah dan pergi. Sepeninggalan Ignacio, Enrique merasa Ignacio yang dia cintai dengan Ignacio yang menemuinya adalah orang yang sangat berbeda. Maka, ia pergi ke desa kelahiran Ignacio dan menemukan bahwa ...

Wah saya ngelantur terlalu banyak neh. Saya tidak mau menceritakan terlalu banyak. Lebih baik bila kamu menonton sendiri filmnya dan menikmatinya sendiri seperti kami menikmatinya pada Sabtu lalu. Kamu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda saat menyaksikannya, terutama karena film ini bukan film Hollywood. Saya sendiri sudah banyak membaca fanfic yang dibuat berdasarkan film ini. Menontonnya secara langsung merupakan pengalaman yang menggetarkan buat saya.

Film yang disutradarai oleh Pedro Almadovar ini mempunyai sinematografi yang indah dengan warna-warni yang cerah khas negara-negara latin yang panas dan ceria. Setting kota Madrid yang penuh dengan gedung tua, biara, tembok-tembok berwarna-warni yang berkolasekan pecahan gelas, genting dan kaca, memberikan kesan yang indah dan sedikit sendu dalam film ini. Alur cerita film ini agak berbeda, dimana beberapa bagian berupa flashback yang dipaparkan dalam bentuk proses film yang sedang digarap Enrique. Namun beberapa bagian merupakan kisah nyata yang terjadi dalam kehidupan setiap tokoh yang terlibat. Beberapa fiksi dan beberapa nyata (dalam dunia film ini tentunya).

Sebenarnya saya tidak menonton bagian awal dari film ini (yang harus saya bayar dengan membuka youtube setelahnya) dan saya masuk tepat pada saat tokoh Zahara yang diperankan dengan luar biasa oleh Gael Garcia Bernal sedang memberikan oral seks pada seorang pemuda. Unsur seksualitas yang digambarkan di film ini disajikan seadanya, tanpa melebih-lebihkan atau mengindah-indahkan seperti film-film Eropa lainnya.

Salah satu adegan terindah adalah saat Igancio cilik menyanyikan lagu Moon River dan The Gardener. Sebagai orang yang berlatih dalam menyanyi klasik, adegan itu benar-benar menggetarkan jiwa dan hati saya. Benar-benar sempurna, terutama karena kedua lagu tersebut cukup beriringan dengan ceritanya. Moon River yang menceritakan tentang kebahagiaan masa kecil yang polos dan The Gardener tentang kecintaan Sang Pencipta terhadap ladang yang dia pelihara dan mengharapkan hanya buah-buah yang terbaik yang dihasilkan. Begitu menyentil kehidupan sang biarawan, Romo Manolo.

Namun untuk saya sendiri tema tentang transeksual yang terpuruk, menjadi junkie, bangkrut, dan dibenci oleh orang-orang terdekatnya – seperti yang diusung dalam film ini - cukup melelahkan. Banyaknya penggambaran seperti itu membuat saya ingin melihat film-film tentang transeksual yang berhasil dan berbahagia dalam hidup mereka, seperti To Wong Foo, Thank You for Everything atau Priccilia, Queen of The Desert. Namun bukan berarti saya tidak menyukai film ini, saya suka film ini dan memberikan rating 4 dari 5 point untuk film ini (2 point untuk tema transeksual terpuruknya :p).


Teman-teman yang menonton bersama saya juga boleh dikatakan cukup menyukai film ini dan memeberi rating 3-4 point. Kekurangan-kekurangan yang kami rasakan hingga tidak memberi nilai sempurna yaitu: plot dan jalan cerita yang terlalu cepat berubah dari ceria menjadi kelam, ending yang terasa terlalu datar setelah emosi yang terus diangkat oleh film ini sehingga membuat film kurang mengigit. Beberapa teman merasa seksualitas film ini tidak penting, hal yang bisa dilewat atau dihilangkan, karena tidak mengeksplor hubungan dari tokoh-tokoh utama di film ini.

Semua itu adalah pendapat pribadi yang berbeda-beda dan mungkin akan berbeda lagi dengan kamu yang menonton film ini. Namun satu hal yang pasti dan hingga sekarang saya renungkan adalah saat teman nonton saya, Andika, mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari film ini hingga seorang genius seperti Pedro Almodovar harus menghabisakan 10 tahun untuk mempersiapkan film ini. Apa karena temanya yang sangat sensitif dalam hal religi mengingat Spanyol adalah negara pemeluk katolik yang cukup fanatik dan Almodovar sendiri merupakan pengikut setianya? Sampai saat ini saya belum tahu. Namun film ini adalah film yang wajib anda saksikan untuk yang jenuh dengan kebohongan Hollywood dan dominasi film Indonesia yang CAPEEE DEEEEHHH ...

with Love,
Siluman Rubah Regie


P.S.
Untuk info lebih dalam tentang film ini, kunjungi situs resminya.

Minggu, 02 Agustus 2009

Dongeng Sebelum Tidur

Di hari Sabtu yang terlampau cerah, sebelum ke RL, Andika mengajak saya ke Selasar Sunaryo untuk melihat pameran ilustrasi buku anak-anak kontemporer di Jerman. Pameran yang diselenggarakan selama 13 hari itu diisi oleh 13 seniman Jerman. Ilustrasi lukisan cat air, kolase, dan gambar digital ada dalam pameran ini sehingga membentuk spektrum yang luas dari seni buku-bergambar modern. Menarik. Ternyata pameran ini memberi insight pada Andika untuk mengangkat tema 'Dongeng' untuk writer's circle.



Cukup mengejutkan ketika Andika mengeluarkan sebuah kain hijau kotak-kotak dari tasnya. Kain itu disimpan di atas meja - diharapkan membangun suasana imajinatif. Setelah itu ia mengeluarkan buku-buku ilustratif seperti Charlie and Chocolate Factory, The Series Of Unfortunate Events, Dunia Adin, Harry Potter, dan lainnya.

Sebelum mulai, Andika bertanya kepada masing-masing peserta tentang dongeng apa yang paling kita ingat ketika masih kecil. Ada peserta yang menyebutkan dongeng Hansel and Gretel, Gadis Penjual Korek Api, Sangkuriang, bahkan dongeng turun temurun yang diceritakan oleh Azisa bahwa keluarganya suka bercerita kalau klentengan tukang sate sering itu adalah suara kereta kencana seorang prabu.


Dengan panduan buku, Andika menjelaskan bahwa kali ini kami akan menulis sebuah dongeng yang berasal dari dongeng yang pernah kami dengar. Bisa diambil karakternya, setting-nya, ceritanya, mengubah sudut pandangnya, dan lainnya. Misalnya pada dongeng Cinderella, kami boleh mengubah ending ceritanya atau kami bercerita melalui sudut pandang kakak tirinya. Pasti ini akan seru!



Dimulai dari Andika yang bercerita tentang empat orang anak yang tinggal dengan neneknya di Magelang. Nenek yang suka masak itu dicurgai selalu masak dengan air liur, memasukkan kolor ke panci agar masakannya enak, dan memakai daging tikus. Semua anak bersembunyi di balik lemari dan nenek mengancam akan mencari mereka jika mereka tidak segera turun untuk makan. Anak-anak itu berimajinasi tentang kursi yang bisa terbang ke Semarang, Bandung, dan Jakarta. Tanpa disangka imajinasi mereka menjadi nyata - semua anak hilang dari lemari kecuali satu orang.

Cerita Andika ini seru banget. Di benak saya, nenek itu muncul sebagai sosok yang tua, mengerikan, dan menyeramkan. Selain memacu adrenalin tentang nenek yang menghitung 'satu.. dua.. tiga..' untuk mengejar anak-anak tersebut, ending ceritanya mengejutkan dimana anak-anak itu betul-betul hilang. Cukup imajinatif. Dan hal yang seperti ini hanya ada di dunia dongeng, 'kan?

Saya menulis kelanjutan gadis penjual korek api. Saya mengajak gadis penjual korek api pada semburan gas agar ia bisa menyajikan imaji ibu karena api yang tiada habisnya.

Teman-teman saya bilang mood yang diciptakan Andika dan saya jomplang banget. Sebelumnya mereka mendngarkan cerita yang ceria dan menegangkan, sementara cerita saya begitu kelam dan menyedihkan. Sepertinya ini sudah menjadi gaya nulis saya.
Cerita Thya paling lucu nih. Dia mengambil sudut pandang Bawang Merah di cerita Bawang Merah dan Bawang Putih. Cerita Thya mengkritisi tentang perempuan-perempuan yang mendapat kebahagiaan tanpa usaha - hanya karena wajah cantiknya. Siapa yang tidak iri coba? Wajar, 'kan, kalau bawang merah jadi bersikap antagonis seperti itu? Kalimat akhir yang diucapkan Bawang Merah begitu pas: "Ia boleh cantik, tapi aku pintar"



Anggi dan Hakmer menyajikan isu baru: ketimpangan psikologis. Anggi menulis hubungan oedipal antara Sankuriang dan ibunya menjadi sahih. Sementara Hakmer menulis Hansel dan Gretel yang menjadi incest. Gila.
Sementara itu Azisa bercerita tentang gadis dengan tudung merah dalam versi lain. Di cerita itu, gadis tudung merah bertemu dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkata, "Bagaimana ya jika penebang kayu tidak lewat dan kamu masih berada di dalam perut srigala? Mungkin aku tidak bisa melihatmu sekarang". Namun gadis tudung merah memenggal kepala laki-laki itu. Usut punya usut, sebenarnya ketika gadis tudung merah masuk ke perut srigala, tudungnya berwarna putih.



Rupanya gadis penjual korek api sangat laku kali ini karena Dani terinspirasi membuat ceritanya. Berbeda dengan saya yang meneruskan akhir cerita, Dani memilih untuk mengambil tokohnya saja. Diceritakan gadis penjual korek api yang menjadi intel dan ditembak mati seseorang. Korek api yang dibawa sebenarnya adalah bom pemusnah masal. Yap, kali ini Dani mengubah dongeng menjadi sci-fi.

Cerita ini begitu sinetron - begitu aku Farida. Cerita antara putri dan pangeran dibuat semakin parah dengan pangeran yang mau mengambil tahta sang putri sementara ia pun memiliki gadis lain. Dalam cerita ini, Thya berpendapat mengapa pangeran di dongeng-dongeng itu selalu berwajah tampan namun bodoh?

Jadi, intinya?

Intinya pertemuan kali ini seru. Apalagi setelah itu kami membahas tentang mitologi dan keanehan-keanehan dalam dunia dongeng maupun nyata. Mengubah dongeng dan menjadikan apapun yang kita mau itu patut dicoba!