Jumat, 24 April 2009

Mengenal Identitas Melalui Pakaian

Hari Sabtu tanggal 11 April 2009 The Writer Circle berkumpul di Reading Lights. Hari itu saya bisa datang karena memang sudah saya niatkan demikian. Saya niatkan karena saya punya firasat akan lama sekali waktu berselang untuk bisa berjumpa lagi dengan mereka karena saya akan pindah ke Jogja.

Berkumpul di function room lantai atas Reading Lights, Andika mengusulkan agar membahas mengenai pakaian. Saat dia menjabarkan instruksi bentuk tulisan yang harus dibuat, saya pikir tema yang dia pilih masih berulang dan berputar di sekitar pembacaan identitas, bukan semata latihan deskripsi. Dan ternyata entah tanpa sadar atau tidak, maka yang hadir hari itu pun menuliskan mengenai pakaian tetapi dengan tema yang cenderung pada identitas atau citra yang diwakili oleh pembungkus badan tersebut.


Entah karena rindu pada saya atau balas dendam terselubung, para penulis tersebut secara aklamasi menunjuk saya sebagai penulis jurnal pertemuan kali ini. Saya turuti saja, walaupun saya tidak menjamin hasilnya akan sedap dibaca layaknya ayam goreng bumbu kalasan dan sepiring nasi uduk nan pulen lagi hangat :) Saya juga tidak mengutarakan janji akan menyelesaikan jurnal ini dalam kurang dari seminggu. HA HA HA HA >:D

Begitu gong imajiner berbunyi, setelah Andika memasang alarm untuk menanda waktu 30 menit di telepon genggamnya, kami semua menunduk menulis. Saya mengetik. Sepertinya semua begitu hanyut dalam tulisan masing-masing, sampai-sampai ketika 30 menit selesai, kami masih menambah lagi 10-15 menit.

Saya menuliskan perkara "jarang keliatan pake bukan berarti nggak punya / gak tau cara pakenya". Tulisan itu belum selesai tapi saya bacakan juga. Tema ini sedang selalu berulang dalam hidup saya semenjak paruh terakhir 2007 ketika saya mulai tinggal berpindah-pindah kota dan harus bertemu serta bekerja dengan orang-orang yang baru mengenal saya.

Andika menulis soal selera berpakaiannya yang sama dengan kakaknya, dan selera mereka jadi semakin berbeda ketika hubungan mereka pun menjauh. Sebetulnya jika dibaca lebih, mungkin itu merupakan proses transisi saat Andika menjadi semakin mandiri, semakin menjadi dirinya sendiri dan lepas dari bayang-bayang kakaknya.

Andika is walking in his brother's shoes

Dea menulis soal sendal kesayangannya yang warna kuning yang ketinggalan di pantai waktu dia masih kecil. Dia sedih karena merasa sendal itu akan kesepian karena ditinggal di pantai sendirian dan tidak terjemput lagi. Gaya personifikasi nyaris seperti fabel sudah jadi ciri khas Dea. Tapi entah kenapa cerita tentang sendal ini membuat saya terkaget-kaget dan terdiam cukup lama. Dea menggambarkan kehilangan tersebut sedemikian rupa sehingga saya bisa merasakan trauma kesepian dan ketakutan karena ditinggalkan. Saya tidak bertanya apakah yang lain juga merasakan hal yang sama.

Setidaknya sendal Dea hilang itu sepasang sehingga tidak sendirian

Giliran Nia berikutnya. Dalam tulisannya ia menceritakan kegemarannya memakai kaus warna hitam dengan gambar band. Warna hitam membuat Nia merasa nyaman karena blend in, tidak standing out. Kebetulan saja sebagian besar kaus yang berwarna hitam biasanya kaus yang ada gambar grup musiknya, entah kenapa. Mungkin karena warna itu memang keren. Lucu juga, warna yang keren tetapi tidak menonjol. Tidakkah ini sedikit paradoks?

Setelah Nia selesai membacakan cerita mengenai koleksi kausnya, ganti Indra yang menceritakan pakaian kerjanya sehari-hari. Rupanya di kantor tempatnya bekerja ada peraturan khusus mengenai tata cara berpakaian yang diperkenankan dan peraturan tersebut cukup detil. Tadinya Indra merasa tidak nyaman, tetapi lama-lama penampilan pakaian kerjanya menjadi bagian dari identitas yang ia adopsi. Meskipun demikian Indra tetap sadar seragam adalah konsep yang mengekang kebebasan dirinya.

Indra dan Aji: serupa tapi tak sama

Aji menuliskan tentang isi lemarinya, dan menjelaskan kenapa dia punya sedikit jenis baju lain, selain kaos oblong hitam dan jeans, padahal dia bilang sendiri bahwa hitam identik dengan kematian, stagnasi, kebosanan. Aji punya kaos favorit yang gambarnya cewek seksi yang jarang dia pakai karena menurutnya gak pantas shalat pake baju itu.

Wahyu menyambung hampir senada mengenai kepantasan. Ia menceritakan sepatunya yang berwarna kuning biru hijau, yang tidak dia pakai kalau dia lagi nggak pede (atau kalo harus ke gereja). Kebetulan akhir pekan itu masih dalam rangkaian perayaan Paskah. Wahyu harus ke gereja jadi dia datang ke Reading Lights memakai sepatu hitam yang mengkilap dan formal.

Sepatu Wahyu, tentunya. Semir dimana nih?

Giliran Fadhil dan kisah kemeja putih favoritnya yang istimewa karena itu baju pertama yang ia jahit sendiri, dan nilai sentimental yang menyertai baju itu. Ternyata, entah kebetulan atau tidak, kemeja itu selalu sedang dia pakai ketika terjadi hal yang istimewa. "Keberuntungan" saat mengenakan si putih itu terjadi beberapa kali, termasuk ketika Fadhil diterima menjadi pacar seorang gadis pujaan hati. Saat membacakan bagian yang ini, Fadhil tidak mengambil jeda terlalu lama sebelum yang lain ribut dan wajahnya menjadi merah jambu.


Sampailah pada giliran Ina. Ina menulis tentang warna coklat yang jadi favoritnya. Semua bajunya coklat karena menurutnya gampang dipadupadankan dengan warna lain. Saat Ina membacakan ceritanya itu saya melamun sambil memandangi bajunya. Benar juga, hari itu pun Ina memakai kerudung warna coklat. Saya jadi membayangkan Ina sedang pergi jalan-jalan ke King's lalu kalap melihat kain-kain berwarna coklat. Saya sendiri kalau sedang pakai baju warna coklat entah kenapa selalu dikatai "Praja Muda Karana nih ye". Coklat itu terlalu plain, tidak menonjol, apalagi warna coklat muda. Saat berpikir begini saya melirik Nia. Tadi Nia bilang alasan dia suka warna hitam karena membuatnya blend in dan tidak menonjol, kenapa Nia tidak memilih coklat saja ya, ketimbang hitam?

Tahu-tahu Ina sudah selesai membacakan tulisannya. Gawat, saya tidak tahu penutupnya apa gara-gara melamun. Ya sudahlah. Teruskan sajalah. Heheh.


Niken yang menutup barisan, setelah mondar-mandir dari ruangan atas ke bawah, ternyata dia berhasil menyelesaikan tulisan yang menceritakan mengenai selera berpakaiannya. Niken sebetulnya nggak rewel pake baju apa aja yang dibelikan ibunya. Buat Niken yang penting baju itu nyaman di badan. Entah kenapa, dia tidak mengerti, selera berpakaiannya kadang dianggap aneh. Sama seperti saya, Niken juga seringkali diremehkan perkara koleksi pakaian. Contohnya: Salah seorang teman di kosan lamanya dulu, yang kebetulan berdarah Cina, dengan percaya diri pernah mengatakan "Saya aja nggak punya Cheong Sam, apalagi mbak Niken". Ternyata Niken punya, dua helai pula!

Niken, yang bersemangat atau tidak, ekspresinya selalu seperti ini

Akhirnya sesi membacakan hasil tulisan selesai. Kelompok penulis yang giat berkumpul ini masih seru membahas mengenai pakaian sebagai salah satu aspek identitas yang paling mudah dikenali. Ya, mudah dikenali tentu saja karena memang pakaian adalah lapisan terluar yang bisa langsung kita lihat melekat pada seseorang, sebelum kita mendengarnya bicara (atau sebelum kita mencium baunya mungkin?)

Setelah membahas ini sekitar selama seperempat jam, diskusi pun ditutup oleh Andika dan pembicaraan pun dengan segera melebar ke sana dan kemari.

Demikianlah jurnal yang akhirnya berhasil saya tuntas tuliskan tentang pertemuan Writer Circle tanggal 11 April. Hari itu terlontar paling tidak 3 kali sebuah pernyataan yang sama dari kami, yang nggak ada hubungannya dengan tema hari itu: pakaian dan identitas. Pernyataan apakah?

"Erik mana ya, kangen ih"

Saya, yang terlambat mengumpulkan jurnal :D

Mirna Adzania

Perempuan yang mengenyam pendidikan di Universitas Padjajaran angkatan 1998 ini sangat menyukai kartun anak-anak. Mirna adalah salah satu pencetus terbentuknya writer's circle ini. Cukup banyak karya yang dipublikasikan di majalah karena kemampuannya dalam menulis artikel, resensi, cerita, dan lainnya. Berbekal pengalaman inilah, Mirna paling kritis dalam mengapresiasi suatu karya.

4 komentar:

rangga primadasa mengatakan...

ide brilian buat komunitas gt

M. Lim mengatakan...

akhirnya tertuntaskan lho ini utang jurnal.
berkeringat dingin diriku, dihantui mimpi dikejar-kejar penjaga gawang blog ini MWAHAHAH™.

Blog gue udah masuk link blog ini gak sih? :P
Butuh eksis juga nih eike..

andika mengatakan...

Akhirnya oh akhirnya...

Mirna, Mirna ... Ckckck.

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

@rangga: terima kasih, mari bergabung bersama kami!

@mirna: siaaaaaaaaapp!