Senin, 06 April 2009

Jurnalisme Sastrawi Dan Paraf Rasa

Food critic adalah tema menulis non-fiksi kali ini. Menurut Andika, sang fasilitator, dalam menulis artikel jenis ini, penulis perlu menuliskan beberapa aspek seperti kebersihan tempat, kualitas pelayanan, keunggulan/ keunikan, lokasi, dan kualitas makanan yang ditawarkan.

Dalam waktu 15 menit ditambah 6 menit, saya, Andika, Dea, Wahyu, Aji, dan Anas menuliskan review tempat-tempat makan pilihan.

Kami yang bersembunyi dibalik kaca

Saya menulis tentang satu tempat makan di Senayan City. Yang meski makanannya enak, harganya luar biasa mahal.

Wahyu memilih Warung Nasi Hijau yang berlokasi di Jl. Gempol dan bercat hijau. Warung ini kerap dikunjungi banyak orang, hingga antrian pembeli sudah jadi pemandangan biasa di warung yang terkenal murah dan enak ini. Wahyu paling suka dengan menu nasi+tempe krispy+jamur krispy+sayur pare yang dihargai hanya Rp. 5000,00 (makan di tempat). Tapi, jika dibungkus harganya akan jadi Rp. 6000,00 karena alasan yang tidak diketahui Wahyu.

Anas menuliskan tempat makan favoritnya yang bertempat di pojok pasar Balubur. Saat makan di tempat ini, Anas biasa berbaur dengan tukang becak, kuli panggul, dll yang juga menjadi pelanggan tetap. Awalnya Anas penasaran melihat banyaknya pengunjung warteg tersebut yang membuatnya ikut mencicipi dan ketagihan. Yang menarik adalah Anas menceritakan latar belakang kehidupan penjualnya. Sewaktu kecil, penjual tersebut mengidap penyakit cairan pada telinga. Ia lalu pergi ke dokter yang kemudian mengetok bagian belakang telinganya dengan palu, yang bukannya menyembuhkan malah membuat si penjual kesulitan bicara dan mendengar. Ia stres dengan kondisinya dan kabur dari rumah. Saat ia sudah menerima keadaannya dan kembali ke rumah, ia minta diajarkan menjadi penjual makanan pada ayahnya. Kabarnya penjual ini punya istri yang cantik, yang seringkali digoda oleh para pelanggan tanpa ia bisa melawan. Hingga suatu hari, istrinya meninggalkan dia. Sejak ditinggal istrinya, sambal buatannya menjadi kian manis. Menurut Anas, hal ini mungkin berkaitan dengan usaha si penjual yang tengah mengobati luka ditinggal istri.

Aji kecanduan nyabu—nyarap bubur. Aji mengenal penjual bubur yang terletak di jalan Dr. Djunjunan ini dari majalah intisari. Menurut Aji, tak ada yang spesial dari tempatnya kecuali buburnya yang tidak biasa yang tidak akan tumpah meski piring dibalikkan. Dan harganya pun lumayan murah, di bawah 20 ribu rupiah.

Andika memilih menulis Zoe Corner (Zone of Education), yang merupakan tempat makan sekaligus tempat penyewaan buku, komik, dan majalah. Koleksi bukunya cukup banyak. Zoe Corner bahkan memiliki koleksi komik Detective Conan dari jilid 1 hinga 63! Makanan yang ditawarkan pun beragam dari mulai bajigur hingga sandwich, dan nasi goreng Zoe yang sangat terkenal. Selain itu, keunggulan tempat ini adalah fasilitas hot spot yang ditawarkan.

Dea menceritakan tentang tempat makan di kawasan Sulanjana. Saat pagi hingga sore, Kedai Berkat yang buka. Tapi, saat malam tiba giliran Kedai Malam beroperasi. Kedai ini terkenal sebagai tempat makan dan berkumpulnya para wartawan dan seniman. Menunya diberi nama yang tidak biasa yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antara pembeli dan penjual. Nasi malu-malu, Nasi Kabayan, dll adalah menu khas di kedai ini, yang juga terkenal akan sambal kacangnya yang enak. Menurut Dea, tempat ini lebih cocok disebut sebagai tempat istirahat para seniman dan wartawan ketimbang tempat makan.

Uli membacakan mengenai jurnalisme sastrawi

Nia datang terlambat sehingga hanya mendengarkan kami membacakan tulisan. Disusul Uli yang minggu lalu berjanji membawa buku berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat karya Andreas Harsono. Uli menceritakan salah satu cerita yang berjudul Hikayat Kebo - cerita seorang pemulung yang membakar seluruh perkampungan pemulung. Kebo marah karena dua pelacur yang disewanya tidak mau melakukan apa yang diperintahkan Kebo. Selain itu, buku ini bercerita tentang hikayat Kebo dari berbagai saksi mata dan juga istrinya. Alhasil, obrolan pun beralih ke jurnalisme sastrawi. Sebelum Uli datang, kami menduga bahwa jurnalisme sastrawi adalah sejenis tulisan yang menggunakan bahasa yang berbunga-bunga layaknya bahasa sastra. Tapi ternyata, saat Uli datang dan membacakan contoh tulisan ini, kami sadar bahwa jurnalisme sastrawi tidak hanya ditentukan dari bahasanya yang ”nyastra”, tapi juga dari alur/plot tulisan yang mirip fiksi, yang biasanya lebih detail dan mencantumkan aspek-aspek lebih khusus dan dalam, yang tidak ditemukan di artikel berita biasa.

Pose Neni ketika hang out

Neni Iryani

Neni Iryani adalah penggemar Andrea Hirata yang membelot lantaran teman-temannya tidak menyukai pengarang keriting itu. Tumbuh besar di Lampung, lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Perguruan Indonesia ini pernah mengadu nasib di ibukota. Selain menulis cerita pendek, Neni juga senang menulis cerita pendek dengan format puisi. Bagaimana caranya? Bisa tanya Neni atau lihat tulisannya di sini.

4 komentar:

Reading Lights Writer's Circle mengatakan...

Anyways, saya kemarin mencoba menghubungi Mas Andreas melalui blognya. Saya bertanya tentang teknik dan tips menulis jurnalisme sastrawi.

Begini jawabannya:


Untuk Reading Lights Writer's Circle,

Saya usul Anda pelajari buku "Jurnalisme Sastrawi" dimana saya ikut menyunting. Disana ada banyak trik soal menulis panjang. Sisanya, ya tinggal praktek. Kalau ada usul lain, saya usul, banyaklah membaca buku yang terkait dengan isu apapun yang sedang Anda tulis. Ini akan membuat Anda bisa mengerti apa yang sudah dikerjakan orang. Terima kasih.

Neni mengatakan...

Please be informed, UPI itu Univ. Pendidikan Indonesia bukan Perguruan ya...hehee.....

Trus kenapa ya Andrea Hirata masih perlu disebut2, =)....

andika mengatakan...

Hahaha. Si Nia yang kuliah di UPI aja ga tahu kepanjangannya.

Nia Janiar mengatakan...

Walah, gak merhatiin euy. Merusak almamater sendiri!