Sahabat perempuanku pernah berkata, “Suatu ketika, sesungguhnya manusia dan hidupnya merupakan permainan yang paling menarik bagi Tuhan. Kita berbuat dosa, merasa hampa dan rindu akan Ketenangan. Kembali pada Dia.”
Sampai pada Sabtu pagi, aku berbicara dengan seorang pedagang kelontongan di sebuah pasar tradisional di kota ini. Tapi sepertinya lebih tepat dikatakan obrolan untuk mematenkan waktu. Dengan muka memelas ia berkata, “Satu-satunya perbuatan yang tak dapat saya hindarkan tiap hari adalah BERBOHONG.”. Tiap kali kedatangan pembeli maka syaraf bohongnya meronta-ronta ingin keluar. Begitu setiap tahun selama seperempat abad.
Dalam hatiku, mengetahui isi hati pedagang kelontongan itu, aku tersenyum. Beruntunglah mereka yang suka akan fiksi. Mereka bisa tinggal dalam dunia campuran, antara dunia nyata dan imagi. Di fiksi semua bisa ditorehkan: kekesalan terhadap ibu yang suka ngatur hidup anaknya, perempuan yang kecewa karena tidak didengarkan, atau dendam terhadap masa lalu yang belum dilampiaskan. Semuanya berjalin berkelin. Dalam fiksi terdapat hasil imajinasi kreatif.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, dimana realitas dilempar dalam tong sampah, manusia hidup dalam dunia imajinal. Semua kejadian harus sesuai dengan harapan. Lalu setiap manusia hidup dalam imajinasinya sendiri-sendiri walaupun ia berjalan dan mengaku otonom dengan dirinya sendiri. Fiksi, pada akhirnya, adalah sebuah bentuk harapan terakhir yang bisa bikin manusia tersenyum, seperti pernyataan Maradona ketika Argentina menekuk Venezuala 4-0 tiga hari yang lalu, “Luar biasa, ini seperti dalam fiksi”.
Sorenya, aku bergabung dalam kelompok ini. Hari ini di bahasan tentang pace, yang kalau aku definisikan sebagai sesuatu yang ditulis untuk menjembatani dua reaksi emosi dalam sebuah novel – atau transisi untuk variasi. Mengubah efek emosi yang ditimbulkan oleh beberapa bab untuk menikmati sensasi emosi yang lain. Yeah, manusia memang suka akan hal-hal yang baru dan majemuk, lalu lahirlah istilah pace dalam sastra.
Seperti biasa anggota lama sudah hadir, tapi ada tiga orang makhluk asing. Nyentrik. Pertama, Maknyes, yang pertama kali melihatnya aku teringat Bondan Winarno. Sebentar-sebentar buka laptop, sebentar-sebentar cas-cis-cus dengan Uli dan Ina. Kayak cacing kepanasan. Ia menulis tentang perempuan yang hilang Blackberry. Tapi atmosfer tentang emosi atas hilangnya Blackberry kepunyaan tokoh tidak terlalu terasa karena fokus yang terbelah antara menggambar setting yang detail dengan perasaan yang sedang dialami tokoh utama.
Kedua, Dindra. Berkacamata, berkepala botak, terlihat sangat santai, dan intelek dengan celana jeans pendeknya. Ia menulis tentang seseorang yang berkunjung ke sebuah depo minuman dan menanyakan barangkali ada sebotol arak yang bisa dicicipi. Tapi ia mematahkan harapan pembacanya dengan menceritakan kalau arak itu tidak ada. Lalu si tokoh utama duduk menunggu ...
Ketiga, perempuan yang lebih tinggi dariku. Barangkali 165 cm. Ia memakai anting ‘ban sepeda’. Antingnya mengingatkanku pada pelek sepeda yang aku lompati pada atraksi kenaikan kelas waktu SD (beberapa tahun kemudian aku sadar, dengan melakukan itu aku disamakan dengan lumba-lumba). Jalannya anggun, seperti angsa yang mengatakan kepada si jantan, ‘Tahan rayuanmu, Goddek. Aku sedang ingin sendiri. Mari anak-anak, kita ke kolam’.
Theo menulis tentang perasaan perempuan—idealiseme romantik. Tentang perempuan yang sulit melupakan ciuman yang diberikan oleh lelaki pada saat ia hanyut dan hampir tenggelam dalam sungai cemburu. Sepertinya ada jejak psikologi dalam cerita ini. Entahlah.
Setelah masing-masing membacakan tulisan masing-masing, dikomentari, dan dilanjutkan dengan diskusi kecil, kami pun bubar.
Minggu depan, barangkali akan belajar menulis tentang non fiksi—jurnalisme sastra. Seperti judul buku yang akan dibawakan Uli untuk kami.
Aku pulang menembus hujan. Aku percepat langkah karena jam 7 malam ini ada film India di TPI.
Aku tulis FIKSI ini dengan penuh cinta,
Picture