Entah
bagaimana menjelaskan hubungan saya dengan writer’s
circle dalam satu kata:
Rumit?
KDRT?
Hampir
enam tahun hubungan terjalin, kata ‘cinta’ tak pernah disebut. ‘Sayang’
menghilang. ‘Senang’ datang dan pergi.
‘Bosan’
berkali-kali ditelan, seperti pada hari itu.
***
Saat jam menunjukkan pukul tiga, Andika
masih asyik di depan komputer, memeriksa keadaan Box Office Amerika akhir pekan
itu. Ia ingin menonton Daniel Day-Lewis memerankan Presiden Lincoln. Ia ingin
mengunduh trailer filmnya, tetapi sejam
lagi writer’s circle. Andika menghela
napas keras. Dari jendela ia melihat gumpalan awan gelap menggantung di
kejauhan – turunnya hujan bukan lagi pertanyaan. Kalau mau nggak datang sebetulnya hari ini, batin Andika. Namun ia
telanjur berjanji pada Farida akan datang hari itu. Sekali lagi Andika menghela
napas, tetapi tak terlalu keras. Tanpa menunda lagi, ia segera mengambil …
sapu.
***
Setiap hendak bepergian, ada prinsip
yang selalu dipegang Andika: rumah ditinggal dalam keadaan rapi. Selimut mesti dilipat.
Lantai paling tidak disapu. Jika ada piring dan peralatan dapur yang kotor maka
harus dicuci. Ketika pulang, ia ingin kerapian dan kebersihan itu ‘memeluknya’.
Sebelum berangkat writer’s circle, ada banyak yang harus dilakukan Andika. Semalam ia
baru menamatkan Great House, sebuah novel tentang orang-orang yang kakinya
terantai masa lalu. Bangun kesiangan, ia lantas terlalu banyak bermalasan
dengan laptop menyala di perut. Membaca berbagai penafsiran
novel, kadang-kadang ia menyetujui pendapat beberapa kritikus. Kadang-kadang
tidak. Andika membaca ulang, mencari poin-poin yang dilewatkannya, lama sekali.
Lalu menentukan dan mengunduh bacaan selanjutnya. Setelah menamatkan novel
dewasa, ia senang membaca novel anak-anak. Tahu-tahu hari sudah sore.
Setelah menyapu, masih ada piring,
cangkir, dan wajan kotor masih menumpuk. Bekasnya sarapan, minum kopi, serta
teh. (Ia ingat harus lebih banyak minum air putih.) Bekas Ibu menumis ikan,
telur, dan tomat. Mencuci piring kelihatannya cepat, tetapi sering membuat
terlena. Tahu-tahu waktu telah terulur panjang. Andika bergegas, Apa yang mesti dimasukkan? STNK, cek! Buku menulis, cek! Tempat pensil, cek! Laptop, cek! Oke, Semua siap?
Siap? Di luar Andika memutuskan memakai sandal karena yakin akan hujan.
Kaus kaki dan sepatu pun dimasukkan dalam tas yang kemudian dibungkus lapisan
tahan air. Saat mengunci pintu, Andika meraba sakunya, lalu kembali ke rumah
untuk mengambil dompet. Ketika keluar, ia teringat bahwa Nia mungkin datang,
lalu mengambil kartu pos dari Marty dan Neni untuk dipamerkan. Kali ini Andika
ingat menyalakan lampu teras, kalau-kalau belum ada yang pulang saat hari
gelap. Setelah pintu terkunci, ia pun memicu motornya.
***
Antrian
sirkus, bioskop, maupun wahana di Dufan mungkin menyenangkan. Di
ujungnya ada sesuatu yang diinginkan dan menunggu membuat sesuatu itu semakin
istimewa. Cukup membuat Andika tertegun
menyadari hanya ada writer’s circle
di ujung antrian panjang kendaraan di Perempatan Pahlawan. Hanya writer’s circle terdengar berlebihan.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan writer’s
circle, selain ia merasa terlalu sering melakukannya. Seperti makanan
kesukaan yang dimakan terlalu sering dalam jangka waktu panjang. Ketika ia
sudah hapal rasa makanan sebelum melahapnya, makanan itu kehilangan keistimewaannya.
Beberapa pertemuan lalu Andika bersukarela menulis jurnal writer’s circle, tetapi sejumlah percobaaan mandek di tengah-tengah
lantaran ia merasa apa yang dilaluinya biasa.
Ia tak kepingin menulis hal serupa terus-menerus.
***
Ketika gerimis pertama mendarat, Andika
telah terlepas dari kemacetan. Motor-motor berseliweran di samping kiri dan
kanan. Mungkin tak seorangpun yang mau kehujanan. Langit gelap, tujuan masih
jauh, Andika menepi dan memakai jas hujan. Gerimis sempat berhenti, tetapi di
Jalan Surapati hujan turun deras dan semakin deras. Angin bertiup kencang,
secara kasat mata membelokkan jatuhnya air. Jarak pandang semakin menurun.
Motor-motor menepi. Mobil-mobil menyalakan lampu darurat. Jalan raya mulai
dilalui juga arus air, sampai ke tengah. Kalau
mau nggak datang, sebetulnya hari ini,
pikir Andika. Namun ia tetap melaju. Cepat sekali ia berubah pikiran. Hujan
angin membuat toko buku Reading Lights terasa
begitu … jauh. Begitupun ingatan akan interaksi dengan Dani, Ririe, serta para
peserta reguler writer’s circle lainnya.
Bersamaan dengan merembesnya air ke dalam jas hujan, muncul juga kata ‘kangen’.
Pelupuk mata Andika mulai terasa hangat. Ketika sulit mencapai writer’s circle, tiba-tiba satu-satunya
keinginannya adalah berada di dalam lingkaran itu.
Mencapai jalan layang Pasupati, Andika
urung naik karena khawatir di atas angin makin keras. Ia lurus dan berbelok ke
Jalan Ir. H. Juanda, lalu menyadari itu keputusan yang salah.
Jalan raya sudah berubah menjadi sungai
deras.
Mobil dan motor mengantri. Namun antrian
tidak bergerak maju untuk waktu cukup
lama. Andika ingin mematikan mesin motor, tetapi takut tidak bisa menyala lagi.
Asap-asap putih menguar dari kendaraan. Permukaan air semakin lama semakin
tinggi dan arusnya makin deras. Di bahu jalan lebih tinggi dan deras. Andika
gigit jari. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Gelombang air besar. Pohon tumbang. Jika sedang ada laki-laki yang
disukainya, Andika yakin akan menyerukan namanya keras-keras supaya mendapat
kekuatan. Namun tidak ada. Andika mematikan motornya, meminta pengendara motor
di sebelahnya mundur sedikit supaya ia bisa lewat. Dan bisa. Kini tinggal
memarkir di pelataran Evieta Klappertart yang permukaannya tak tersentuh air, tetapi
arus di lajur kiri yang deras membuat motornya sulit dikendalikan, seperti
didorong tanpa henti. Andika maju sambil menekan pedal rem … dan berdoa.
Untungnya motor naik ke permukaan aman dengan selamat. Andika mencoba
menyalakan mesin … dan bisa.
***
Andika meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki. Trotoar jalan tertutup gelombang air. Masih ingat cerita pejalan
kaki yang hilang ditelan lubang trotoar? Andika masih.
Ia berjalan, sesekali melompat, di
antara-taman-taman di samping trotoar yang berubah wujud seperti pulau-pulau
kecil. Pelan-pelan hujan berhenti, tetapi di darat air masih deras. Antrian
mobil berujung di SMA 1, sebuah mobil di urutan terdepan berhenti karena mesin
mati. Di jembatan penyeberangan seorang perempuan memotret barisan mobil di
bawahnya. Andika ikut naik. Di satu sisi mobil-mobil mengantri, di sisi lain
air mengalir ke bawah. Tahun 2004-2006, Andika bersekolah di SMA 1, tetapi tak
pernah mengalami banjir seperti ini. Tapi
Bung ini tahun 2012. Ketika esok
harinya googling, ia baru tahu
belakangan banjir separah itu memang kerap terjadi.
Setelah memarkir motor, langkah dan perasaan
Andika semakin ringan. Ia merasa kemungkinannya bertemu writer’s circle justru meninggi. Di depan ITB, hujan tinggal
gerimis. Andika mulai berjalan sambil bersenandung. Ketika bertemu tukang
gorengan, ia membeli dua tahu, dua cireng, dan satu tempe yang dimakannya
duluan. Langkahnya terhenti lagi ketika bertemu tukang batagor.
***
Jelang pukul enam, Andika sampai di toko
buku Reading Lights. Di ruang
belakang, Farida menyentuh jaketnya, “Ini air?! Ini minum yang anget-anget
dulu.” “Wah, wah,” Dani berkomentar, “Coba dilepas dulu. Kentang gorengnya
habisin saja.” “Hahaha, itu kan punya Sapta,” timpal Ririe. “Ini minum, teh
gua. Jumbo, lho.” Andika pun menuruti semua ucapan itu.
***
“Jadi
tema menulisnya apa?” tanya
saya.
“Cinta
karena biasa,” jawab Ririe.
“Oh, ya?”
Sejenak saya diam sambil
mengeluarkan barang-barang dari tas yang basah. Cinta karena biasa, pikir saya. Di
buku menulis yang setengah halamannya basah dirembesi air, saya mulai
menuliskan cerita hubungan saya dengan writer’s circle.
***
Andika Budiman
PS: Saya bersukarela menulis jurnal pada tema Depth of Field yang difasilitatori oleh Indra. Sayangnya jurnal itu
tidak kesampaian dengan alasan writer’s
block. (“Deuu!”) Setelah minggu itu sebetulnya writer’s circle tetap berlangsung meskipun tak tercatat dalam
jurnal, temanya berturut-turut sebagai berikut: mendeteksi satu cerita jujur di
antara dua cerita bohong, menulis berdasarkan sampul buku pilihan, menulis
cara-cara kurang menyenangkan untuk mati, menulis cerita tentang berpisah untuk
kembali, menulis kartu pos untuk peserta di sebelah kita, dan menulis cerita
dari situasi tidak mungkin.