Emosi adalah tema menulis di RLWC pada tanggal
23 Juni 2012.
Adalah saya yang membawa tema ini setelah
beberapa minggu absen dari kegiatan menulis bersama. Tema ini berawal dari
obrolan saya dengan seorang kawan yang menulis naskah teater; baginya, berbeda
dengan karya fiksi tertulis, tantangan membuat naskah teater adalah membangun
karakter dan mood yang spesifik
dengan keterbatasan waktu dan ruang panggung pementasan.
Saya sadar, penulis cerita fiksi punya lebih
banyak kebebasan untuk mengekspresikan karakter cerita dibandingkan penulis
naskah teater atau penulis skenario film. Hal ini adalah anugerah sekaligus
kutukan. Anugrahnya, penulis cerita fiksi punya lebih banyak cara untuk
menyampaikan ceritanya. Kutukannya, kebebasan bisa membuat penulis terjebak
untuk “mengatakan” ketimbang “menunjukkan”. Padahal, tentu saja, berbeda dengan
karya tulis ilmiah, karya tulis fiksi tidak hanya berisi fakta-fakta yang
“dikatakan”, melainkan juga mood,
emosi, yang harus dirasakan dan dialami, bukan dikatakan.
Tujuan saya memilih emosi sebagai tema kali
ini adalah agar penulis bisa berlatih dan belajar menciptakan mood sesuai dengan penghayatan emosi si
tokoh. Tantangannya dengan tema ini, tentu saja, adalah membawa pembaca untuk
ikut merasakan perasaan sang tokoh cerita; sesuatu yang jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan “mengatakan” apa yang sedang sang tokoh rasakan.
Untuk latihan kali ini, saya menggunakan 6
emosi dasar dari artikel di Wikipedia. Tiga di antaranya bersifat positif: happiness, excitement, dan tender; tiga lainnya bersifat negatif: sadness, anger, dan fear. Melalui kertas undian, masing-masing penulis mendapatkan satu
jenis emosi secara acak dan kemudian menuliskan cerita dengan upaya membawa
pembaca untuk merasakan emosi sang tokoh utama.
Saya yang pertama kali membacakan cerita. Cerita
dibuka dengan “aku” yang sendirian, mabuk-mabukan sejak menerima e-mail
perpisahan dari orang yang dikasihinya. Ia terus-terusan minum untuk melupakan
semua kenangan yang kini menyakitkan, dan ia ingin menjadi tiada. Emosi yang
coba saya bangkitkan adalah sadness,
yang saya bangun melalui penghayatan ruang (ruangan kosong dengan botol-botol
bir yang kosong), kenangan-kenangan manis yang sudah berlalu, serta penggunaan
objek metafora (mendung yang menjelma hujan). Penulis lain bisa dengan mudah
menebak bahwa emosi dasarnya adalah sadness.
Andika berkomentar bahwa kesan sadness
bisa diperkuat lagi jika saya memasukkan benda-benda yang bermuatan kenangan
dan bukan hanya kenangan-kenangan manis yang bersifat general saja. Saya setuju dengan masukan Andika, bahwa objek-objek
yang bermuatan emosi bisa digunakan untuk menggambarkan emosi (bahkan bisa
dibilang ini salah satu cara yang paling kuat).
Berikutnya adalah Indra, yang bercerita
tentang Panca, seorang pemuda penggangguran yang masih tinggal dengan ibunya.
Sepanjang cerita Panca tampak menyembunyikan banyak kebohongan; ia berbohong
sudah shalat, dan ia berbohong tentang kelulusannya, karena pada kenyataannya
ia di-DO. Dalam cerita ini ada adegan di mana sang ibu dan Panca berdebat,
karena sang ibu peduli pada masa depan anaknya sementara Panca sendiri merasa
tidak nyaman dengan keingintahuan ibunya. Sebenarnya, Indra mendapatkan emosi tender, yaitu emosi positif yang tenang
seperti cinta kasih atau ketulusan. Namun Indra sendiri salah memaknai emosi tender (yang ia maknakan sebagai emosi
negatif). Lepas dari tepat tidaknya penggambaran emosi tender dalam cerita ini, saya tertarik dengan cara Indra
menggambarkan guilt, yang sebenarnya
juga termasuk emosi dasar namun tidak digunakan dalam latihan menulis kali ini.
Selain membuka kebohongan-kebohongan Panca secara naratif, Indra juga mampu
menampilkan rasa bersalah (guilt)
Panca melalui dialog dengan ibunya. Saya belajar bahwa emosi/mood
pun bisa dibangun melalui dialog. Beberapa pendengar yang lain juga mengatakan
bahwa mereka bisa merasakan tender
dari kepedulian ibunya, meskipun menurut saya emosi tender ini hanya jadi bagian kecil dari cerita.
Setelah Indra, ada Nia yang berinisiatif bercerita
tentang Raya, yang diam-diam membolos sekolah untuk membeli sebuah buku langka
dari seorang kenalannya, untuk melengkapi koleksi bukunya di rumah. Setelah
adegan menyelinap-menyelinap supaya tidak ketahuan, Raya berhasil meletakkan
buku tersebut di jajaran koleksinya dan “tubuhnya mengembang”. Emosi yang Nia
coba tunjukkan adalah happiness. Di
sini Nia melakukan penggambaran melalui media yang belum digunakan oleh saya
dan Indra, yaitu penghayatan tubuh (“tubuhnya mengembang”). Saya sendiri merasa
yang lebih banyak diangkat dalam cerita ini adalah excitement, melalui adegan-adegan menyelinap dari orangtua demi
mendapatkan buku itu, namun penggunaan penghayatan tubuh itu cukup berhasil
menggambarkan happiness. Andika
menambahkan bahwa untuk memperkuat emosi happiness-nya,
mungkin bagian akhir cerita (ketika koleksi bukunya lengkap dan tubuhnya
mengembang) bisa dijadikan awal. Saya setuju dengan Andika; mungkin cara itu
bisa membuat emosi dominan di cerita ini menjadi happiness.
Setelah berkomentar, Andika membacakan ceritanya.
Tokohnya bernama Doni, yang bertemu kembali dengan teman lamanya di suatu
pementasan. Sepanjang pementasan ia menjadi lebih aware dengan pakaian yang dikenakannya, merasakan kursi menjadi
panas, dan mulai berkeringat di selangkangan. Namun setelah pementasan itu
mereka tidak lagi saling berhubungan, sehingga Doni menjadi harap-harap cemas.
Dika sendiri mencoba menggambarkan excitement,
namun saya merasa maknanya menjadi rancu dengan anxiety, yang lebih dekat dengan fear. Lepas dari perdebatan mengenai excitement atau anxiety,
saya suka dengan cara Andika yang menggambarkan emosi tokoh melalui penghayatan
tubuh, mirip dengan Nia (meskipun banyak yang mempertanyakan perihal keringat
di bagian selangkangan).
Setelah Andika, Sabiqlah yang membawakan
cerita tentang “aku”, seorang siswa SMA yang kecewa karena saat datang ke
sekolah, teman-temannya tidak menyiapkan pesta kejutan untuknya karena sedang
fokus dengan UN. Emosi dasarnya adalah anger,
dan hal ini mudah ditangkap oleh para pendengar yang lain. Hal ini ditunjukkan
dengan dialog batin sang “aku”, yang memberikan alasan-alasan mengapa ia
kecewa. Catatan tambahan dari Indra, ternyata emosi dasar anger pun bisa disampaikan secara lucu. Artinya, emosi dasar masih
bisa tersampaikan dengan baik, seperti apa pun genre ceritanya (dalam hal ini
saya pikir cerita Sabiq bersifat komikal).
Berikutnya, Cesar memulai ceritanya dengan
kepanikan di sana-sini. Seorang wanita bingung harus lari ke mana, akhirnya
memilih diam dan bersembunyi, berharap akan selamat, namun akhirnya ia terkena
“hujan kelamin”. Terma “hujan kelamin” sendiri sudah membuat cerita Cesar
menjadi salah satu cerita yang paling diingat dalam sesi ini. Lepas dari terma
“hujan kelamin” yang fenomenal itu, Cesar cukup bisa membangun emosi fear dengan menunjukkannya melalui
perilaku sang wanita, yang berlari, lalu bersembunyi, dan menjambaki rambutnya
sendiri dalam persembunyiannya. Menurut saya, emosi fear bisa terbangun lebih kuat bila Cesar membuat karakter utama
yang bisa diidentifikasi oleh dari awal cerita dan bukan hanya menciptakan setting tanpa karakter yang spesifik.
Setelah Cesar, Almer bercerita tentang tokoh
aku yang mengumpat karena terus-terusan diumpati kakaknya, karena membawa
makanan yang tidak enak. Seperti cerita Sabiq, tidak sulit juga menangkap emosi
dasar anger dari cerita ini. Almer
menunjukkannya dengan dialog batin berupa umpatan, maupun pemberian motif yang
menjelaskan perasaan “aku”.
Sebagai penutup, Farida membawakan cerita yang
cukup panjang. Tokoh utamanya adalah Tono, yang mulai mengamati ritual aneh
orangtuanya setiap malam. Dari obrolan dengan temannya, Ari, Tono tahu bahwa
akan ada yang datang ke desa, dan akan ada anak yang hilang, seperti kakak Tono
dulu. Malamnya, Tono sulit tidur. Ia melihat pohon rambutan berbayang-bayang,
mendengar suara derak jendela, dan jantungnya menggedor-gedor, sebelum kemudian
ia mendengar suara kakaknya, dan gelap. Dituturkan dengan gaya horror/thriller klasik, mudah sekali bagi
pendengar untuk merasakan fear. Dalam
hal ini Farida menggunakan cara bertingkat untuk membangun mood yang kuat, mulai dari ritual-ritual orangtuanya, foreshadowing (obrolan dengan Ari bahwa
akan ada anak yang hilang), penghayatan objek/metafora (pohon bambu, kuburan,
pohon rambutan yang berbayang-bayang, jendela yang berderit), dan penghayatan
tubuh (jantung yang menggedor-gedor). Sedikit catatan saja dari saya:
penggunaan pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan yang berbayang-bayang bisa
menjadi lebih kuat jika Farida tidak menambahkan keterangan tambahan (pohon
bambu dan kuburan membangkitkan imaji-imaji di kepalanya). Tanpa harus
“dikatakan”, pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan sudah cukup kuat untuk
menimbulkan imaji yang kuat di benak pembaca.
Dari sesi menulis kali ini, saya dan
teman-teman banyak mempelajari hal baru untuk menggambarkan dan membangun emosi
dalam cerita. Di antaranya yang ditampilkan dalam cerita-cerita yang ditulis
dalam sesi ini adalah:
- Penghayatan ruang (mis. Kosong, penuh, lepas, gelap)
- Penghayatan objek/pemanfaatan objek sebagai metafora (mis. Botol bir, awan, hujan, pohon, makam)
- Penghayatan tubuh (mis. Kesadaran penampilan, perasaan mengembang, degup jantung), atau perilaku (mis. berlari, bersembunyi, menjambaki rambutnya sendiri)
- Dialog (antar tokoh atau dialog batin), yang biasanya dipadukan dengan motif (bagaimana tokoh diperlakukan orang lain, alasan mengapa tokoh merasa suatu emosi tertentu)
- Foreshadowing (khususnya untuk fear/anxiety).
Andika dan Indra menambahkan ada beberapa
teknik lain yang bisa dipakai, di antaranya:
- Irama/pace (panjang-pendek kalimat untuk membangun ketegangan), yang saya pikir bisa diperluas menjadi penghayatan waktu (mis. Ingin cepat-cepat besok, waktu berlalu sangat lambat, waktu berlalu sangat cepat, tidak ingin saat ini berakhir).
- Penggunaan huruf vokal dominan. Andika menerangkan bahwa dalam puisi penggunaan vokal “a” lebih identik dengan emosi seperti happiness sementara vokal “i” lebih identik dengan emosi sadness. Penggunaan konsonan tertentu juga bisa membangkitkan emosi tertentu misalnya “r” untuk anger, atau bahwa “a” lebih sesuai dengan emosi aktif (anger, happiness, excitement) sementara “i” lebih sesuai dengan emosi pasif (tender, sadness, fear)... tapi ini hanya hipotesis saya pribadi :D
Dengan pembahasan tentang cara-cara
menggambarkan emosi berakhir pula pertemuan sesi ini. Apakah ada cara
menggambarkan emosi yang terlewat oleh kami? Silakan di-share dengan kami :)
Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan
waktunya untuk blogging, menulis
novel, dan bersepeda gunung. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan
diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi
dirinya. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah
blog mengenai gaya hidup natural, serta sedang
berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.